Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam menjalankan tugasnya sebagai penyedia layanan kesehatan, dokter
tidak akan terlepas dari hal bernama resep. Resep merupakan perwujudan akhir
kompetensi dokter dalam medical care. Dengan menulis resep berarti dokter
telah mengaplikasikan ilmu pengetahuan keahlian dan ketrampilannya di
bidang farmakologi dan teraupetik kepada pasien (Jas, 2009). Resep juga salah
satu sarana interaksi antara dokter dan pasien (Akoria, 2008).
Dari definisi di atas dapat disimpulakan bahwa dokter wajib untuk
menguasai cara penulisan resep yang benar. Peresepan yang benar memiliki
peran yang besar dalam terapi pengobatan dan kesehatan pasien (Ansari dan
Neupane, 2009). Namun, pada kenyataannya dokter akan menjumpai beberapa
permasalahan dalam menulis resep
Resep yang baik harus memenuhi informasi yang cukup agar apoteker atau
perawat yang bersangkutan mengerti obat apa yang akan diberikan kepada
pasien (Katzung, 2009). Setiap negara mempunyai ketentuan sendiri tentang
informasi apa yang harus tercantum dalam sebuah resep, juga memiliki
perundangan sendiri tentang obat mana yang harus diperoleh dengan resep dan
siapa yang menulis resepnya (De Vries, 1998).
Menurut aturan penulisan resep pada Ars Prescribendi, dalam menuliskan
suatu resep harus diperhatikan kejelasan tulisan dan kelengkapan resep yang
meliputi inscriptio, prescriptio, signatura, dan subscriptio. Kesalahan dalam
penulisan resep terjadi jika terjadi kesalahan dalam penulisan komponen resep
diatas (Sari, 2005)

1.2 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui maksud dari resep
2. Untuk mengetahui bagian – bagian resep dengan lengkap dan benar
3. Untuk mengetahui cara penulisan resep yang benar

1.3 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan resep?
2. Apa saja bagian dari resep yang lengkap?
3. Bagaimana cara penulisan resep yang benar?

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Umum Mengenai Resep


Kata resep berasal dari bahasa latin Recipe (R/) yang berarti “ambilah”.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/1993, resep merupakan suatu
permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada APA
(Apoteker Pengelola Apotek) untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
penderita sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Resep memiliki beberapa fungsi antara lain; (1) sebagai perwujudan cara terapi
dengan menggunakan obat, (2) sebagai dokumen legal yang digunakan agar dalam
pelayanan oleh apotek, tidak dijumpai hal-hal yang merugikan penderita, (3)
sebagai catatan terapi, untuk kepentingan ini resep sebaiknya dibuat rangkap 2, satu
lembar untuk pasien dan lembar lainnya sebagai catatan dokter apabila pasien
kembali untuk kontrol, (4) sebagai media komunikasi antara dokter dengan
apoteker atau dengan petugas kesehatan lain.

Pemberian terapi dengan obat oleh dokter secara tidak langsung akan ditulis
dalam selembar kertas yang disebut sebagai lembar resep. Resep dalam arti yang
sempit adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tetentu dan
menyerahkannya kepada pasien. Kenyataannya resep merupakan perwujudan akhir
dari kompetensi pengetahuan dan keahlian dokter dalam menerapkan
pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Resep dituliskan dalam
kertas resep dengan ukuran yang ideal yaitu lebar 10-12 cm dan panjang 15-18 cm.
Resep harus ditulis dengan lengkap sesuai dengan PerMenKes no.
26/MenKes/Per/I/81 Bab III tentang Resep dan KepMenKes No.
28/MenKes/SK/U/98 Bab II tentang RESEP, agar dapat dibuatkan/ diambilkan
obatnya di apotik.

Dalam resep yang lengkap harus tertulis :


1. Identitas dokter : nama, nomor SIP (Surat Ijin Praktek), alamat praktek/ alamat
rumah dan nomor telpon dokter
2. Nama kota dan tanggal dibuatnya resep
3. Ditulis simbol R/ (= recipe = harap diambil), diberi istilah superscriptio. Ada
hipotesis R/ berasal dari tanda Yupiter (dewa mitologi Yunani). Hipotesis lain
R/ berasal dari tanda Ra = mata keramat dari dewa Matahari Mesir kuno.

2
4. Nama obat serta jumlah atau dosis, diberi istilah inscriptio. Merupakan inti
resep dokter. Nama obat ditulis nama generik atau nama dagang (brandname)
dan dosis ditulis dengan satuan microgram, miligram, gram, mililiter, %.
5. Bentuk sediaan obat yang dikehendaki, diberi istilah subscriptio.
6. Signatura , disingkat S, umumnya ditulis aturan pakai dengan bahasa Latin.
7. Diberi tanda penutup dengan garis, ditulis paraf
8. Pro : nama penderita. Apabila penderita anak, harus dituliskan umur atau berat
badan agar apoteker dapat mencek apakah dosisnya sudah sesuai.

CATATAN :

Pada saat menulis resep :


1. Hindari penulisan nama kimia, tulis nama latin atau generiknya.
2. Apabila dalam satu lembar resep terdiri lebih dari satu R/, maka : tiap R/
dilengkapi dengan signa (S), dan tiap R/ diparaf atau ditandatangani dokter
penulisnya.
3. Dokter yang bijaksana akan memperhatikan keadaan sosio-ekonomi pasien,
maka pemilihan obat dapat ke obat generik atau obat brand-name.

Contoh resep :

Resep obat jadi dengan nama generik

R/ Hydrocortison krim 1% tube No I


S aplic.in.loc.dol.
------------------------------ z
Pro : Anak T (5 th )

R/ Cendoxytrol gtt opht minidose strip I


S 4 dd gtt II opht dex.et sin.
----------------------------- z
Pro : Ny. S (45 th)

Resep obat ramuan/racikan

R/ Ceftik 10 mg
Epexol 5 mg
Salbutamol 0,425 mg
Longatin 4,5 mg
Rhinofed 1/12 tab

3
Dexametason 1/5 tab
Mfla pulv dtd no XV
S 3 dd pulv. I
-------------------------------------------z
Pro : anak 8 bulan

2.2 Bentuk Sediaan Obat

Bentuk Sediaan Obat diperlukan agar mudah pengaturan dosisnya, stabil, tidak
mudah rusak, mudah digunakan (bau dan rasa dapat ditutupi ), praktis dan dapat
menghasilkan efek yang optimal. Berdasarkan konsistensinya BSO dapat dibagi
menjadi BSO padat (serbuk, kapsul, tablet), semi padat (salep, krim, jelly), cair
(solutio, sirup, suspensi, emulsi). Setiap BSO mempunyai maksud dan tujuan yang
berbeda-beda sehingga perlu difahami spesifikasi dari suatu BSO.

A. BSO Padat
1. Pulvis (serbuk tidak terbagi) dan Pulveres (serbuk terbagi).
Biasanya berupa campuran obat yang halus, kering dan homogen. Bau dan
rasa obat tidak dapat ditutupi.
2. Granul
Berupa gumpalan kecil yang terdiri dari obat dan bahan tambahan. Lebih
stabil dari serbuk. Digunakan dengan cara dicampur atau dilarutkan dengan
air.
3. Kapsul
BSO yang berupa cangkang terbuat dari gelatin, sehingga lebih mudah
ditelan. Kapsul mempunyai berbagai macam ukuran. Ada 2 macam kapsul
yaitu kapsul gelatin keras (dapat dibuka dan ditutup), berisi serbuk atau
granul dan kapsul gelatin lunak berisi bahan cair seperti minyak.
4. Tablet
BSO yang dibuat dengan cara dicetak, terdiri dari bahan obat dengan
beberapa bahan tambahan seperti bahan pengisi, pengembang, perekat,
pelicin, dan penghancur.

Ada bermacam-macam jenis tablet :


a. Tablet
Mempunyai macam-macam bentuk dan ukuran, ada yang berlapis dan
digunakan dengan cara ditelan.
b. Tablet salut gula = dragee
Diberi salut gula, memberikan penampilan yang menarik, digunakan
dengan cara ditelan.

4
c. Tablet salut selaput/salut film
Diberi salut tipis dari polimer, pecahnya tablet di lambung bagian bawah,
untuk menghindari iritasi dan digunakan dengan cara ditelan.
d. Tablet salut enterik
Disalut dengan lapisan yang tidak pecah oleh asam lambung sehingga
pecahnya
tablet di usus, absorbsi obat di usus. Dapat menghindari iritasi lambung
dan
digunakan dengan cara ditelan.
e. Tablet sublingual
Tablet yang disisipkan di bawah lidah dan diabsorbsi mukosa mulut
sehingga
memberikan respon terapi yang cepat.
f. Tablet kunyah = chewable
Tablet yang harus dikunyah dulu, agar efek lokal di lambung cepat.
Rasanya enak sehingga cocok untuk anak-anak.
g. Tablet hisap = lozenges = troches
Tablet yang dihisap di mulut untuk pengobatan lokal pada rongga mulut.
h. Tablet sisip/ tablet vagina
Tablet yang disisipkan di vaginal untuk pengobatan lokal.
i. Tablet effervescent
Tablet yang dapat menghasilkan gas atau berbuih agar rasanya segar,
digunakan
dengan cara dilarutkan air, kemudan diminum.
j. Tablet atau kapsul pelepasan terkendali = lepas lambat
Dirancang dapat melepaskan obat perlahan-lahan sehingga kerja obat
diperpanjang. Tablet lepas lambat dapat mengurangi frekuensi
pemberian obat dan kepatuhan pasien meningkat. Istilah yang digunakan
retard, controlled-release, prolonged release, prolongedaction, time-
release, extended-release, slow-release, delayed-release, timespan, MR
(Modification –Release).

5. Sediaan padat yang dimasukkan ke dalam lubang tubuh. BSO ini akan
melunak, melarut karena pengaruh suhu tubuh. BSO ini digunakan untuk
pengobatan lokal maupun sistemik.
a. Supositoria (rektal)
b. Ovula = supositoria vaginal

5
B. BSO Semi Solid
Digunakan dengan cara dioleskan pada kulit untuk pengobatan topikal,
karena obat dapat meresap ke dalam kulit. Perkembangan teknologi membuat bahan
kimia sebagai bahan tambahan yang dapat meresapkan obat sampai ke sirkulasi
darah/sistemik dikenal sebagai sistem transdermal.
1. Salep = unguenta = oinment
Digunakan dengan cara dioleskan pada kulit. Salep untuk mata diberi nama
occulenta dan BSO ini harus steril. Ada berbagai macam jenis bahan
pembawa salep.
2. Krim
Mudah menyebar di kulit, memberikan absorbsi obat yang baik. Sediaan ini
disukai pasien dan dokter karena mudah dibersihkan dan memberi rasa
dingin.
3. Jel = Gel = Jelly
Sediaan semi solid yang jernih, terbuat dari bahan pengental dan air sehingga
rasanya dingin dan apabila kering meninggalkan selaput tipis.

C. BSO Cair
Sediaan cair dapat berupa larutan atau suspensi. Sediaan cair untuk oral dapat
sebagai larutan/solutio, sirup, eliksir, suspensi, emulsi. Diminum dengan
menggunakan sendok teh (5ml) atau sendok makan (15 ml). Sediaan cair untuk bayi
dikenal sebagai sediaan oral-drops atau tetes dengan menggunakan alat
penetes/pipet. Sediaan cair untuk obat luar atau topical dikenal sebagai lotio,
solutio, kompres (epithema).

Macam-macam BSO cair :


1. Solutio
Larutan yang mengandung bahan obat terlarut. Apabila digunakan untuk
topikal dapat disebut sebagai lotio atau lotion.
2. Sirup
BSO cair yang diminum mengandung pemanis, secara fisik dapat berupa
larutan atau suspensi. Sering digunakan untuk anak-anak. Sirup kering
Dikemas sebagai granul, saat akan digunakan ditambah air atau pembawa
yang cocok sehingga berbentuk sirup atau suspensi. Untuk bahan yang
kurang stabil dalam air, misalnya antibiotika.
3. Eliksir
Larutan obat dalam air yang mengandung gula dan alkohol 6 – 19 %. Fungsi
alkohol untuk membantu kelarutan obat dan memberi rasa segar.
4. (tetes)
BSO cair yang cara pengunaannya dengan cara diteteskan menggunakan
pipet biasa atau pipet volume. Ada beberapa guttae : guttae ophthalmic

6
(tetes mata), Guttae auric (tetes telinga), guttae nasales (Tetes hidung),
guttae orales (drops)
5. Clysma
BSO cair digunakan dengan cara dimasukkan ke rektal.
6. Potio = obat minum, tidak memperhatikan rasa.
7. Litus oris = tutul mulut

D. BSO parenteral
BSO yang steril, bebas pirogen dan cara pemberiannya dengan disuntikkan.
Apabila volumenya besar disebut infus dan apabila volumenya kecil disebut injeksi.

E. BSO spray, inhalasi, aerosol.


a. Spray
Larutan dengan tetesan kasar atau zat padat terbagi yang halus digunakan
dengan cara disemprotkan pada topikal, hidung, faring atau kulit.
b. Inhalasi
Obat diberikan lewat nasal atau mulut dengan cara dihirup, untuk
pengobatan pada bronchus atau pengobatan sistemik lewat paru. Aksinya
cepat karena tidak melewati lintas utama di hepar.
c. Aerosol
Produk farmasetik dalam wadah yang diberi tekanan. Cara penggunaan
dengan menekan tutup botol yang diberi pengatur dosis. Obat yang
disemprotkan berbentuk kabut halus.

F. BSO produk biologi


Sediaan yang bahan aktifnya berupa mikroorganisme hirup, berasal dari
manusia atau hewan. Digunakan untuk pencegahan atau pengobatan penyakit.
Contohnya macam-macam vaksin, antisera dan imunoglobulin.

G. BSO advanced technology


BSO yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga untuk pelepasan tablet
tidak diperlukan air. Ada sistem penghantaran obat yang baru dengan fase lliberasi
obat sangat cepat, konsentrasi puncak kadar obat dalam plasma cepat, sehingga
diperoleh respon obat yang dikehendaki. Contohnya : BSO Fast-dissolving,
orodisperse (oros), fast-melting.

7
2.3 Sediaan Obat Pada Gangguan EMN

Diabetes Melitus
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid

1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang
nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea
kerja panjang.

2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan
ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

B. Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion

1. Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada
Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
2. Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular,
sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek

8
samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan.

C. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh obat


terhadap penurunan A1C dapat dilihat pada tabel 2.6 (Soegondo, 2007).

Hipertiroid
1. Obat Anti Tiroid
Obat anti tiroid merupakan golongan obat yang digunakan untuk
menekan kelebihan hormon tiroid pada pasien hipertiroidisme hingga level
normal (euthyroid). Tujuan utama penggunaan obat anti tiroid adalah untuk
mencapai kondisi euthyroid secepat mungkin dengan aman dan untuk
mencapai remisi. Lama penggunaan obat anti tiroid hingga mencapai remisi
bervariasi antar pasien dan kesuksesan terapi sangat tergantung pada
kepatuhan pasien dalam menggunakan obat (Baskin et al, 2002). Di negara-
negara maju, pengobatan hipertiroidisme cenderung bergeser ke terapi
iodine radioaktif dan penggunaan obat anti tiroid semakin jarang diberikan
karena tingginya kemungkinan relaps (kambuh) setelah remisi dan jangka
waktu pengobatan yang memakan waktu selama satu hingga dua tahun.
Namun demikian obat anti tiroid juga masih umum digunakan pada pasien
yang kontraindikasi terhadap iodine radioaktif, pasien hamil dan pasien
yang akan menjalani terapi radioiodine. Pada pasien hipertiroidisme dengan
toksik nodul atau toxic multinodular goiter obat anti tiroid tidak
direkomendasikan untuk digunakan karena tidak menyebabkan remisi pada
golongan pasien ini. Sedangkan pada pasien Graves’ Disease obat anti tiroid
terbukti dapat menghasilkan remisi karena efek antitiroid dan
imunosupresan (Ajjan dan Weetman, 2007).
1.) Jenis Obat Anti Tiroid
Obat anti tiroid yang secara luas digunakan, propylthiouracil dan
methimazole, termasuk dalam golongan yang sama yaitu
thionamide. Keduanya memiliki mekanisme aksi yang sama
namun memiliki profil farmakokinetika yang berbeda dalam hal
durasi, ikatan dengan albumin dan lipofilisitas. Propylthiouracil
dan methimazole dapat digunakan sebagai terapi tunggal pada
hipertiroidismeyang diakibatkan oleh Graves’ Disease maupun

9
pada pasien yang akan menerimaterapi radioiodine dan
tiroidektomi (Bahn et al, 2011; Fumarola et al, 2010). Dalam
mengobati hipertiroidisme karena autoimun atau Graves’
Disease, obat anti tiroid dapat mengembalikan fungsi tiroid
karena adanya sifat imunosupresan. Obat anti tiroid dapat
memacu apoptosis limfosit intratiroid, menekan ekspresi HLA
kelas 2, sel T dan natural killer cells (Bartalena, 2011; Fumarola
et al, 2010)
a.) Propylthiouracil
Propylthiouracil atau biasa disingkat PTU
merupakan obat antitiroid golongan thionamide yang
tersedia dalam sediaan generik di Indonesia. Obat ini bekerja
dengan cara menghambat kerja enzim thyroid peroxidase
dan mencegah pengikatan iodine ke thyroglobulin sehingga
mencegah produksi hormon tiroid. Selain itu obat anti tiroid
memiliki efek imunosupresan yang dapat menekan produksi
limfosit, HLA, sel T dan natural killer sel (Fumarola et al,
2010). Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr.
Soetomo edisi III, dosis awal propylthiouracil adalah 100-
150 mg setiap 6 jam, setelah 4 – 8 minggu dosis diturunkan
menjadi 50 – 200 mg sekali atau dua kali dalam sehari
(Anonim, 2008). Keuntungan propylthiouracil dibandingkan
methimazole adalah propylthiouracil dosis tinggi juga dapat
mencegah konversi thyroxine (T4) menjadi bentuk aktif
triiodothyronine (T3) di perifer, sehingga merupakan terapi
pilihan dalam thyroid storm atau peningkatan hormon tiroid
secara akut dan mengancam jiwa (Nayak dan Burman,
2006). Propylthiouracil yang digunakan secara per oral
hampir sepenuhnya terabsorpsi di saluran gastrointestinal.
Karena durasi kerjanya yang hanya 12 – 24 jam maka PTU
harus digunakan beberapa kali sehari (multiple dose). Hal ini
menjadi salah satu alasan obat ini mulai ditinggalkan karena
berkaitan dengan kepatuhan pasien (Bartalena, 2011;
Fumarola et al, 2010). Di Amerika Serikat propylthiouracil
hanya digunakan jika pasien alergi atau dikontraindikasikan
terhadap methimazole dan hamil. Propylthiouracil tidak
menjadi terapi lini pertama pada pengobatan hipertiroidisme
karena kepatuhan pasien yang rendah dan efek samping berat
seperti hepatotoksik. Namun propylthiouracil merupakan
obat pilihan pertama pada pasien hipertiroidisme yang
sedang hamil trimester pertama. Hal ini disebabkan sifat
PTU yang kurang larut lemak dan ikatan dengan albumin

10
lebih besar menyebabkan obat ini transfer plasenta lebih
kecil dibandingkan methimazole (Fumarola et al, 2010;
Hackmon et al, 2012).
b) Methimazole
Methimazole atau biasa disingkat MMI merupakan
obat anti tiroid golongan thionamide yang menjadi lini
pertama pengobatan hipertiroidisme dan merupakan
metabolit aktif dari carbimazole. Carbimazole merupakan
bentuk pro-drug dari methimazole yang beredar di beberapa
negara seperti Inggris. Di dalam tubuh carbimazole akan
diubah menjadi bentuk aktifnya methimazole dengan
pemotongan gugus samping karboksil pada saat
metabolisme lintas pertama (Bahn et al, 2011). Mekanisme
kerja methimazole dalam mengobati hipertiroidisme sama
seperti propylthiouracil yaitu menghambat kerja enzim
thyroid peroxidase dan mencegah pembentukan hormon
tiroid. Namun methimazole tidak memiliki efek mencegah
konversi T4 ke T3 (Nayak dan Burman, 2006). Obat ini
digunakan secara per oral dan hampir terabsorpsi sempurna
di saluran cerna. Karena durasi aksinya yang panjang, sekitar
40 jam, maka MMI cukup digunakan satu kali sehari (single
dose). Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr.
Soetomo Edisi III, dosis awal methimazole dimulai dengan
40 mg setiap pagi selama 1 – 2 bulan dan selanjutnya dosis
diturunkan menjadi 5 – 20 mg setiap pagi (Anonim, 2008).
Methimazole merupakan lini pertama pengobatan
hipertiroidisme karena efek samping yang relatif lebih
rendah dari propylthiouracil, faktor kepatuhan pasien, serta
efektivitas yang lebih baik dibandingkan propylthiouracil.
Sejak tahun 1998 methimazole merupakan obat anti tiroid
yang paling banyak diresepkan di Amerika Serikat untuk
mengobati Graves’ Disease (Bahn et al, 2011; Emiliano et
al, 2010; Nakamura et al, 2007). Penggunaan methimazole
pada kehamilan terutama trimester pertama tidak
direkomendasikan karena efek teratogenik methimazole
menyebabkan malformasi kongenital seperti aplasia cutis
dan choanal atresia. Sehingga pada pasien hipertiroidisme
yang sedang hamil trimester pertama yang sedang
mengonsumsi methimazole perlu dilakukan penggantian
terapi ke propylthiouracil. Sedangkan pada ibu menyusui
methimazole terbukti aman diberikan hingga dosis 20 – 30
mg/ hari (Hackmon et al, 2012; Stagnaro-Green et al, 2011).

11
BAB III
PENULISAN RESEP

12
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Resep merupakan


permintaan tertulis dari dokter kepada Apoteker untuk menyediakan dan
menyerahkan obat kepada pasien sesuai dengan peraturan perundang undangan
yang berlaku.

Dalam resep terdiri atas beberapa sruktur yaitu Prescriptio, Supercriptio


(Simbol Resep), Inscriptio(Zat Aktif dan Jumlah/ Satuan/ Wadah/Kemasaan Nama
Obat/ Zat Aktif dengan satuan), Subcriptio(petunjuk bagi peracik/penyedia obat),
Signature(Petunjuk bagi si pasien), Pro(data si pasien).

Dalam penulisan resep harus diperhatikan dari segi struktur dan juga
kelengkapan pada resep tersebut agar apoteker dapat membuat / memberikan obat
dengan tepat kepada sang pasien dan tidak terjadi kesalahpahaman.

4.2 Saran

Dalam penulisan resep harus jelas dan lengkap agar mudah dibaca oleh
petugas kefarmasian dalam pelayanan kesehatan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 2014. Pengantar B entuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Penerbit


Universitas Indonesia
A Y, Sutedjo. 2013. Mengenal Obat-obatan Secara Mudah. Yogyakarta: Amara
Books.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2015. Farmakologi dan Terapi


Edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.6

Gunawan, S.G. (Ed). 2010. Farmakologi dan Terapi Ed 6. Jakarta. Departemen


Farmakologi dan Terapeutik FK UI

Sukandar, E.Y., Andrajati, R. Sigit, J.I, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta:
PT.ISFI Penerbitan

14

Anda mungkin juga menyukai