Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
JURUSAN FARMASI
2018
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nutraceutical
Pengobatan secara alami dengan menggunakan bahan-bahan alami sangat dibutuhkan
oleh tubuh untuk menghindari efek samping dari obat-obat tertentu yang akan merugikan
tubuh serta melihat dari keterjangkauan harga obat yang dibuat dari bahan alami dari
lingkungan sekitar. Terapi kuratif tidak hanya dilakukan dengan cara konvensional seperti
meminum obat pada umumnya, namun bisa dilakukan dengan makan makanan tertentu yang
mempunyai efek baik terhadap kesehatan. Penggunaan unsur tanaman untuk pengobatan dan
kesehatan disebut dengan nutraceutical atau pangan fungsional. Nutraceutical adalah istilah
yang diciptakan oleh Stephen DeFelice pada tahun 1979. Istilah ini didefinisikan sebagai
makanan atau bagian dari makanan yang dapat menyumbangkan manfaat bagi kesehatan
meliputi pencegahan dan pengobatan penyakit selain fungsi dasarnya sebagai penyedia zat
gizi (Tapas et al., 2008; Palupi, 2013).
Wildman (2001) menjelaskan pangan fungsional sebagai pangan alami (sebagai contoh,
buah-buahan dan sayur-sayuran) atau pangan olahan yang mengandung komponen bioaktif
sehingga dapat memberikan dampak positif pada fungsi metabolisme manusia.Definisi lain
yang dijelasakan oleh Wildman (2001) yaitu pangan fungsional merupakan pangan olahan
yang mengandung bahan-bahan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis
tertentu, tidak membahayakan, dan bermanfaat bagi kesehatan. Kalra (2003) menambahkan
bahwa pangan fungsional dapat bertindak sebagainutraceutical. Sebaagai contoh dapat
digunakan sebagai bahan fortifikasi pada produk susu.
Badan POM (2001) menjelaskanpangan fungsional sebagai pangan yang secara alamiah
maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-
kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi
kesehatan. Serta dikonsumsi sebagai mana layaknya makanan atau minuman, mempunyai
karakteristik sensori berupa penampakan, warna dan tekstur dan cita rasa yang dapat diterima
oleh konsumen, tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberikan efek samping pada
jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya. Pangan
fungsional berupa pangan yang dapat dikonsumsi setiap saat oleh yang memerlukannya, jadi
bukan berbentuk kapsul atau tablet. Jika diperhatikan berdasarkan fungsinya, maka pangan
fungsional dapat berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh, mencegah penyakit,
memulihkan kondisi tubuh, dan menghambat proses penuaan.
Brower (1998) menjelaskan bahwa istilah "nutraceutical" diciptakan dari istilah
"nutrition" dan "pharmaceutical" oleh Stephen DeFelice, MD, pendiri dan ketua Yayasan
untuk Inovasi dalam Kedokteran (FIM) pada tahun 1989. DeFelice mendefinisikan
nutraceutical sebagai makanan (atau bagian dari makanan) yang memberikan manfaat medis
atau kesehatan, termasuk pencegahan dan/atau pengobatan suatu penyakit. Trottier el al
(2010) membedakan istilah nutraceutical dengan pangan fungsional. Ketika pangan
fungsional digunakan dalam pencegahan dan/atau pengobatan penyakit dan/atau gangguan
selain anemia, itu disebut nutraceutical.
Menurut Karla (2003) ada persamaan antara pangan fungsional dan nutraceutical, yaitu
pangan fungsional dapat bertindak sebagai nutraceutical. Sebaagai contoh, nutraceutical dapat
digunakan sebagai bahan fortifikasi pada produk susu maupun indutri jus. Dalam penelitian
terdahulu oleh Broer (1998) beberapa zat yang terkandung di dalam makanan alamiseperti
vitamin E, selenium, vitamin D, teh hijau, kedelai, dan likopen adalah contoh dari
nutraceuticals yang telah dipelajari secara luas dalam kesehatan manusia.
Karla (2003) juga menjelaskan perbedaan nutraceuticals dengan suplemen, ditinjau dari
aspek berikut: (1) nutraceuticals tidak hanya harus melengkapi fungsi diet tetapi juga harus
membantu dalam pencegahan dan/atau pengobatan penyakit dan/atau gangguan kesehatan;
dan (2) nutraceuticals digunakan sebagai makanan konvensional atau sebagai item tunggal
makan. Laparra dan Sanz (2010) menambahkan bahwa komponen tersebut memainkan peran
yang bermanfaat di luar gizi dasar, yang mengarah ke pengembangan dari konsep pangan
fungsional dannutraceuticals.
Defelice (1989) mengungkapkan suatu definisi mengenai nutraceutical yaitu suatu
substansi yang berasal dari makanan atau bagian dari makanan yang memiliki efektifitas
dalam pengobatan atau kesehatan, termasuk untuk pencegahan dan mengobati penyakit.
Produk-produk merupakan nutraceutical isolate nutrisi, supplement food, dan makanan yang
diproses dengan teknologi. Produk nutraceutical dibagi dalam dua tipe yaitu; “Potential
Nutraceutical” (belum didukung oleh data klinis) dan “Established Nutraceutical” (telah
didukung oleh data klinis yang terbukti efektif untuk kesehatan). Pembuatan produk
nutraceutical menggunakan bahan dasar makanan sehingga aman untuk tubuh manusia dan
melalui proses pembuatan seperti produk farmasi/obat yaitu melalui tahapan yang panjang
yaitu uji pra klinis, uji klinis dan uji pasca pemasaran yang dapat membuktikan
efikasi/efektifitasnya.
2.2 Kenitu
Chrysophyllum cainito L. Umumnya
dikenal oleh masyarakat dengan istilah
kenitu, sedangkan di daerah asalnya
(Amerika Tengah) disebut star apple. Kenitu
berasal dari dataran rendah Amerika Tengah
dan Hindia Barat. Tanaman ini termasuk
dalam family Sapotaceae dan banyak tumbuh
di daerah dengan curah hujan tinggi dan lembab yaitu pada ketinggian 5-1000 meter dari
permukaan laut. C. Cainito merupakan jenis tumbuhan pohon yang tingginya berkisar 10-30
meter, berumur menahun (parenial). Termasuk tumbuhan hermafrodit (sel-fertile) (Zulaikhah,
2015).
Kenitu (Chrysophyllum cainito L.,suku Sapotaceae) atau Star Apple banyak terdapat di
pulau Jawa bagian hilir dan daerah pegunungan rendah. Tanaman ini pernah dibiakkan sebagai
tanaman buah-buahan atau tanaman hias. Di dalam buletin No. 37 Musium Kolonial, Kwast
mendeskripsikan buah kenitu sebagai buah yang lembut, berair, menyegarkan dan enak
rasanya. Akan tetapi, buah tersebut tidak laku dijual di sini bahkan juga di tempat asalnya di
Amerika tropis (Heyne, 1987).
2.2.1 Klasifikasi Tumbuhan Kenitu
2.3 Mochi
Kue Mochi merupakan salah satu kue yang
berasal dari Jepang dan terbuat dari beras ketan,
ditumbuk sehingga menjadi lembut dan
lengket, kemudian dibentuk bulat dan ditaburi
dengan tepung maizena yang sudah disangrai
atau wijen. Di Jepang, dahulu kue ini sering
dibuat dan dimakan pada saat perayaan tahun
baru Jepang. Namun sekarang jenis kue ini dapat dijual dan diperoleh di toko‐toko kue
sepanjang tahun. Kue ini memiliki rasa yang khas yaitu lembut saat pertama kali dimakan dan
lama kelamaan menjadi lengket. Masyarakat Indonesia membuat kue mochi dengan berbagai
macam variasi baik isi maupun adonan kulitnya. Kue mochi dapat dimodifikasi dengan
menggunakan substitusi bahan lain agar mempunyai nilai fungsional (Lungga, 2016).
Menurut Andriaryanto (2016) Mochi terbuat dari tepung ketan putih dan tepung sagu, oleh
sebab itu kandungan gizi pada makanan ini 75-90% adalah karbohidrat dan mengandung
sedikit sekali protein. Dalam satu porsi mochi mengandung lemak 1,3 gr, karbohidrat 16 gr,
fiber 1,3 gr dan protein hanya 1,3 gr.
BAB III
PEMBAHASAN
Bahan isian
Daging buah kenitu 2 kg
Gula 1 kg
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu buah kenitu dapat diambil manfaatnya selain
dengan cara dimakan langsung seperti pada umumnya. Salah satunya diolah menjadi
produk makanan enak berupa kue mochi. Sehingga manfaat dalam buah kenitu dapat
dinikmati dalam bentuk variasi yang lebih enak.
4.2 Saran
Saran untuk pembuatan MANTU ini yaitu agar lebih berhati-hati dalam mengolah
selai kenitu. Terutama saat memisahkan daging buah dengan kulit dan biji, sehingga
getah tidak ikut dalam daging buah dan menyebabkan rasa sepat pada selai.
DAFTAR PUSTAKA
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2001. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan
Fungsional. Jakarta: BPOM.
Brower, V. 1998. Nutraceuticals: poised for a healthy slice of the healthcare market?. Nat.
Biotechnol . 16. 728-731.
Das, A., Badaruddin, B.N., Bhaumik, A., 2010. A Brief Review on Chrysophyllum cainito.
Journal of Pharmacognosy and Herbal Formulations. 1, 1, 1-7.
Einbond, L.S., Reynertson, K.A., Luo, X-D., Basile, M.J., Kennelly, E.J. 2004. Anthocyanin
Antioxidants from Edible Fruits. Food Chemistry. 84: 23-28.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I dan II. Terj. Badan Libang Kehutanan.
Cetakan I. Jakarta Pusat: Koperasi karyawan Departemen Kehutanan.
Laparra, J.M.; Sanz, Y. 2010. Interactions of gut microbiota with functional foodcomponents and
nutraceuticals. Pharmacol. Res 61, 219-225.
Luo, X.D., Basile, M.J., Kennely, E.J., 2002, Polyphenolic Antioxidants from Chrysophyllum
cainito L. (Star Apple). Journal of Agricultural and Food Chemistry. 50 ( 6): 1379-1382
Tapas A, Sakarkar DM, Kakde RB. 2008. Flavonoids as nutraceuticals : a review, Tropical J
Pharm Res. 7(3) : 1089-1099
Trottier, G. et,al. 2010. Nutraceuticals and prostate cancer prevention: a current review . Nat.
Rev. Urol. 7, 21-30.
USDA, NRCS. 2004. The Plants Database, Version 3.5. National Plant Data Center, Baton Rouge,
LA USA.
Wildman, R.E.C. 2001. Handbook of Nutraceuticals dan Functional Food. CRC Press. Boca
Raton.
Zulaikhah, Siti. 2015. Uji Aktivitas Polivenol dan Flavonoid Ekstrak Air, Aseton, Etanol,
Beberapa Varian Daun Kenitu Dari Daerah Jember. Fakultas Farmasi Universitas Jember