Anda di halaman 1dari 26

Dampak Hoax Bagi Perpecahan Bangsa Dalam Lingkup Media Sosial

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pancasila

Oleh :

1. Namira Alya Diva (180710101177)


2. Desya Renata (180210104079)
3. Ferina Octaviana (180210104083)
4. Imam Syafi’I (180210104086)

PUSAT PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN IDEOLOGI


KEBANGSAAN

LEMBAGA PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN DAN PENJAMINAN


MUTU

UNIVERSITAS JEMBER

2019
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Pendidikan
Pancasila dengan judul “Dampak Hoax Bagi Perpecahan Bangsa Dalam Lingkup
Media Sosial”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Jember, 7 April 2019

Penyusun

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................ ...................................................... ii

Daftar Isi.................................................. ..................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang ............................ ...................................................... 1


1.2. Rumusan masalah ...................... ...................................................... 1
1.3. Tujuan penulisan ........................ ...................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............. ...................................................... 3

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Jenis-jenis Informasi Hoax ........ ...................................................... 5


3.2. Identifikasi Hoax ........................ ...................................................... 6
3.3. Upaya dalam Mengurangi Penyebaran Berita Hoax ......................... 9
3.4. Dampak Berita Hoax bagi Perpecahan Bangsa dalam Media
Sosial .......................................... .................................................... 17

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan ................................ .................................................... 20


4.2. Saran ......................................... .................................................... 20

Daftar Pustaka ……………………………………………………………...22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan
komunikasi sangat pesat dan membawa perubahan dalam seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut sedikit banyak telah mengarah
pada hal-hal positif, tetapi tentu saja ada dampak negatif yang menyertainya.
Katakanlah perkembangan jaringan interconnected network (internet) yang
mengalami perkembangan pesat saat ini. Internet telah memudahkan akses
informasi dan komunikasi manusia. Akan tetapi, dampak negatif dari
maraknya pengguna internet adalah konten-konten seperti pornografi dan
informasi palsu yang tersebar di berbagai situs-situs web. Berbagai upaya
telah dilakukan untuk mengatasi hal itu, tetapi tetap saja tidak bisa
membendung konten negatif yang muncul.
Taruhlah hoax atau informasi palsu yang baru-baru ini semakin marak
terjadi. Bahaya serius yang mengancam dari menjamurnya hoax adalah
hilangnya rasa nasionalisme dan memungkinkan untuk muncul gerakan
separatisme masal seperti GAM dan Papua Merdeka, bahkan lebih dari itu.
Bahaya tersebut sangat mengancam sila ketiga Pancasila yaitu
“Persatuan Indonesia”. Namun, bagaimana Pancasila itu sendiri memaknai
ancaman ini? Sebagai genetivus subjectivus, sudah hal yang wajar bahwa
Pancasila digunakan sebagai instrumen analisis masalah-masalah aktual
seperti hoax.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apa saja jenis-jenis informasi hoax?

1
1.2.2. Bagaimana cara mengidentifikasi berita hoax?
1.2.3. Bagaimana upaya dalam mengurangi penyebaran berita hoax?
1.2.4. Bagaimana dampak berita hoax bagi perpecahan bangsa dalam media
sosial?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi berita hoax.
1.3.2. Untuk mengetahui upaya dalam mengurangi penyebaran berita hoax.
1.3.3. Untuk mengetahui dampak berita hoax bagi perpecahan bangsa dalam
media sosial.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hoax

Hoax merupakan informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi


sebenarnya. Dengan kata lain hoax juga bisa diartikan sebagai upaya
penutarbalikan fakta menggunakan informasi yang seolah-olah meyakinkan
tetapi tidak dapat diverifkasi kebenarannya. Hoax juga bisa diartikan sebagai
tindakan mengaburkan informasi yang sebenarnya, dengan cara membanjiri
suatu media dengan pesan yang salah agar bisa menutupi pesan yang benar.
Tujuan dari hoax yang disengaja adalah membuat masyarakat merasa tidak
aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Dalam kebingungan, masyarakat akan
mengambil keptusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah.
Perkembangan hoax di media sosial semula dilakukan untuk sarana perisakan.
Namun, perkembangan selanjutnya, para spin doctor politik melihat
efektivitas hoax sebagai alat black campaign di pesta demokrasi yang
mempengaruhi persepsi pemilih (Gumilar, 2017).

Hoax bertujuan untuk membuat opini publik, menggiring opini publik,


membentuk persepsi juga untuk having fun yang menguji kecerdasan dan
kecermatan pengguna internet dan media sosial. Tujuan penyebaran hoax
beragam tapi pada umumnya hoax disebarkan sebagai bahan lelucon atau
sekedar iseng, menjatuhkan pesaing (black campaign), promosi dengan
penipuan, ataupun ajakan untuk berbuat amalan – amalan baik yang
sebenarnya belum ada dalil yang jelas di dalamnya. Namun ini menyebabkan
banyak penerima hoax terpancing untuk segera menyebarkan kepada rekan

3
sejawatnya sehingga akhirnya hoax ini dengan cepat tersebar luas (Rahadi,
2017).

2.2. Media sosial


Media sosial memberikan kemerdekaan seluas-luasnya bagi para
pengguna untuk mengekspresikan dirinya, sikapnya, pandangan hidupnya,
pendapatnya, atau mungkin sekadar menumpahkan unek-uneknya. Termasuk
memberikan kebebasan apakah media sosial akan digunakan secara positif
atau negatif. Kita patut prihatin dengan kondisi saat ini, cukup banyak orang
yang menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebencian dan
provokasi. Keadaan tersebut di satu sisi bisa menjadi potensi yang
menguntungkan, namun di sisi lainnya bisa menjadi sebuah ancaman atau
setidaknya malah memberikan dampak negatif yang mengarah pada
perpecahan. Sebagaimana kita ketahui bahwa akhir-akhir ini penyebaran
berita ujaran kebencian, bentuk-bentuk intoleransi dan informasi palsu (hoax)
sedang marak menghiasi jagad media social Indonesia. Hal ini berlangsung
khususnya pada situasi politik tertentu, misalnya pada saat Pemilu, Pilpres dan
pada masa Pilkada serentak di beberapa wilayah di Indonesia, dimana terdapat
indikasi adanya persaingan politik dan kampanye hitam yang juga dilakukan
melalui media social (Juliswara,2017).
Media sosial adalah sebuah media online. Para penggunanya bisa dengan
mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring
sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Media sosial, seperti facebook, pada
awalnya, cenderung berkait pada persoalan pertemanan. Namun, saat ini,
mulai banyak menyinggung ke ranah politik kekuasaan pemerintahan atau
negara. Menurut Ruben (dalam Wilhelm, 2003: IX) menegaskan bahwa
perkembangan teknologi komunikasi berpengaruh secara baik terhadap proses
politik. Bahkan, kemajuan komunikasi digital dengan email akan membawa
pada pemberian semangat baru demokrasi (Budiyono, 2016).

4
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Jenis-jenis Informasi Hoax

Hoax adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya


untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu
bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang
paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu
sebutan yang berbeda dengan barang/ kejadian sejatinya. Definisi lain
menyatakan hoax adalah suatu tipuan yang digunakan untuk mempercayai sesuatu
yang salah dan seringkali tidak masuk akal yang melalui media online. Menurut
Rahadi (2017), terdapat beberapa jenis informasi hoax yaitu:

3.1.1. Fake news: Berita bohong. Berita yang berusaha menggantikan berita
yang asli. Berita ini bertujuan untuk memalsukan atau memasukkan
ketidakbenaran dalam suatu berita. Penulis berita bohong biasanya
menambahkan hal-hal yang tidak benar dan teori persengkokolan, makin
aneh, makin baik. Berita bohong bukanlah komentar humor terhadap
suatu berita.
3.1.2. Clickbait: Tautan jebakan. Tautan yang diletakkan secara stategis di
dalam suatu situs dengan tujuan untuk menarik orang masuk ke situs
lainnya. Konten di dalam tautan ini sesuai fakta namun judulnya
dibuat berlebihan atau dipasang gambar yang menarik untuk memancing
pembaca.
3.1.3. Confirmation bias: Bias konfirmasi. Kecenderungan untuk
menginterpretasikan kejadian yang baru terjadi sebaik bukti dari
kepercayaan yang sudah ada.

5
3.1.4. Misinformation: Informasi yang salah atau tidak akurat, terutama yang
ditujukan untuk menipu.
3.1.5. Satire: Sebuah tulisan yang menggunakan humor, ironi, hal yang
dibesar-besarkan untuk mengkomentari kejadian yang sedang hangat.
Berita satir dapat dijumpai di pertunjukan televisi seperti “Saturday
Night Live” dan “This Hour has 22 Minutes”.
3.1.6. Post-truth: Pasca-kebenaran: Kejadian di mana emosi lebih berperan
daripada fakta untuk membentuk opini publik.
3.1.7. Propaganda: Aktifitas menyebar luaskan informasi, fakta, argumen,
gosip, setengah-kebenaran, atau bahkan kebohongan untuk
mempengaruhi opini publik.

3.2. Identifikasi Berita Hoax

Berita palsu atau hoax masih banyak berseliweran di media online dan
media sosial seperti Facebook, Instagram, maupun Twitter. Sebagian masyarakat
masih banyak yang menyakini berita tersebut sebagai sebuah kebenaran, bahkan
tidak sedikit yang kemudian membagikannya ke pengguna lain (Herman, 2018).

Untuk mengurangi penyebaran berita palsu, terdapat beberapa cara


diantaranya yaitu:

3.2.1. Bersikaplah skeptis terhadap judul


Cerita berita palsu seringkali memiliki judul bombastis dengan huruf
kapital dengan tanda seru. Jika judulnya kelihatannya mengejutkan
dan tidak dapat dipercaya, maka kemungkinan berita tersebut adalah
hoax.

6
3.2.2. Perhatikan baik-baik URL-nya
URL palsu atau yang dibuat mirip aslinya bisa jadi tanda peringatan
adanya berita palsu. Banyak situs berita palsu berpura-pura sebagai
sumber berita autentik dengan sedikit mengubah alamat URL. Kita
dapat membuka situs tersebut dan membandingkan alamat URL-nya
dengan sumber terpercaya.

3.2.3. Selidiki sumbernya


Pastikan berita tersebut ditulis oleh sumber yang dipercaya memiliki
reputasi keakuratan yang baik. Jika berita tersebut berasal dari
organisasi yang tidak dikenal, baca bagian “Tentang” di situs mereka
untuk mempelajari selengkapnya.

3.2.4. Perhatikan format yang tidak biasa


Banyak situs berita palsu yang salah eja atau punya tata letak yang
canggung. Bacalah dengan seksama untuk melihat tanda-tanda ini.

3.2.5. Cek fotonya


Kabar berita palsu sering berisi gambar atau video yang dimanipulasi.
Terkadang foto tersebut memang asli, tetapi konteksnya berbeda. Kita
dapat menelusuri foto atau gambar tersebut untuk mencari tahu
asalnya.

3.2.6. Periksa tanggalnya


Kabar berita palsu mungkin berisi linimasa yang tidak masuk akal,
atau tanggal peristiwa yang sudah diubah.

7
3.2.7. Periksa buktinya
Periksalah sumber informasi penulis untuk menginformasi
keakuratannya. Kurangnya bukti atau ketergantungan terhadap ahli-
ahli yang tidak disebutkan namanya dapat mengindikasikan kabar
tersebut adalah berita palsu.

3.2.8. Lihat laporan lainnya


jika tidak ada sumber berita lainnya yang melaporkan berita yang
sama, hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa berita tersebut palsu.
Jika berita tersebut dilaporkan oleh beberapa sumber yang bisa
dipercaya, maka kemungkinan berita tersebut benar.

3.2.9. Apakah berita tersebut hanya lelucon?


Terkadang kabar berita palsu sulit dibedakan dengan humor atau
sindiran. Cek apakah sumbernya memang biasa menampilkan parody,
dan apakah perincian cerita dan nadanya menunjukkan bahwa berita
tersebut hanya sekedar lelucon.

3.2.10. Beberapa berita dipalsukan dengan sengaja


Pikirkan secar kritis berita yang dibaca, dan hanya bagikan berita yang
kita ketahui dapat dipercaya.

Ruang operasi penyebar berita palsu (hoax) tidak hanya di media sosial.
Para penyebar berita palsu (hoax) atau biasa dikenal dengan buzzer juga membuat
portal berita dengan mengadopsi gaya portal dan nama yang sepintas mirip
dengan media on line resmi dan terverifikasi. Pembaca yang tidak jeli biasanya
akan tertipu dengan berita-berita yang disajikan oleh portal berita abal-abal milik
para penyebar berita palsu (hoax). Para pembaca umumnya menyangka bahwa
berita yang mereka baca adalah berita asli yang sudah terverifikasi sesuai standar

8
dan kaidah jurnalistik. Padahal apabila dicermati lebih jauh, narasi yang tersaji
dari portal penyebar berita palsu (hoax) itu tidak bisa dipertanggungjawabkan
keakuratannya, baik dari segi standar, etika serta kaidah jurnalistik. Berikut berita
palsu (hoax) yang pernah disebar di media social:

1. Wapres Jusuf Kalla dikabarkan kritis dan diterbangkan ke Singapura


(Hoax)
2. Jokowi merupakan anak PKI (Hoax)
3. Gerakan Rush Money (Hoax)
4. 10 Juta Tenaga Kerja China Masuk Indonesia (Hoax)
5. Foto Jabat Tangan Ahok dan Habib Rizieq (Hoax)
6. Penggunaan plastik pada Lontong ( Disinformasi )
7. Penculikan anak untuk jual organ tubuh (Hoax)
8. Pembangunan disneyland di Boyolali, Jawa tengah, Indonesia ( Hoax )
9. Banjir di depan istana ( Disinformasi )
10. Bumbu masak mengandung babi ( Hoax )

3.3. Upaya Dalam Mengurangi Penyebaran Berita Hoax

Menurut Prayitno (2017), dari hasil penelitian terkait langkah strategis dan
kebijakan pemerintah dalam menanggulangi berita palsu (hoax) sebenarnya sudah
ada beberapa langkah yang komprehensif, baik dari kesiapan sarana, regulasi
maupun konsekuensi hukumnya. Langkah strategis dan kebijakan yang ditempuh
pemerintah itu antara lain sebagai berikut.

3.3.1. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik


Pemerintah menerbitkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang diperbarui dengan UU
No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Undang-Undang

9
ITE diterbitkan pemerintah karena menyadari pemanfaatan teknologi
informasi, media dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat
maupun peradaban manusia secara global. Kemajuan teknologi dan
informasi yang saat ini terjadi ibarat pedang bermata dua. Selain
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan
peradaban manusia, kemajuan teknologi informasi juga menjadi sarana
efektif perbuatan melawan hukum. UU ITE dalam pasal-pasalnya
mengatur ramburambu terkait aturan dan larangan apa saja yang harus
dipatuhi masyarakat ketika mereka berinteraksi di dunia maya atau
media sosial. Termasuk juga apa yang boleh diposting ataupun
dilarang ditampilkan di dunia maya karena dikhawatirkan dapat
mengganggu ketertiban umum.
Pasal 27, 28 dan 29 dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
memberikan sanksi yang jelas bagi mereka yang melakukan
pelanggaran sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam pasal-
pasal tersebut diatas. Keberadaan UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik kini sudah direvisi mengingat
semakin meningkatnya jumlah pelanggaran yang dilakukan netizen di
dunia maya. Pemerintah pun mengeluarkan UU No. 19 Tahun 2016
tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Revisi ini dilakukan dalam koridor untuk
memberikan jaminan atas pengakuan dan penghormatan terhadap hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban dalam
masyarakat yang demokratis. Hal lain yang mendorong dilakukannya
revisi atas UU ITE adalah semakin meningkatnya jumlah netizen yang
terjerat UU ITE karena berbagai sebab khususnya penyebaran konten-
konten yang dianggap meresahkan dan bernuansa SARA. Berikut

10
beberapa kasus terkait UU ITE yang menjerat netizen yang disarikan
penulis dari berbagai media massa.

Tabel 2. Sejumlah Kasus terkait UU ITE No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik

No. Nama Tersangka Kasus yang menjerat

Kasus Prita Mulyasari bermula pada 15 Agustus 2008. Saat


itu, Prita menuliskan surat elektronik (e-mail) berisi keluhan
kepada teman-temannya terkait layanan RS Omni
Internasional di Tangerang. Namun, isi e-mail untuk kalangan
terbatas itu tersebar ke sejumlah mailing list di
internet.Pihak RS Omni pun mengambil langkah hukum. Prita
dijerat dengan pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran
1
Prita nama baik serta pasal 27 ayat (3) Undang-undang Informasi
.
Mulyasari dan Transaksi Elektronik. Ancaman
hukumannya enam tahun penjara.Pengadilan Negeri (PN)
Tangerang sempat memvonis bebas Prita, kemudian Majelis
kasasi Mahkamah Agung (MA) mengganjarnya dengan
pidana 6 bulan penjara dengan masa
percobaan setahun. Prita akhirnya bebas setelah Peninjauan
Kembali (PK) terhadap kasusnya dikabulkan oleh Mahkamah
Agung (MA) pada 17 September 2012.

Mahasiswi kenotariatan Universitas Gajah Mada (UGM),


2 Florence Sihombing sempat dijerat dengan Pasal 27 ayat 3
Florence
. juncto Pasal 45 ayat 1, dan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45
Sihombing
ayat 2 Undang-Undang ITE. Penyebabnya adalah statusnya di
jejaring sosial Path yang dinilai menghina warga Yogyakarta.

11
Buni Yani Didakwa melakukan pengeditan terhadap video
pidato Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok pada saat kunjungan kerja di Kepulauan Seribu pada 27
September 2016. Postingan Buni Yani di akun facebook-nya
menyebabkan gelombang demonstrasi besar-besaran umat
Muslim hingga berjilid-jilid yang menuntut Ahox di penjara
karena dugaan penistaan agama. Buni Yani dijerat dengan dua
dakwaan alternatif, yaitu Pasal 32 ayat 1 junto Pasal 48 ayat 1
3 UU RI nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Buni Yani
. Elektronik. Ia dinilai telah mengubah, merusak, dan
menyembunyikan informasi elektronik milik orang lain
ataupun publik berupa video pidato mantan Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan
Seribu pada 27 September 2016. Buni Yani juga dianggap
melanggar Pasal 28 ayat 2 dan pasal 45 ayat 2 Undang-
undang RI nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi
Eletronik (ITE) jo pasal 45 huruf A ayat 2 Undang-undang RI
nomor 19/2016 tentang perubahan atas UU RI nomor
11/2008.

Muhammad Arsyad ditangkap Bareskrim Polri karena diduga


menghina Presiden Jokowi pada medio 2014 silam. Tukang
sate itu ditangkap karena mem-posting sejumlah gambar yang
4
Muhammad dianggap melecehkan Jokowi di Facebook. Arsyad sempat
.
Arsyad ditahan pihak kepolisian. Dia dijerat dengan Pasal 27 Ayat
(3) UU ITE. Kasus ini berhenti setelah Jokowi didesak banyak
pihak. Jokowi kemudian memaafkan Arsyad dan memberinya
modal untuk usaha.

12
Jokowi Undercover, begitu judul buku yang ditulis Bambang
Tri Mulyono. Buku itu yang kemudian membuatnya
bermasalah dengan hukum. Dalam bukunya, Bambang
5 menulis tentang pemalsuan data oleh Jokowi saat mengajukan
Bambang Tri
. diri sebagai calon presiden dalam Pilpres 2014. Selain itu,
Mulyono
Bambang juga di bab lainnya menggambarkan Desa Giriroto
sebagai basis Partai Komunis Indonesia (PKI) terkuat di
Indonesia. Bambang dijerat dengan Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2008.

Bareskrim Polri kembali menangkap orang yang diduga


menyebarkan ujaran kebencian sebagaimana diatur dalam UU
ITE. Kali ini orang dimaksud, yakni Muhammad Tamim
Pardede. Tamim ditangkap, Juni 2017 karena mengunggah
video berisi kebencian dan penghinaan terhadap Presiden
6
Tamim Jokowi dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Salah satu video
.
Pardede yang diunggahnya, Tamim menyebut Presiden berpihak pada
komunis. Ia juga menyeret nama Tito yang dikatakannya
sebagai antek Jokowi dalam paham komunis. Dia kemudian
ditangkap polisi usai sebelumnya menantang Korps
Bhayangkara untuk menangkapnya. Oleh polisi, Tamim
kemudian dijerat dengan dengan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE.

Wanita 32 tahun itu ditangkap polisi dengan sangkaan UU

7 ITE karena diduga menyebarkan berbagai konten yang

Sri Rahayu
. menghina Presiden Joko Widodo, lambang negara, sejumlah
partai politik, dan organisasi kemasyarakatan lewat media
sosial Facebook. Dia mengunggahnya di akun Facebook
miliknya, Sri Rahayu Ningsih (Ny Sasmita). Konten-konten

13
yang diunggah Sri dalam akun Facebook-nya dinilai
melanggar UU ITE. Sri dijerat dengan Pasal 45 ayat (2) juncto
Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan atau Pasal 16 juncto Pasal 4
(b)1 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis.

Alfian Tanjung merupakan tersangka kasus hate speech alias


ujaran kebencian lantaran menghina kader PDI Perjuangan
melalui akun twitter nya. Dalam twitnya, Alfian mengatakan
8
Alfian bahwa sebagian besar kader PDIP adalah kader PKI. Alfian
.
Tanjung dijerat Pasal 27 ayat 3 junto Pasal 45 ayat 3 dan/atau Pasal 28
ayat 2 junto Pasal 45a ayat 2 UU 19 tahun 2016 tentang
Informasi Transaksi Elektronik (ITE) serta Pasal 310 dan 311
dan Pasal 156 KUHP.

Sumber : Diolah dari berbagai pemberitaan di media massa, 2017

3.3.2. Inpres No. 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik

Langkah lain yang ditempuh pemerintah untuk menanggulangi


persebaran berita palsu (hoax) dilakukan dengan mengeluarkan
Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi
Publik. Instruksi pokok yang terkandung dalam Inpres itu antara lain :
memberikan kewenangan kepada seluruh instansi pemerintah untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan
kewenangan masing-masing dalam rangka menyerap aspirasi publik,
dan mempercepat penyampaian informasi tentang kebijakan dan
program pemerintah. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan komunikasi
publik atau dikenal dengan narasi tunggal ini berada dibawah
koordinasi Kementerian Komunikasi dan Informatika.

14
Keluarnya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang
Pengelolaan Komunikasi Publik selanjutnya ditindaklanjuti
Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan mengeluarkan
widget Government Public Relation (GPR). Widget GPR yang
dikeluarkan Kominfo ini wajib dipasang di website setiap
Kementerian/Lembaga/Pemda. Cara untuk mengakses widget ini
dilakukan dengan memberikan user name kepada pengelola informasi
di masing-masing Kementerian/Lembaga/Pemda agar mereka dapat
mengakses informasi yang akan disampaikan ke publik melalui
aplikasi ini. Apabila informasi yang disampaikan dipandang sudah
memenuhi syarat untuk ditampilkan, pengelola widget GPR akan
meneruskan informasi tersebut di aplikasi GPR dan langsung bisa
diakses oleh masyarakat melalui website
Kementerian/Lembaga/Pemda yang sudah memasang aplikasi ini.

3.3.3. Tenaga Humas Pemerintah (Government Public Relation)

Keluarnya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang


Pengelolaan Komunikasi Publik juga ditindaklanjuti Kementerian
Komunikasi dan Informatika dengan merekrut Tenaga Humas
Pemerintah pada tahun 2015. Tenaga Humas Pemerintah ini direkrut dari
kalangan profesional maupun PNS yang memiliki kompetensi dasar
jurnalistik dan hubungan masyarakat. Hasil rekrutmen Tenaga Humas
Pemerintah selanjutnya didistribusikan di setiap Kementerian/Lembaga
yang dianggap membutuhkan. Dari hasil wawancara dengan tenaga
humas pemerintah, dalam kesehariannya melakukan tugas berupa
analisis konten media, menulis artikel, membuat siaran pers, dan
melakukan pengelolaan terhadap media sosial resmi yang dimiliki
Kementerian/Lembaga tersebut. Di samping mencermati isu yang
berkembang setiap hari di media massa, para tenaga humas pemerintah

15
juga melakukan pemetaan dan melakukan counter terhadap isu yang
bersinggungan dengan Kementerian/Lembaga ditempatnya ditugaskan.

3.3.4. Membentuk Jejaring Komunikasi

Dalam rangka mengoptimalkan diseminasi informasi untuk


menangkal berita palsu (hoax), pemerintah melalui Kementerian
Komunikasi dan Informatika juga membentuk jejaring komunikasi
melalui aplikasi WhatsApp. Jejaring komunikasi ini berisi tenaga humas
pemerintah baik di tingkat Kementerian/Lembaga/Pemda. Dengan
adanya grup komunikasi ini setiap humas pemerintah yang tergabung
dalam grup selalu memberikan up date informasi terkait berbagai
informasi maupun opini yang berkembang di masyarakat. Anggota grup
juga memberikan informasi yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan di instansi masing-masing untuk diketahui oleh anggota
grup dengan harapan disebarkan ke grup WhatsApp di instansi masing-
masing anggota.

3.3.5. Pembangunan Portal Jaringan Pemberitaan Pemerintah

Kementerian Komunikasi dan Informatika juga membuat portal


pemberitaan Jaringan Pemberitaan Pemerintah (JPP) yang bisa di akses
melalui kanal : www.jpp.go.id. Portal berita ini dikelola oleh Kominfo
dengan konten berita atau informasi yang diperoleh dari anggota jaringan
komunikasi pemerintah yang sudah terbentuk. Dengan demikian,
informasi yang ditampilkan di portal www.jpp.go.id berasal dari jaringan
tenaga humas pemerintah di seluruh Indonesia. Siapapun yang memiliki
informasi update terkait kegiatan di instansinya dapat mengirimkan
informasi ke pengelola Jaringan Pemberitaan Pemerintah. Portal berita
jaringan pemberitaan pemerintah ini diharapkan membuat informasi
yang beredar di masyarakat benar-benar terverifikasi dan menggunakan

16
sudut pandang pemerintah sesuai dengan realitas yang sebenarnya.
Termasuk untuk menghindari praktik pemelintiran berita oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab.

3.3.6. Portal Aduan Konten

Dalam rangka meminimalisasi persebaran konten-konten berita


palsu (hoax) di media sosial, Kementerian Komunikasi dan Informatika
membuka situs aduan yang dapat diakses di laman :
https://aduankonten.id. Situs ini merupakan fasilitas pengaduan konten
negatif baik berupa situs/website, URL, akun media sosial, aplikasi
mobile, dan software yang memenuhi kriteria sebagai informasi dan/atau
Dokumen Elektronik bermuatan negatif sesuai peraturan perundang-
undangan. Setiap orang yang merasa terganggu dengan konten yang
terdapat di dunia maya berhak untuk menyampaikan pengaduan konten
negatif tersebut dengan cara mendaftarkan diri, mengunggah tautan
(link) serta screenshot situs atau konten yang dilaporkan disertai
alasannya, dan memantau proses penanganan yang dilakukan oleh Tim
Aduan Konten.

3.4. Dampak Berita Hoax Bagi Perpecahan Bangsa Dalam Media Sosial

Penyebaran hoax dapat dilakukan di manapun, melalui media apapun, dan


kepada siapapun targetnya. Salah satu instrumen yang paling sering digunakan
saat ini untuk menyebarkan hoax adalah media sosial. Media sosial dapat dengan
mudah diakses melalui ponsel oleh setidaknya 170 juta masyarakat yang
memilikinya. Bahkan, ada sindikat khusus yang menyebar dan mengendalikan
informasi hoax seperti Saracen (Riyanta, 2017). Beberapa media sosial yang
menjadi sasaran empuk dalam penyebaran hoax antara lain Facebook, Whatsapp,
Google, bahkan Youtube.

17
Kasus pembakaran gedung GMBI oleh para anggota FPI merupakan salah
satu akibat dari miskonsepsi karena informasi hoax. Kisruh FPI-GMBI dipicu
oleh hoax yang menyatakan bahwa ada anggota FPI yang ditusuk dan diculik oleh
oknum GMBI sehingga menyulut emosi FPI. Tanpa verifikasi kebenaran berita
tersebut, FPI langsung membakar salah satu rumah dan sekretariat GMBI di
Bogor, pada Jum’at 13 Januari 2017 pukul 02.51 WIB. Atas penyerangan
tersebut, polisi mengamankan sekitar 20 orang yang diduga pelaku.

Orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan


opini atau sikap yang dimiliki. Hal ini terjadi yang terjadi pada kasus pembakaran
gedung GMBI oleh FPI di atas. Secara alami perasaan positif akan timbul dalam
diri seseorang jika opini atau keyakinannya mendapat afirmasi sehingga
cenderung tidak akan mempedulikan apakah informasi yang diterimanya benar
dan bahkan mudah saja bagi mereka untuk menyebarkan kembali informasi
tersebut.

Ancaman utama dari hoax adalah perpecahan dalam diri masyarakat


Indonesia. Bagaimana tidak? Propaganda dan hate speech mempengaruhi
psikologi seseorang untuk memusuhi orang lain. Jika hal ini tidak segera diatasi,
kasus-kasus korban hoax seperti FPI akan menjadi lebih banyak dan bahkan
menyebabkan peperangan dalam negeri. Indonesia akan terpecah belah karena
sila ketiga tentang persatuan terancam.

Dilihat dari segi demokrasi, hoax justru melanggar prinsip freedom of


speech. Freedom of speech adalah kebebasan yang mengacu pada sebuah hak
untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan tetapi
tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan kebencian (Notanubun, 2014).
Kebebasan berpendapat di Indonesia sendiri bahkan telah dijamin dalam pasal 28
UUD 1945. Namun, mereka abai terhadap tanggung jawab yang melekat dalam
setiap kebebasan. Dengan seenaknya mereka menyebarkan hoax dan memicu

18
disinformasi, perpecahan, dan merugikan orang lain. Mereka sama sekali tidak
bertanggung jawab pada konten yang mereka sebarkan. Dalam hal ini, sila
keempat tentang demokrasi tidak diimplementasikan dengan baik.

Pancasila sila ketiga berbunyi “Persatuan Indonesia” mengandung arti


Indonesia adalah satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian yang
saling menyatu (Kaelan, 2009). Persatuan itu tercermin dalam semboyan nasional
Bhinneka Tunggal Ika yang berarti meski terdiri dari beraneka ragam suku bangsa
yang berbeda-beda, tetapi tetap menjunjung tinggi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Kaelan, 2009). Sila ketiga sangat menentang bentuk-bentuk aksi yang
mengancam persatuan dan kesatuan nasional, terutama hoax yang bersifat
propagandis dan hate speech.

Susunan kodrat kedudukan manusia adalah sebagai makhluk Tuhan dan


makhluk bebas. Dengan menyebarkan hoax, ia telah mengabaikan kedudukannya
sebagai makhluk Tuhan, di mana moral dan tanggung jawab melekat padanya.
Dalam etika, seharusnya kebebasan diiringi dengan tanggung jawab, tetapi
mereka mengabaikan hal itu. Oleh karena itu, wajar saja UU ITE disahkan agar
penyelewengan hakikat diri manusia menurut Pancasila tidak lagi terjadi.

19
BAB 1V

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
4.1.1. Jenis – jenis hoax bisa dibagi menjadi 7 macam, yaitu: Fake News,
Clickbait, Confirmation Bias, Misinformation, Satire, Post-truth,
Propaganda.
4.1.2. Hoax dapat diidentifikasi dengan banyak cara, diantaranya: bersikap
skeptis terhadap judul, perhatikan dengan baik URL-nya, selidiki
sumbernya, perhatikan format yang tidak biasa, cek fotonya, periksa
tanggalnya, lihat laporan lainnya, dan berita tersebut hanya lelucon atau
bukan.
4.1.3. Pemerintah telah mengambil langkah strategis dan kebijakan untuk
mengurangi penyebaran berita hoax, yaitu dengan cara merumuskan UU
No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Inpres
No.9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Informasi Publik, membentuk
Tenaga Humas Pemerintah (Government Public Relation), membentuk
Jejaring Komunikasi, Pembangunan Portal Jaringan Pemberitaan
Pemerintah, dan Portal Aduan Konten.
4.1.4. Dampak hoax bagi perpecahan bangsa adalah Propaganda dan hate
speech yang terdapat dalam berita hoax mempengaruhi psikologi
seseorang untuk memusuhi orang lain. Indonesia akan terpecah belah
karena sila ketiga tentang persatuan terancam.
4.2. Saran
Makalah ini diharapkan dapat membantu memberi pengetahuan tentang
dampak berita hoax bagi perpecahan bangsa dalam lingkup media social.
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka

20
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah dalam kesimpulan di atas.

21
DAFTAR PUSTAKA

Budiyono. 2016. Media Sosial dan Komunikasi Politik: Media Sosial sebagai
Komunikasi Politik Menjelang PILKADA DKI JAKARTA 2017. Jurnal
Komunikasi. 11(1): 47-62.

Gumilar, G., J. Adiprasetio, N. Maharani. 2017. Literasi Media: Cerdas


Menggunakan Media Sosial Dalam Menanggulangi Berita Palsu (Hoax) Oleh
Siswa SMA. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. 1(1): 35-40.

Herman. 2018. 10 Cara Identifikasi Berita Palsu di Media Sosial.


https://www.beritasatu.com [diakses pada tanggal 6 April 2019 pukul 19.00.]

Juliswara, V. 2017. Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan


dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial. Jurnal
Pemikiran Sosiologi. 4(2): 142-164.

Kaelan, 2009. FIlsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa. 2nd penyunt.


Yogyakarta: Penerbit Paradigma.

Notanubun, P. G. 2014. Tinjauan Yuridis Terhadap Kebebasan Berbicara Dalam


Ketentuan Pasal 27 Ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE Dalam
Hubungan Dengan Pasal 28 UUD 1945. Jurnal Ilmu Hukum "Mimbar
Keadilan". 5(1): 111-120.

Prayitno, B. 2017. Langkah Pemerintah Menangkal Diseminasi Berita Palsu. Jurnal


Wacana Kerja. 20(2): 17-40.

Rahadi, D. R. 2017. Perilaku Pengguna dan InformasiI Hoax di Media Sosial. Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan. 5(1): 58-70.

22
Riyanta, S., 2017. Saracen, Ancaman Serius bagi Eksistensi NKRI.
https://jurnalintelijen.net/2017/09/04/saracenancamanseriusbagieksistensinkri/
[Diakses 7 April 2019 pukul 18.27].

23

Anda mungkin juga menyukai