Dna Repair Wikipedia
Dna Repair Wikipedia
DNA merupakan sasaran untuk berbagai kerusakan: baik eksternal agent maupun
spontaneous endogenous processes.
Given agent process dapat menimbulkan: radikal bebas, single & double strand breaks,
merusak residu deoxyribose, menginduksi base alterations: mis. Metilasi, perubahan
basa karena proses kimia tertentu.
Kerusakan DNA dapat terjadi karena: metabolismes seluler, eksposur dengan sinar UV,
radiasi ion, eksposur dengan bahan kimia, kesalahan replikasi.
Perbaikan dengan: aktivasi cekpoin pada siklus sel, aktivasi program transkripsi, DNA
repair (direct reversal, base excision repair, nucleotide excision repair, mismatch repair,
double strand break repair, homolog recombination), apoptosis.
Pada deaminasi C. C mengalami deaminase sehingga menjadi U. Maka pada saat DNA
replikasi G diganti A. Setelah replikasi terjadi mutasi (seharusnya G diganti U).
Pasangannya mengalami deaminasi sehingga pasangannya diganti. Atau dengan
merubah U menjadi C sementara G tetap. -->Poin mutation: perubahan 1 basa.
Depurinasi A. Kehilangan A: mutasinya dengan memotong (kehilangan 1 basa) atau
mengganti pasangan yang hilang.
Damage reversal
- Cara mudah untuk memperbaiki DNA
- Enzim yang mereparasi tidak perlu memotong DNA tetapi hanya menggantikan saja
(pada proof reading).
- Photorectivation merupakan contoh damage reversal .
Kalau terjadi kesalahan, missal DNA polymerase melakukan kesalahan sehingga timbul
misincorporated nucleotide sehingga kalau tidak sesuai (mis. Harusnya G dipasang A)
maka akan timbul tonjolan, sehingga proof reading akan mundur karena memiliki
exonuclease activity, membetulkan kesalahan dan selanjutnya maju lagi.
Damage removal
Lebih kompleks karena melibatkan replacing (penggantian) dengan dipotong-potong.
Ada tiga tipe damage removal, yaitu:
• Base excision repair, hanya 1 basa yang rusak dan digantikan dengan yang lain.
• Mismatch repair, penggantian basa yang tidak sesuai yang dilakukan dengan enzim.
• Nucleotide excision repair, memotong pada salah satu segmen DNA yang mengalami
kerusakan.
Pada mismatch proofreading karena kesalahan pada kedua strand sehingga harus
dipotong-potong.
Damage tolerance dilakukan bila kesalahan tidak dapat diperbaiki sehingga kesalahan
terpaksa ditoleransi dan yang terpotong adalah kedua strand. Ada 2 cara:
- Homolongous recombination (HR), menggunakan sister kromatid untuk memperbaiki
kerusakan. Pada cara ini tidak akan terjadi delesi.
- Non homologous end joining (NHEJ), bila putusnya tidak sama makan akan diratakan
dulu dengan eksonukleuse, kemudian ada enzim tertentu yang bekerja dan akan
menggabungkan. Tetapi akan terjadi delesi.
1 Garpu replikasi
o 1.1 Pembentukan leading strand
o 1.2 Pembentukan lagging strand
o 1.3 Dinamika pada garpu replikasi
2 Replikasi di prokariota dan eukariota
o 2.1 Replikasi DNA prokariota
o 2.2 Replikasi DNA eukariota
3 Pengaturan replikasi
4 Rujukan
5 Lihat pula
[sunting]Garpu replikasi
Garpu replikasi atau cabang replikasi (replication fork)
ialah struktur yang terbentuk ketika DNA bereplikasi.
Garpu replikasi ini dibentuk akibat enzim helikaseyang
memutus ikatan-ikatan hidrogen yang menyatukan
kedua untaian DNA, membuat terbukanya untaian
ganda tersebut menjadi dua cabang yang masing-
masing terdiri dari sebuah untaian tunggal DNA.
Masing-masing cabang tersebut menjadi "cetakan"
untuk pembentukan dua untaian DNA baru
berdasarkan urutan nukleotida komplementernya.
DNA polimerase membentuk untaian DNA baru
dengan memperpanjang oligonukleotida yang dibentuk
oleh enzim primasedan disebut primer.
DNA polimerase membentuk untaian DNA baru
dengan menambahkan nukleotida—dalam hal ini,
deoksiribonukleotida—ke ujung 3'-hidroksil bebas
nukleotida rantai DNA yang sedang tumbuh. Dengan
kata lain, rantai DNA baru disintesis dari arah 5'→3',
sedangkan DNA polimerase bergerak pada DNA
"induk" dengan arah 3'→5'. Namun demikian, salah
satu untaian DNA induk pada garpu replikasi
berorientasi 3'→5', sementara untaian lainnya
berorientasi 5'→3', dan helikase bergerak membuka
untaian rangkap DNA dengan arah 5'→3'. Oleh karena
itu, replikasi harus berlangsung pada kedua arah
berlawanan tersebut.
Replikasi DNA. Mula-mula, heliks ganda DNA (merah) dibuka menjadi dua untai tunggal oleh
enzim helikase (9) dengan bantuan topoisomerase (11) yang mengurangi tegangan untai DNA.
Untaian DNA tunggal dilekati oleh protein-protein pengikat untaian tunggal (10) untuk
mencegahnya membentuk heliks ganda kembali. Primase (6) membentuk oligonukleotida RNA
yang disebut primer (5) dan molekul DNA polimerase (3 & 8) melekat pada seuntai tunggal DNA
dan bergerak sepanjang untai tersebut memperpanjang primer, membentuk untaian tunggal
DNA baru yang disebutleading strand (2) dan lagging strand (1). DNA polimerase yang
membentuk lagging strand harus mensintesis segmen-segmen polinukleotida diskontinu (disebut
fragmen Okazaki (7)). Enzim DNA ligase (4) kemudian menyambungkan potongan-
potongan lagging strand tersebut.
[sunting]Rujukan
TEKNOLOGI GENETIKA
genetik varietas tergolong ilmu yang muda dibandingkan dengan disiplin ilmu
yang lain. Namun, penerapan teknologi genetika pada tanaman telah mengakibatkan
sebagai aplikasi teknologi genetika. Perbaikan yang diperoleh tidak saja dalam hal
daya hasil, tetapi juga peningkatan stabilitas produksi oleh adanya gen-gen ketahanan hama-
penyakit, peningkatan adap-tasi pada lingkungan berkendala, kesesuaian umur panen terhadap
sistem usaha
tidak memerlukan modal besar, bahan bakunya tersedia di alam, teknologinya mudah dikuasai, serta
tidak menimbulkan limbah yang mencemari lingkungan. Indonesia sebagai negara agraris,
seyogianya
diartikan sebagai semua teknik yang berkaitan dengan usaha perbaikan konstruksi
waktu 75 tahun terakhir, yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 10 teknik, yaitu: (1)
aklimatisasi dan adaptasi gen;
asing; (8) substitusi sitoplasma; (9) rekayasa genetik; dan (10) kombinasi jaringan
uji daya hasil, adaptasi, stabilitas sifat, mutu hasil, preferensi konsumen, serta uji
keseluruhan proses perakitan varietas unggul memerlukan waktu yang relatif lama.
genetika tersedia pada buku-buku teks, antara lain yang ditulis oleh Fehr (1987a) dan
oleh sifat biologi tanaman, cara penyerbukan, cara perbanyakan benih, bentuk
varietas, serta peralatan dan tenaga ahli
yang tersedia.
termasuk kedelai. Berbagai prosedur seleksi dan bentuk varietas yang berkaitan
dengan spesies tanamannya. Sebagian besar varietas unggul yang ada pada saat ini
Teknik alterasi kromosom dimanfaatkan untuk mendapatkan sifat tahan penyakit karat pada terigu,
dengan cara menyisipkan sepotong kecil kromosom terigu liar
teknik sitogenetik. Teknik ini pun berpeluang untuk diterapkan pada pembentukan galur betina
(mandul jantan) pada
hibrida padi.
Ms pada genom Trisomik (2x+1A). Penambahan satu kromosom yang mengandung gen Ms
mengakibatkan polen steril
liar ke dalam genom varietas unggul dilaporkan dapat meningkatkan potensi hasil
kedelai (Schoener and Fehr 1979; Sumarno 1988). Substitusi sitoplasma varietas
Memanipulasi sifat genetik ini dilakukan dengan menambah atau mengurangi DNA.
Menggabungkan dua DNA dari dua sumber yang berbeda dikenal sebagai rekombinasi
DNA. DNA sebagai hasil rekombinasi sebagai DNA rekombinan. Selanjutnya DNA inilah
yang akan mengatur sifat-sifat mahluk hidup tersebut secara turun -temurun. Dengan
demikian mengubah sifat mahluk hidup dapat lakukan dengan merubah DNA yang
dikandungnya.
Terapi gen merupakan upaya untuk memperbaiki atau mengontrol ekpresi gen yang
merugikan bagi mahluk hidup. Terapi gen memerlukan pengenalan spesifik tentang gen
yang memiliki fungsi dalam sel, yang bertujuan untuk pencegahan atau pengobatan.
Terapi gen dapat dilakukan pada sel secara in-vitro, kemudian sel yg diterapi di
masukan ke pasien secara in-vivo.
Terapi gen digunakan untuk beberapa tujuan: (1) Penggantian gen yang menyebabkan
penyakit menurun (genetik), (2) Memodifikasi respon kekebalan, (3) Imunisasi untuk
melawan penyakit yang cepat menyebar.
Di dalam perancangan strategi terapi gen materi utama yang perlu diselidiki dan
dioptimasi adalah: (1) Perlakuan yang sesuai dengan karakteristik biologi dari
jaringan dan sel, (2) Vektor gen (viral atau non-viral), (3) Rute administrasi paling
efektif dan aman, serta ketahanan dari ekspresi transgen.
Sebelum terapi gen dicobakan untuk penyakit tertentu pada manusia, studi praklinis
diharapkan dilakukan dalam suatu model percobaan yang sesuai untuk meyakinkan
kelayakan, efisiensi dan keselamatan.
Salah satu penyakit yang dapat disembuhkan melalui terapi gen adalah osteoporosis.
Osteoporosis merupakan suatu penyakit pengeroposan sel-sel tulang, yang
mengakibatkan kerapuhan tulang. Osteoporosis lebih umum terjadi pada wanita yang
sudah tua dibandingkan dengan pria yang sudah tua. Hal ini disebabkan kekurangan
hormon estrogen pada masa menopause yang menyebabkan peningkatan kerusakan
tulang. Pada masa menopause pembentukan sel-sel tulang lebih sedikit sehingga tulang
akan semakin keropos atau rusak. Karena itulah kasus penyakit osteoporosis lebih sering
terjadi pada wanita. Kekurangan estrogen mengakibatkan sel-sel tulang semakin cepat
terserap darah, sehingga menyebabkan tulang menjadi keropos. Tingkat osteoporosis
semakin meningkat seiring dengan dimulainya masa menopause. Selain karena
menopause, jenis makanan yang dikonsumsi, aktivitas fisik, dan faktor genetik juga
mempengaruhi osteoporosis.
Tingkat kepadatan dari sel –sel tulang dipengaruhi faktor genetik. Seiring dengan
perkembangan teknologi, diharapkan pengetahuan tentang informasi genetik semakin
berkembang dan didapatkan algoritma gen untuk lebih mengetahui cara terapi gen pada
penyakit osteoporosis. Melalui informasi genetik atau DNA, dapat diketahui gen – gen
yang diduga membawa penyakit osteoporosis sehingga resiko terjadinya osteoporosis
dapat diperkecil. Dua pendekatan klinis utama yang sekarang ini digunakan untuk
mengidentifikasi gen membawa penyakit osteoporosis: (1) Pemeriksaan genom keluarga
secara lengkap dengan menggunakan analisis kekerabatan; (2) Studi analis gen
pembawa osteoporosis di dalam suatu populasi.
Banyak penderita osteoporosis yang menggunakan obat – obatan untuk mengurangi sel
– sel tulang yang rusak. Namun obat ini tidak terlalu efektif dan memberikan reaksi yang
berbeda pada tiap-tiap orang. Pada pengobatan osteoporosis, dapat digunakan terapi
gen yang akan memperbaiki sel tulang yang rusak dan melalui terapi gen yang tepat
sasaran, tidak akan menimbulkan efek samping.
Salah satu agen terapi gen adalah agen osteogenic , dimana agen osteogenic ini
mengkode protein osteogenic. Sel – sel tulang memiliki kemampuan untuk beregenerasi,
hal inilah yang membuat agen osteogenic sangat potensial dalam terapi gen
osteoporosis. Penelitian pada manusia dan studi praklinis menunjukkan bahwa terapi
gen dengan menggunakan agen osteogenic dapat digunakan untuk mengobati
osteoporosis. Sel dari sistem urogenital dapat menstimulasi pembentukan tulang. Agen
osteogenic dimasukkan ke dalam sel bersama dengan gen faktor tumbuh, kemudian sel
tersebut disuntik ke sumsum tulang atau pada tulang yang mengalami osteoporosis,
sehingga menstimulasi pembentukan tulang pada daerah itu. Karena beberapa faktor
tumbuh berpengaruh pada proses proliferasi dan diferensiasi dari osteoblast pada proses
pembentukan tulang, maka diperlukan beberapa gen yang dapat mengkode faktor –
faktor tumbuh tersebut agar terapi gen ini mendapatkan hasil yang optimum.
Dalam upaya terapi osteoporosis ini, agen osteogenik, yaitu fluorida bersama gen faktor
tumbuh (insulin-like growth factor 1) dimasukkan ke dalam sel. Gen faktor tumbuh ini
menstimulasi fosforilasi tirosin yang kemudian merangsang pembentukan sel tulang,
pembentukan sel tulang ini biasanya dihambat oleh phospotyrosyl protein
phosphatase. Namun dengan adanya agen osteogenik, proses penghambatan sel tulang
baru oleh phospotyrosyl protein phosphatase akan dihambat oleh fluoride. Sehingga
proses pembentukan sel tulang baru dapat berjalan dengan baik.
Untuk melakukan terapi gen yang dapat memperbaharui keseluruhan tulang yang
mengalami osteoporosis dibutuhkan pengembangan pengetahuan akan gen. Hal ini
berhubungan erat dengan faktor tumbuh agar terapi gen ini tidak menimbulkan efek
samping yang tidak diinginkan. Antibodi monoklonal telah dikembangkan secara rinci
untuk mengidentifikasi preosteoblasts dan membedakan osteoblasts, dan antibodi
monoklonal tambahan digunakan untuk membedakan tahap-tahap diferensiasi
osteoblast.
Agar dalam proses terapi gen dapat berhasil, dibutuhkan penentuan gen yang spesifik
bagi suatu tempat, seperti pinggul, yang merupakan salah satu lokasi rentan terhadap
penyakit osteoporosis. Aspek lain dari terapi gen yang perlu dikembangkan adalah
vektor yang dapat membantu tercapainya proses terapi gen untuk mencapai hasil yang
diinginkan.
TINJAUAN ETIS
Pandangan Antroposentris
Pada intinya, tujuan dari rekayasa genetika adalah mereka – reka bagaimana gen itu
didapat secara “sempurna” sesuai yang diinginkan oleh perekanya (manusia). Langkah
ini diambil sebagai jalan yang dianggap salah satu langkah yang tepat oleh manusia.
Begitu ragam keganjilan (kelainan) gen yang ditemui dan tidak diingini oleh manusia.
Oleh sebab itu, dengan akal budinya manusia mengambil langkah untuk mencoba
mengatasi kelainan gen itu dengan memodifikasinya. Suatu keadaan keganjilan gen itu
tidak akan berubah sendiri menjadi “sempurna“ seperti yang diingini manusia apabila
tidak direka – reka oleh manusia.
Kemungkinan lain ialah bahwa manusia menemui suatu penyakit yang dianggap
berbahaya dan menurun, maka untuk “mengalahkan“ penyakit itu yaitu dengan cara
memodifikasi gen, sehingga langkah mereka-reka gen ini dianggap langkah yang tepat
dan menguntungkan. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa manusia merekayasa
gen ini juga disebabkan oleh keingintahuannya tentang fenomena-fenomena gen
manusia yang selama ini dianggap sebagai penerus/pembawa sifat-sifat dari manusia itu
sendiri. Oleh sebab itu, dengan studi merekayasa gen nantinya akan diperoleh tujuan
yang diingini manusia. Misalnya gen dengan fenotipe kulit keriput, berpenyakit (segala
sifat yang tidak diingini manusia) dan gen pembawa sifat genotip: penyakit menurun
seperti hemofili, epilepsi dan hepatitis B. Gen – gen pembawa sifat seperti yang
disebutkan dalam contoh tersebut dihilangkan dan diganti dengan gen–gen pembawa
sifat yang diinginkan seperti: pintar dan ganteng.
Terkhusus pada kasus dalam makalah ini, yakni mengenai bagaimana mengatasi
pengeroposan tulang (osteoporosis) akibat penurunan hormon estrogen. Seperti kita
ketahui bahwa pada wanita yang sudah menopause, hormon ini mengalami penurunan
yang sangat signifikan. Apalagi bila tidak diimbangi dengan kegiatan – kegiatan fisik dan
olahraga. Dengan terapi gen ini, akan diusahakan permasalahan pengeroposan tulang
akan dapat teratasi. Dari uraian makalah ini bila ditinjau dari tujuan terhadap manusia,
maka langkah terapi gen adalah baik. Dalam langkah rekayasa gen ( terapi gen ) ini
tidak bermaksud hendak “melawan“ kodrati yang telah ada namun hanya bagaimana
manusia mengembangkan, memanfaatkan akal budinya untuk berusaha semaksimal
mungkin dalam mengatasi salah satu permasalahan hidupnya (tulang keropos). Namun
sebagai manusia yang berakal budi, tidak menutup kemungkinan bahwa penemuan
terapi gen ini akan ditolak secara universal. Sehingga kesadaran akan terapi gen ini
sejak awal harus disadari mengingat dalam menilai segala sesuatu mengenai baik dan
buruk harus juga mempertimbangkan norma yang ada di masyarakat universal, yaitu :
norma agama, norma sosial.
Pandangan Biosentris
Terapi gen untuk mengatasi osteoporosis, gen donor diambil dari gen mamalia (tikus),
dengan kata lain terapi ini melibatkan organisme lain. Dipihak manusia sudah jelas
menguntungkan, tetapi dipihak tikus belum tentu menguntungkan. Bila pengambilan gen
dari tikus tidak menimbulkan kematian, mungkin terapi gen ini dapat diterima, akan
tetapi bila menimbulkan kematian bagi tikus maka jika ditinjau secara bioetis tidaklah
baik terapi gen ini. Apalagi jika sebelum penggunaan terapi gen ini pada manusia,
terlebih dahulu dilakukan percobaan penggunaan pada tikus dan menimbulkan kematian
tikus tersebut sehingga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan permasalahan
ekologis dalam hal rantai makanan. Apalagi percobaan ini tidak dilakukan sekali tetapi
berulangkali. Secara bioetis, tikus juga memiliki hak hidup.
Sebagai seorang biolog yang mengacu pada etika biologi, tidak dibenarkan menilai
segala sesuatu dari satu sudut tujuan tetapi perlu adanya pertimbangan – pertimbangan
dari sudut atau aspek yang lain. Kita juga perlu menyadari bahwa tanggapan -
tanggapan terhadap penemuan – penemuan ilmiah tidak menutup kemungkinan
menimbulkan penilaian – penilaian setuju atau tidak, artinya bersifat subjektif.
Kebenaran akan selalu menjadi sesuatu yang dipikirkan bagi yang memikirkannya.
Sehingga suatu pembenaran tentang kebenaran ilmiah akan bersifat tidak tetap artinya
kebenaran ilmiah sekarang akan berkemungkinan berbalik diwaktu yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Baylink, D. J. 2000. Current and Future Management of Osteoporosis. The Fortnightly Club
Meeting # 1628. California, 20 January 2000 : 4:00
P.M.http://www.redlandsfortnightly.org/baylink00.htm
Fanti P., Monier M.C., Geng Z., Schmidt J., Morris P.E., Cohen D., Malluche H.H.1998. The
phytoestrogen genistein reduces bone loss in short-term ovariectomized rats.Osteoporos
Int. 1998;8(3):274-81.
http://www.journals.elsevierhealth.com/
periodicals/nmd/article/PIIS0960896697000515/fulltext
Nakajima, D., Kim, C. S., Tae, W. O., Chu, Y. Y., Naka, T., Igawa, S., Ohta, F. 2001.
Suppressive effects of genistein dosage and resistance exercise on bone loss in
ovariectomized rats. Journal of physiological anthropology and applied human
science.http://www.jstage.jst.go.jp/article/jpa/20/5/285/_pdf
Pinheiro, A. L., Limeira, F. A., Gerbi, M. E. M., Ramalho, L. M. P., Marzola, C., Ponzi, E. A. C.
2003. Effect of low level laser therapy on the repair of bone defects grafted with
inorganic bovine bone .Braz. Dent. J. vol.14 no.3 Ribeirão Preto
2003http://www.scielo.br/img/revistas/bdj/v14n3
Sajeda, M., White, P., Nair, S., Reddi,K., Heron, K., Henderson, B., Zaliani, A., Fossati, G.,
Mascagni, P., Hunt, F., Roberts, M., and Coates, A. 1997. Mycobacterium tuberculosis
Chaperonin 10 Stimulates Bone Resorption: A Potential Contributory Factor in Pott's
Disease. J. Exp. Med.Volume 186, Number 8, October 20, 1997 1241-
1246.http://www.jem.org/cgi/