Anda di halaman 1dari 7

Pengertian

Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering ditemui. Diperkirakan prevalensi di
dunia 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi
terbesar pada daerah tropis dan di negara berkembang dimana sering terjadi kontaminasi tanah
oleh tinja manusia atau penggunaan tinja sebagai pupuk (Soegijanto, 2005).
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda kedua yang paling banyak menginfeksi
manusia. Ascaris telah dikenal pada masa Romawi sebagai Lumbricus teres dan mungkin telah
menginfeksi manusia selama ribuan tahun. Jenis ini banyak terdapat di daerah yang beriklim
panas dan lembab, tetapi juga dapat hidup di daerah beriklim sedang.
Askariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing gelang Ascaris lumbricoides.
Askariasis adalah penyakit kedua terbesar yang disebabkan oleh makhluk parasit.

2.2 Etiologi
Ascariasis disebabkan oleh Ascaris Lumbricoides. Stadium infektif Ascaris Lumbricoides adalah
telur yang berisi larva matang. Sesudah tertelan oleh hospes manusia, larva dilepaskan dari telur
dan menembus diding usus sebelum migrasi ke paru-paru melalui sirkulasi vena. Mereka
kemudian memecah jaringan paru-paru masuk ke dalam ruang alveolus, naik ke cabang bronkus
dan trakea, dan tertelan kembali. Setelah sampai ke usus kecil larva berkembang menjadi cacing
dewasa (jantan berukuran 15-25cm x 3mm dan betina 25-35cm x 4mm).
Cacing betina mempunyai masa hidup 1-2 tahun dan dapat menghasilkan 200.000 telur setiap
hari. Telur fertil berbentuk oval dengan panjang 45-60 µm dan lebar 35-50 µm. Setelah keluar
bersama tinja, embrio dalam telur akan berkembang menjadi infektif dalam 5-10 hari pada
kondisi lingkungan yang mendukung.

2.3 Patofisiologi
Ascaris Lumbricoides adalah nematoda terbesar yang umumnya menginfeksi manusia. Cacing
dewasa berwarna putih atau kuning yang hidup selama 10-24 bulandi jejunum dan bagian tengah
ileum. Cacing betina menghasilkan 200.000 telur per hari yang akan terbawa bersama
tinja. Telur fertil apabila terjatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam waktu 5-10 hari telur
tersebut dapat menginfeksi manusia. Telur dapar hidup dalam tanah selama 17 bulan. Infeksi
umumnya terjadi melalui tangan pada tangan atau makanan kemudian masuk ke dalam usus kecil
(deudenum). Pada tahap kedua larva akan melewati dinding usus dan melewati sistem porta
menuju hepar dan kemudian ke paru melalui sirkulasi vena. Mereka kemudian memecah jaringan
paru-paru masuk ke dalam ruang alveolus, naik ke cabang bronkus dan trakea, dan tertelan
kembali. Diperlukan 65 hari untuk menjadi cacing dewasa. Infeksi yang berat dapat diikuti
pneumonia dan eosinofilia (Soegijanto, 2005).
2.4 Epidemiologi
Ascariasis merupakan infeksi cacing pada manusia yang angka kejadian sakitnya tinggi terutama
di daerah tropis dimana tanah memiliki kondisi yang sesuai untuk kematangan telur di dalam
tanah.
Menurut Berhman (1999), telur-telur Ascaris lumbricoides ini terbukti tetap infektif pada tanah
selama berbulan-bulan dan dapat bertahan hidup di cuaca yang lebih dingin (5-10oC) selama 2
tahun. Diperkirakan hampir 1 miliar penduduk terinfeksi dan prevalensi pada komunitas-
komunitas tertentu lebih besar dari 80%. Prevalensi dilaporkan terjadi di lembah sungai Yangtze
di Cina. Masyarakat yang memiliki sosial ekonomi yang rendah memiliki prevalensi infeksi yang
tinggi, demikian juga pada masyarakat yang menggunakan tinja sebagai pupuk dan dengan
kondisi geografis yang medukung. Penyebaran terutama melalui tangan ke mulut (hand to molth)
dapat juga melalui sayuran atau buah yang terkontaminasi.
Prevalensi dan intensitas gejala symtomatik yang paling tinggi terjadi pada anak-anak, yang
paling sering ditemui adalah obstruksi intestinal. Di antara anak-anak usia 1-12 tahun yang
berada di Rumah Sakit Cape Town dengan keluhan abdominal antara 1958-1962, 12.8 % dari
infeksinya di sebabkan oleh Ascaris lumbricoides. Anak-anak dengan ascariasis kronis dapat
menyebabkan pertumbuhan lambat terkait dengan jumlah makanan yang di makan. Orang
dewasa sering mengalami komplikasi bilier akibat migrasi cacing dewasa yang mungkin
didorong oleh penyakit lain seperti demam malaria. Di Damaskus, 300 orang yang mengalami
ascariasis pada 1988-1993, 98% mengalami nyeri perut; 4,3% radang akut kelenjar pankreas ;
1,3% obstructive jaundise ; dan 25% worm emesis. Lebih dari 80% dari pasien ini mempunyai
cholecytectomy sebeumnya (Soegijanto, 2005).
Menurut WHO, intestinal obstruction pada anak-anak menyebabkan komplikasi fatal,
menyebabkan 8.000-100.000 kematian pertahun.

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis menurut Soegijanto (2005), tergantung pada intensitas infeksi dan organ yang
terlibat. Pada sebagian besar penderita dengan infeksi rendah sampai dengan gejalanya
asymtomatis. Gejala klinis paling sering ditemui berkaitan dengan penyakit paru atau sumbatan
pada usus atau saluran empedu. Ascaris dapat menyebabkan Pulmonari ascariasis ketika
memasuki alveoli dan bermigrasi ke bronki dan trakea. Manifestasi pada paru mirip dengan
Syndrom Loffler dengan gejala infiltrat paru sementara. Tanda-tanda yang paling khas adalah
batuk, spuntum bercak darah, dan eosinofilia. Tanda lain adalah sesak.
Cacing dewasa dapat menimbulkan penyakit dengan menyumbat usus atau cabang-cabang
saluran empedu sehingga mempengaruhi nutrisi hospes. Cacing dewasa akan memakan sari
makanan hasil pencernaan host. Anak-anak terinfeksi yang memiliki pola makan yang tidak baik
dapat mengalami kekurangan protein, kalori, atau vitamin A, yang akhirnya akan mengalami
pertumbuhan lambat.
Adanya cacing dalam usus halus menyebabkan keluhan tidak jelas seperti nyeri perut, dan
kembung. Obstruksi usus juga dapat terjadi walaupun jarang yang dikarenakan oleh massa
cacing pada anak yang terinfeksi berat, insiden puncak terjadi pada umur 1-6 tahun. Mulainya
biasanya mendadak dengan nyeri perut kolik berat dan muntah, yang dapat berbercak empedu ;
gejala ini dapat memburuk dengan cepat dan menyertai perjalanan yang serupa dengan obstruksi
usus akut dengan etiologi lain. Migrasi cacing Ascaris ke saluran empedu telah dilaporkan,
terutama yang terjadi di Filipina dan Cina; kemungkinan keadaan ini bertambah pada anak yang
terinfeksi berat.mulainya adalah akut dengan nyeri kolik perut, nausea, muntah, dan demam.
Ikterus jarang ditemukan (Berhman, 1999).

2.6 Komplikasi
Komplikasi dari penyakit Ascariasis adalah sebagai berikut :
1. Spoilative actio
Anak yang menderita askariasis umumnya dalam keadaan distrofi. Pada penyelidikan ternyata
askariasis hanya mengambil sedikit karbohidrat ”hospes”, sedangkan protein dan lemak tidak
diambilnya. Juga askariasis tidak mengambil darah hospes. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
distrofi pada penderita askariasis disebabkan oleh diare dan anoreksia.
2. Toksin
Chimura dan Fuji berhasil menbuat ekstrak askariasis yang disebut askaron yang kemudian
ketika disuntikkan pada binatang percobaan (kuda) menyebabkan renjatan dan kematian, tetapi
kemudian pada penyelidikan berikutnya tidak ditemukan toksin yang spesifik dari askaris.
Mungkin renjatan yang terjadi tersebut disebabkan oleh protein asing.
3. Alergi
Terutama disebabkan larva yang dalam siklusnya masuk kedalam darah, sehingga sesudah siklus
pertama timbul alergi terhadap protein askaris. Karenanya pada siklus berikut dapat timbul
manifestasi alergi berupa asma bronkiale, ultikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loffler.
Simdrom Loffler merupakan kelainan dimana terdapat infiltrat (eosinofil) dalam paru yang
menyerupai bronkopneumonia atipik. Infiltrat cepat menghilang sendiri dan cepat timbul lagi
dibagian paru lain. Gambaran radiologisnya menyerupai tuberkulosis miliaris.Disamping itu
terdapat hiperesinofilia (40-70%). Sindrom ini diduga disebabkan oleh larva yang masuk ke
dalam lumen alveolus, diikuti oleh sel eosinofil. Tetapi masih diragukan, karena misalnya di
indonesia dengan infeksi askaris yang sangat banyak, sindrom ini sangat jarang terdapat,
sedangkan di daerah denagn jumlah penderita askariasis yang rendah, kadang-kadang juga
ditemukan sindrom ini.
4. Traumatik action
Askaris dapat menyebabkan abses di dinding usus, perforasi dan kemudian peritonitis. Yang
lebih sering terjadi cacing-cacing askaris ini berkumpul dalam usus, menyebabkan obstuksi usus
dengan segala akibatnya. Anak dengan gejala demikian segera dikirim ke bagian radiologi untuk
dilakukan pemeriksaan dengan barium enema guna mengetahui letak obstruksi. Biasanya dengan
tindakan ini cacing-cacing juga dapat terlepas dari gumpalannya sehingga obstruksi dapat
dihilangkan. Jika cara ini tidak menolong, maka dilakukan tindakan operatif. Pada foto rontgen
akan tampak gambaran garis-garis panjang dan gelap (filling defect).
5. Errantic action
Askaris dapat berada dalam lambung sehingga menimbulkan gejala mual, muntah, nyeri perut
terutama di daerah epigastrium, kolik. Gejala hilang bila cacing dapat keluar bersama muntah.
Dari nasofaring cacing dapat ke tuba Eustachii sehingga dapat timbul otitis media akut (OMA)
kemudian bila terjadi perforasi, cacing akan keluar. Selain melalui jalan tersebut cacing dari
nasofaring dapat menuju laring, kemudian trakea dan bronkus sehingga terjadi afiksia. Askaris
dapat menetap di dalam duktus koledopus dan bila menyumbat saluran tersebut, dapat terjadi
ikterus obstruktif. Cacing dapat juga menyebabkan iritasi dan infeksi sekunder hati jika terdapat
dalam jumlah banyak dalam kolon maka dapat merangsang dan menyebabkan diare yang berat
sehingga dapat timbul apendisitis akut.
6. Irritative Action
Terutama terjadi jika terdapat banyak cacing dalam usus halus maupun kolon. Akibat hal ini
dapat terjadi diare dan muntah sehingga dapat terjadi dehidrasi dan asidosis dan bila berlangsung
menahun dapat terjadi malnutrisi.

7. Komplikasi lain
Dalam siklusnya larva dapat masuk ke otak sehingga timbul abses-abses kecil; ke ginjal
menyebabkan nefritis; ke hati menyebabkan abses-abses kecil dan hepatitis. Di indonesia
komplikasi ini jarang terjadi tetapi di srilangka dan Filipina banyak menyebabkan kematian.

2.7 Faktor Penyebab Ascariasis


Proses perjalanan penyakit ascariasis di dalam masyarakat terjadi melalui beberapa faktor, yaitu:
adanya faktor penyebab (agen), adanya sumber penularan (reservoir maupun resource), adanya
cara penularan khusus (mode of transmision), adanya cara meninggalkan host dan cara masuk ke
host lainnya, serta ketahanan host itu sendiri.
Sebagai makhluk hidup Ascaris lumbricoides juga memiliki potensi untuk mempertahankan
dirinya terhadap faktor lingkungan, serta berkembang biak pada lingkungan yang sesuai dan
menguntungkan, terutama terhadap host dimana cacing tersebut berada.

2.8 Penularan Penyakit


Penularan ascariasis ada 2, yaitu :
1. Sumber Penularan
Reservoir atau sumber penularan dapat berupa organisme hidup atau benda mati (misalnya tanah
dan air), dimana unsur penyebab penyakit menular dapat hidup secara normal dan berkembang
biak. Konsep reservoir pada Ascaris lumbricoides, adalah tanah, air dan makanan yang
mengandung telur Ascaris lumbricoides.
2. Cara Penularan
Ascaris lumbricoides ditularkan melalui makanan yang tercemar cacing. Benda yang
mengandung telur cacing berfungsi sebagai penyalur penularan disebut terkontaminasi.
Biasanya sayuran yang menggunakan pupuk dari kotoran manusia banyak terkontaminasi dengan
telur cacing Ascaris lumbricoides. Kontak dengan tanah yang terkontaminasi dengan jenis telur
cacing, tanpa disertai perilaku mencuci tangan sebelum makan sering menjadi cara penularan
pada jenis cacing ini.

2.9 Pencegahan
Untuk pencegahan, terutama dengan menjaga hygiene dan sanitasi, tidak buang air besar di
sembarang tempat, melindungi makanan dari pencemaran kotoran, mencuci bersih tangan
sebelum makan, dan tidak memakai/ tinja manusia sebagai pupuk tanaman.
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut :
1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik ataupun daerah yang
rawan terhadap penyakit askariasis.
2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing misalnya
memakai jamban/WC.
4. Makan makanan yang dimasak saja.
5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan tinja sebagai
pupuk.
2.10 Diagnosis
1. Ditegakkan dengan :
a. Menemukan telur Ascaris lumbricoides dalam tinja.
b. Cacing ascaris keluar bersama muntah atau tinja penderita
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pada pemeriksaan darah detemukan periferal eosinofilia.
b. Detemukan larva pada lambung atau saluran pernafasan pada tenyakit paru.
c. Pemeriksaan mikroskopik pada hapusan tinja dapat digunakan untuk memeriksa sejumlah besar
telur yang di ekskresikan melalui anus.

3. Pemeriksaan Foto
a. Foto thoraks menunjukkan gambaran otak pada lapang pandang paru seperti pada sindrom
Loeffler
b. Penyakit pada saluran empedu
c. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) memiliki sensitivitas 90% dalam
membantu mendiagnosis biliary ascariasis.
d. Ultrasonography memiliki sensitivitas 50% untuk membantu membuat diagnosis biliary
ascariasis.

2.11 Pengobatan
1. Obat pilihan: piperazin sitrat (antepar) 150 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dengan dosis
maksimum 3 g/hari
2. Heksil resorsinol dengan dosis100 mg/tahun (umur)
3. Oleum kenopodii dengan dosis 1 tetes/tahun (umur)
4. Santonin : tidak membinasakan askaris tetapi hanya melemahkan. Biasanya dicampur dengan
kalomel (HgCl= laksans ringan) dalam jumlah yang sama diberikan selama 3 hari berturut-turut.
Dosis : 0-1tahun = 3 x 5 mg
1-3 tahun = 3 x 10 mg
1-4 3-5 tahun = 3 x 15 mg
1-5 Lebih dari 5 tahun =3 x 20 mg
1-6 Dewasa = 3 x 25 mg
5. Pirantel pamoat (combantrin) dengan dosis 10 mg/ kg BB/hari dosis tunggal.
6. Papain yaitu fermen dari batang pepaya yang kerjanya menghancurkan cacing. Preparatnya :
Fellardon.
7. Pengobatan gastrointestinal ascariasis menggunakan albendazole (400 mg P.O. sekali untuk
semua usia), mabendazole (10 mg P.O. untuk 3 hari atau 500 mg P.O. sekali untuk segala usia)
atau yrantel pamoate (11 mg/kg P.O. sakali, dosis maksimum 1 g). Piperazinum citrate (pertama
: 150 mg/kg P.O. diikuti 6 kali dosis 6 mg/kg pada interval 12 hari).
Prognosis : baik, terutama jika tidak terdapat komplikasi dan cepat diberikan pengobatan.
2.12 Pencegahan
Program pemberian antihilmitik yang dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Memberikan pengobatan pada semua individu pada daerah endemis
2. Memberikan pengobatan pada kelompok tertentu dengan frekuensi infeksi tinggi seperti anak-
anak sekolah dasar.
3. Memberikan pengobatan pada individu berdasarkan intensitas penyakit atau infeksi yang telah
lalu.
4. Peningkatan kondisi sanitasi
5. Menghentikan penggunaan tinja sebagai pupuk.
6. Memberikan pendidikan tentang cara-cara pencegahan ascariasis.

DAFTAR PUSTAKA

Viqar Z., Loh AK, 1999. Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran. Penerbit
Binacipta.
Berhman RE, Kliegman RM, dan Arvin AM. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Editor edisi bahasa
Indonesia A. Samik Wahab. Edisi 15. Volume 2. Jakarta: EGC.
Rudolph, Abraham M. dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Editor edisi bahasa Indonesia A. Samik
Wahab. Edisi 20. Volume 1. Jakarta : EGC.
Soegijanto, Soegeng. 2005. Kumpulan Makalah Penyakit Ttopis dan Infeksi di Indonesia. Cetakan 1.
Surabaya : Airlangga University Press.
Soegijanto, Soegeng.2005.Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia Jilid 4.
Surabaya : Airlangga University Press

Anda mungkin juga menyukai