Anda di halaman 1dari 22

INOVASI PEMBELAJARAN

DR. RIDWAN ABDULLAH SANI, M.Si


KATA PENGANTAR
Pembelajaran kreatif dan inovatif seharusnya dilakukan oleh guru dalam
upaya menghasilkan peserta didik yang kreatif. Tingkat keberhasilan guru
dalam mengajar dilihat dari keberhasilan peserta didiknya sehingga dikatakan
bahwa guru yang hebat (great teacher) itu adalah guru yang dapat memberikan
inspirasi bagi peserta didiknya. Kualitas pembelajaran dilihat dari aktivitas
peserta didik ketika belajar dan kreatifitas yang dapat dilakukan oleh peserta
didik setelah mengikuti pembelajaran. Klasifikasi kualitas guru secara umum
adalah sebagai berikut (Gultom, 2013).

Pengembangan kurikulum 2013 dilakukan dalam upaya meningkatkan


mutu pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang kreatif dan mampu
menghadapi kehidupan pada masa mendatang. Buku ini ditulis sebagai bahan
referensi bagi guru untuk mengimplementasikan pembelajaran yang efektif dan
efisien sejalan dengan implementasi kurikulum 2013. Materi dalam buku ini
juga dapat membantu guru dalam meningkatkan profesi, misalnya untuk
memilih strategi pembelajaran setelah melakukan refleksi pelaksanaan
pembelajaran yang dilakukan. Upaya meningkatkan kualitas pembelajaran juga
dilakukan pemerintah dengan menerapkan beberapa aturan, misalnya
Permenpan no 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya.

Pembelajaran yang dilakukan oleh guru di Indonesia pada umumnya


masih berpusat pada guru. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang masih
belum memadai dan paradigma pembelajaran yang belum sesuai dengan
tindakan yang seharusnya dilakukan. Penelitian membuktikan bahwa
perbedaan tentang paradigma pembelajaran ternyata berdampak pada hasil
belajar peserta didik. Perbandingan hasil tes TIMSS dan PISA pada beberapa
periode tes menunjukkan bahwa peserta didik di Jepang memperoleh hasil yang
jauh lebih tinggi daripada peserta didik di Jerman (kelompok sedang) dan
Amerika (kelompok rendah). Guru di Amerika percaya bahwa pembelajaran
terjadi dengan penguasan materi secara bertahap, sehingga pembelajaran perlu
dilakukan sedikit demi sedikit dengan meminimalkan kesalahan. Sedangkan
guru di Jepang percaya bahwa peserta didik akan belajar dengan baik jika
dimulai dengan berupaya memecahkan permasalahan, kemudian berdiskusi
bersama untuk memecahkan permasalahan tersebut. Kebingungan dan frustasi
merupakan bagian dari proses belajar, dan pemilihan metode penyelesaian
masalah yang terbaik dapat dijadikan bagian dari pembelajaran. Berikut ini
diberikan perbedaan cara belajar untuk tiga negara1.

Amerika Serikat Jerman Jepang


(hasil belajar terendah) (hasil belajar menengah) (hasil belajar tinggi)
Guru terlibat dalam Guru membimbing Peserta didik
pemecahan masalah peserta didik menyelesaikan
sederhana, menjawab mengembangkan teknik permasalahan yang
bersama peserta didik, penyelesaian masalah menantang dan
demonstrasi metode untuk permasalahan kompleks, kemudian
penyelesaian, yang menantang, peserta berbagi hasil dan metode
menugaskan peserta didik memberikan penyelesaian
didik untuk mengerjakan respon untuk
soal yang mirip pertanyaan guru
TAHAPAN PEMBELAJARAN
Riviu pelajaran Riviu pelajaran Riviu pelajaran
terdahulu dan mengecek terdahulu dan mengecek terdahulu
tugas rumah tugas rumah
Guru Menyajikan topik dan Penyajian permasalahan
mendemonstrasikan permasalahan
bagaimana
menyelesaikan
permasalahan
Peserta didik latihan Guru mengembangkan Peserta didik bekerja
mengerjakan soal yang prosedur untuk mandiri atau
mirip menyelesaikan berkelompok untuk
permasalahan memecahkan
permasalahan
Guru membantu Peserta didik latihan Peseta didik berdiskusi
memperbaiki pekerjaan mengerjakan soal yang tentang metode

1
Ambrose, B. & Henderson, C. 2007. How can physics education research help me teach more effectively, AAPT, NSTA
Strand day
latihan mirip penyelesaian
Guru memberikan tugas Guru memberikan tugas Merangkum hal-hal
rumah rumah penting

Contoh kasus di atas menunjukkan kaitan antara proses belajar mengajar


dengan hasil belajar peserta didik. Keberhasilan peserta didik dalam penilaian
yang dilakukan oleh pihak eksternal merupakan bukti kesuksesan proses
pembelajaran yang dilakukan.
Perbaikan mutu pembelajaran seharusnya dilakukan dalam upaya
memenuhi kebutuhan peserta didik untuk hidup di masyarakat pada masa
persaingan dengan bangsa asing yang mulai merambah ke Indonesia.
Persaingan bebas tidak dapat dihindari, dimana masyarakat kita masih
mengandalkan kerja keras tanpa inovasi, sedangkan bangsa asing telah
memanfaatkan kreatifitas dan inovasi untuk menjual produk kita dengan harga
yang berlipat ganda. Harapan dititipkan pada bidang pendidikan, khususnya
guru untuk mau dan mampu mendidik generasi penerus bangsa ini agar tidak
menjadi penonton di negaranya sendiri. Keterampilan yang seharusnya
dibentuk dalam diri peserta didik adalah: 1) keterampilan bekerja sama, 2)
keterampilan berkomunikasi, 3) kreatifitas, 4) keterampilan berpikir kritis, 5)
keterampilan menggunakan teknologi informasi, 6) keterampilan numerik, 7)
keterampilan menyelesaikan masalah, 8) keterampilan mengatur diri, dan 9)
keterampilan belajar. Pengetahuan dan keterampilan harus diikuti dengan
pembentukan sikap dan perilaku yang mencerminkan orang yang terpelajar.
Hal ini perlu menjadi perhatian karena orang pintar yang tidak bermoral akan
menjadi orang yang berbahaya bagi orang lain. Sikap yang perlu dibentuk
melalui pembelajaran adalah: kejujuran, tanggungjawab, toleransi, keperdulian
terhadap orang lain, kedisipilinan, santun, percaya diri, dan cinta damai. Sikap
dan perilaku dibentuk sejalan dengan pengembangan pengetahuan dan
keterampilan peserta didik, atau merupakan efek pengiring (nurturant effect)
dari kegiatan belajar mengajar yang dilakukan.
Pembentukan sikap sosial dan spiritual merupakan amanah undang-
undang, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 UU Sisdiknas
bahwa: peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kompetensi yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan pada
setiap jenjang satuan pendidikan seharusnya dilakukan untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam pasal 3 UU No 20 Sisdiknas
Tahun 2003, yakni: Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Jhon Dewey mengemukakan bahwa
pendidikan adalah metode dasar dalam melakukan reformasi dan kemajuan
sosial: ”I believe that education is the fundamental method of social progress and
reform”2. Pendidikan yang dimaksud meliputi pembelajaran dalam tiga faktor,
yakni: pengetahuan, keterampilan, dan pembentukan karakter, seperti yang
dinyatakan oleh Jhon Dewey: ”Learning involves, as just said, at least three
factors: knowledge, skill and character. Each of these must be studied” 3
Pendidikan yang gagal membentuk moral peserta didik akan
menghasilkan peserta didik yang kurang menghargai orang lain, menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan, dan hanya mementingkan kebutuhan
individu. Pendidikan yang gagal dalam menghasilkan lulusan yang kompeten
akan membuat mereka tidak mampu bekerja secara efisien dan efektif, serta
tidak memiliki daya saing. Gejala ini kita amati dalam kehidupan berbangsa
dimana lulusan sekolah dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi banyak
yang tidak kompeten dan bingung ketika diminta untuk menyelesaikan suatu
tugas atau pekerjaan. Guru yang merupakan ujung tombak pendidikan
seharusnya selalu berupaya melaksanakan yang terbaik dalam mendidik anak
bangsa dengan ikhlas dan menguasai pembelajaran yang efektif dalam
melaksanakan tugas mulia tersebut. Semoga semua guru memiliki komitmen
untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan bangsa dan negara ini.

2 Dewey, J. 1972. My Pedagogic Creed, Article five, The school and social progress,
in The Early Works, Ed: Boydston, Jo Ann, The Early Works, 1882-1898, 5:1895-
1898, Early Essays, Southern Illinois University Press, Feffer & Simons, Inc, USA,
halaman 93.
3 Dewey, J. 1984. Progressive Education and the Science of Education, dalam The
Later Works, 1925-1953, Volume 3: 1927-1928, Ed: Boydston, Jo Ann, Southern
Illinois University Press, USA, halaman 267-268.
Kisah Empat Lilin

Ada empat lilin yang menyala, Sedikit demi sedikit habis meleleh
Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka
Yang pertama berkata: “Aku adalah Perubahan, Namun manusia tak mampu
berubah, maka lebih baik aku mematikan diriku saja!”
Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin padam.
Yang kedua berkata: “Aku adalah Iman, Sayang aku tak berguna lagi. Manusia
tak mau mengenalku, Untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala”
Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.
Dengan sedih giliran Lilin ketiga bicara: “Aku adalah Cinta, Tak mampu lagi aku
untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan mengganggapku
berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang
mencintainya, membenci keluarganya”
Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah Lilin ketiga.
Tanpa terduga...
Seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga Lilin telah
padam. Karena takut akan kegelapan itu, ia berkata: “ Ehh apa yang terjadi?!
Kalian harus tetap menyala, Aku takut akan kegelapan!”
Lalu ia menangis tersedu-sedu.
Lalu dengan terharu Lilin keempat berkata:
“Jangan takut, Janganlah menangis, Selama aku masih ada dan menyala, Kita
tetap dapat selalu menyalakan ketiga Lilin lainnya: Akulah harapan”
Dengan mata bersinar, sang anak mengambil Lilin Harapan, Kemudian
menyalakan kembali ketiga Lilin lainnya.
Apa yang tidak pernah mati hanyalah harapan yang ada dalam hati kita, dan
masing-masing kita semoga dapat menjadi alat, seperti sang anak tersebut, yang
dalam situasi apapun mampu menghidupkan kembali Iman, Cinta, dan
Perubahan dengan harapan!
Guru adalah harapan, di tangan kita ada harapan, di pikiran kita ada impian, di
hati kita ada masa depan. Guru adalah aset bangsa yang tak ternilai karena hati
kita selalu menyala dan terang. Mari kita jadi pemenang di tempat kerja kita,
karena kita mencintai pekerjaan kita bukan karena terpaksa. Kita tidak dipaksa,
kita bekerja dengan kepala tangan dan hati kita dalam membangun anak
bangsa.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar

Kisah empat lilin

BAB 1: Teori Belajar

1. Pentingnya Teori Belajar


2. Teori Behaviorisme
3. Teori Kognitivisme
4. Teori Konstruktivisme Sosial
5. Teori Humanisme
6. Teori Sibernetik

BAB 2: Pembelajaran Efektif

1. Prinsip Pembelajaran Efektif


2. Motivasi Belajar
3. Taksonomi Pembelajaran
4. Aktivitas Pembelajaran
5. Strategi Bertanya

BAB 3: Model, Strategi, dan Metode Pembelajaran

1. Definisi Model, Strategi, dan Metode Pembelajaran


2. Model Pembelajaran
3. Strategi Pembelajaran
4. Metode Pembelajaran

BAB 4: Metode dan Teknif Pembelajaran Inovatif

1. Pembelajaran individual dengan modul


2. Pembelajaran Kooperatif
3. Pembelajaran Secara Berpasangan
4. Pembelajaran Teman Sejawat
5. Metode Brainstorming
6. Metode Seminar Socrates
7. Pembelajaran Induktif
8. Metode Permainan
9. Metode pembelajaran menggunakan media kertas dan pensil
10. Metode Peta Pikiran
11. Metode Penyelesaian Masalah
12. Teknik Inovatif dalam Pembelajaran

BAB 5: Metode dan Teknik Pembelajaran Bahasa

1. Pendekatan Dalam Pembelajaran Bahasa


2. Metode dan Teknik Kreatif dalam Pembelajaran Bahasa
3. Metode Pembelajaran Bahasa Asing
BAB 1
TEORI BELAJAR

He who loves practice without theory is like the sailor who boards ship without a
rudder and compass and never knows where he may cast. (Leonardo da Vinci)

In theory, there is no difference between theory and practice. But in practice, there
is. (Jan L. A. van de Snepscheut)
1. Pentingnya Teori Belajar
Teori belajar dapat membantu guru untuk memahami bagaimana
peserta didik belajar. Pemahaman tentang cara belajar dapat membantu proses
belajar lebih efektif, efisien dan produktif. Berdasarkan teori belajar, guru dapat
merancang dan merencanakan proses pembelajarannya. Teori belajar juga
dapat menjadi panduan guru untuk mengelola kelas, membantu guru untuk
mengevaluasi proses, perilaku guru sendiri serta hasil belajar siswa yang telah
dicapai. Pemahaman akan teori belajar akan membantu guru dalam
memberikan dukungan dan bantuan kepada siswa sehingga dapat mencapai
prestasi maksimal. Hal yang harus dipahami dalam teori belajar adalah:
1) Konsep dasar teori tersebut beserta ciri-ciri dan persyaratan yang
melingkupinya
2) Bagaimana sikap dan peran guru dalam proses pembelajaran jika teori
tersebut diterapkan
3) Faktor-faktor lingkungan (fasilitas, alat, suasana) apa yang perlu
diupayakan untuk mendorong proses pembelajaran
4) Tahapan apa saja yang harus dilakukan guru untuk melaksanakan proses
pembelajaran
5) Apa yang harus dilakukan peserta didik dalam proses belajarnya
Perlu dipahami bahwa tidak ada teori yang sempurna. Tidak ada satu pun teori
yang cocok bagi setiap individu dan tidak semua praktek pendidikan dilatar
belakangi oleh sebuah teori khusus. Oleh sebab itu, untuk dapat memahami
berbagai teori, seseorang perlu belajar tentang bagaimana menggunakan ide
dari berbagai pandangan.
Teori belajar dikembangkan berdasarkan ilmu psikologi, yakni ilmu yang
membahas tentang perilaku dan proses mental. Perilaku adalah aktivitas aksi
dan reasi yang dapat diamati, sedangkan proses mental adalah aktivitas yang
tidak dapat diamati secara langsung seperti berpikir, mengingat, merasa.
Tujuan psikologi adalah mendeskripsikan, memahami, memprediksi, dan
mengontrol perilaku dan proses mental. Psikologi pendidikan adalah salah satu
cabang psikologi yang mempelajari tentang perilaku dan proses mental terkait
dengan belajar dan pembelajaran manusia. Dua aliran psikologi yang
berpengaruh dalam teori belajar dan pembelajaran adalah behaviorisme dan
konstruktivisme. Konstruktivisme dapat dibagi menjadi kognitivisme dan
humanisme.
3) Penguasaan pola kalimat dan cara pemakaiannya disampaikan secara
induktif.
4) Sebagian besar waktu digunakan untuk latihan bercakap, dan kondisi
kelas diciptakan dalam suasana belajar yang kondusif. Pelajaran yang
diberikan diharapkan dapat menumbuhkan motivasi belajar bagi peserta
didik.
Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan bahasa sasaran sebagai
pengantar secara lisan tanpa harus membaca dan menulis. Pembelajaran
bahasa asing dimulai dengan mengajarkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan
yang menunjukkan pada sesuatu yang dapat diindera dan perbuatan yang dapat
diperagakan. Selanjutnya pembelajaran dialihkan pada situasi penggunaan
bahasa dengan dialog atau ucapan sehari-hari. Kegiatan dapat memanfaatkan
gambar tanpa bergantung pada terjemahan. Guru memulai terlebih dahulu
membaca teks, kemudian menyuruh peserta didik untuk membaca. Selanjutnya
untuk penyempurnaan belajar, peserta didik diminta mengisi bagian yang
kosong dari susunan kalimat sederhana.
Metode ini efektif untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, serta
mudah dan fleksibel untuk diterapkan. Metode ini berpusat pada kemampuan
komunikasi dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
berpartisipasi. Kelemahan metode langsung dalam pembelajaran bahasa antara
lain:
1) Tidak semua kosakata dapat diajarkan dengan cara menghubungkan
secara langsung dengan benda, situasi, dan pekerjaan yang
dideskripsikan. Kadang-kadang perlu diberikan sinonim, antonim,
definisi atau penjelasan untuk pemakaian kosakata atau ungkapan
tertentu.
2) Jika semua kosakata diajarkan menggunakan prinsip-prinsip yang telah
dipaparkan, maka kemajuan dalam keterampilan membaca pada tahap
awal umumnya cenderung lambat.
3) Peserta didik memperoleh pengetahuan kosakata secara berlebihan,
namun kurang dalam penguasaan dalam pemakaiannya.
4) Peserta didik dapat menghadapi kesulitan dalam memahami bentuk-
bentuk kalimat. Kesulitan tersebut hanya dapat diatasi oleh peserta didik
pada kelas tinggi, yang sudah mampu berpikir menggunakan bahasa
yang dipelajarinya.
5) Metode ini tidak mengembangkan kemampuan menulis.

d. Metode belajar Komunitas Bahasa


Pembelajaran komunitas bahasa menempatkan peserta didik sebagai
pelanggan (client) dalam bimbingan/konseling. Guru sebaiknya adalah
penutur asli (native speaker) yang memiliki kemampuan konseling dan
bertindak sebagai konselor bahasa. Pembelajaran dengan metode ini
dimulai dengan kebingungan dan kesulitan pelanggan/peserta didik dalam
berbahasa asing. Guru sebagai konselor harus membangkitkan empati untuk
mengatasi permasalahan pelanggan dengan memantapkan hubungan,
kehangatan, dan pemahaman untuk mengatasi kesulitasn dalam
mempelajari bahasa. Tahapan yang dilakukan mencakup lima langkah
adaptasi sebagai berikut:
Tahap 1: Peserta didik bergantung penuh pada konselor
1) Peserta didik mengatakan pada konselor (menggunakan bahasa
Indonesia) tentang apa yang ingin disampaikannya pada kelompok
belajarnya. Temannya boleh mendengar, namun tidak terlibat dalam
interaksi dengan konselor/guru.
2) Konselor merefleksikan ide tersebut pada pelanggan menggunakan
bahasa asing (yang dipelajari) secara lembut menggunakan bahasa
sederhana, satu frasa yang terdiri dari lima atau enam kata.
3) Peserta didik (pelanggan) kembali ke kelompoknya dan menyatakan
idenya menggunakan bahasa asing. Konselor membantu pelanggan jika
ada ucapan yang keliru atau kata yang salah.
Tahap 2: Peserta didik dilatih untuk mandiri
1) Peserta didik mengatakan pada konselor (menggunakan bahasa
Indonesia) tentang apa yang ingin disampaikannya pada kelompok
belajarnya.
2) Pelanggan kembali ke kelompoknya dan mulai berbahasa asing secara
langsung pada temannya
3) Konselor hanya membantu jika pelanggan kesulitan atau meminta
bantuan. Peserta didik mulai dilatih untuk mandiri untuk menumbuhkan
rasa percaya diri dan harapan pelanggan.
Tahap 3: Latihan mengungkapkan pernyataan
1) Pelanggan berbicara secara langsung pada kelompok menggunakan
bahasa asing yang dipelajari. Pada tahap ini anggota kelompok dianggap
memahami frasa sederhana yang diucapkan oleh peserta didik yang
mengikuti konseling.
2) Konselor hanya membantu jika pelanggan kesulitan atau meminta
bantuan. Peserta didik dianggap memiliki rasa percaya diri, mulai
mandiri, dan mampu mengaitkan ide dengan frasa dan tata bahasa.
Translasi diberikan hanya jika dibutuhkan oleh kelompok.
Tahap 4: Latihan menggunakan kalimat kompleks
1) Pelanggan berbicara secara bebas menggunakan kalimat yang lebih
kompleks dalam bahasa asing yang dipelajari.
2) Konselor melakukan koreksi terhadap kekeliruan penggunaan tata
bahasa, pengucapan, atau jika peserta didik membutuhkan bantuan
dalam menyatakan kalimat yang kompleks.
Tahap 5: Membimbing teman
1) Peserta didik berbicara secara bebas menggunakan kalimat yang lebih
kompleks dalam bahasa asing yang dipelajari.
2) Konselor melakukan koreksi dan menambah idiom
3) Pelanggan menjadi konselor untuk temannya yang membutuhkan, dan
menjalankan tahap 1 sampai tahap 3.

e. Metode Membaca
Metode ini dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik dalam membaca dan memahami bahasa asing secara lebih
mudah. Peserta didik dapat dilatih menulis kalimat-kalimat dengan benar
dan dapat mengucapkannya dengan baik. Tujuan pembelajaran dapat
dicapai dengan membiasakan membaca tanpa menganalisa atau
menterjemahkan teks. Selanjutnya dapat dilakukan focus belajar pada
kemampuan membaca cepat dalam hati yang dibuat bertahap dari yang
mudah sampai yang sulit. Prosedur pembelajaran membaca adalah sebagai
berikut:
1) Pada tahap awal kegiatan (minggu pertama) belajar dimulai dengan
latihan ucapan yang dikhususkan untuk menyimak sebagai upaya
membiasakan peserta didik berbicara dan memahami kalimat.
2) Kemudian peserta didik mulai fokus pada membaca dengan tujuan
memahami bacaan dengan cara memperbanyak pertanyaan-pertanyaan
pemahaman. Aktifitas pertama dari kegiatan membaca adalah membaca
intensif dan membaca ekstensif. Aktifitas ini dilakukan secara bertahap
melalui teks dan buku-buku untuk membuat peserta didik memiliki
kekayaan bahasa.
Kelebihan metode ini adalah memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk memperoleh sendiri kompetensi berbahasa sesuai
dengan kemampuan mereka. Metode ini dapat digunakan untuk
membiasakan peserta didik menelaah peradaban dan kebudayaan dari
penutur bahasa. Metode ini cocok bagi peserta didik yang bertujuan
memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan yang ditulis dengan bahasa
Asing. Namun, metode ini mengakibatkan kurangnya keterampilan peserta
didik dalam menyimak dan berbicara.

f. Metode Audio Lingual


Kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan metode audio lingual,
pada umumnya menggunakan pendekatan oral (oral approach). Ciri khas dari
pendekatan oral adalah menggunakan latihan pola (pattern practice) atau
meniru dan mengingat. Metode audio lingual berorientasi pada hasil analisa
struktur bahasa dan perbandingan antara bahasa ibu peserta didik dengan
bahasa sasaran yang pelajarinya. Peserta didik menentukan pola kalimat yang
harus dipelajarinya dan membiasakan menggunakan bahasa yang baru
dipelajarinya dengan menggunakan latihan terutama latihan pola (patern
practice). Peserta didik dituntut untuk menirukan dan mengingat atau
menghapal materi pengajaran yang telah diperolehnya. Materi pembelajaran
diberikan secara bertahap, dari yang mudah ke materi yang sulit. Metode ini
dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam
menguasai empat keterampilan berbahasa, yakni: (1) menyimak, (2) berbicara,
(3) membaca, dan (4) menulis. Prosedur pelaksanaan metode audio lingual
secara umum adalah sebagai berikut:
1) Tahapan lisan murni (2 sampai 3 minggu) yang bertujuan untuk melatih
pendengaran dan ucapan, dimana guru melakukan proses percakapan
berdasarkan aktifitas kehidupan sehari-hari dengan bantuan gambar dan
peragaan.
2) Tahapan permulaan membaca, dimana peserta didik mulai membaca teks
percakapan yang pernah mereka dengar dan mereka latihkan, bahkan
dihapalkan. Tulisan dipelajari secara bertahap dalam tahapan membaca.
Tahapan pembelajaran membaca menggunakan metode audio lingual berbasis
buku teks yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Mendengar dengan keadaan buku tertutup.
2) Mendengar dengan mengulang, dengan keadaan tertutup.
3) Mendengar dengan keadaan buku dibuka (menghubungkan bunyi
dengan lambang tulisan).
4) Membaca bersama-sama dengan keadaan buku terbuka.
5) Membaca berkelompok dengan keadaan buku terbuka.
6) Membaca individual dengan keadaan buku terbuka.
7) Menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk mengoreksi pemahaman;
8) Latihan pola-pola kalimat.

Latihan pola ucap kalimat (pattern practice) dilakukan dengan memperhatikan


prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Latihan pola kalimat dilakukan dalam tempo yang sesuai dengan
keadaan.
2) Latihan dilakukan secepat mungkin untuk membiasakan dan
memantapkan peserta didik mengucapkan kalimat
3) Guru berbicara dengan kecepatan yang wajar atau alami sesuai dengan
situasi/ kondisi komunikasi yang sebenarnya.
4) Kosakata baru diajarkan melalui pemakaian pola kalimat yang telah
diajarkan sebelumnya.
5) Pemakaian pola kalimat di luar yang telah diajarkan bukan merupakan
hal yang salah. Kata-kata baru harus diajarkan pengertiannya.
6) Latihan sebaiknya mengikuti pola sebagai berikut:
a) Fokus: misalnya dengan menulis di papan tulis
b) Memberikan contoh: dengan mengucapkan kalimat yang
dicontohkan/dimodelkan
c) Penjelasan, jika dibutuhkan penjelasan sederhana tentang tata
bahasa
d) Latihan

Beberapa kelebihan metode audiolingual adalah sebagai berikut:


1) Metode ini memandang bahasa secara holistik dan mementingkan semua
keterampilan berbahasa (menyimak, menuturkan, membaca dan
menulis);
2) Peserta didik lebih partisipatif dan aktif dalam belajar;
3) Metode ini menghilangkan rasa malu dan takut;
4) Variasi tehnik dan latihan yang dilakukan dapat menghilangkan rasa
bosan/jenuh pada peserta didik;
5) Metode ini cocok digunakan bagi kelompok pembelajar di sekolah;
6) Penyusunan tata bahasa lebih mudah karena penyusunan pokok-pokok
materi pengajaran dilakukan secara teoritis;
7) Pelajaran akan diingat karena latihan dilakukan secara berulang-ulang.
Metode ini akan lebih mudah diterapkan jika pengajar adalah penutur asli,
peserta didik akan dapat menguasai dengan baik pengucapan atau lapal bahasa
yang dipelajari.
Metode ini mempunyai beberapa kelemahan dan kekurangan, yakni:
1) Pengulangan dapat menyebabkan kejenuhan, apalagi ketika meniru
persis dengan apa yang ditiru;
2) Metode ini hanya cocok untuk anak-anak;
3) Kesulitan mempelajari arti kosakata atau kalimat yang dipelajari;
4) Latihan pola kalimat merupakan pekerjaan yang berat dan
membosankan;
5) Materi yang diajarkan kadang-kadang tidak sesuai dengan situasi atau
kondisi komunikasi yang sebenarnya, karena penekanannya pada belajar
pola kalimat atau stuktur;
6) Peserta didik tidak dapat berkomunikasi dalam situasi atau kondisi
sesungguhnya, karena hanya bicara atau menulis pola kalimat yang telah
dipelajari saja;
7) Peserta didik sulit untuk meningkatkan kemampuan baca dan tulis;
8) Peserta didik biasanya menjadi tegang, karena pada waktu berlatih
diperlukan kecepatan.

g. Metode Total Physical Response (TPR)


Metode TPR menggabungkan informasi dan keterampilan melalui
penggunaan sistem sensori kinestetik (Asher, 1979)27. Kombinasi keterampilan
memungkinkan peserta didik mengasimilasi keterampilan dan informasi secara
cepat. Prinsip utama metode ini adalah memahami bahasa yang diucapkan
sebelum mengembangkan keterampilan berbicara. Hal yang paling penting
adalah struktur utama untuk mentransfer atau mengkomunikasikan informasi.
Peserta didik tidak “dipaksa” untuk berbicara, namun diberi waktu dan
kesempatan untuk mulai berbicara secara spontan jika sudah merasa nyaman

Asher, J.J. 1979. Learning Another Language Through Actions. San Jose,
27

California: AccuPrint.
dan percaya diri dalam memahami dan membuat pernyataan atau kalimat.
Tahapan pelaksanaan metode TPR adalah sebagai berikut:
1) Guru menyatakan sebuah perintah dan melaksanakan apa yang
diucapkannya
2) Guru menyatakan sebuah perintah dan bersama dengan peserta didik
melaksanakan apa yang diperintahkan
3) Guru menyatakan sebuah perintah dan peserta didik melaksanakan apa
yang diperintahkan
4) Guru meminta seorang peserta didik untuk melaksanakan sebuah
perintah
5) Guru dan peserta didik berganti peran. Peserta didik memberikan
perintah yang harus dilakukan oleh guru dan peserta didik yang lain.
6) Guru dan peserta didik mengembangkan perintah atau menghasilkan
kalimat baru.
Daftar Referensi
Adler, M. J, 1982. The Paideia Proposal. An Educational Manifesto, New York:
Collier Books, Macmillan Publishing Company.
Anderson, L. W. and David R. Krathwohl, D. R., et al. 2000. A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of
Educational Objectives. Allyn & Bacon
Anthony, E. M. 1963. Approach, method and technique of English Language
Teaching 17
Arends, R. I. 2007. Learning to Teach, Seventh Edition, New York: McGraw Hill
Asher, J.J. 1979. Learning Another Language Through Actions. San Jose,
California: AccuPrint.
Burbules, N.C. & Bruce, B.C. 2001. Theory and research on teaching as dialogue,
in Richardson (ed.), Handbook of research on teaching (4th ed.), Washington
DC: American Education Research Association.
Carin, A. A. dan Sund, R.B. 1975. Teaching science through discovery, third
edition, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.
Cazden, C.B. 1988. Classroom discourse. Portsmouth: Heinemann
Dale, E. 1946. Audiovisual methods in teaching, New York: Dryden Press
DfES. 2004. Pedagogy and Practice: Teaching and Learning in Secondary Schools
Unit 2; Teaching Models.
Efendy, A. F. 2004. Metodologi Pengajaran Bahasa Arab. Malang: Misykat.
Eggen, P.D. & Kauchak, D.P. 1996. Strategies for teachers, 3 rd Ed., Singapore:
Allyn and Bacon
Gagne, RM. 1970. The Condition of Learning, 2nd edition, New York: Holt,
Rinehart, and Winston
Good, T. L. 1981. Teacher expectations and student perceptions: a decade of
research. Educational Leadership, 38
Gultom, S. 2013. Peran guru pada implementasi kurikulum 2013, Bahan
presentasi sosialisasi kurikulum 2013 di Nusa Tenggara Barat, Kemdikbud
Joice, B. & Weil, M. 2003. Model of Teaching, 5th Ed., New Delhi: Prentice-Hall
Inc.
Lott, K. 2011. Fire up the Inquiry, Science and Children, March 2011
Martin, R.E., Sexton, C., Wagner, K., Gerlovich, J. 1994. Teaching Science for All
Children, Singapore: Allyn and Bsacon
Molenda, M. 2005. A new typology of Instructional Methods. 18th Annual
Conference on Distance Teaching and Learning, http:/www.uwex.edu/
disted/conference/
Moseley, D. et.al. 2005. Framework for Thinking, Cambridge: Cambridge
University Press.
Moust, J. H. C., Bouhuijs, P. A. J., Schmidt, H. G. 2001. Problem-based Learning: A
Student Guide, Wolters-Noordhoff
Parera, J.D. 1997. Linguistik Edukasional, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Reigeluth, C.R. 1999. Instructional Design Theories and Models (vol II), NJ:
Lawrence Erlbaum
Sund, R.B. & Trowbridge, L.W. 1973. Teaching science by inquiry in the
secondary school, Ohio: Charles e Merril Publishing Company
Sekilas tentang penulis

Dr. H. Ridwan Abdullah Sani, M.Si dilahirkan di Pangkalpinang pda tanggal 10


Juni 1964. Menyelesaikan studi S1 di jurusan Pendidikan Fisika IKIP Bandung
pada tahun 1987, lulus S2 di jurusan Fisika ITB pada tahun 1993, dan lulus S3 di
jurusan Fisika ITB pada tahun 2000. Bekerja sebagai dosen di jurusan
Pendidikan Fisika Universitas Negeri Medan (Unimed) d.h IKIP Medan sejak
tahun 1988. Menjadi Kepala Laboratorium Fisika Unimed periode 2003-2007,
Direktur SPMU-TPSDP Unimed tahun 2004-2007, ketua Lembaga Penelitian
Unimed periode 2007-2012, dan ketua Lembaga Pengabdian kepada
Masyarakat sejak 2012. Menulis beberapa monograf hasil penelitian, buku
pendidikan, dan buku fisika.
Buku ini ditujukan bagi guru dan mahasiswa pada program studi
kependidikan sebagai bahan referensi untuk merancang dan
melaksanakan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menarik
(PAIKEM). Pembelajaran kreatif dan inovatif seharusnya dilakukan oleh
guru dalam upaya menghasilkan peserta didik yang kreatif. Tingkat
keberhasilan guru dalam mengajar dilihat dari keberhasilan peserta
didiknya. Kualitas pembelajaran dilihat dari aktivitas peserta didik ketika
belajar dan kreatifitas yang dapat dilakukan oleh peserta didik setelah
mengikuti pembelajaran. Pembelajaran yang bermutu dan menghasilkan
peserta didik yang kreatif akan membantu membangun generasi yang
mampu menghadapi kehidupan pada masa mendatang dalam era
persaingan bebas. Buku ini ditulis sebagai bahan referensi bagi guru
untuk mengimplementasikan pembelajaran kreatif dan inovatif yang
efektif dan efisien untuk menghasilkan lulusan yang kreatif. Materi dalam
buku ini mencakup teori belajar, model pembelajaran, metode, serta
teknik pembelajaran inovatif yang dijabarkan secara jelas dan mudah
dipahami. Materi dapat dipergunakan untuk merancang strategi dan
memilih metode yang sesuai untuk mengatasi permasalahan
pembelajaran dalam upaya meningkatkan profesionalitas guru melalui
penelitian tindakan kelas. Beberapa contoh pembelajaran yang sesuai
untuk implementasi kurikulum 2013 menggunakan metode discovery dan
project based learning juga dijabarkan dalam buku. Buku ini merupakan
komplemen dari buku Pengembangan Profesi Guru Melalui Penelitian
Tindakan Kelas yang telah ditulis sebelumnya oleh penulis.

Anda mungkin juga menyukai