Namun siapa yang menyangka, ternyata nenek moyang ular diketahui sempat memiliki
empat kaki, sebelum akhirnya bermutasi dan kehilangan semuanya. Berdasarkan dua studi
terbaru yang dilansir National Geographic, Minggu (23/10/2016), hal itu terjadi kira-kira 150
juta tahun yang lalu.
Nature World News (26/10) menyebutkan, penemuan ini memberikan kabar baik bagi ahli
herpetologi, atau ahli reptil dan amfibi, yang telah lama mencari tahu bagaimana terjadinya
mutasi genetik yang menyebabkan ular kehilangan tangan dan kakinya.
Kedua studi mengindikasikan bahwa DNA ular, yang populer disebut sebagai Zone of
Polarizing Activity Regulatory Sequence (ZRS), pada dasarnya bertanggung jawab dalam
perubahan tersebut.
Pada studi pertama, para peneliti mengambil sejumlah embrio tikus dan mengganti ZRS
DNA mereka dengan milik ular. Hasilnya, kaki tikus tersebut tidak berkembang secara
normal, membuktikan peran penting dari ZRS.
"Ini adalah satu dari banyak komponen instruksi DNA yang dibutuhkan untuk membentuk
anggota tubuh pada manusia dan, pada dasarnya, seluruh vertebrata berkaki lainnya. Pada
ular (DNA) itu rusak," kata Axel Visel, dari Lawrence Berkeley National Laboratory di
Amerika Serikat, seperti dikutip Daily News & Analysis (27/10).
"Mungkin inilah satu dari beberapa langkah evolusi yang terjadi pada ular, yang tak seperti
sebagian besar mamalia dan reptil, tidak lagi bisa menumbuhkan anggota tubuh," lanjut
Visel.
Axel dan peneliti lainnya mulai mencari tahu pada gen ular yang diketahui memiliki ikatan
terdekat pada rantai keluarga ular seperti kobra dan piton yang diketahui masih memiliki
struktur kaki pada ototnya.
Lalu pada studi kedua, peneliti menggunakan metode DNA-editing atau yang lebih dikenal
dengan Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR). Metode ini
melibatkan pemotongan ZRS dalam embrio tikus dan menggantinya dengan binatang lain,
termasuk ular.
Hasilnya, kaki-kaki tikus tersebut berkembang normal ketika mereka memiliki DNA ZRS dari
manusia dan binatang lainnya. Namun, ketika ZRS dari kobra dan piton dimasukkan,
anggota badan tikus tersebut tidak berkembang sama sekali.
"Hasil percobaan ini mengindikasikan dimungkinkannya kaki untuk kembali tumbuh pada
ular yang ada saat ini tanpa harus melalui sebuah proses evolusi yang panjang," kata
Martin J. Cohn, ahli biologi dari University of Florida.
Cohn dan rekannya Francesca Leal juga menemukan adanya gen "Sonic Hedgehog"
(SHH) pada piton, sebuah gen yang diperlukan untuk mengembangkan tangan dan kaki.
Dalam penelitian terbaru Cohn dan Leal yang dipublikasikan jurnal biologi, mereka
menemukan gen SHH sempat aktif pada tahap tertentu dalam perkembangan ular piton.
Itulah sebabnya, ada ular piton yang memiliki cakar kecil yang menonjol dari kulit. Mereka
mulai mengembangkan tungkai. Itu artinya, ada kemungkinan bagi piton untuk
menumbuhkan kaki dan tidak memerlukan siklus evolusi penuh.
Mereka hanya membutuhkan gen yang tepat untuk membantu menumbuhkan anggota
tubuh yang dulu pernah dimilikinya sebelum berevolusi. Cohn pun melihat adanya implikasi
masa depan untuk studi evolusioner.
"Saya pikir hasil ini dapat menjadi pondasi untuk melakukan studi komparatif lebih jauh
untuk mengamati bagaimana organ dan strukturnya menghilang selama waktu evolusi,"
pungkasnya.
Ilmuwan mengungkap bahwa nenek moyang semua ular teryata memiliki kaki belakang -- meski kecil,
juga pergelangan dan jari kaki. Kala itu mereka bisa dijumpai sedang merayap di atas tanah basah di
dalam hutan, mencari mangsa bertubuh lunak.
Dalam rekonstruksi komprehensif pertama leluhur ular, para peneliti menganalisa fosil, DNA, dan anatomi
73 spesies ular dan kadal.
Temuan para ilmuwan menunjukkan bahwa nenek moyang ular masa kini awalnya cenderung nokturnal,
berkembang di daratan, serta tinggal dalam lingkungan yang hangat, lembab di dalam hutan di Belahan
Bumi Selatan (Southern Hemisphere) sekitar 128 juta tahun lalu.
Penemuan tersebut memberi petunjuk penting untuk menguak misteri sejarah evolusi ular. Meski ada
sekitar 3.400 spesies ular hidup di Bumi saat ini di segala macam habitat, hanya sedikit yang diketahui
tentang di mana dan kapan mereka berkembang. Juga bagaimana penampakan dan perilaku nenek
moyang mereka.
Selain menggunakan data genetika dan anatomi, "Para ilmuwan, dengan menggunakan data yang ada,
bisa melintasi waktu untuk merekonstruksi potensi perilaku fosil ular," kata Allison Hsiang, pemimpin studi
sekaligus peneliti posdoktoral di bidang geologi dan geofisika di Yale University, seperti dikutip dari situs
sains LiveScience, Kamis (21/5/2015).
Hsiang dan para koleganya menciptakan pohon keluarga ular dalam skala besar, dengan cara
mengidentifikasi persamaan dan perbedaan masing-masing spesies. Temuan mereka fokus pada nenek
moyang semua ular dan hewan mirip ular lainnya -- termasuk legenda 'kakek moyang' semua ular.
Kedua nenek moyang diduga berburu di malam hari dan memangsa 'hewan vertebrata dan invertebrata
bertubuh lunak', yang ukurannya setara dengan kepala mereka.
Meski mangsa mereka yang makan lebih besar daripada yang dikonsumsi kadal saat itu, tak terdeteksi
bahwa ular kuno bisa meremukkan atau memangsa yang lebih besar dari mereka -- seperti yang bisa
dilakukan Ular Boa (Boa constrictor) saat ini.
Dan tak seperti keturunanya, nenek moyang ular cenderung menggunakan gigi mereka yang setajam
jarum -- untuk mengoyak -- sebelum menelannya mangsanya utuh-utuh.
Ilmuwan juga menemukan, nenek moyang ular lebih suka tinggal di lingkungan hangat, lembab, dengan
vegetasi atau tanaman yang berkembang baik.
Nenek moyang hewan mirip ular, termasuk kadal, diduga berkembang selama pertengahan Periode
Kapur Awal (Early Cretaceous) sekitar 128,5 tahun lalu di Laurasia, benua kuno yang meliputi Amerika
Utara, Eropa, dan Asia.
Kemudian, nenek moyang semua ular menyusul sekitar 20 juta tahun kemudian di benua super
Gondwana -- yang kini meliputi Amerika Utara, Afrika, Antartika, dan Australia.
Faktanya, perkembangan ular bertepatan dengan Revolusi Kapur Terrestrial (Cretaceous Terrestrial
Revolution) masa ketika terjadi diversifikasi hewan yang intensif -- termasuk serangga, reptil, dan
mamalia.
Tim juga menemukan, di masa awal ular adalah hewan noktunal, mirip burung hantu. Meski nenek
moyang reptil aktif di siang hari, leluhur ular aktif di malam hari sekitar 45 sampai 50 juta tahun lalu.
Perilaku noktunal tersebut diduga berhenti ketika Colubroidae, famili ular yang meliputi lebih dari 85
persen spesies ular hidup, berhenti keluar rumah kala gelap. Akibat suhu udara yang turun drastis.
Colubroidae kemudian beradaptasi dengan melakukan kegiatan di siang hari. Dan mereka berhasil
melakukannya, bahkan hingga saat ini.
Tak hanya kemampuan adaptasi. Ular berhasil tinggal di segala habitat karena kemampuan mereka
melakukan perjalanan jauh dan di tempat yang luas, antara 42.500 mil persegi (110.000 kilometer
persegi) -- sekitar 4,5 kali lebih besar dari kisaran yang bisa ditempuh para kadal.
Ular juga bisa hidup di tanah dan air, mengatasi hambatan penyebaran hewan darat lainnya. Studi para
peneliti tersebut dipublikasikan secara online pada 19 Mei di jurnal BMC Evolutionary Biology. (Ein/Tnt)