3. Patofisiologi
Hidronefrosi merupakan respon hasil dari proses anatomis
atau fungsional dari suatu gangguan aliran urine. Gangguan ini
dapat terjadi dimana saj disepanjang saluran urine dari ginjal
sampai ke meatus uretera.
Kenaikan tekanan ureter menyebabkan perubahan yang
ditandai difiltrasi glomerular, fungsi tubular, dan aliran darah ginjal.
Laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun secara signifikan dalam
hitungan jam setelah obstruksi akut. Penurunan signifikan GFR
dapat bertahan selama berminggu-minggu setelah relief obstruksi.
Selain itu, kemampuan tubular ginjal untuk mengangkut natrium,
kalium, dan proton, serta berkonsentrasi dan untuk mencairkan
urine sangat terganggu.
Tingkat gangguan fungsional secara langsung berkaitan
dengan durasi dan luasnya obstruksi. Pada gangguan fungsional
yang terjadi bersifat reversibal dengan sedikit perubahan
anatomis. Sementara itu, pada kondisi gangguan kronis akan
mengakibatkan atrofi tubulus mendalam dan kehilangan nefron
permanen.
Peningkatan tekanan ureter juga menghasilkan revluks
pyelovenous dan pyelolymphatic. Perubahan bruto dalam saluran
kemih bergantung pada durasi, derajat, dan tingkat obstruksi.
Dalam sitem pengumpulan intrarenal, derajat dilatsi dibatasioleh
parenkim ginjal. (Muttaqin & Sari, 2012)
Obstruksi saluran kemih akan menyebabkan kerusakan
ginjal, baik struktur maupun fungsinya. Kerusakan itu tergantung
pada lama obstruksi, derajat obstruksi, unilateral atau bialteral,
atau adanya infeksi yang menyertainya. Perubahan yang terjadi
pada berbagai variabel pada saat obstruksi berlangsung, dibagi
dalam tiga waktu kritis, yang dikenal sebagai trifase obstruksi.
Ketiga waktu tersebut adalah fase I atau akut (0-90 menit), fase II
atau pertengahan (2-5 jam), dan fase III atau lanjut (24 jam).
Ditambahakan pula fase pascaobstruksi. Pengaruh dari ketiga
fase tersebut terhadap tekanan intrakalises, RBF, GFR, dan fungsi
tubulus distalis (Purnomo, 2011).
4. Manifestasi klinik
Menurut (Williams & Wilkins, 2011) manifestasi klinik yang
biasanya muncul adalah :
a. Awalnya tidak ada.
b. Aliran urine berkurang.
c. Hematuria, piuria, disuria, oliguria dan poliuria bergantian, dan
anuria menyeluruh.
d. Nyeri ringan.
e. Mual Muntah, abdomen terasa penuh, nyeri saat berkencing,
dan keraguan.
f. Nyeri hebat diginjal atau nyeri samar dibagian samping tubuh
yang bisa memancar ke pangkal paha.
g. Nyeri unilateral (umumnya di bagian samping tubuh) jika
pasien mengalami obstruksi unilateral.
5. Pemeriksaan diagnostik
Menurut (Muttaqin & Sari, 2013) Pemeriksaan diagnostik
yang dapat dilakukanadalah:
a. Laboratorium
Urinalisis. Pyuria menunjukan adanya infeksi. Hematuria
mikroskopik dapat menunjukan adanya batu atau tumor.
Hitung jumlah sel darah lengkap : leukositosis mungkin
menunjukan infeksi akut. Kimia serum: hidronefrosis bilateral
dan hidroureter dapat mengakibatkan peningkatan kadar BUN
dan keratinin. Selain itu, hiperkalemia dapat menjadi kondisi
yang mengancam kehidupan.
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode yang cepat, murah, dan cukup
akurat untuk mendeteksi hidronefrosis dan hidroureter,
namun, akurasi dapat bergantung pada pengguna.
Ultrasonografi umumnya umumnya berfungsi sebagai tes
skrining pilihan untuk menetapkan diagnosis dari
hidronefrosis.
c. Pyelography Intravena (IVP)
Pyelography intravena berguna untuk mengidentifikasi
keberadaan dan penyebab hidronefrosis dan hidroureter.
Intraluminal merupakan penyebab paling mudah yang dapat
diidentifikasi berdasarkan temuan IVP.
d. CT Scan
CT scan memiliki peran penting dalam evaluasi hidronefrosis
dan hidroureter. Proses retroperitoneal menyebabkan
obstruksi ekstrinsik dari ureter dan kandung kemih dapat
dievaluasi dengan sangat baik pada CT scan.
6. Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada penyakit hidronefrosis
menurut (Bilotta, 2011) adalah:
a. Batu ginjal
b. Sepsis
c. Hipertensi renovaskuler
d. Nefropasti obstruktif
e. Infeksi
f. Pielonefritis
g. Ileus paralitik
h. Gagal ginjal
7. Penatalaksanaan
Peran pengobatan hidronefrosis dan hidroureter terbatas
untuk mengontrol rasa sakit dan pengobatan atau pencegahan
infeksi. Sebagian besar kondisi pasien memerlukan tindakan
invasif atau intervensi bedah dengan prognosis pascabedah yang
baik.
Teknik yang dilakukan pada pasien dengan hidronefrosis dan
hidroureter bergantung pada etiologi. Secara umum, intervensi
bedah dilakukan segera bila terdapat adanya tanda-tanda infeksi
pada saluran perkemihan karena infeksi dengan memberikan
predisposisi penting terjadinya kondisi sepsis(Muttaqin & Sari,
2012).
Sedangkan Menurut (Prabowo & Pratama, 2014)
penatalaksanaan medis yaitu :
a. Simptomatik
Pemberian obat-obatan pelarut batu dilakukan jika ukuran
batu tidak terlalu besar dan tidak terlalu keras. Peluruh batu
akan memecah batu lebih kecil, sehingga bisa diragasi keluar
bersama urin. Minumair putih yang banyak diperlukan saat
irigasi batu, sehingga frekuensi kencing akan meningkat dari
kualitas dan kuantitas.
b. Pembedahan
Pembedahan dilakukan jika ukuran batu besar dan tidak
memungkinkan untuk dikeluarkan dengan tindakan
simptomatik maupun litotripsi. Pembedahan (lumbotomy)
dilakukan dengan memperhatikan letak batu, sehingga teknik
insisi akan mengikuti dari pertimbangan tersebut.
c. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Tindakan ini digunakan untuk memecahkan batu pada ginjal
dengan menggunakan pancara gelombang yang
penghantarannya berada dalam genangan air. Gelombang
yang dihantarkan berupa gelombang kejut (shock wave)
denagn harapan mampu meretakan batu pada ginjal. Pasien
ditempatkan dalam sebuah wadah/ kolam yang berisis air.
Dengan panduan USG piezoelektris maka akan lebih mudah
untuk menentukan posisi batu. Insisi tetap dilakukan namun
mini insisi pada perkutuan untuk mengeluarkan batu. Dari
insisi inilah dimasukan sebuah dilator sebagai lintasan untuk
pengambilan batu. Selang nefrostomo in situ ditanamkan
selama 24-48 jam untuk memantau bleeding pada bekas
operasi dan sebagai drainase.
d. Litotripsi ureter
Tindakan ini bisa dilakukan jika batu berada pada sepertiga
bawah (URS) dan atas saluran ureter. Litotripsi pada batu
sepertiga atas ureter dilakukan dengan mendorongnya
terlebih dahulu untuk masuk ke pelvis renalis sebelum
dilakukan litotripsi. Pada kondisi batuureter pasca operasi,
biasanya dilakukan pemasangan DJ sent. Hal ini untuk
memperlancar irigasi urine untuk keluar dikarenakan
terjadinya inflamasi pada ureter viseral pasca iritasi batu.
Stent akan ditanamkan in situ dalam ureter dalam beberapa
waktu sampai evaluasi hidronefrosis dinyatakan sudah negatif.
e. Litolapaksi Endoskopik
Sebenarnya litotripsi pada batu vesika bisa dilakukan dengan
non invasive melalui uretra. Batu akan dihancurkan dengan
menggunakan penghancur aligator yang dimasukan melalui
dilaor dan dibantu optik. Metoda litolapaksi endoskopik
dilakukan melalui sistoskopi kaku melalui kateter irigasi
pascaoperasi.
B. Konsep dasar keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
Menurut (Prabowo & Pratama, 2014) fokus pengkajian meliputi:
a. Biodata
Secara anatomis, tidak ada faktor jenis kelamin dan usi yang
signifikan dalm proses pembentukan batu, namun angka
kejadian urolithiasis di lapangan seringkali terjadi pada laki-
laki dan pad masa usia dewasa. Hal ini dimungkinka karena
pola hidup, aktifitas, dan kondisi geografis.
b. Keluhan Utama
Keluhan yang sering ditemukan pada pasien
urolihiasis/hidronefrosis adalah nyeri (pada punggung,
panggul, abdominal, lipat paha, genetalia), mual muntah,
kesulitan dalam kencing.
c. Riwayat Penyakit
Pada observasi sering ditemukan adanya hematuria (baik
secara mikroscopis maupun gross), oliguria. Kondisi kolik
(ginjal/ ureter) biasanya timbul secara tiba-tiba dengan pemicu
yang beragam (aktifitas rendah, input cairan rendah, pengaruh
gravitasi yang tinggi, imobilitas). Dengan serangan ini
biasanya membuat pasien untuk segera mendapatkan
pelayanan kesehatan. Kaji riwayat penyakit sebelumnya,
utamanya yang meningkatkan resiko terbentuknya batu,
misalnya asam urat, hiperkolesterol, hiperkalsemia, dan lain
sebagainya.
d. Pola Psikososial
Secara realita, tidak ada pengaruh kondisi penyakit urolithiasis
terhadap interaksi sosial. Hambatan dalam interaksi sosial
dikarenakan adanya ketidaknyamanan (nyeri hebat) pada
pasien, sehingga fokus perhatiannya hanya pada sakitnya.
Isolasi sosial tidak terjadi karena bukan merupakan penyakit
menular.
e. Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-Hari
Penurunan aktifitas selama sakit terjadi bukan karena
kelemahan otot, tetapi dikarenakan gangguan rasa nyaman
(nyeri). Kegiatan aktifitas pasie relatif dibantu oleh keluarga,
misalnya berpakaian, mandi, makan, minum dan lain
sebagainya.
Terjadi mual muntah karena peningktan tingkat stres pasien
akibat nyeri hebat. Anoreksi seringkali terjadi karena kondisi
pH pencernaan yang asam akibat sekresi HCL berlebihan.
Eliminasi alvi tidak mengalami perubahan fungsi maupun poal
kecuali diikuti oleh penyakit penyerta lainnya. Klien mengalami
nyeri saat kencing (disuria, pada diagnosis urolithiasis),
hematuria (gross/ flek), kencing sedikit (oliguria), distensi
vesika.
f. Pemeriksaan Fisik
Anamnesa tentang pola eleminasi urine akan memberikan
data yang kuat.takikardi akibat nyeri yang hebat, nyeri ketok
pinggang, distensi vesika pada palpasi vesika.
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto polos abdomen
Mendeteksi adanya batu ginjal pada sistem pelvicalyses,
klasifikasi parenkim ginjal, batu ureter, klasifikasi dan batu
kandung kemih.
2) Urografi intravena
Dengan pemasukan zat kontras 50-100 maka batu ginjal
bisateridentifikasi. Hal ini kaan memeprlihatkan
pelvicalyses, ureter, dan vesika urinaria.
3) Pielografi antegrad
Kontas langsung disuntikan ke dalam sistem pelvicalyses,
sehingga akan tergambarkan batu.
4) Urinalisis
Sering ditemukan adanya hematuria pada urine. Hal ini
jika terjadi lesi pada mukosa saluran kemih karena iritasi
dari batu.
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri Akut
Definisi : pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang
aktual potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan
sedemikian rupa (international association for the study of
pain), awitan yang tiba-tiba tau lambat dari intemsitas ringan
hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau
diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.
Batasan karakteristik :
1) Perubahan selera makan
2) Perubahan tekanan darah
3) Perubahan frekuensi jantung
4) Perubahan frekuensi pernapasan
5) Laporan isyarat
6) Diaforesis
7) Perilaku distraksi (misalnya :berjalan mondar mandir,
mencari orang lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang
berulang).
8) Mengekpresikan perilaku (misalnya : gelisah, merengek,
menangis, waspada, iritabilitas, mendesah).
9) Masker wajah (misalnya : mata kurang bercahaya, tampak
kacau, gerakan mata berpencar, atau tetap pada satu
fokus, meringis).
10) Sikap melindungi area nyeri.
11) Fokus menyempit (misalnya : gangguan presepsi nyeri,
hambatan proses berpikir, penurunan interaksi dengan
orang dan lingkungan.
12) Indikasi nyeri yang dapat diamati.
13) Perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
14) Sikap tubuh melindungi.
15) Dilatasi pupil.
16) Melaporkan nyeri secara verbal.
17) Fokus pada diri sendiri
18) Gangguan tidur
Faktor yang berhubungan :
Agen cedera (misalnya : biologis, fisik, dan psikologis)
b. Gangguan Eliminasi Urine
Definisi : disfungsi pada eleminasi
urine. Batasan karakteristik :
1) Disuria
2) Sering berkemih
3) Ayang-ayangan
4) Inkontinensia
5) Nokturia
6) Retensi
7) Dorongan
Kurangnya Gangguan
informasi Penututp haluaran
aliran urine
Hidronefrosis Gangguan
eleminasi urine
Tekanan di ginjal
meningkat
Nyeri tekan
abdomen
Gangguan
rasa Mual &
muntah
nyaman