PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
merupakan salah satu penyakit menular yang diprioritaskan dalam program pencegahan
dan pemberantasan penyakit. Penyakit DBD merupakan penyakit demam akut yang
berpotensi menyebabkan kematian (Mansjoer, 2000). Penyakit ini ditularkan melalui
gigitan vektor nyamuk jenis Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terinfeksi oleh virus
dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti betina (Ginanjar, 2008).
Infeksi virus dengue terjadi secara endemis di Indonesia selama dua abad terakhir dari
gejala yang ringan dan self limiting disease. Dalam beberapa tahun terakhir, penyakit ini
memiliki manifestasi klinis yang semakin berat sebagai demam berdarah dengue dan
frekuensi kejadian luar biasa meningkat. Indonesia merupakan negara dengan jumlah
populasi yang padat mencapai 245 juta penduduk. Walaupun demikian, penyakit dengue
banyak dilaporkan di kota besar dan pedesaan di Indonesia dan telah menyebar sampai di
desa-desa terpencil oleh karena perpindahan dan kepadatan penduduk yang tinggi
(Karyanti & Hadinegoro, 2009).
Tahun 2012 di Indonesia jumlah penderita DBD dilaporkan sebanyak 90.245 kasus
dengan jumlah kematian 816 orang. Dari jumlah tersebut angka kesakitan atau Incidence
Rate (IR) sebanyak 37,11 per 100.000 penduduk dan case fatality rate (CFR) 0,90%.
Terjadi peningkatan jumlah kasus tahun 2012 dibandingkan tahun 2011 sebanyak 65.725
kasus IR 27,67 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2013).
Sejak tahun 1968-1995 di Indonesia kasus DBD terutama menyerang kelompok umur 5-
14 tahun, tetapi setelah tahun 1984 insidens kelompok umur lebih dari 15 tahun
meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 di Provinsi DKI Jakarta, persentase kasus
DBD terbanyak merupakan kelompok umur 5-14 tahun (36%), diikuti kelompok umur
lebih dari 5 tahun (31%), kelompok 15-44 tahun (22%) dan lebih dari 45 tahun (11%).
Data dari tahun 2006 menunjukkan proporsi jenis kelamin lelaki lebih banyak dibanding
perempuan pada semua kelompok umur (Karyanti & Hadinegoro, 2009). Penyakit DBD
dapat menyerang semua umur baik anak-anak maupun dewasa. Penyakit ini menyerang
segala usia tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak lebih rentan
terhadap penyakit yang berpotensi mematikan ini (Ginanjar, 2008).
1
Menurut Anwar (2000) dalam Kusumawati dkk (2007), faktor resiko yang
mempengaruhi penyakit DBD dalam pengetahuan misalnya pengetahuan tentang
penyebab, tanda atau gejala, cara penularan dan pencegahan penyakit DBD. Faktor sikap
dan tindakan misalnya sikap dan tindakan terhadap upaya penanggulangan DBD serta
kebiasaan masyarakat juga berperan dalam penularan DBD (Kusumawati dkk, 2007).
Perilaku masyarakat mempunyai peranan cukup penting terhadap penularan DBD.
Namun, perilaku tersebut harus didukung oleh pengetahuan, sikap, dan tindakan yang
benar sehingga dapat diterapkan dengan benar. Sekarang ini masih ada anggapan
berkembang di masyarakat yang menunjukan perilaku tidak sesuai seperti anggapan
bahwa DBD hanya terjadi di daerah kumuh dan pemberantasan sarang nyamuk tidak
tampak jelas hasilnya dibanding fogging. Anggapan seperti ini sering diabaikan, padahal
sangat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam mengambil keputusan khususnya
terhadap penularan DBD (Zuiraini, 2005).
Sasaran pendidikan kesehatan di Indonesia menurut Fitriani (2011) berdasarkan pada
program pembangunan Indonesia adalah sekolah. Sekolah menjadi sasaran utama untuk
program pencegahan DBD dikarenakan beberapa hal diantaranya anak usia sekolah
merupakan kelompok umur yang paling susceptible terserang DBD dan lebih banyak
menghabiskan waktu siang hari di sekolah (Mc Farlane & Anderson, 2007). Selain itu,
lingkungan sekolah yang kurang sehat juga dapat meningkatkan resiko pada anak terkena
gigitan vektor nyamuk Aedes aegypti yang mengandung virus dengue yang efektif
menggigit pada siang hari (Depkes RI, 2005).
2
dalam dunia pendidikan yaitu sebagai daya penarik minat pelajar untuk belajar dan dapat
membantu guru untuk memotivasi murid- muridnya (Jamalludin & Zaidatun, 2003).
Menurut hasil penelitian mengajar dengan menggunakan teknik animasi dapat
meningkatan prestasi belajar dan memudahkan pemahaman terhadap materi yang
diajarkan (Sinor, 2011).
Menurut data WHO (2014) Penyakit demam berdarah dengue pertama kali dilaporkan
di Asia Tenggara pada tahun 1954 yaitu di Filipina, selanjutnya menyebar keberbagai
negara. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami wabah DBD, namun
sekarang DBD menjadi penyakit endemik pada lebih dari 100 negara, diantaranya adalah
Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka
tertinggi terjadinya kasus DBD. Jumlah kasus di Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik
Barat telah melewati 1,2 juta kasus ditahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010.
Pada tahun 2013 dilaporkan terdapat sebanyak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687
kasus merupakan DBD berat. Perkembangan kasus DBD di tingkat global semakin
meningkat, seperti dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni dari 980 kasus
di hampir 100 negara tahun 1954-1959 menjadi 1.016.612 kasus di hampir 60 negara
tahun 2000-2009 (WHO, 2014).
DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis termasuk di Indonesia,
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dilaporkan pertama kali di Surabaya pada tahun
1968 dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia
(Depkes RI, 2015). Kemenkes RI (2016) mencatat di tahun 2015 pada bulan Oktober ada
3.219 kasus DBD dengan kematian mencapai 32 jiwa, sementara November ada 2.921
kasus dengan 37 angka kematian, dan Desember 1.104 kasus dengan 31 kematian.
Dibandingkan dengan tahun 2014 pada Oktober tercatat 8.149 kasus dengan 81 kematian,
November 7.877 kasus dengan 66 kematian, dan Desember 7.856 kasus dengan 50
kematian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat disimpulkan rumusan
masalah “ Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) “ guna
membawa klien ke tingkat penyembuhan yang optimal.
C. Tujuan Penulisan
3
Tujuan penyusunan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami
tentang konsep dasar penyakit Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan asuhan
keperawatan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF).
2. Tujuan Khusus
a. Dapat mengetahui dan memahami tentang konsep dasar penyakit Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF) yang meliputi definisi, etiologi, manifestasi klinis,
anatomi fisiologi ginjal, patofisiologi, pathways, pemeriksaan penunjang, dan
penatalaksanaan.
b. Dapat mengidentifikasi konsep asuhan keperawatan yang benar pada klien dengan
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) yang meliputi pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi ( Nurse Care Planning / NCP ), dan evaluasi keperawatan.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Ilmu Keperawatan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memperkaya ilmu keperawatan
khususnya tentang kasus penyakit Dengue Hemorrhagic Fever (DHF).
2. Bagi Institusi Pendidikan
Untuk menambah koleksi pustaka tentang ilmu keperawatan khususnya
tentang Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
di STIKes Cahaya Bangsa Banjarmasin.
3. Bagi ( Ruang Akasia ) RSUD dr. H. Andi Abdurrahman Noor Tanah Bumbu.
Makalah ini diharapkan bisa menjadi rujukan dalam memberikan asuhan
keperawatan klien dengan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) yang dirawat di
( Ruang Akasia ) RSUD dr. H. Andi Abdurrahman Noor Tanah Bumbu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
A. Definisi
Sindroma Nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membran glomerulus terhadap protein yang mengakibatkan kehilangan
urinarius yang massif ( Whaley & Wong, 2013).
Sindroma nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan
protein karena kerusakan glomerulus yang difus ( Luckman, 2016 ). Sindrom Nefrotik
ditandai dengan proteinuria masif ( ≥ 40 mg/m2 LPB / jam atau rasio protein / kreatinin
pada urine sewaktu > 2mg/mg), hipoproteinemia, hipoalbuminemia ( ≤ 2,5 gr/dl ),
edema, dan hiperlipidemia (Behrman, 2011).
Nefrotik sindrom merupakan gangguan klinis ditandai oleh (1) peningkatan
protein dalam urin secara bermakna ( proteinuria ) (2) penurunan albumin dalam darah
(3) edema, dan (4) serum kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah
(hyperlipidemia). Tanda-tanda tersebut dijumpai di setiap kondisi yang sangat merusak
membran kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus
(Brunner & Suddarth, 2011).
Whaley and Wong (2010) membagi tipe-tipe Sindrom Nefrotik :
1. Sindroma Nefrotik lesi minimal (MCNS: Minimal Change Nefrotik Sindroma) :
Merupakan kondisi yang tersering yang menyebabkan sindroma nefrotik pada anak
usia sekolah.
2. Sindroma Nefrotik Sekunder : Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler kolagen,
seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura anafilaktoid, glomerulonefritis, infeksi
sistem endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
3. Sindroma Nefirotik Kongenital : Faktor herediter sindroma nefrotik disebabkan oleh
gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindroma nefrotik, usia gestasinya pendek
dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap
semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan
bayi jika tidak dilakukan dialisis.
B. Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik dibagi menjadi dua menurut Muttaqin, 2012 adalah:
5
1. Primer, yaitu berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti glomerulonefritis, dan
nefrotik sindrom perubahan minimal
2. Sekunder, yaitu yang diakibatkan infeksi, penggunaan obat, dan penyakit sistemik lain,
seperti diabetes mellitus, sistema lupus eritematosus, dan amyloidosis
C. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis menurut Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol. 2 (2001),
manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya lunak dan cekung bila
ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan di sekitar mata (periorbital), pada area
ekstremitas (sakrum, tumit, dan tangan), dan pada abdomen (asites). Gejala lain seperti
malaese, sakit kepala, iritabilitas dan keletihan umumnya terjadi.
6
Kedudukan ginjal di belakang dari kavum abdominalis di belakang peritoneum
pada kedua sisi vertebra lumbalis III melekat langsung pada dinding abdomen. Manusia
memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang perut atau abdomen. Ginjal ini terletak
di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior)
ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Ginjal kanan biasanya
terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat untuk hati.Sebagian dari
bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan duabelas. Kedua ginjal dibungkus
oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam
goncangan (Astuti, 2013).
Unit fungsional ginjal
Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari
satu juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai
regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring
darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul
dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan
menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang
kemudian diekskresikan disebut urin (Astuti, 2013).
Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula
(atau badan Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus).Setiap korpuskula
mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang berada dalam kapsula
Bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri aferen. Dinding kapiler dari
glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring
melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan kapsula Bowman karena
adanya tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan
masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat
arteri eferen (Astuti, 2013).
7
Ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui
ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat
dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output
(Astuti, 2013).
E. Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria
sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan
oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum
diketahui yang terkait dengan hilangnya muatan negative gliko protein dalam dinding
kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan
protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari
kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. (Latas, 2012 : 383).
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada
hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadinya proteinuria. Kelanjutan dari
proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunya albumin, tekanan
osmotic plasma menurun sehingga cairan intravascular berpindah ke dalam intertisial.
Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravascular berkurang, sehingga
menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hipovolemi. Menurunya aliran darah ke
renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin angiotensin
dan peningkatan sekresi antideuretik hormone (ADH) dan sekresi aldosteron yang
kemudian menjadi retensi natrium dan air. Dengan retensi natrium dan air, akan
menyebabkan edema (Wati, 2012).
Terjadi peningkatan cholesterol dan Triglicerida serum akibat dari peningkatan
stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin atau penurunan onkotik
plasma. Adanya hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam
hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein dan lemak akan banyak
dalam urin (lipiduria). Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan
disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hyperlipidemia, atau defisiensi seng. (Suriadi
dan yuliani, 2011 : 217).
Protein & albumin lolos dalam Kegagalan dalam proses Kebocoran molekul besar
filtrasi & masuk ke urine filtrasi (immunoglobulin)
Protein dalam urine meningkat Protein dalam darah menurun Pengeluaran IgG dan IgA
Gangguan imunitas
Pembengkakan pada Ekstravaksi cairan SINDROM NEFROTIK
periorbita
Resiko infeksi
Penumpukan cairan Volume intravaskuler
Mata ke ruang intestinum
Hipoksia jaringan Metabolism anaerob Anoreksia, nausea, vomitus Nafas tidak adekuat
Merangsang reabsorbsi
Efek vasokontriksi arterioral perifer Na+ dan air
F. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis sindrom nefrotik tidak ditentukan dengan hanya penampilan
klinis. Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan
penunjang berikut yaitu urinalisis, pemeriksaan sedimen urin, pengukuran protein urin,
albumin serum, pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan immunologis, USG
renal, biopsi ginjal, dan darah, dimana :
1. Urinalisis
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri ) yang terjadi dalam 24-48
jam setelah ginjal rusak, warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah,
Hb, Monoglobin, Porfirin. Berat jenis kurang dari 1,020 menunjukkan penyakit ginjal.
Protein urin meningkat (nilai normal negatif). Urinalisis adalah tes awal diagnosis
sindrom nefrotik. Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau
melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat, 3+ menandakan kandungan
protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk
dalam nephrotic range.
2. Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang
mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin
dan torak eritrosit.
3. Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection.
Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi
10
hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin ≤
150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis. Single spot collection
lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan
pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.
4. Albumin serum
kualitatif : ++ sampai ++++
kuantitatif : > 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)
5. Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
6. USG renal: terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
7. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia > 8 tahun,
resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi
nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin
diperlukan untuk diagnosis. Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena
masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk
membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal,
karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid.
Prosedur ini digunakan untuk mengambil sampel jaringan pada ginjal yang kemudian
akan diperiksa di laboratorium. Adapun prosedur biopsi ginjal sebagai berikut :
a. Peralatan USG digunakan sebagai penuntun. USG dilakukan oleh petugas
radiologi untuk mengetahui letak ginjal.
b. Anestesi (lokal).
c. Jarum (piston biopsi). Apabila tidak ada piston biopsi dapat menggunakan jarum
model TRUCUT maupun VIM SILVERMAN.
d. Tempat (pool bawah ginjal, lebih disukai ginjal kiri).
e. Jaringan yang didapatkan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu untuk
pemeriksaan mikroskop cahaya & imunofluoresen.
f. Setelah biopsi.
1) Berikan pasien tengkurap kurang lebih sejam, tetapi apabila pada posisi
tengurap pasien mengalami sejas nafas maka biopsi dilakukan pada posisi
duduk
2) Anjurkan untuk minum banyak
3) Monitor tanda-tanda vital terutama tekanan darah, & lakukan pemeriksaan lab
urin lengkap.
g. Apabila tidak terdapat kencing darah (hematuria) maka pasien dipulangkan.
Biasanya untuk pada pasien yang beresiko rendah, pagi biopsi sore pulang (one
day care ).
8. Darah
11
Hb menurun adanya anemia, Ht menurun pada gagal ginjal, natrium meningkat tapi
biasanya bervariasi, kalium meningkat sehubungan dengan retensi dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah nerah).
Penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan protein dan albumin
melalui urin, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis karena
kekurangan asam amino essensial. Kolesterol serum meningkat (umur 5-14 tahun :
kurang dari atau sama dengan 220 mg/dl). Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai
Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml), Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml),
α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2 globulin meninggi (N: 0,4-1
gm/100ml), β globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml), γ globulin normal (N: 0,3-1
gm/100ml), rasio albumin/globulin <1 (N:3/2), komplemen C3 normal/rendah (N:
80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal. ( Siburian, 2013)
G. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal. Menjaga
pasien dalam keadaan tirah baring selama beberapa hari mungkin diperlukan untuk
meningkatkan diuresis guna mengurangi edema. Masukan protein ditingkatkan untuk
menggantikan protein yang hilang dalam urin dan untuk membentuk cadangan protein di
tubuh. Jika edema berat, pasien diberikan diet rendah natrium. Diuretik diresepkan untuk
pasien dengan edema berat, dan adrenokortikosteroid (prednison) digunakan untuk
mengurangi proteinuria (Brunner & Suddarth, 2011).
Medikasi lain yang digunakan dalam penanganan sindrom nefrotik mencakup
agens antineoplastik (Cytoxan) atau agens imunosupresif (Imuran, Leukeran, atau
siklosporin), jika terjadi kambuh, penanganan kortikosteroid ulang diperlukan (Brunner
& Suddarth, 2011).
a. Identitas Klien
1) Umur: Lebih banyak pada anak-anak terutama pada usia pra-sekolah (3-6 th).
Ini dikarenakan adanya gangguan pada sistem imunitas tubuh dan kelainan
genetik sejak lahir.
2) Jenis kelamin: Anak laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan anak
perempuan dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur anak 3-6 tahun
terjadi perkembangan psikoseksual : dimana anak berada pada fase
oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa
daerah genitalnya. Kebiasaan ini dapat mempengaruhi kebersihan diri terutama
daerah genital. Karena anak-anak pada masa ini juga sering bermain dan
kebersihan tangan kurang terjaga. Hal ini nantinya juga dapat memicu
terjadinya infeksi.
3) Agama
4) Suku/bangsa
5) Status
6) Pendidikan
7) Pekerjaan
b. Identitas penanggung jawab
Hal yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pendidikan, agama, dan hubungannya
dengan klien.
c. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: Kaki edema, wajah sembab, kelemahan fisik, perut membesar
(adanya acites)
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Untuk pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawatan perlu menanyakan
hal berikut:
3) Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output
4) Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan
adanya keluhan pusing dan cepat lelah
5) Kaji adanya anoreksia pada klien
6) Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Perawat perlu mengkaji:
14
1) Apakah klien pernah menderita penyakit edema?
2) Apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan penyakit
hipertensi pada masa sebelumnya?
3) Penting juga dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan
adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM yang memicu
timbulnya manifestasi klinis sindrom nefrotik
f. Kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
1) Pola nutrisi dan metabolisme: Anoreksia, mual, muntah.
2) Pola eliminasi: Diare, oliguria.
3) Pola aktivitas dan latihan: Mudah lelah, malaise
4) Pola istirahat tidur: Susah tidur
5) Pola mekanisme koping : Cemas, maladaptif
6) Pola persepsi diri dan konsep diri : Putus asa, rendah diri
g. Pemeriksaan Fisik
1) Status kesehatan umum
2) Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
3) Kesadaran: biasanya compos mentis
4) TTV: sering tidak didapatkan adanya perubahan.
5) Pemeriksaan sistem tubuh
a) B1 (Breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan nafas
walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut.
Pada fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan
nafas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
b) B2 (Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari
peningkatan beban volume.
c) B3 (Brain)
Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status
neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia
pada sistem saraf pusat.
15
d) B4 (Bladder)
Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna kola
e) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga didapatkan
penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen.
f) B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari
edema tungkai dari keletihan fisik secara umum
h. Pemeriksaan Diagnostik
Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik, proteinuria, terutama
albumin. Keadaan ini juga terjadi akibat meningkatnya permeabilitas membran
glomerulus.(Astuti, 2014; Munandar, 2014).
I. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan tubuh berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
Batasan Karakteristik :
1) Edema
2) Asites
3) Anasarka
4) Gangguan pola nafas
5) Oliguria
6) Penambahan berat badan dalam waktu singkat
7) Perubahan berat jenis urine (NANDA, 2015)
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor
biologis (hipoproteinemia) dan kurang asupan makanan (anoreksia)
Batasan Karakteristik :
1) Cepat kenyang setelah makan
2) Gangguan sensasi rasa
3) Kurang minat pada makanan (NANDA, 2015)
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit (edema)
Batasan Karakteristik :
1) Berfokus pada penampilan masa lalu
2) Menghindari melihat tubuh
3) Menghindari menyentuh tubuh
4) Menyembunyikan bagian tubuh
16
5) Takut reaksi orang lain. (NANDA, 2015)
4. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukous dengan jumlah
berlebihan (efusi pleura)
Batasan Karakteristik :
1) Suara nafas tambahan
2) Perubahan frekuensi dan irama napas
3) Sianosis
4) Dipsneu
5) Gelisah (NANDA, 2015)
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penekanan tubuh terlalu
dalam akibat edema
Batasan Karakteristik :
1) Perubahan karakteristik kulit (warna, elastisitas, rambut, kelembapan, kuku,
sensasi, suhu)
2) Waktu pengisian kapiler > 3 detik
3) Warna tidak kembali ke tungkai saat tungkai diturunkan
4) Edema
5) Parestesia (NANDA, 2015)
6. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan nafas tidak adekuat
Batasan Karakteristik :
1) Perubahan kedalaman pernapasan
2) Penurunan tekanan ekspirasi
3) Bradipnea
4) Dipsnea
5) Penurunan ventilasi semeniit (NANDA, 2015)
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
Batasan Karakteristik :
1) Ketidaknyamanan setelah beraktivitas
2) Dipsnea setelah beraktivitas
3) Menyatakan merasa letih
4) Menyatakan merasa lemah (NANDA, 2015)
8. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung
Batasan Karakteristik :
1) Bradikardia
17
2) Palpitasi jantung
3) Perubahan elektrokardiogram (EKG) (aritmia, abnormalitas konduksi, iskemia)
4) Takikardia (NANDA, 2015)
18
J. Nursing Care Planning ( NCP )
Diagnosa NOC NIC
No
Keperawatan (Nursing Outcome) (Nursing Intervention Clasification)
1. Kelebihan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam diharapkan Fluid menegement :
volume cairan keseimbangan cairan klien terpenuhi. Timbang berat badan setiap hari dan monitor status
tubuh Kriteria Hasil : pasien.
Fluid Balance Pertahankan intake dan out put yang akurat.
berhubungan
Indikator IR ER Pasang urine cateter ( jika diperlukan )
dengan Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa,
Tekanan darah dalam batas yang diharapkan
gangguan Rata – rata tekanan arteri dalam batas yang diharapkan nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ) jika diperlukan.
Tekanan vena sentral dalam batas yang diharapkan Monitor hasil lab. yang sesuai dengan retensi cairan
mekanisme
Nadi perifer teraba jelas (BUN, Hmt, osmolaritas urine ).
regulasi. Tidak ada hipotensi ortostatik Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP,
Intake dan out put 24 jam seimbang
Tidak ada suara nafas tambahan dan PCWP.
BB stabil Monitor vital sign.
Tidak ada asites Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan ( crades,
JVP tidak tampak CVP, edema, distensi vena leher, asites )
Tidak terdapat edema perifer Monitor berat klien sebelum dan sesudah dialisis.
Tidak ada sunken eyes Kaji lokasi dan luasnya edema.
Pusing tidak ada Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake
Tidak terdapat haus abnormal
Hidrasi kulit kalori harian.
Membrane mukosa lembab Monitor status nutrisi
Elektrolit serum dalam batas normal Berikan cairan dengan tepat.
Hematokrit dalam batas normal Berikan diuretik sesuai dengan instruksi.
Tidak terdapat endapan urine Berikan cairan IV pada suhu ruangan.
Dorong masukan oral.
Berikan penggantian nasogastrik sesuai out put.
Keterangan :
Dorong keluarga untuk membantu klien makan.
1. Keluhan ekstrim Tawarkan snak ( jus buah, buah segar ).
19
2. Keluhan berat Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatremia
3. Keluhan sedang dilusi dengan serum Na < 130 mg / l.
4. Keluhan ringan Monitor respon klien terhadap terapi elektrolit.
5. Tidak ada keluhan Kolaborasi dengan dokter jika tanda cairan berlebih
muncul memburuk.
Atur kemungkinan tranfusi.
Persiapan untuk tranfusi
Fluid monitoring ( monitor cairan )
Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan
eliminasi.
Monitor BB
Monitor serum dan elektrolit urine.
Monitor serum dan osmolaritas urine.
Monitor BP < HR dan RR.
Monitor membran mukosa, turgor kulit dan rasa haus.
2. Ketidakseimba Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam, diharapkan 1. Monitor kalori dan asupan makanan.
2. Lakukan atau bantu pasien terkait perawatan mulut
ngan nutrisi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi,
sebelum makan.
kurang dari dengan kriteria hasil :
3. Pastikan makanan disajikan secara menarik dan pada
kebutuhan Indikator IR ER
suhu yang paling cocok untuk konsumsi secara optimal.
tubuh Intake makanan dan cairan 4. Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan diet untuk
Energi
berhubungan Masa tubuh kondisi sakit.
Berat badan 5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
dengan faktor
Ukuran kebutuhan nutrisi secara biokimia kalori dan nutrisi yang dibutuhkan.
biologis Keterangan :
(hipoproteinem 1. Keluhan ekstrim
ia) dan kurang 2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
asupan
20
makanan 4. Keluhan ringan
(anoreksia) 5. Tidak ada keluhan
3. Gangguan citra Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam, diharapkan 1. Monitor apakah anak bisa melihat bagian tubuh mana
tubuh gangguan citra tubuh dapat teratasi, dengan kriteria hasil : yang berubah.
2. Identifikasi strategi-strategi penggunaan koping oleh
berhubungan Indikator IR ER
Citra tubuh positif orangtua dalam berespon terhadap perubahan
dengan
Mendeskripsikan secara fluktual perubahan funsi penampilan anak.
penyakit
tubuh. 3. Bangun hubungan saling percaya dengan anak.
(edema) Mempertahankan interaksi sosial 4. Gunakan gambaran mengenai gambaran diri.
5. Ajarkan untuk melihat pentingnya respon mereka
Keterangan :
1. Keluhan ekstrim terhadap perubahan tubuh anak dan penyesuaian di
2. Keluhan berat masa depan, dengan cara yang tepat. (NIC, 2013)
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
4. Ketidakefektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam, diharapkan 1. Monitor respirasi dan status O2.
2. Auskultasi suara nafas. Catat adanya suara nafas
an bersihan bersihan jalan nafas dapat efektif, dengan kriteria hasil :
tambahan.
jalan nafas Indikator IR ER
3. Atur intake untuk cairan
berhubungan Tidak didapatkan kecemasan 4. Posisikan pasien semifowler.
Frekuensi pernafasan sesuai yang diharapkan 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
dengan Tidak didapatkan tercekik
mukous yang Pengeluaran sputum pada jalan nafas
Bebas dari suara nafas tambahan.
berlebihan Keterangan :
(efusi pleura) 1. Keluhan ekstrim
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
21
5. Tidak ada keluhan
5. Ketidakefektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam, diharapkan 1. Monitor denyut dan irama jantung.
2. Ukur intake dan outtake cairan.
an perfusi perfusi jaringan perifer efektif, dengan kriteria hasil :
3. Berikan oksigen sesuai kebutuhan.
jaringan Indikator IR ER 4. Lakukan perawatan kulit, seperti pemberian lotion.
Nadi perifer teraba kuat 5. Hindari terjadinya palsava manuver seperti mengedan,
perifer
Nadi perifer teraba simetris menahan napas, dan batuk. (NIC, 2013)
berhubungan Pembesaran pembuluh darah tidak ada
dengan JFP tidak tampak
Edema perifer tidak muncul
penekanan Asites tidak muncul
tubuh terlalu Status kognitif dalam rentang yang diharapkan
Kelemahan ekstrim tidak ada
dalam akibat Keterangan :
edema 1. Keluhan ekstrim
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
6. Ketidakefektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam, diharapkan 1. Monitor jumlah pernapasan, penggunaan otot bantu
an pola nafas pola nafas dapat efektif, dengan kriteria hasil : pernapasan, batuk, bunyi paru, tanda vital, warna kulit,
berhubungan Indikator IR ER AGD.
2. Berikan oksigen sesuai program.
dengan nafas
3. Atur posisi pasien fowler.
22
tidak adekuat Frekuensi pernafasan sesuai yang diharapkan 4. Alat-alat emergensi disiapkan dalam keadaan baik.
Irama nafas sesuai yang diharapkan
(NIC, 2013)
Kedalaman inspirasi
Ekspansi dada simetris
Bernafas mudah
Tidak didapatkan penggunaan otot – otot tambahan
Tidak didapatkan suara nafas tambahan
Keterangan :
1. Keluhan ekstrim
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
7. Intoleransi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam, diharapkan 1. Monitor keterbatasan aktivitas, kelemahan saat
aktivitas intoleran aktivitas dapat teratasi, dengan kriteria hasil : aktivitas.
2. Catat tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas.
berhubungan Indikator IR ER
3. Lakukan istirahat yang adekuat setelah latihan dan
dengan Saturasi oksigen dalam rentang yang diharapkan saat
aktivitas.
kelemahan beraktifitas 4. Bantu penuhi kebutuhan klien
HR dalam rentang yang diharapkan saat beraktifitas 5. Anjurkan klien melakukan latihan aktivitas scr bertahap.
umum RR dalam rentang yang diharapkan saat beraktifitas 6. Bantu klien melakukan latihan Room aktif dan pasif.
TD dalam rentang yang diharapkan saat beraktifitas 7. Dekatkan barang yg diperlukan di meja klien
EKG dalam batas normal 8. Tingkatkan partisipasi klien dalam merawat diri sendiri
Langkah berjalan
sesuai kemampuan
Jarak berjalan
9. Berikan diet yang adekuat dengan kolaborasi ahli diet.
Laporan ADL
Kemampuan bicara saat latihan (NIC, 2013)
Keterangan :
1. Keluhan ekstrim
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
23
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
8. Penurunan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam, diharapkan 1. Kaji suara nafas dan suara jantung.
2. Ukur CVP pasien.
curah jantung curah jantung mengalami peningkatan, dengan kriteria hasil :
3. Monitor aktivitas pasien.
berhubungan Indikator IR ER 4. Monitor saturasi oksigen.
Saturasi oksigen dalam rentang yang diharapkan 5. Kolaborasi pemberian laksatif.
dengan
HR dalam rentang yang diharapkan (NIC, 2013)
perubahan Tidak terdapat odema perifer
frekuensi TD dalam rentang yang diharapkan
EKG dalam batas normal
jantung Aktifitas toleran
Nadi perifer kuat
JVP tidak nampak
Kelemahan ekstrim tidak ada
Keterangan :
1. Keluhan ekstrim
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
24
K. Evaluasi
25
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NN.S DENGAN DHF DI RUANG BANGSAL
UMUM(AKASIA) RSUD H. ANDI ABDURRAHMAN NOOR
PENGKAJIAN
A. Identitas Klien
Nama : Nn. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 16 Thn
Suku : Banjar
Alamat : Sungai Durian Rt.03
Agama : Islam
Pendidikan : SMU
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Status Perkawinan :-
Nomor Medial Record :18xxxx
Tanggal masuk : 07 Mei 2019
Tanggal pengkajian : 10 Mei 2019
Diagnosa Medis : DHF
B. Identitas penanggung jawab
Nama : Tn. A
Umur : 40 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Swasta
C. Riwayat Pengkajian
1. Keluhan utama
Muntah
26
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengatakan muntah sejak 1 hari yang lalu > 10x, nyeri perut (+), demam naik
turun sejak 5 hari yang lalu
P :Nyeri hilang timbul
Q: Nyeri seperti di tusuk
R: Daerah Abdomen
S: Skala nyeri sedang (6) (1-10)
T:Nyeri hilang timbul dengan durasi ± 5menit
4. Riwayat keluarga
Orang tua pasien mengatakan keluarganya ada riwayat kangker rahim
5. Genogram
Keterangan :
Meninggal
Perempuan
Laki-laki
v v
v
Pasien
Satu rumah
2 Cairan
a. Intake
Oral/IV Air Putih Air Putih dan Infus Rl
Jumlah ..... /jam 1500cc 1200 cc
b. Output Mandiri
Oral/DC Mandiri 1200 cc/ hari
Jumlah...../jam 1400cc / hari
3 Eliminasi
a. BAB
Frekuensi 1 Kali Belum ada selama di
Konsistensi Normal rawat
Warna Kuning
Keluhan Tidak Ada
Bantuan total/sebagian Mandiri
b. BAK
Frekuensi 1-3 Kali sehari 1-3 kali sehari
Cair Cair
Konsistensi
Kuning Kuning jernih
Warna
Tidak Ada Normal
Keluhan Normal Tidak ada
Bantuan total/sebagian Mandiri Mandiri
4 Istirahat Dan Tidur
a. Mulai tidur 10:30 pm Selama di rawat susah
b. Lama tidur 6 jam tidur
c. Kesulitan memulai tidur Tidak ada
d. Gangguan tidur Tidak Ada
e. Kebiasaan sebelum tidur Nonton Tv
5 Personal hygiene
a. Mandi (frekuensi,bantuan Mandiri 2x Di seka 2x sehari di
total/sebagian) sehari bantu
b. Gosok gigi (frekuensi) Mandiri Di Bantu
c. Gunting kuku Mandiri Di Bantu
d. Ganti pakaian (frekuensi Mandiri Di Bantu
perhari) Di Bantu
6 Aktivitas
28
a. Mobilitas fisik Mandiri Di Bantu
b. Olahraga Tidak Ada Tidak Ada
c. Rekreasi Jarang Tidak Pernah
E. Data Psikologis
F. Data Sosial
G. Data Spiritual
Pasien mengatakan kalau dirumahnya ia selalu melakukan ibadah lima waktu secara
rutin setelah sakit pasien beribadah dan berdoa di tempat tidur.
H. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum Pasien : K/U Sedang
2. Kesadaran
a. Kualitatif : Composmentis
b. Kualitatif : GCS
2. Sistem Pernafasan
a. Inspeksi : Kebersihan kepala (bersih) dan bentuk kepala dan muka (simetris)
Bunyi Redup
d. Auskultasi
3. Sistem Kardiovaskuler
a. Inspeksi
Bentuk kiri dan kanan simetris, tidak asa nyeri dada, sesak nafas, tidak ada clabing
finger.
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
4. Sistem Persyarafan
30
Tingkat kecasadaran Composmentis GCS 15, Fungsi persyarafan baik, koordinasi
gerakan mata dan pupil mata baik, aktivitas gerak terhambat karena adanya luka
pada kaki sebelah kanan.klien mampu berjalan dari tempat tidur ke Wc.
5. Sistem Pencernaan
a. Inspeksi
Abdomen terlihat simetris, gerkan andomen normal saat inspirasi dan ekspirasi
kondisi kulit abdomen baik
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
6. Sistem Muskuloskeletal
Skala otot
4 5
5 5
7. Sistem Integumen
a. Inspeks
b. Palpasi
31
Akral teraba hangat. kulit klien berkeringat.
8. Sistem Endokrin
a. Inspeksi
Rambut klien kering, tidak terlihat kotor dan berketombe, warna rambut klien
9. Sistem Genitourinaria
a. Inspeksi
Tidak ada radang pada genitalia, tidak ada lesi dan infeksi.pengeluaran urin
lancar.
b. Palpasi
Data Penunjang
1. Laboratorium
32
2. Therapy
33
2. 11 Mei 2019 a. Infus Rl 1500/24 jam
b. Futrolit 500 cc/24 jam
c. Injeksi Dexamethasone
1 ampul/8 jam
d. Paracetamol 3 x 500
mg (Kp)
Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
34
3. DS : - Klien mengeluh nyeri perut kuadran kiri Proses Nyeri Akut
atas terjadinya
P: Nyeri hilang timbul penyakit
Q:Nyeri seperti di tusuk
R:Daerah perut sebelah kiri
S:Skala nyeri (6)(1-10)
T:Nyeri hilang timbul dengan durasi + 5 menit
DO: - klien banyak di tempat tidur
-Klien tampak meringis
I. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan anoreksia
2. Hipertermi berhubungan dengan dehidrasi
3. Nyeri akut berhubungan dengan proses terjadinya penyakit
Keterangan:
1. Keluhan ekstrim
35
2. Keluhan Berat
3. Keluhan Sedang
4. Keluhan Ringan
5. Tidak ada keluhan
36
J. Implementasi Keperawatan
Diagnosa
No Implementasi Evaluasi
Keperawatan
1. Kekurangan 1. mengkaji intake klien S: pasien mengatakan muntah
2. menyajikan makanan dalam
volume cairan kondisi hangat O: keadaan umum lemah
berhubungan 3. menganjurka makan dalam porsi BB Awal :40 kg
kecil tapi sering BB Akhir :35 kg
dengan
Mukosa bibir kering
anoreksia Mata cowong
Turgor kulit kering
a. T : 38 C
b. N :80x/mnt
c. R :20x/mnt
d. TD :110/80mmHg
Keterangan:
1. Kuat
2 . Berat
3 . Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
37
P : Lanjutkan Intervensi
38
T:Nyeri hilang timbul dengan durasi
+ 5 menit
1. 1. Berat
2. Sedang
3. Ringan
4.. Tidak ada
P : Intervensi dilanjutkan
1. Monitor temperature sesering
mungkin
K. Catatan Perkembangan
No Diagnosa Catatan
Waktu Paraf
. Keperawatan Perkembangan
1. Kekurangan volume Jumat S: pasien mengatakan muntah
10 mei
cairan berhubungan 2019 O: keadaan umum lemah
dengan anoreksia
TD : 100/70
N: 20 x/mnt
39
A:Masalah belum teratasi
Indikator IR ER
Keterangan:
1. Kuat
2 . Berat
3 . Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
P : Lanjutkan Intervensi
40
5. tidak ada keluhan
P : Intervensi di lanjutkan
1. 1. Berat
2. Sedang
3. Ringan
4.. Tidak ada
P : Intervensi dilanjutkan
1. Kekurangan volume Sabtu S: pasien mengatakan sudah tidak muntah
11 mei
cairan berhubungan 2019 O: keadaan umum baik
dengan anoreksia
P: Nyeri hilang timbul
Q:Nyeri seperti di tusuk
R:Daerah perut sebelah kiri
S:Skala nyeri (3)(1-10)
T:Nyeri hilang timbul dengan durasi + 5
41
menit
TD : 100/70
N: 20 x/mnt
Keterangan:
1. Kuat
2 . Berat
3 . Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
P : intervensi di hentikan masalah teratasi
2. Hipertermi Sabtu S: Pasien mengatakan badannya sudah
11 mei tidak panas lagi
berhubungan dengan 2019 O:
dehidrasi i. T : 36C
j. N :80x/mnt
k. R :20x/mnt
l. TD :110/80mmHg
42
2. keluhan berat
3. keluhan sedang
4.. keluhan ringan
5. tidak ada keluhan
P : Intervensi di hentikan
1. 1. Berat
2. Sedang
3. Ringan
4.. Tidak ada
P : Intervensi di hentikan
43
44