Anda di halaman 1dari 20

DNA Repair

DNA merupakan sasaran untuk berbagai kerusakan: baik eksternal agent maupun
spontaneous endogenous processes.
Given agent process dapat menimbulkan: radikal bebas, single & double strand breaks,
merusak residu deoxyribose, menginduksi base alterations: mis. Metilasi, perubahan
basa karena proses kimia tertentu.

Kerusakan DNA dapat terjadi karena: metabolismes seluler, eksposur dengan sinar UV,
radiasi ion, eksposur dengan bahan kimia, kesalahan replikasi.
Perbaikan dengan: aktivasi cekpoin pada siklus sel, aktivasi program transkripsi, DNA
repair (direct reversal, base excision repair, nucleotide excision repair, mismatch repair,
double strand break repair, homolog recombination), apoptosis.

Kerusakan DNA diklasifikasikan dalam beberapa cara, yi:


• Modifikasi basa:
- Perubahan kimia
- Ikatan kovalen antara basa yang berdekatan
- Kehilangan basa
• Intrastrand cross-linking, mencegah replikasi dan transkripsi DNA
• Kerusakan DNA tipe tiga
- Kerusakan strand DNA, yang paling hebat yaitu kerusakan double-strand DNA (DSBs)
--> DNA-nya putus.

Pada deaminasi C. C mengalami deaminase sehingga menjadi U. Maka pada saat DNA
replikasi G diganti A. Setelah replikasi terjadi mutasi (seharusnya G diganti U).
Pasangannya mengalami deaminasi sehingga pasangannya diganti. Atau dengan
merubah U menjadi C sementara G tetap. -->Poin mutation: perubahan 1 basa.
Depurinasi A. Kehilangan A: mutasinya dengan memotong (kehilangan 1 basa) atau
mengganti pasangan yang hilang.

Abnormalitas dari DNA repair bisa menyebabkan cancer dan penuaan.

Beberapa cara untuk repair


- Single step reactions, direct reversal (langsung diganti) dengan single enzyme seperti
photolyase atau O-6-methyl-DNA-alkyltransferase.
- Single and multi-step base excision repair mechanisms. (glikosilasis)
- Multi-step reaction

DNA repair dikelompokkan menjadi 3 cara:


- Damage reversal: langsung digantikan
- Damage removal: dihilangkan
- Damage tolerance: mentoleransi kesalahan

Damage reversal
- Cara mudah untuk memperbaiki DNA
- Enzim yang mereparasi tidak perlu memotong DNA tetapi hanya menggantikan saja
(pada proof reading).
- Photorectivation merupakan contoh damage reversal .

Kalau terjadi kesalahan, missal DNA polymerase melakukan kesalahan sehingga timbul
misincorporated nucleotide sehingga kalau tidak sesuai (mis. Harusnya G dipasang A)
maka akan timbul tonjolan, sehingga proof reading akan mundur karena memiliki
exonuclease activity, membetulkan kesalahan dan selanjutnya maju lagi.

Damage removal
Lebih kompleks karena melibatkan replacing (penggantian) dengan dipotong-potong.
Ada tiga tipe damage removal, yaitu:
• Base excision repair, hanya 1 basa yang rusak dan digantikan dengan yang lain.
• Mismatch repair, penggantian basa yang tidak sesuai yang dilakukan dengan enzim.
• Nucleotide excision repair, memotong pada salah satu segmen DNA yang mengalami
kerusakan.

Base Excision repair


Uracil (U) dipotong (Glycosylase) --> dikeluarkan (phosphodiesterase) --> diganti (DNA
polymerase) dengan C --> ditempelkan (ligase)

Nucleotide Excision repair


Kesalahannya pyrimidine dimer (kesalahan 2 basa tetangga), maka yang dilakukan
dengan memotong pada satu tempat tertentu dan dilepas oleh DNA helicase,
selanjutnya DNA polymerase dan DNA ligase bekerja untuk memperbaikinya.

Pada mismatch proofreading karena kesalahan pada kedua strand sehingga harus
dipotong-potong.

Damage tolerance dilakukan bila kesalahan tidak dapat diperbaiki sehingga kesalahan
terpaksa ditoleransi dan yang terpotong adalah kedua strand. Ada 2 cara:
- Homolongous recombination (HR), menggunakan sister kromatid untuk memperbaiki
kerusakan. Pada cara ini tidak akan terjadi delesi.
- Non homologous end joining (NHEJ), bila putusnya tidak sama makan akan diratakan
dulu dengan eksonukleuse, kemudian ada enzim tertentu yang bekerja dan akan
menggabungkan. Tetapi akan terjadi delesi.

Lebih lanjut tentang: Dna repair / perbaikan DNA


Replikasi DNA adalah proses penggandaan rantai
ganda DNA. Pada sel, replikasi DNA terjadi
sebelum pembelahan sel. Prokariota terus-menerus
melakukan replikasi DNA. Pada eukariota, waktu
terjadinya replikasi DNA sangatlah diatur, yaitu pada
fase S siklus sel, sebelum mitosis atau meiosis I.
Penggandaan tersebut memanfaatkan enzim DNA
polimerase yang membantu pembentukan ikatan
antara nukleotida-nukleotida penyusun polimer DNA.
Proses replikasi DNA dapat pula dilakukan in
vitro dalam proses yang disebut reaksi berantai
polimerase (PCR).
Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Garpu replikasi
o 1.1 Pembentukan leading strand
o 1.2 Pembentukan lagging strand
o 1.3 Dinamika pada garpu replikasi
 2 Replikasi di prokariota dan eukariota
o 2.1 Replikasi DNA prokariota
o 2.2 Replikasi DNA eukariota
 3 Pengaturan replikasi
 4 Rujukan
 5 Lihat pula

[sunting]Garpu replikasi
Garpu replikasi atau cabang replikasi (replication fork)
ialah struktur yang terbentuk ketika DNA bereplikasi.
Garpu replikasi ini dibentuk akibat enzim helikaseyang
memutus ikatan-ikatan hidrogen yang menyatukan
kedua untaian DNA, membuat terbukanya untaian
ganda tersebut menjadi dua cabang yang masing-
masing terdiri dari sebuah untaian tunggal DNA.
Masing-masing cabang tersebut menjadi "cetakan"
untuk pembentukan dua untaian DNA baru
berdasarkan urutan nukleotida komplementernya.
DNA polimerase membentuk untaian DNA baru
dengan memperpanjang oligonukleotida yang dibentuk
oleh enzim primasedan disebut primer.
DNA polimerase membentuk untaian DNA baru
dengan menambahkan nukleotida—dalam hal ini,
deoksiribonukleotida—ke ujung 3'-hidroksil bebas
nukleotida rantai DNA yang sedang tumbuh. Dengan
kata lain, rantai DNA baru disintesis dari arah 5'→3',
sedangkan DNA polimerase bergerak pada DNA
"induk" dengan arah 3'→5'. Namun demikian, salah
satu untaian DNA induk pada garpu replikasi
berorientasi 3'→5', sementara untaian lainnya
berorientasi 5'→3', dan helikase bergerak membuka
untaian rangkap DNA dengan arah 5'→3'. Oleh karena
itu, replikasi harus berlangsung pada kedua arah
berlawanan tersebut.

Replikasi DNA. Mula-mula, heliks ganda DNA (merah) dibuka menjadi dua untai tunggal oleh
enzim helikase (9) dengan bantuan topoisomerase (11) yang mengurangi tegangan untai DNA.
Untaian DNA tunggal dilekati oleh protein-protein pengikat untaian tunggal (10) untuk
mencegahnya membentuk heliks ganda kembali. Primase (6) membentuk oligonukleotida RNA
yang disebut primer (5) dan molekul DNA polimerase (3 & 8) melekat pada seuntai tunggal DNA
dan bergerak sepanjang untai tersebut memperpanjang primer, membentuk untaian tunggal
DNA baru yang disebutleading strand (2) dan lagging strand (1). DNA polimerase yang
membentuk lagging strand harus mensintesis segmen-segmen polinukleotida diskontinu (disebut
fragmen Okazaki (7)). Enzim DNA ligase (4) kemudian menyambungkan potongan-
potongan lagging strand tersebut.

[sunting]Pembentukan leading strand


Pada replikasi DNA, untaian pengawal (leading strand)
ialah untaian DNA yang disintesis dengan arah 5'→3'
secara berkesinambungan. Pada untaian ini, DNA
polimerase mampu membentuk DNA menggunakan
ujung 3'-OH bebas dari sebuah primer RNA dan
sintesis DNA berlangsung secara berkesinambungan,
searah dengan arah pergerakan garpu replikasi.
[sunting]Pembentukan lagging strand
Lagging strand ialah untaian DNA yang terletak pada
sisi yang berseberangan dengan leading strand pada
garpu replikasi. Untaian ini disintesis dalam segmen-
segmen yang disebut fragmen Okazaki. Pada untaian
ini, primase membentuk primer RNA. DNA polimerase
dengan demikian dapat menggunakan gugus OH 3'
bebas pada primer RNA tersebut untuk mensintesis
DNA dengan arah 5'→3'. Fragmen primer RNA
tersebut lalu disingkirkan (misalnya dengan RNase H
dan DNA Polimerase I) dan deoksiribonukleotida baru
ditambahkan untuk mengisi celah yang tadinya
ditempati oleh RNA. DNA ligase lalu menyambungkan
fragmen-fragmen Okazaki tersebut sehingga
sintesis lagging strand menjadi lengkap.
[sunting]Dinamika pada garpu replikasi
Bukti-bukti yang ditemukan belakangan ini
menunjukkan bahwa enzim dan protein yang terlibat
dalam replikasi DNA tetap berada pada garpu replikasi
sementara DNA membentuk gelung untuk
mempertahankan pembentukan DNA ke dua arah. Hal
ini merupakan akibat dari interaksi antara DNA
polimerase, sliding clamp, dan clamp loader.
Sliding clamp pada semua jenis makhluk hidup
memiliki struktur serupa dan mampu berinteraksi
dengan berbagai DNA polimerase prosesif maupun
non-prosesif yang ditemukan di sel. Selain itu, sliding
clamp berfungsi sebagai suatu faktor prosesivitas.
Ujung-C sliding clampmembentuk gelungan yang
mampu berinteraksi dengan protein-protein lain yang
terlibat dalam replikasi DNA (seperti DNA polimerase
danclamp loader). Bagian dalam sliding
clamp memungkinkan DNA bergerak
melaluinya. Sliding clamp tidak membentuk interaksi
spesifik dengan DNA. Terdapat lubang 35A besar di
tengah clamp ini. Lubang tersebut berukuran sesuai
untuk dilalui DNA dan air menempati tempat sisanya
sehingga clamp dapat bergeser pada sepanjang DNA.
Begitu polimerase mencapai ujung templat atau
mendeteksi DNA berutas ganda (lihat di
bawah), sliding clamp mengalami perubahan
konformasi yang melepaskan DNA polimerase.
Clamp loader merupakan protein bersubunit banyak
yang mampu menempel pada sliding clamp dan DNA
polimerase. Dengan hidrolisis ATP, clamp
loader terlepas dari sliding clamp sehingga DNA
polimerase menempel pada sliding clamp. Sliding
clamp hanya dapat berikatan pada polimerase selama
terjadinya sintesis utas tunggal DNA. Jika DNA rantai
tunggal sudah habis, polimerase mampu berikatan
dengan subunit pada clamp loader dan bergerak ke
posisi baru pada lagging strand. Pada leading
strand, DNA polimerase III bergabung dengan clamp
loader dan berikatan dengan sliding clamp.
[sunting]Replikasi di prokariota dan eukariota

[sunting]Replikasi DNA prokariota


Replikasi DNA kromosom prokariota, khususnya
bakteri, sangat berkaitan dengan siklus
pertumbuhannya. Daerah ori pada E. coli, misalnya,
berisi empat buah tempat pengikatan protein inisiator
DnaA, yang masing-masing panjangnya 9 pb. Sintesis
protein DnaA ini sejalan dengan laju pertumbuhan
bakteri sehingga inisiasi replikasi juga sejalan dengan
laju pertumbuhan bakteri. Pada laju pertumbuhan sel
yang sangat tinggi; DNA kromosom prokariota dapat
mengalami reinisiasi replikasi pada dua ori yang baru
terbentuk sebelum putaran replikasi yang pertama
berakhir. Akibatnya, sel-sel hasil pembelahan akan
menerima kromosom yang sebagian telah bereplikasi.
Protein DnaA membentuk struktur kompleks yang
terdiri atas 30 hingga 40 buah molekul, yang masing-
masing akan terikat pada molekul ATP. Daerah ori
akan mengelilingi kompleks DnaA-ATP tersebut.
Proses ini memerlukan kondisi superkoiling negatif
DNA (pilinan kedua untai DNA berbalik arah sehingga
terbuka). Superkoiling negatif akan menyebabkan
pembukaan tiga sekuens repetitif sepanjang 13 pb
yang kaya dengan AT sehingga memungkinkan
terjadinya pengikatan protein DnaB, yang merupakan
enzim helikase, yaitu enzim yang akan menggunakan
energi ATP hasil hidrolisis untuk bergerak di
sepanjang kedua untai DNA dan memisahkannya.
Untai DNA tunggal hasil pemisahan oleh helikase
selanjutnya diselubungi oleh protein pengikat untai
tunggal atau single-stranded binding protein (Ssb)
untuk melindungi DNA untai tunggal dari kerusakan
fisik dan mencegah renaturasi. Enzim DNA primase
kemudian akan menempel pada DNA dan menyintesis
RNA primer yang pendek untuk memulai atau
menginisiasi sintesis pada untai pengarah. Agar
replikasi dapat terus berjalan menjauhi ori, diperlukan
enzim helikase selain DnaB. Hal ini karena
pembukaan heliks akan diikuti oleh pembentukan
putaran baru berupa superkoiling positif. Superkoiling
negatif yang terjadi secara alami ternyata tidak cukup
untuk mengimbanginya sehingga diperlukan enzim
lain, yaitu topoisomerase tipe II yang disebut
dengan DNA girase. Enzim DNA girase ini merupakan
target serangan antibiotik sehingga pemberian
antibiotik dapat mencegah berlanjutnya replikasi
DNA bakteri.
Seperti telah dijelaskan di atas, replikasi DNA terjadi
baik pada untai pengarah maupun pada untai
tertinggal. Pada untai tertinggal suatu kompleks yang
disebut primosom akan menyintesis sejumlah RNA
primer dengan interval 1.000 hingga 2.000 basa.
Primosom terdiri atas helikase DnaB dan DNA
primase.
Primer baik pada untai pengarah maupun pada untai
tertinggal akan mengalami elongasi dengan bantuan
holoenzim DNA polimerase III. Kompleks multisubunit
ini merupakan dimer, separuh akan bekerja pada untai
pengarah dan separuh lainnya bekerja pada untai
tertinggal. Dengan demikian, sintesis pada kedua untai
akan berjalan dengan kecepatan yang sama.
Masing-masing bagian dimer pada kedua untai
tersebut terdiri atas subunit a, yang mempunyai fungsi
polimerase sesungguhnya, dan subunit e, yang
mempunyai fungsi penyuntingan
berupaeksonuklease 3’– 5’. Selain itu, terdapat subunit
b yang menempelkan polimerase pada DNA.
Begitu primer pada untai tertinggal dielongasi oleh
DNA polimerase III, mereka akan segera dibuang dan
celah yang ditimbulkan oleh hilangnya primer tersebut
diisi oleh DNA polimerase I, yang mempunyai aktivitas
polimerase 5’ – 3’, eksonuklease 5’ – 3’, dan
eksonuklease penyuntingan 3’ – 5’. Eksonuklease 5’ -
3’ membuang primer, sedangkan polimerase akan
mengisi celah yang ditimbulkan. Akhirnya, fragmen-
fragmen Okazaki akan dipersatukan oleh enzim DNA
ligase. Secara in vivo, dimer holoenzim DNA
polimerase III dan primosom diyakini membentuk
kompleks berukuran besar yang disebut dengan
replisom. Dengan adanya replisom sintesis DNA akan
berlangsung dengan kecepatan 900 pb tiap detik.
Kedua garpu replikasi akan bertemu kira-kira pada
posisi 180 °C dari ori. Di sekitar daerah ini terdapat
sejumlah terminator yang akan menghentikan gerakan
garpu replikasi. Terminator tersebut antara lain berupa
produk gen tus, suatu inhibitor bagi helikase DnaB.
Ketika replikasi selesai, kedua lingkaran hasil replikasi
masih menyatu. Pemisahan dilakukan oleh
enzim topoisomerase IV. Masing-masing lingkaran
hasil replikasi kemudian disegregasikan ke dalam
kedua sel hasil pembelahan.
[sunting]Replikasi DNA eukariota
Pada eukariota, replikasi DNA hanya terjadi pada fase
S di dalam interfase. Untuk memasuki fase S
diperlukan regulasi oleh sistem protein kompleks yang
disebut siklin dan kinase tergantung siklin atau cyclin-
dependent protein kinases (CDKs), yang berturut-turut
akan diaktivasi oleh sinyal pertumbuhan yang
mencapai permukaan sel. Beberapa CDKs akan
melakukan fosforilasi dan mengaktifkan protein-protein
yang diperlukan untuk inisiasi pada masing-masing ori.
Berhubung dengan kompleksitas struktur kromatin,
garpu replikasi pada eukariota bergerak hanya dengan
kecepatan 50 pb tiap detik. Sebelum melakukan
penyalinan, DNA harus dilepaskan
darinukleosom pada garpu replikasi sehingga gerakan
garpu replikasi akan diperlambat menjadi sekitar 50 pb
tiap detik. Dengan kecepatan seperti ini diperlukan
waktu sekitar 30 hari untuk menyalin molekul DNA
kromosom pada kebanyakan mamalia.
Sederetan sekuens tandem yang terdiri atas 20 hingga
50 replikon mengalami inisiasi secara serempak pada
waktu tertentu selama fase S. Deretan yang
mengalami inisasi paling awal adalaheukromatin,
sedangkan deretan yang agak lambat
adalah heterokromatin.
Daerah sentromer dan telomer dari DNA bereplikasi
paling lambat. Pola semacam ini mencerminkan
aksesibilitas struktur kromatin yang berbeda-beda
terhadap faktor inisiasi.
Seperti halnya pada prokariota, satu atau beberapa
DNA helikase dan Ssb yang disebut dengan protein
replikasi A atau replication protein A (RP-A) diperlukan
untuk memisahkan kedua untai DNA. Selanjutnya, tiga
DNA polimerase yang berbeda terlibat dalam elongasi.
Untai pengarah dan masing-masing fragmen untai
tertinggal diinisiasi oleh RNA primer dengan bantuan
aktivitas primase yang merupakan bagian integral
enzim DNA polimerase a. Enzim ini akan
meneruskan elongasi replikasi tetapi kemudian segera
digantikan oleh DNA polimerase d pada untai
pengarah dan DNA polimerase e pada untai tertinggal.
Baik DNA polimerase d maupun e mempunyai fungsi
penyuntingan. Kemampuan DNA polimerase d untuk
menyintesis DNA yang panjang disebabkan oleh
adanya antigenperbanyakan nuklear sel atau
proliferating cell nuclear antigen (PCNA), yang
fungsinya setara dengan subunit b holoenzim DNA
polimerase III pada E. coli. Selain terjadi penggandaan
DNA, kandunganhiston di dalam sel juga mengalami
penggandaan selama fase S.
Mesin replikasi yang terdiri atas semua enzim dan
DNA yang berkaitan dengan garpu replikasi akan
diimobilisasi di dalam matriks nuklear. Mesin-mesin
tersebut dapat divisualisasikan menggunakan
mikroskop dengan melabeli DNA yang sedang
bereplikasi. Pelabelan dilakukan menggunakan
analog timidin, yaitu bromodeoksiuridin (BUdR), dan
visualisasi DNA yang dilabeli tersebut dilakukan
dengan imunofloresensi menggunakan antibodi yang
mengenali BUdR.
Ujung kromosom linier tidak dapat direplikasi
sepenuhnya karena tidak ada DNA yang dapat
menggantikan RNA primer yang dibuang dari ujung 5’
untai tertinggal. Dengan demikian, informasi genetik
dapat hilang dari DNA. Untuk mengatasi hal ini, ujung
kromosom eukariota (telomer) mengandung beratus-
ratus sekuens repetitif sederhana yang tidak berisi
informasi genetik dengan ujung 3’ melampaui ujung 5’.
Enzim telomerase mengandung molekul RNA pendek,
yang sebagian sekuensnya komplementer dengan
sekuens repetitif tersebut. RNA ini akan bertindak
sebagai cetakan (templat) bagi penambahan sekuens
repetitif pada ujung 3’.
Hal yang menarik adalah bahwa
aktivitas telomerase mengalami penekanan di dalam
sel-sel somatis pada organisme multiseluler, yang
lambat laun akan menyebabkan pemendekan
kromosom pada tiap generasi sel. Ketika pemendekan
mencapai DNA yang membawa informasi genetik, sel-
sel akan menjadi layu dan mati. Fenomena ini diduga
sangat penting di dalam proses penuaan sel. Selain
itu, kemampuan penggandaan yang tidak terkendali
pada kebanyakan sel kanker juga berkaitan dengan
reaktivasi enzim telomerase.
[sunting]Pengaturan replikasi

Bagian ini membutuhkanpengembangan.

[sunting]Rujukan

1. ^ (en)Geoffrey M. Cooper (2000). The Cell - A Molecular Approach (edisi ke-2).


Sunderland (MA): Sinauer Associates. hlm. Heredity, Genes, and DNA. ISBN 0-
87893-106-6. Diakses pada 13 Agustus 2010.
2. ^ (en)Geoffrey M. Cooper (2000). The Cell - A Molecular Approach (edisi ke-2).
Sunderland (MA): Sinauer Associates. hlm. Figure 3.8. Semiconservative
replication of DNA. ISBN 0-87893-106-6. Diakses pada 13 Agustus 2010.
[sunting]

TEKNOLOGI GENETIKA

Ilmu genetika yang mendasari perbaikan

genetik varietas tergolong ilmu yang muda dibandingkan dengan disiplin ilmu

yang lain. Namun, penerapan teknologi genetika pada tanaman telah mengakibatkan

terjadinya revolusi budi daya pertanian di

seluruh dunia. Revolusi hijau yang terjadi

pada tahun 1970-an dalam produksi serealia

dimotori oleh penggunaan varietas unggul

sebagai aplikasi teknologi genetika. Perbaikan yang diperoleh tidak saja dalam hal

daya hasil, tetapi juga peningkatan stabilitas produksi oleh adanya gen-gen ketahanan hama-
penyakit, peningkatan adap-tasi pada lingkungan berkendala, kesesuaian umur panen terhadap
sistem usaha

tani, dan peningkatan respons terhadap

pupuk dan pengairan. Dengan adanya

perbaikan sifat genetik tersebut, usaha tani

tanaman pangan telah berubah dari usaha

subsisten menjadi usaha komersial.

Penerapan teknologi genetika memiliki

keuntungan dan kelebihan khusus karena

tidak memerlukan modal besar, bahan bakunya tersedia di alam, teknologinya mudah dikuasai, serta
tidak menimbulkan limbah yang mencemari lingkungan. Indonesia sebagai negara agraris,
seyogianya

memanfaatkan teknologi genetika tersebut

untuk mendukung pembangunan pertanian dalam arti yang seluas-luasnya. Pada


waktu kini diperlukan peningkatan kesadaran akan pentingnya peningkatan penelitian genetika, baik
sebagai ilmu dasar

maupun sebagai teknologi terapan untuk

memanfaatkan kekayaan sumber daya genetik Indonesia.

Teknologi genetika dalam bahasan ini

diartikan sebagai semua teknik yang berkaitan dengan usaha perbaikan konstruksi

genetik tanaman guna meningkatkan kemampuan varietas tanaman dalam hal

produktivitas, ketahanan terhadap hamapenyakit, stabilitas, kualitas maupun adaptabilitas tanaman.


Berbagai teknik genetika telah dikembangkan dalam kurun

waktu 75 tahun terakhir, yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 10 teknik, yaitu: (1)
aklimatisasi dan adaptasi gen;

(2) rekombinasi dan fiksasi gen melalui

hibridisasi; (3) alterasi gen dengan mutasi;

(4) alterasi kromosom; (5) ploidisasi; (6)

alterasi genom; (7) introgresi plasma nutfah

asing; (8) substitusi sitoplasma; (9) rekayasa genetik; dan (10) kombinasi jaringan

somatik. Penerapan masing-masing teknik

genetika tersebut dalam program perbaikan

varietas barulah merupakan tahap pertama,

yang perlu diikuti oleh tahapan seleksi dan

uji daya hasil, adaptasi, stabilitas sifat, mutu hasil, preferensi konsumen, serta uji

sifat-sifat lain. Dengan demikian, secara

keseluruhan proses perakitan varietas unggul memerlukan waktu yang relatif lama.

Bahasan dan uraian masing-masing teknik

genetika tersedia pada buku-buku teks, antara lain yang ditulis oleh Fehr (1987a) dan

Simmonds (1979). Pemilihan berbagai

alternatif teknik genetika tersebut untuk

perbaikan varietas tanaman ditentukan

oleh sifat biologi tanaman, cara penyerbukan, cara perbanyakan benih, bentuk
varietas, serta peralatan dan tenaga ahli

yang tersedia.

Adaptasi dan aklimatisasi genotipe,

teknik rekombinasi dan fiksasi gen, serta

teknik alterasi gen telah banyak diterapkan

dalam perbaikan genetik tanaman pangan,

termasuk kedelai. Berbagai prosedur seleksi dan bentuk varietas yang berkaitan

dengan teknik tersebut dapat dipilih sesuai

dengan spesies tanamannya. Sebagian besar varietas unggul yang ada pada saat ini

dikembangkan dengan teknik-teknik tersebut.

Teknik alterasi kromosom dimanfaatkan untuk mendapatkan sifat tahan penyakit karat pada terigu,
dengan cara menyisipkan sepotong kecil kromosom terigu liar

(Aegilops sp.) pada kromosom terigu budi

daya (Sears 1956; Riley et al. 1968). Dengan

menggunakan translokasi kromosom yang

mengandung gen mandul jantan Msms,

Patherson (1978) menyarankan alternatif

pembentukan galur betina mandul jantan

pada pembuatan hibrida jagung dengan

teknik sitogenetik. Teknik ini pun berpeluang untuk diterapkan pada pembentukan galur betina
(mandul jantan) pada

hibrida padi.

Ploidisasi bermanfaat dalam persilangan antarspesies guna memperoleh turunanyang fertil.


Persilangan Triticum sp. (4x)

dengan Secale sp. (2x) menghasilkan

keturunan genotipe (3x) yang steril, tetapi

setelah kromosomnya digandakan menjadi heksaploid yang fertil menghasilkan

spesies baru Triticale (6x) yang stabil.

Ramage (1965) mengusulkan teknik


modifikasi genom untuk membentuk hibrida pada tanaman menyerbuk sendiri, dengan cara
memasukkan gen mandul jantan

Ms pada genom Trisomik (2x+1A). Penambahan satu kromosom yang mengandung gen Ms
mengakibatkan polen steril

sehingga galur berfungsi sebagai betina.

Introgresi 1-3% gen dari plasma nutfah

liar ke dalam genom varietas unggul dilaporkan dapat meningkatkan potensi hasil

kedelai (Schoener and Fehr 1979; Sumarno 1988). Substitusi sitoplasma varietas

unggul oleh sitoplasma varietas liar juga

sering dimanfaatkan untuk memperoleh

ketahanan terhadap penyakit atau sifat

jantan mandul yang dapat dimanfaatkan

pada pembuatan hibrida.

TERAPI GEN UNTUK PENYAKIT OSTEOPOROSIS

Bioteknologi adalah pemanfaatan prinsip-prinsip ilmiah dengan menggunakan mahluk


hidup untuk menghasilkan produk atau jasa guna kepentingan manusia. Setelah orang
mengetahui bahwa sifat-sifat mahluk hidup dikendalikan gen, maka bekembanglah
teknologi untuk memanipulasi gen (rekayasa genetika) untuk mendapatkan sifat yang
diinginkan manusia. Di dalam rekayasa genetika, orang dapat memotong dan
menyambung gen untuk mendapatkan sifat baru yang di inginkan. Dalam memotong
dan menyambung gen, enzim pemotong (enzim restriksi endonuklease) dan enzim
penyambung ( ligase ) memiliki peranan yang penting.

Memanipulasi sifat genetik ini dilakukan dengan menambah atau mengurangi DNA.
Menggabungkan dua DNA dari dua sumber yang berbeda dikenal sebagai rekombinasi
DNA. DNA sebagai hasil rekombinasi sebagai DNA rekombinan. Selanjutnya DNA inilah
yang akan mengatur sifat-sifat mahluk hidup tersebut secara turun -temurun. Dengan
demikian mengubah sifat mahluk hidup dapat lakukan dengan merubah DNA yang
dikandungnya.

Melalui rekombinasi DNA, orang dapat menyambung-nyambung gen sehingga diperoleh


individu baru yang diinginkan, gen-gen tersebut misalnya gen penambat nitrogen, gen
penangkal penyakit, gen penghasil protein, dan gen penghasil hormon. Di bidang
kedokteran telah berhasil di produksi antibodi monoklonal, terapi genetika, pembuatan
antibiotik baru dan vaksin jenis baru.

Terapi gen merupakan upaya untuk memperbaiki atau mengontrol ekpresi gen yang
merugikan bagi mahluk hidup. Terapi gen memerlukan pengenalan spesifik tentang gen
yang memiliki fungsi dalam sel, yang bertujuan untuk pencegahan atau pengobatan.
Terapi gen dapat dilakukan pada sel secara in-vitro, kemudian sel yg diterapi di
masukan ke pasien secara in-vivo.
Terapi gen digunakan untuk beberapa tujuan: (1) Penggantian gen yang menyebabkan
penyakit menurun (genetik), (2) Memodifikasi respon kekebalan, (3) Imunisasi untuk
melawan penyakit yang cepat menyebar.

Di dalam perancangan strategi terapi gen materi utama yang perlu diselidiki dan
dioptimasi adalah: (1) Perlakuan yang sesuai dengan karakteristik biologi dari
jaringan dan sel, (2) Vektor gen (viral atau non-viral), (3) Rute administrasi paling
efektif dan aman, serta ketahanan dari ekspresi transgen.

Sebelum terapi gen dicobakan untuk penyakit tertentu pada manusia, studi praklinis
diharapkan dilakukan dalam suatu model percobaan yang sesuai untuk meyakinkan
kelayakan, efisiensi dan keselamatan.

Untuk penggunaannya pada setiap penyakit, perbandingan resiko dengan keuntungan


harus ditentukan. Ijin dari instansi terkait, misalnyaInstitutional Review Board (IRB) dan
informasi yang jelas juga sangat penting. Walaupun terapi gen sangat menjanjikan
untuk digunakan pada berbagai penyakit manusia, namun masih terlalu awal untuk
meramalkan tingkat keberhasilan penggunaannya pada penyakit manusia.

Salah satu penyakit yang dapat disembuhkan melalui terapi gen adalah osteoporosis.
Osteoporosis merupakan suatu penyakit pengeroposan sel-sel tulang, yang
mengakibatkan kerapuhan tulang. Osteoporosis lebih umum terjadi pada wanita yang
sudah tua dibandingkan dengan pria yang sudah tua. Hal ini disebabkan kekurangan
hormon estrogen pada masa menopause yang menyebabkan peningkatan kerusakan
tulang. Pada masa menopause pembentukan sel-sel tulang lebih sedikit sehingga tulang
akan semakin keropos atau rusak. Karena itulah kasus penyakit osteoporosis lebih sering
terjadi pada wanita. Kekurangan estrogen mengakibatkan sel-sel tulang semakin cepat
terserap darah, sehingga menyebabkan tulang menjadi keropos. Tingkat osteoporosis
semakin meningkat seiring dengan dimulainya masa menopause. Selain karena
menopause, jenis makanan yang dikonsumsi, aktivitas fisik, dan faktor genetik juga
mempengaruhi osteoporosis.

Tingkat kepadatan dari sel –sel tulang dipengaruhi faktor genetik. Seiring dengan
perkembangan teknologi, diharapkan pengetahuan tentang informasi genetik semakin
berkembang dan didapatkan algoritma gen untuk lebih mengetahui cara terapi gen pada
penyakit osteoporosis. Melalui informasi genetik atau DNA, dapat diketahui gen – gen
yang diduga membawa penyakit osteoporosis sehingga resiko terjadinya osteoporosis
dapat diperkecil. Dua pendekatan klinis utama yang sekarang ini digunakan untuk
mengidentifikasi gen membawa penyakit osteoporosis: (1) Pemeriksaan genom keluarga
secara lengkap dengan menggunakan analisis kekerabatan; (2) Studi analis gen
pembawa osteoporosis di dalam suatu populasi.

Banyak penderita osteoporosis yang menggunakan obat – obatan untuk mengurangi sel
– sel tulang yang rusak. Namun obat ini tidak terlalu efektif dan memberikan reaksi yang
berbeda pada tiap-tiap orang. Pada pengobatan osteoporosis, dapat digunakan terapi
gen yang akan memperbaiki sel tulang yang rusak dan melalui terapi gen yang tepat
sasaran, tidak akan menimbulkan efek samping.

Salah satu agen terapi gen adalah agen osteogenic , dimana agen osteogenic ini
mengkode protein osteogenic. Sel – sel tulang memiliki kemampuan untuk beregenerasi,
hal inilah yang membuat agen osteogenic sangat potensial dalam terapi gen
osteoporosis. Penelitian pada manusia dan studi praklinis menunjukkan bahwa terapi
gen dengan menggunakan agen osteogenic dapat digunakan untuk mengobati
osteoporosis. Sel dari sistem urogenital dapat menstimulasi pembentukan tulang. Agen
osteogenic dimasukkan ke dalam sel bersama dengan gen faktor tumbuh, kemudian sel
tersebut disuntik ke sumsum tulang atau pada tulang yang mengalami osteoporosis,
sehingga menstimulasi pembentukan tulang pada daerah itu. Karena beberapa faktor
tumbuh berpengaruh pada proses proliferasi dan diferensiasi dari osteoblast pada proses
pembentukan tulang, maka diperlukan beberapa gen yang dapat mengkode faktor –
faktor tumbuh tersebut agar terapi gen ini mendapatkan hasil yang optimum.

Dalam upaya terapi osteoporosis ini, agen osteogenik, yaitu fluorida bersama gen faktor
tumbuh (insulin-like growth factor 1) dimasukkan ke dalam sel. Gen faktor tumbuh ini
menstimulasi fosforilasi tirosin yang kemudian merangsang pembentukan sel tulang,
pembentukan sel tulang ini biasanya dihambat oleh phospotyrosyl protein
phosphatase. Namun dengan adanya agen osteogenik, proses penghambatan sel tulang
baru oleh phospotyrosyl protein phosphatase akan dihambat oleh fluoride. Sehingga
proses pembentukan sel tulang baru dapat berjalan dengan baik.

Untuk melakukan terapi gen yang dapat memperbaharui keseluruhan tulang yang
mengalami osteoporosis dibutuhkan pengembangan pengetahuan akan gen. Hal ini
berhubungan erat dengan faktor tumbuh agar terapi gen ini tidak menimbulkan efek
samping yang tidak diinginkan. Antibodi monoklonal telah dikembangkan secara rinci
untuk mengidentifikasi preosteoblasts dan membedakan osteoblasts, dan antibodi
monoklonal tambahan digunakan untuk membedakan tahap-tahap diferensiasi
osteoblast.

Agar dalam proses terapi gen dapat berhasil, dibutuhkan penentuan gen yang spesifik
bagi suatu tempat, seperti pinggul, yang merupakan salah satu lokasi rentan terhadap
penyakit osteoporosis. Aspek lain dari terapi gen yang perlu dikembangkan adalah
vektor yang dapat membantu tercapainya proses terapi gen untuk mencapai hasil yang
diinginkan.

TINJAUAN ETIS

Pandangan Antroposentris

Pada intinya, tujuan dari rekayasa genetika adalah mereka – reka bagaimana gen itu
didapat secara “sempurna” sesuai yang diinginkan oleh perekanya (manusia). Langkah
ini diambil sebagai jalan yang dianggap salah satu langkah yang tepat oleh manusia.
Begitu ragam keganjilan (kelainan) gen yang ditemui dan tidak diingini oleh manusia.
Oleh sebab itu, dengan akal budinya manusia mengambil langkah untuk mencoba
mengatasi kelainan gen itu dengan memodifikasinya. Suatu keadaan keganjilan gen itu
tidak akan berubah sendiri menjadi “sempurna“ seperti yang diingini manusia apabila
tidak direka – reka oleh manusia.

Kemungkinan lain ialah bahwa manusia menemui suatu penyakit yang dianggap
berbahaya dan menurun, maka untuk “mengalahkan“ penyakit itu yaitu dengan cara
memodifikasi gen, sehingga langkah mereka-reka gen ini dianggap langkah yang tepat
dan menguntungkan. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa manusia merekayasa
gen ini juga disebabkan oleh keingintahuannya tentang fenomena-fenomena gen
manusia yang selama ini dianggap sebagai penerus/pembawa sifat-sifat dari manusia itu
sendiri. Oleh sebab itu, dengan studi merekayasa gen nantinya akan diperoleh tujuan
yang diingini manusia. Misalnya gen dengan fenotipe kulit keriput, berpenyakit (segala
sifat yang tidak diingini manusia) dan gen pembawa sifat genotip: penyakit menurun
seperti hemofili, epilepsi dan hepatitis B. Gen – gen pembawa sifat seperti yang
disebutkan dalam contoh tersebut dihilangkan dan diganti dengan gen–gen pembawa
sifat yang diinginkan seperti: pintar dan ganteng.

Terkhusus pada kasus dalam makalah ini, yakni mengenai bagaimana mengatasi
pengeroposan tulang (osteoporosis) akibat penurunan hormon estrogen. Seperti kita
ketahui bahwa pada wanita yang sudah menopause, hormon ini mengalami penurunan
yang sangat signifikan. Apalagi bila tidak diimbangi dengan kegiatan – kegiatan fisik dan
olahraga. Dengan terapi gen ini, akan diusahakan permasalahan pengeroposan tulang
akan dapat teratasi. Dari uraian makalah ini bila ditinjau dari tujuan terhadap manusia,
maka langkah terapi gen adalah baik. Dalam langkah rekayasa gen ( terapi gen ) ini
tidak bermaksud hendak “melawan“ kodrati yang telah ada namun hanya bagaimana
manusia mengembangkan, memanfaatkan akal budinya untuk berusaha semaksimal
mungkin dalam mengatasi salah satu permasalahan hidupnya (tulang keropos). Namun
sebagai manusia yang berakal budi, tidak menutup kemungkinan bahwa penemuan
terapi gen ini akan ditolak secara universal. Sehingga kesadaran akan terapi gen ini
sejak awal harus disadari mengingat dalam menilai segala sesuatu mengenai baik dan
buruk harus juga mempertimbangkan norma yang ada di masyarakat universal, yaitu :
norma agama, norma sosial.

Pandangan Biosentris

Terapi gen untuk mengatasi osteoporosis, gen donor diambil dari gen mamalia (tikus),
dengan kata lain terapi ini melibatkan organisme lain. Dipihak manusia sudah jelas
menguntungkan, tetapi dipihak tikus belum tentu menguntungkan. Bila pengambilan gen
dari tikus tidak menimbulkan kematian, mungkin terapi gen ini dapat diterima, akan
tetapi bila menimbulkan kematian bagi tikus maka jika ditinjau secara bioetis tidaklah
baik terapi gen ini. Apalagi jika sebelum penggunaan terapi gen ini pada manusia,
terlebih dahulu dilakukan percobaan penggunaan pada tikus dan menimbulkan kematian
tikus tersebut sehingga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan permasalahan
ekologis dalam hal rantai makanan. Apalagi percobaan ini tidak dilakukan sekali tetapi
berulangkali. Secara bioetis, tikus juga memiliki hak hidup.

Sebagai seorang biolog yang mengacu pada etika biologi, tidak dibenarkan menilai
segala sesuatu dari satu sudut tujuan tetapi perlu adanya pertimbangan – pertimbangan
dari sudut atau aspek yang lain. Kita juga perlu menyadari bahwa tanggapan -
tanggapan terhadap penemuan – penemuan ilmiah tidak menutup kemungkinan
menimbulkan penilaian – penilaian setuju atau tidak, artinya bersifat subjektif.
Kebenaran akan selalu menjadi sesuatu yang dipikirkan bagi yang memikirkannya.
Sehingga suatu pembenaran tentang kebenaran ilmiah akan bersifat tidak tetap artinya
kebenaran ilmiah sekarang akan berkemungkinan berbalik diwaktu yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Baylink, D. J. 2000. Current and Future Management of Osteoporosis. The Fortnightly Club
Meeting # 1628. California, 20 January 2000 : 4:00
P.M.http://www.redlandsfortnightly.org/baylink00.htm

Fanti P., Monier M.C., Geng Z., Schmidt J., Morris P.E., Cohen D., Malluche H.H.1998. The
phytoestrogen genistein reduces bone loss in short-term ovariectomized rats.Osteoporos
Int. 1998;8(3):274-81.

http://www.journals.elsevierhealth.com/

periodicals/nmd/article/PIIS0960896697000515/fulltext

Nakajima, D., Kim, C. S., Tae, W. O., Chu, Y. Y., Naka, T., Igawa, S., Ohta, F. 2001.
Suppressive effects of genistein dosage and resistance exercise on bone loss in
ovariectomized rats. Journal of physiological anthropology and applied human
science.http://www.jstage.jst.go.jp/article/jpa/20/5/285/_pdf

Pinheiro, A. L., Limeira, F. A., Gerbi, M. E. M., Ramalho, L. M. P., Marzola, C., Ponzi, E. A. C.
2003. Effect of low level laser therapy on the repair of bone defects grafted with
inorganic bovine bone .Braz. Dent. J. vol.14 no.3 Ribeirão Preto
2003http://www.scielo.br/img/revistas/bdj/v14n3

Sajeda, M., White, P., Nair, S., Reddi,K., Heron, K., Henderson, B., Zaliani, A., Fossati, G.,
Mascagni, P., Hunt, F., Roberts, M., and Coates, A. 1997. Mycobacterium tuberculosis
Chaperonin 10 Stimulates Bone Resorption: A Potential Contributory Factor in Pott's
Disease. J. Exp. Med.Volume 186, Number 8, October 20, 1997 1241-
1246.http://www.jem.org/cgi/

Anda mungkin juga menyukai