PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Resep memiliki beberapa fungsi antara lain; (1) sebagai perwujudan cara terapi
dengan menggunakan obat, (2) sebagai dokumen legal yang digunakan agar dalam
pelayanan oleh apotek, tidak dijumpai hal-hal yang merugikan penderita, (3)
sebagai catatan terapi, untuk kepentingan ini resep sebaiknya dibuat rangkap 2, satu
lembar untuk pasien dan lembar lainnya sebagai catatan dokter apabila pasien
kembali untuk kontrol, (4) sebagai media komunikasi antara dokter dengan
apoteker atau dengan petugas kesehatan lain.
Pemberian terapi dengan obat oleh dokter secara tidak langsung akan ditulis
dalam selembar kertas yang disebut sebagai lembar resep. Resep dalam arti yang
sempit adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tetentu dan
menyerahkannya kepada pasien. Kenyataannya resep merupakan perwujudan akhir
dari kompetensi pengetahuan dan keahlian dokter dalam menerapkan
pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Resep dituliskan dalam
kertas resep dengan ukuran yang ideal yaitu lebar 10-12 cm dan panjang 15-18 cm.
Resep harus ditulis dengan lengkap sesuai dengan PerMenKes no.
26/MenKes/Per/I/81 Bab III tentang Resep dan KepMenKes No.
28/MenKes/SK/U/98 Bab II tentang RESEP, agar dapat dibuatkan/ diambilkan
obatnya di apotik.
2
4. Nama obat serta jumlah atau dosis, diberi istilah inscriptio. Merupakan inti
resep dokter. Nama obat ditulis nama generik atau nama dagang (brandname)
dan dosis ditulis dengan satuan microgram, miligram, gram, mililiter, %.
5. Bentuk sediaan obat yang dikehendaki, diberi istilah subscriptio.
6. Signatura , disingkat S, umumnya ditulis aturan pakai dengan bahasa Latin.
7. Diberi tanda penutup dengan garis, ditulis paraf
8. Pro : nama penderita. Apabila penderita anak, harus dituliskan umur atau berat
badan agar apoteker dapat mencek apakah dosisnya sudah sesuai.
CATATAN :
Contoh resep :
R/ Ceftik 10 mg
Epexol 5 mg
Salbutamol 0,425 mg
Longatin 4,5 mg
Rhinofed 1/12 tab
3
Dexametason 1/5 tab
Mfla pulv dtd no XV
S 3 dd pulv. I
-------------------------------------------z
Pro : anak 8 bulan
Bentuk Sediaan Obat diperlukan agar mudah pengaturan dosisnya, stabil, tidak
mudah rusak, mudah digunakan (bau dan rasa dapat ditutupi ), praktis dan dapat
menghasilkan efek yang optimal. Berdasarkan konsistensinya BSO dapat dibagi
menjadi BSO padat (serbuk, kapsul, tablet), semi padat (salep, krim, jelly), cair
(solutio, sirup, suspensi, emulsi). Setiap BSO mempunyai maksud dan tujuan yang
berbeda-beda sehingga perlu difahami spesifikasi dari suatu BSO.
A. BSO Padat
1. Pulvis (serbuk tidak terbagi) dan Pulveres (serbuk terbagi).
Biasanya berupa campuran obat yang halus, kering dan homogen. Bau dan
rasa obat tidak dapat ditutupi.
2. Granul
Berupa gumpalan kecil yang terdiri dari obat dan bahan tambahan. Lebih
stabil dari serbuk. Digunakan dengan cara dicampur atau dilarutkan dengan
air.
3. Kapsul
BSO yang berupa cangkang terbuat dari gelatin, sehingga lebih mudah
ditelan. Kapsul mempunyai berbagai macam ukuran. Ada 2 macam kapsul
yaitu kapsul gelatin keras (dapat dibuka dan ditutup), berisi serbuk atau
granul dan kapsul gelatin lunak berisi bahan cair seperti minyak.
4. Tablet
BSO yang dibuat dengan cara dicetak, terdiri dari bahan obat dengan
beberapa bahan tambahan seperti bahan pengisi, pengembang, perekat,
pelicin, dan penghancur.
4
c. Tablet salut selaput/salut film
Diberi salut tipis dari polimer, pecahnya tablet di lambung bagian bawah,
untuk menghindari iritasi dan digunakan dengan cara ditelan.
d. Tablet salut enterik
Disalut dengan lapisan yang tidak pecah oleh asam lambung sehingga
pecahnya
tablet di usus, absorbsi obat di usus. Dapat menghindari iritasi lambung
dan
digunakan dengan cara ditelan.
e. Tablet sublingual
Tablet yang disisipkan di bawah lidah dan diabsorbsi mukosa mulut
sehingga
memberikan respon terapi yang cepat.
f. Tablet kunyah = chewable
Tablet yang harus dikunyah dulu, agar efek lokal di lambung cepat.
Rasanya enak sehingga cocok untuk anak-anak.
g. Tablet hisap = lozenges = troches
Tablet yang dihisap di mulut untuk pengobatan lokal pada rongga mulut.
h. Tablet sisip/ tablet vagina
Tablet yang disisipkan di vaginal untuk pengobatan lokal.
i. Tablet effervescent
Tablet yang dapat menghasilkan gas atau berbuih agar rasanya segar,
digunakan
dengan cara dilarutkan air, kemudan diminum.
j. Tablet atau kapsul pelepasan terkendali = lepas lambat
Dirancang dapat melepaskan obat perlahan-lahan sehingga kerja obat
diperpanjang. Tablet lepas lambat dapat mengurangi frekuensi
pemberian obat dan kepatuhan pasien meningkat. Istilah yang digunakan
retard, controlled-release, prolonged release, prolongedaction, time-
release, extended-release, slow-release, delayed-release, timespan, MR
(Modification –Release).
5. Sediaan padat yang dimasukkan ke dalam lubang tubuh. BSO ini akan
melunak, melarut karena pengaruh suhu tubuh. BSO ini digunakan untuk
pengobatan lokal maupun sistemik.
a. Supositoria (rektal)
b. Ovula = supositoria vaginal
5
B. BSO Semi Solid
Digunakan dengan cara dioleskan pada kulit untuk pengobatan topikal,
karena obat dapat meresap ke dalam kulit. Perkembangan teknologi membuat bahan
kimia sebagai bahan tambahan yang dapat meresapkan obat sampai ke sirkulasi
darah/sistemik dikenal sebagai sistem transdermal.
1. Salep = unguenta = oinment
Digunakan dengan cara dioleskan pada kulit. Salep untuk mata diberi nama
occulenta dan BSO ini harus steril. Ada berbagai macam jenis bahan
pembawa salep.
2. Krim
Mudah menyebar di kulit, memberikan absorbsi obat yang baik. Sediaan ini
disukai pasien dan dokter karena mudah dibersihkan dan memberi rasa
dingin.
3. Jel = Gel = Jelly
Sediaan semi solid yang jernih, terbuat dari bahan pengental dan air sehingga
rasanya dingin dan apabila kering meninggalkan selaput tipis.
C. BSO Cair
Sediaan cair dapat berupa larutan atau suspensi. Sediaan cair untuk oral dapat
sebagai larutan/solutio, sirup, eliksir, suspensi, emulsi. Diminum dengan
menggunakan sendok teh (5ml) atau sendok makan (15 ml). Sediaan cair untuk bayi
dikenal sebagai sediaan oral-drops atau tetes dengan menggunakan alat
penetes/pipet. Sediaan cair untuk obat luar atau topical dikenal sebagai lotio,
solutio, kompres (epithema).
6
(tetes mata), Guttae auric (tetes telinga), guttae nasales (Tetes hidung),
guttae orales (drops)
5. Clysma
BSO cair digunakan dengan cara dimasukkan ke rektal.
6. Potio = obat minum, tidak memperhatikan rasa.
7. Litus oris = tutul mulut
D. BSO parenteral
BSO yang steril, bebas pirogen dan cara pemberiannya dengan disuntikkan.
Apabila volumenya besar disebut infus dan apabila volumenya kecil disebut injeksi.
7
2.3 Sediaan Obat Pada Gangguan EMN
Diabetes Melitus
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang
nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea
kerja panjang.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan
ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
1. Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada
Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
2. Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular,
sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
8
samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan.
Hipertiroid
1. Obat Anti Tiroid
Obat anti tiroid merupakan golongan obat yang digunakan untuk
menekan kelebihan hormon tiroid pada pasien hipertiroidisme hingga level
normal (euthyroid). Tujuan utama penggunaan obat anti tiroid adalah untuk
mencapai kondisi euthyroid secepat mungkin dengan aman dan untuk
mencapai remisi. Lama penggunaan obat anti tiroid hingga mencapai remisi
bervariasi antar pasien dan kesuksesan terapi sangat tergantung pada
kepatuhan pasien dalam menggunakan obat (Baskin et al, 2002). Di negara-
negara maju, pengobatan hipertiroidisme cenderung bergeser ke terapi
iodine radioaktif dan penggunaan obat anti tiroid semakin jarang diberikan
karena tingginya kemungkinan relaps (kambuh) setelah remisi dan jangka
waktu pengobatan yang memakan waktu selama satu hingga dua tahun.
Namun demikian obat anti tiroid juga masih umum digunakan pada pasien
yang kontraindikasi terhadap iodine radioaktif, pasien hamil dan pasien
yang akan menjalani terapi radioiodine. Pada pasien hipertiroidisme dengan
toksik nodul atau toxic multinodular goiter obat anti tiroid tidak
direkomendasikan untuk digunakan karena tidak menyebabkan remisi pada
golongan pasien ini. Sedangkan pada pasien Graves’ Disease obat anti tiroid
terbukti dapat menghasilkan remisi karena efek antitiroid dan
imunosupresan (Ajjan dan Weetman, 2007).
1.) Jenis Obat Anti Tiroid
Obat anti tiroid yang secara luas digunakan, propylthiouracil dan
methimazole, termasuk dalam golongan yang sama yaitu
thionamide. Keduanya memiliki mekanisme aksi yang sama
namun memiliki profil farmakokinetika yang berbeda dalam hal
durasi, ikatan dengan albumin dan lipofilisitas. Propylthiouracil
dan methimazole dapat digunakan sebagai terapi tunggal pada
hipertiroidismeyang diakibatkan oleh Graves’ Disease maupun
9
pada pasien yang akan menerimaterapi radioiodine dan
tiroidektomi (Bahn et al, 2011; Fumarola et al, 2010). Dalam
mengobati hipertiroidisme karena autoimun atau Graves’
Disease, obat anti tiroid dapat mengembalikan fungsi tiroid
karena adanya sifat imunosupresan. Obat anti tiroid dapat
memacu apoptosis limfosit intratiroid, menekan ekspresi HLA
kelas 2, sel T dan natural killer cells (Bartalena, 2011; Fumarola
et al, 2010)
a.) Propylthiouracil
Propylthiouracil atau biasa disingkat PTU
merupakan obat antitiroid golongan thionamide yang
tersedia dalam sediaan generik di Indonesia. Obat ini bekerja
dengan cara menghambat kerja enzim thyroid peroxidase
dan mencegah pengikatan iodine ke thyroglobulin sehingga
mencegah produksi hormon tiroid. Selain itu obat anti tiroid
memiliki efek imunosupresan yang dapat menekan produksi
limfosit, HLA, sel T dan natural killer sel (Fumarola et al,
2010). Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr.
Soetomo edisi III, dosis awal propylthiouracil adalah 100-
150 mg setiap 6 jam, setelah 4 – 8 minggu dosis diturunkan
menjadi 50 – 200 mg sekali atau dua kali dalam sehari
(Anonim, 2008). Keuntungan propylthiouracil dibandingkan
methimazole adalah propylthiouracil dosis tinggi juga dapat
mencegah konversi thyroxine (T4) menjadi bentuk aktif
triiodothyronine (T3) di perifer, sehingga merupakan terapi
pilihan dalam thyroid storm atau peningkatan hormon tiroid
secara akut dan mengancam jiwa (Nayak dan Burman,
2006). Propylthiouracil yang digunakan secara per oral
hampir sepenuhnya terabsorpsi di saluran gastrointestinal.
Karena durasi kerjanya yang hanya 12 – 24 jam maka PTU
harus digunakan beberapa kali sehari (multiple dose). Hal ini
menjadi salah satu alasan obat ini mulai ditinggalkan karena
berkaitan dengan kepatuhan pasien (Bartalena, 2011;
Fumarola et al, 2010). Di Amerika Serikat propylthiouracil
hanya digunakan jika pasien alergi atau dikontraindikasikan
terhadap methimazole dan hamil. Propylthiouracil tidak
menjadi terapi lini pertama pada pengobatan hipertiroidisme
karena kepatuhan pasien yang rendah dan efek samping berat
seperti hepatotoksik. Namun propylthiouracil merupakan
obat pilihan pertama pada pasien hipertiroidisme yang
sedang hamil trimester pertama. Hal ini disebabkan sifat
PTU yang kurang larut lemak dan ikatan dengan albumin
10
lebih besar menyebabkan obat ini transfer plasenta lebih
kecil dibandingkan methimazole (Fumarola et al, 2010;
Hackmon et al, 2012).
b) Methimazole
Methimazole atau biasa disingkat MMI merupakan
obat anti tiroid golongan thionamide yang menjadi lini
pertama pengobatan hipertiroidisme dan merupakan
metabolit aktif dari carbimazole. Carbimazole merupakan
bentuk pro-drug dari methimazole yang beredar di beberapa
negara seperti Inggris. Di dalam tubuh carbimazole akan
diubah menjadi bentuk aktifnya methimazole dengan
pemotongan gugus samping karboksil pada saat
metabolisme lintas pertama (Bahn et al, 2011). Mekanisme
kerja methimazole dalam mengobati hipertiroidisme sama
seperti propylthiouracil yaitu menghambat kerja enzim
thyroid peroxidase dan mencegah pembentukan hormon
tiroid. Namun methimazole tidak memiliki efek mencegah
konversi T4 ke T3 (Nayak dan Burman, 2006). Obat ini
digunakan secara per oral dan hampir terabsorpsi sempurna
di saluran cerna. Karena durasi aksinya yang panjang, sekitar
40 jam, maka MMI cukup digunakan satu kali sehari (single
dose). Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr.
Soetomo Edisi III, dosis awal methimazole dimulai dengan
40 mg setiap pagi selama 1 – 2 bulan dan selanjutnya dosis
diturunkan menjadi 5 – 20 mg setiap pagi (Anonim, 2008).
Methimazole merupakan lini pertama pengobatan
hipertiroidisme karena efek samping yang relatif lebih
rendah dari propylthiouracil, faktor kepatuhan pasien, serta
efektivitas yang lebih baik dibandingkan propylthiouracil.
Sejak tahun 1998 methimazole merupakan obat anti tiroid
yang paling banyak diresepkan di Amerika Serikat untuk
mengobati Graves’ Disease (Bahn et al, 2011; Emiliano et
al, 2010; Nakamura et al, 2007). Penggunaan methimazole
pada kehamilan terutama trimester pertama tidak
direkomendasikan karena efek teratogenik methimazole
menyebabkan malformasi kongenital seperti aplasia cutis
dan choanal atresia. Sehingga pada pasien hipertiroidisme
yang sedang hamil trimester pertama yang sedang
mengonsumsi methimazole perlu dilakukan penggantian
terapi ke propylthiouracil. Sedangkan pada ibu menyusui
methimazole terbukti aman diberikan hingga dosis 20 – 30
mg/ hari (Hackmon et al, 2012; Stagnaro-Green et al, 2011).
11
BAB III
PENULISAN RESEP
12
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam penulisan resep harus diperhatikan dari segi struktur dan juga
kelengkapan pada resep tersebut agar apoteker dapat membuat / memberikan obat
dengan tepat kepada sang pasien dan tidak terjadi kesalahpahaman.
4.2 Saran
Dalam penulisan resep harus jelas dan lengkap agar mudah dibaca oleh
petugas kefarmasian dalam pelayanan kesehatan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Sukandar, E.Y., Andrajati, R. Sigit, J.I, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta:
PT.ISFI Penerbitan
14