Anda di halaman 1dari 21

KLIPING BIOGRAFI PAHLAWAN

DISUSUN OLEH :
AISYAH RAHMA PUTRI WIBOWO

KELAS : IV A

SDN BARU 02 PAGI


2018
1. Biografi Sultan Hasanuddin

Nama : Sultan Hasanuddin


Lahir : Makassar, 12 Januari 1631
Wafat : Makassar, 12 Juni 1670
Ibu : I Sabbe To’mo Lakuntu
Ayah : Sultan Malikussaid
Pasangan: I Bate Daeng Tommi (m. 1654), I Mami Daeng Sangnging (m. 1645), I Daeng Talele
Anak: Karaeng Galesong, Sultan Amir Hamzah, Sultan Muhammad Ali

Keluarga Dan Masa Kecil Sultan Hasanuddin

Sultan Hasannudin merupakan anak kedua dari pasangan Sultan Malikussaid yang merupakan
raja Gowa ke-15 dan juga I Sabbe To’mo Lakuntu yang merupakan putri bangsawan Laikang.
Sultan Hasanudin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 12 januari 1631 dan wafat
pada 12 Juni 1670 di Makassar, Sulawesi Selatan. Nama lahir Sultan Hasanuddin adalah I
Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Sultan Hasanuddin
memiliki saudara perempuan bernama I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne.
Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah memperlihatkan jiwa kepemimpinan, selain itu Ia juga
memiliki kecerdasan dan kerajinan dalam belajar yang sangat menonjol dibanding dengan
saudaranya yang lain, serta pandai bergaul dengan banyak orang tidak hanya di lingkungan
istana tetapi juga dengan orang asing yang mendatangi Makassar untuk berdagang.
Pendidikan yang dijalaninya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Masjid Bontoala
membuatnya menjadi pemuda yang beragama, memiliki semangat juang, jujur, dan rendah hati.

Wafatnya Sultan Alauddin (Kakek Sultan Hasanuddin) Dan Pengangkatan Ayahnya Sebagai
Raja Gowa

Saat Hasanuddin berumur 8 tahun, sang kakek yaitu Sultan Alauddin yang merupakan raja Gowa
ke-14 wafat setelah memerintah kerajaan Gowa selama 46 tahun. Setelah kakeknya meninggal
sang ayah Sultan Malikussaid menggantikan sebagai raja yang dilantik pada 15 Juni 1639.
Selama kepemimpinan ayahnya, Sultan Hasanuddin yang masih remaja sering diajak untuk
menghadiri perundingan penting. Hal ini dilakukan sang ayah agar Hassanudin belajar tentang
ilmu pemerintahan, diplomasi dan juga strategi perang. Setelah pandai pada bidang tersebut,
Hasanuddin pernah beberapa kali diutus untuk mewakili sang ayah mengunjungi kerajaan
nusantara terutama daerah dalam gabungan pengawalan kerajaan Gowa. Saat hendak memasuki
usia 21 tahun, Hassanudin dipercaya untuk menjabat urusan pertahanan Gowa dan membantu
ayahnya mengatur pertahanan untuk melawan Belanda.

Diangkat sebagai Raja Gowa-16

November 1653, pada usia 22 tahun, I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang
Karaeng Bonto Mangepe diangkat menjadi Raja Gowa dengan gelar Sultan Hasanuddin
Tumenanga Ri Balla Pangkana. Pengangkatan tersebut merupakan pesan dari sang ayah sebelum
wafat dan karena sifat yang tegas, berani serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang luas
pesan tersebut disetujui mangkubumi kerajaan yaitu Karaeng Pattingaloang.

Melawan VOC

Sultan Hasanuddin memerintah kerajaan saat Belanda hendak menguasai rempah-rempah dan
memonopoli hasil perdagangan wilayah timur Indonesia, Belanda melarang orang Makassar
berdagang dengan musuh belanda seperti Portugis atau yang lainnya. Keinginan Belanda yang
ingin melakukan monopoli perdagangan melalui VOC ditolak keras oleh Raja Gowa yaitu Sultan
Hasanuddin. Sultan Hasanuddin masih berpendirian sama seperti kakek dan ayahnya bahwa
tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk dimiliki dan dipakai bersama-sama.
Karena menentang usaha monopoli yang hendak dilakukan VOC dan juga Kerajaan Gowa
merupakan kerajaan terbesar yang menguasai jalur perdagangan, VOC berusaha mengahncurkan
Kerajaan Gowa.

Perang Melawan Belanda Dan Sultan Hasanuddin Turun Tahta

Pada tahun 1666, Belanda dibawah kepemimpinan Laksamana Cornelis Speelman berusaha
menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang ada di bagian timur Indonesia. Namun usaha mereka
untuk menguasai kerajaan Gowa belum berhasi karena Raja Gowa yaitu Sultan Hasanuddin
berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan kecil di bagian timur Indonesia untuk melawan
Belanda. Peperangan yang terjadi antara kedua belah pihak selalu diakhiri dengan perjanjian
perdamaian dan gencatan senjata namun VOC selalu melanggar dan hal tersebut merugikan
Kerajaan Gowa. Belanda terus menambah pasukan selama peperangan sehingga Kerajaan Gowa
semakin lemah dan terdesak, lalu dengan pertimbangan pada 18 November 1667 Sultan
Hasanuddin bersedia menandatangani Perjanjian Bungaya. Rakyat dan Kerajaan Gowa yang
merasa sangat dirugikan dengan adanya perjanjian tersebut, pada 12 April1668 akhirnya perang
kembali pecah. Sultan Hasanuddin memberi perlawanan sengit. Namun karena pasukan Belanda
yang dibantu dengan tentara luar, pada 24 Juni 1969 mereka berhasil menerobos Benteng
Sombaopu yang merupakan benteng terkuat kerajaan Gowa.
Belanda terus melancarkan usahanya memecah belah Kerajaan Gowa, usaha yang dilakukan
oleh mereka berhasil dengan beberapa pembesar kerajaan yang menyerah seperti Karaeng Tallo
dan Karaeng Lengkese. Namun tidak dengan Sultan Hasanuddin yang telah bersumpah tidak
akan pernah sudi bekerja sama dengan Belanda. Pada 29 Juni 1969, Sultan Hasanuddin turun
tahta dan kemudian digantikan oleh putranya yang bernama I Mappasomba Daeng Nguraga yang
bergelar Sultan Amir Hamzah.

Sultan Hasanuddin Wafat

Pada 12 Juni 1670, pada usia 39 tahun Sultan Hasanuddin wafat. Kemudian beliau dimakamkan
di suatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di Kampung
Tamalate.

Penghargaan Sultan Hassanudin

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, pada 6 November 1973 atas jasa-
jasanya, Sultan Hasanuddin diberi gelar sebagai pahlawan nasional.
2. Biografi Sultan Ageng Tirtoyoso

Nama: Sultan Ageng Tirtayasa


Lahir: Banten, 1631
Meninggal: Jakarta, 1695
Memerintah: 1651–1683
Orang Tua:
Ratu Martakusuma (Ibu)
Abdul Ma’ali Ahmad (Ayah)
Anak:
Sultan Abu Nashar Abdulqahar (Haji dari Banten)
Pangeran Purbaya
Tubagus Abdul
Tubagus Rajaputra
Tubagus Husaen
Tubagus Ingayudadipura
Raden Mandaraka
Raden Saleh
Raden Rum
Raden Sugiri
Raden Muhammad
Tubagus Rajasuta
Raden Muhsin
Arya Abdulalim
Tubagus Muhammad Athif
Tubagus Wetan
Tubagus Kulon
Raden Mesir

Biografi Sultan Ageng Tirtayasa


Sultan Ageng Tirtayasa merupakan putra dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yaitu Sultan Banten
periode 1640-1650 dan Ratu Martakusuma. Sultan Ageng Tirtayasa lahir di Kesultanan Banten
pada tahun 1631.
Nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa adalah Abdul Fatah atau Abu al-Fath Abdulfattah. Sejak
kecil sebelum diberi gelar Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Fatah diberi gelar Pangeran Surya.
Saat ayahnya yaitu Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad wafat, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat sebagai
Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati. Abdul Fatah atau pangeran Dipati merupakan
pewaris tahta kesultanan Banten. Tapi saat ayahnya wafat, Beliau belum menjadi sultan karena
kesultanan Banten saat itu kembali dipimpin oleh kakeknya yaitu Sultan Abul Mufakhir
Mahmud Abdul Qadir.
Menjadi Sultan dan Kesultanan Banten Mengalami Kejayaan
Pada tahun 1651, kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir wafat. Abdul Fatah
atau pangeran Dipati lalu naik tahta sebagai Sultan Banten ke 6 dengan nama Sultan Abul Fath
Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Sewaktu naik tahta menjadi Sultan Banten, beliau
masih sangat muda yaitu pada usia 20 tahun.
Sultanb Ageng Tirtayasa sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan agama Islam di
daerahnya. Ia mendatangkan banyak guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lain untuk
membina mental para pasukan Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga dikenal sebagai
ahli strategi dalam perang.
Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, kesultanan Banten mencapai puncak kejayaan
dan kemegahannya. Ia memajukan sistem pertanian dan irigasi baik dan berhasil menyusun
armada perangnya. Selain itu, kesultanan Banten juga menjadi memiliki hubungan diplomatik
yang kuat antara kesultanan Banten dengan kerajaan lainnya di Indonesia seperti Makassar,
Cirebon, Indrapura dan Bangka.
Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan baik dibidang perdagangan, pelayaran dan juga
diplomatik dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Turki, Denmark dan Perancis.
Hubungan tersebut membuat pelabuhan Banten sangat ramai dikunjungi para pedagang dari
Persia, Arab, India, china, melayu serta philipina.
Sultan Ageng Tirtayasa sempat membantu Trunojoyo dalam pemberontakan di Mataram. Beliau
bahkan membebaskan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang saat itu ditahan di
Mataram karena hubungan baiknya dengan Cirebon.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, konflik antara Kesultanan Banten dan Belanda
semakin meruncing. Hal tersebut disebabkan karena ikut campurnya Belanda dalam internal
kesultanan Banten yang saat itu sedang melakukan pemisahan pemerintahan. Belanda melalui
politik adu dombanya (Devide et Impera) menghasut Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kahar)
melawan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan saudaranya sendiri.
Sultan Haji mengira bahwa pembagian tugas pemerintahan oleh Sultan Ageng Tirtayasa
kepadanya dan saudaranya tersebut merupakan upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris tahta
kesultanan Banten dan diberikan kepada adiknya, Pangeran Arya Purbaya. Sultan Haji yang
didukung oleh VOC Belanda lalu berusaha menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
Akhirnya, perang keluarga pun pecah. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa saat itu mengepung
pasukan Sultan Haji di daerah Sorosowan (Banten). Namun pasukan pimpinan Kapten Tack dan
Saint-Martin yang dikirim Belanda datang membantu Sultan Haji.

Wafatnya Sultan Ageng Tirtayasa


Perang antar keluarga yang berlarut-larut membuat Kesultanan Banten melemah. Akhirnya pada
tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dibawa ke Batavia dan dipenjara. Pada tahun
1692, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya wafat. Sultan Ageng Tirtayasa dimakamkan di Kompleks
Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi Banten.
Menjadi Pahlawan Nasional Indonesia
Pada tanggal 1 agustus 1970, melalui SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970
Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng Tirtayasa.
Selain itu, untuk menghargai jasanya, nama Sultan Ageng Tirtayasa diabadikan sebagai nama
salah satu universitas di Banten bernama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Biografi Patimura

Nama lengkap : Thomas Matulessy


Julukan : Pattimura
Lahir : Hualoy, Seram selatan, Maluku 8 Juni 1783
Wafat : Ambon, Maluku 16 Desember 1817
Orang tua : Frans Matulesi (Ayah) Fransina Silahoi (Ibu)

Biografi Lengkap Pattimura

Berdasarkan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M.Sapija
menuliskan “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina
(Seram). Ayahnya yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura
Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di
negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.
Namun berbeda dengan pendapat dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan
dalam bukunya yang berjudul Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy (dalam bahasa Maluku “Mat
Lussy”), lahir di lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam
sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu
diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim
Allah/Asisten Allah).

Gelar Kapitan

Berdasarkan sejarah yang dituliskan M.Sapija, gelar kapitan yang dimiliki oleh Pattimura berasal
dari pemberian Belanda. Padahal tidak.
Menurut sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran dari Abdul Gafur (leluhur bangsa
Indonesia). Dilihat dari sudut sejarah dan antropologi adalah homo religosa (makhluk agamis).
Keyakinan mereka terhadap suatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka yang akhirnya
menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Karena itulah tingkah laku sosialnya
dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus dimiliki
seseorang. Kesaktian tersebut kemudian diterima sebagai suatu peristiwa yang suci dan mulia.
Bila kekuatan tersebut melekat pada seseorang maka akan menjadi lambang kekuatan untuknya.
Pattimura merupakan pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat tersebut melekat dan
berproses turun temurun. Meskipun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya
sebutan “kapitan” yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.

Perjuangan Pattimura

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura pernah berkarier dalam dunia militer
sebagai mantan sersan militer Inggris. Hingga pada tahun 1816, terjadi perpindahan kekuasaan
dari kolonialisme Inggris ke tangan Belanda. Kedatangan Belanda sangat di tentang oleh
Belanda, karena sebelum Inggris darang ke daratan Ambon. Belanda pernah menguasai daratan
Ambon selama kurang lebih 2 Abad.
Selama kurun waktu 2 abad hubungan kemasyarakatan, politik dan ekonomi sangat buruk.
Datangnya Belanda kali ini membawa aturan baru seperti monopoli politik, pemindahan
penduduk, pajak atas tanah, dan mengabaikan Traktat london.
Akibatnya, Rakyat Maluku melakukan perlawanan angkat senjata untuk melawan Belanda di
bawah pimpinan Pattimura. Pattimura diangkat menjadi pemimpin perjuangan melawan Belanda
oleh Patih, ketua adat, dan para kapitan lainnya karena sifat kemimpinan dan ksatria yang ada
pada diri Pattimura.
Karena perjuangan yang ia lakukan, Pattimura berhasil menggalang kekuatan dengan mengajak
kerajaan ternate, Tidore, dan beberapa Raja di Jawa dan di Bali untuk membantu rakyat Maluku
memerangi Belanda. Dengan kekuatan besar ini, Belanda sampai mengerahkan kekuatannya
dibawah pipiman Laksamana Buykes, yang merupakan komisaris Jenderal Belanda.
Pejuangan Kapitan Pattimura dalam melawan Belanda yaitu untuk memperebutkan Benten
Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano. Ouw-Ullath, Jasirah Hitu di
pulau Ambon dan Seram Selatan.
Perang Pattimura dihentikan dengan adanya politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus
oleh Belanda. Pattimura bersama para tokoh pejuang lain yang bersamanya akhirnya dapat
ditangkap. Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial Belanda disebuah Rumah di daerah
Siri Sori Pattimura kemudian di adili di Pengadilan Kolonial Belanda dengan tuduhan melawan
pemerintah Belanda.

Hukuman Dan Kematian Pattimura

Pattimura kemudian dijatuhi hukuman gantung, sebelum eksekusinya di tiang gantungan,


Belanda ternyata terus membujuk Pattimura agar dapat bekerja sama dengan pemerintah
kolonial Belanda, namun Pattimura menolaknya.
Pattimura kemudian mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember
1817 di depan Benteng Victoria di Kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan
Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik
Indonesia.

4. Sutomo

Sutomo atau lebih dikenal sebagal Bung Tomo dilahirkan di Kampung Blauran, Surabaya, pada
3 Oktober 1920. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, Sutomo adalah sosok yang aktif
berorganisasi sejak remaja. Bergabung dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), beliau
tercatat sebagai salah satu dari tiga orang pandu kelas I di seluruh Indonesia saat itu.
Pada masa mudanya, Bung Tomo yang memiliki minat pada dunia jurnalisme tercatat sebagai
wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937. Setahun kemudian, ia menjadi
Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok harian
berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939.
Pada masa pendudukan Jepang, Sutomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang,
Domei, bagian Bahasa Indonesia untük seluruh Jawa Timur di Surabaya (1942-1945). Saat
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beliau memberitakannya dalam
bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang.
Selanjutnya, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Ketika meletus pertempuran di Surabaya, 10 November 1945, Bung Tomo tampil sebagai orator
ulung di depan corong radio, membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan tentara
Inggris dan NICA-Belanda. Sejarah mencatat bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya
yang terdiri atas berbagai suku bangsa sangat dahsyat. Tidak ada rasa takut menghadapi tentara
Inggris yang bersenjata lengkap. Tanggal 10 November pun kemudian kita kenang sebagai
Hari Pahlawan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo pernah aktif dalam politik pada tahun 1950-an.
Namun pada awal tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Pada 11
April 1978 ditahan oleh pemerintah selama satu tahun karena kritik-kritiknya yang pedas.
Sutomo meninggal di Mekkah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo
dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di TPU Ngagel, Surabaya. Bung Tomo, pahlawan
pengobar semangat Juang arek-arek Surabaya ini mendapat gelar pahlawan secara resmi dan
pemerintah pada tahun 2008.
 Tempat/Tgl. Lahir : Surabaya, 3 Oktober 1920
 Tempat/Tgl. Wafat : Mekah,7 Oktober 1981
 SK Presiden : Keppres No. 41/TK/2008, Tgl. 6 November 2008
 Gelar : Pahlawan Nasional
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin
setjarik kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah
kepada siapapoen djuga!”
– Bung Tomo –
Pertempuran Surabaya merupakan salah satu perang terberat yang pernah dihadapi Inggris seusai
PD II. Bahkan, seorang jenderal Inggris tewas di Surabaya.
5. Ir. Soekarno

Ir Soekarno
Biografi Ir. Soekarno Secara Singkat
Lahir: Surabaya, 6 Juni 1901
Wafat: Jakarta, 21 Juni 1970
Dimakamkan: Kota Blitar, Jawa Timur
Kebangsaan: Indonesia
Anak-anak:
 Putra: Guruh Soekarnoputra, Guntur Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra,
Taufan Soekarnoputra, Totok Suryawan,
 Putri: Megawati Soekarnoputri, Kartika Sari Dewi Soekarno, Rachmawati
Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Ayu Gembirowati, Rukmini Soekarno,
Pasangan/Istri:
 Siti Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari
Dewi Soekarno, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar
Pendidikan:
 Sekolah Dasar Bumi Putera
 HBS (Hoogere Burger School)
 Technische Hoogeschool, sekarang ITB
Penghargaan:
 Penghargaan Perdamaian Lenin (1960)
 Bintang Kehormatan Filipina (1965)
 Doktor Honoris Causa dari 26 Universitas
 The Order Of The Supreme Companions of OR Tambo (Presiden Afsel - 2005)
Orangtua: Soekemi Sosrodihardjo (Bapak), Ida Ayu Nyoman Rai (Ibu)
Gelar Pahlawan: Pahlawan Nasional
Biografi Ir. Soekarno Lengkap
Ir. Soekarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni tahun 1901. Ir. Soekarno adalah Presiden
RI pertama yang dikenal sebagai tokoh proklamator bersama Dr. Mohamad Hatta. Pada tahun
1926, beliau lulus dari Technische Hoge School, Bandung (sekarang ITB). Pada tanggal 4 Juli
1927, Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) untuk mencapai kemerdekaan
Kharisma dan kecerdasan beliau membuat dirinya terkenal sebagai orator ulung yang dapat
membangkitkan semangat rakyat. Belanda merasa terancam dengan sikap nasionalisme beliau.
Pada Desember 1929, Soekarno dan tokoh PNI lainnya ditangkap dan dipenjara. PNI sendiri
dibubarkan dan berganti menjadi Partindo. Perjuangan beliau terus berlanjut setelah dibebaskan,
tetapi pada Agustus 1933, Proklamator kemerdekaan RI ini kembali ditangkap dan diasingkan ke
Ende, Flores, lalu dipindahkan ke Bengkulu.

Soekarno dibebaskan ketika Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda. Jepang meminta Ir.
Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur mendirikan PUTERA
(Pusat Tenaga Rakyat) untuk kepentingan Jepang. Namun, PUTERA justru lebih banyak
berjuang untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, Jepang membubarkan PUTERA. Ketika
posisinya dalam Perang Asia Raya mulai terdesak pasukan Sekutu, Jepang mendirikan BPUPKI.
Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar
Negara yang disebut Pancasila.

Setelah BPUPKI dibubarkan, beliau diangkat menjadi ketua PPKI. Tidak lama kemudian Jepang
memanggil Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat ke Ho Chi Minh, Vietnam, untuk
menemui Jenderal Terauchi guna membicarakan masalah kemerdekaan Indonesia. Setelah
kembali ke Indonesia, Soekarno dan Hatta diculik para pemuda yang sudah mendengar berita
kekalahan Jepang atas Sekutu dan dibawa ke Rengasdengklok. Akhirnya, tercapai kesepakatan
sehingga Soekarno-Hatta segera kembali ke Jakarta mempersiapkan Naskah Proklamasi.
Bersama Hatta, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI atas nama rakyat Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
Kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia, bukan pemberian Jepang.
Satu hari kemudian, beliau dilantik menjadi Presiden RI yang pertama. Beliau memerintah
selama 22 tahun. Soekarno meninggal saat berusia 69 tahun dan dimakamkan di Blitar, Jawa
Timur.

6. Ki Hajar Dewantara

Nama : Ki Hadjar Dewantara


Lahir : 2 Mei 1889, Kota Yogyakarta, Indonesia
Meninggal : 28 April 1959, Kota Yogyakarta, Indonesia
Makam : Taman Wijaya Brata
Pendidikan : School tot Opleiding van Indische Artsen
Warga Negara : Indonesia
Zodiac : Taurus
Agama : Islam

Biografi Ki Hadjar Dewantara


Ki Hajar Dewantara lebih dikenal sebagai Bapak pendidikan Indonesia. Nama asli ki hajar
dewantara adalah Raden Mas suwardi suryaningrat. Beliau merupakan keturunan dari keraton
Yogyakarta. Pada umur 40 tahun, beliau merubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara. Beliau
tidak memakai gelar nama kebangsaannya lagi dikarenakan beliau ingin lebih dekat dengan layar
secara fisik maupun hatinya. Biografi Ki hajar dewantara memang penuh pengabdian kepada
Indonesia. Sudah banyak sekali hal bermanfaat yang dilakukan oleh beliau.

Ki hajar dewantara bersekolah di ELS yang dulu merupakan sekolah dasar Belanda. Selanjutnya
beliau juga melanjutkan sekolah di STOVIA yang merupakan sekolah dokter untuk bumiputera.
Tetapi selama sekolah di Stovia beliau tidak sampai tamat dikarenakan sakit. Hal ini juga banyak
diceritakan disemua buku biografi Ki Hajar Dewantoro. Beliau juga pernah bekerja menjadi
wartawan diberbagai media cetak terkenal pada masa itu. Seperti mideen java, sedyotomo, De
ekpress, kaoem moeda, poesara, oetoesan hindia, dan tjahaja timoer. Tulisan beliau diberbagai
media tersebut sangat komunikatif dan juga kritis, sehingga dapat meningkatkan semangat
rakyat pada masa itu.

Ketika membahas tentang biografi Ki hajar dewantara memang tidak pernah ada habisnya. Ada
banyak sekali hal yang harus kita banggakan untuk beliau. Pada tahun 1908 beliau aktif sebagai
pengurus di organisasi boedi oetomo. Selanjutnya beliau juga membuat organisasi sendiri
bersama Douwes Dekker atau lebih dikenal dengan Dr. Danudirdja Setya Budhi dan Dr Cipto
Mangoekoesoemo mendirikan sebuah organisasi yang bernama Indische Partij pada tanggal 25
desember tahun 1912. Organisasi ini merupakan partai politik pertama di Indonesia yang
beraliran nasionalisme untuk mencapai Indonesia merdeka. Ketika ingin mendaftarkan partai ini,
mereka di tolak oleh Belanda, karena dianggap menumbuhkan nasionalisme pada rakyat.

Dengan ditolaknya partai tersebut, mereka akhirnya komite boemi poetra yang digunakan untuk
membuat kritik ke pemerintahan Belanda. Mereka menulis berbagai kritikan untuk pemeritahan
Belanda yang dimuat di surat kabar De ekpress yang pemiliknya pada saat out adalah Douwe
Dekker. Dalam tulisan tersebut mereka mengatakan bahwa tidak mungkin merayakan
kemerdekaan, di Negara yang sudah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Karena tulisannya itu
beliau di buang ke pulau Bangka, sebagai hukuman pengasingannya oleh pemerintahan Belanda.
Cerita ini banyak ditemukan di buku-buku biografi ki hajar dewantara.
Setelah pulang dari pengasingan dan sempat melakukan perjalanan ke Belanda. Beliau akhirnya
mendirikan taman siswa. Selama pendirian taman siswa ini banyak sekali tantangan dan
halangan dari pihak pemerintahan Belanda. Dengan segala kegigihannya, akhirnya taman siswa
mendapatkan ijin berdirinya. Setelah masa kemerdekaan, beliau menjabat sebagai menteri
pendidikan dan kebudayaan. Jika kalian mengunjungi Yogyakarta, anda bisa mengunjungi
museum yang didedikasikan untuk ki hajar dewantara. Sekian artikel tentang biografi Ki Hjar
Dewantara, semoga dapat memberikan informasi untuk anda.
Karir Ki Hajar Dewantara
 Pendiri perguruan Taman Siswa
Penghargaan Ki Hajar Dewantara
 Gelar doktor kehormatan (Doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah
Mada

 Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari


Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28
November 1959

7. Sultan Iskandar Muda


Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang
berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Sultan Iskandar Muda lahir di Aceh, Banda Aceh pada
tahun 1593 atau 1590 dan wafat di Banda Aceh, Aceh pada tanggal 27 September 1636.

Sultan Iskandar Muda besar dalam lingkungan istana, ketika telah cukup umur Iskandar Muda
dikirim ayahnya untuk belajar pada Teungku Di Bitai, salah seorang ulama dari Baitul Mukadis
pakar ilmu falak dan ilmu firasat. Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau.

Selanjutnya ayah Iskandar Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan dari
Gujarat. Diantaranya adalah tiga orang yang sangat berpengaruh dalam intelektual Iskandar
Muda, yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh Muhammad Jamani dari Mekah dan Sekh
Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.

Sultan Iskandar Muda dinobatkan pada tanggal 29 Juni 1606, pada masa kepemimpinan beliau,
Aceh mencapai kejayaannya, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi
internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.

Asal usul
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak
leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota
Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh
sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang
diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.

Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak
dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan ini adalah putra dari Sultan
Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan
Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.

Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah,
putra dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah
al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.
Pernikahan

Sri Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini
dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya,
Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana)
sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat
sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun
Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan
dan dikunjungi.

Masa kekuasaan

Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636, merupakan
masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol ketat yang dilakukan
oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari setelah mangkatnya
Sultan.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang
penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda
Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh
pula meliputi hingga Perak.

Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan
laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut Indonesia.
Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra
dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai
jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk
kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.

Kontrol di dalam negeri

Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi
yang dinamakan ulèëbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis
bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan
menciptakan bangsawan baru." Mukim1 pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk
mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Aceh: Imeum). Ulèëbalang
(Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama Sultan, yang dianugerahi Sultan
beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar dan
di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.

Hubungan dengan bangsa asing


Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba,
Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu
menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan
berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang
berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus
dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh,
yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

"...I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh
and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the
sunrise to the sunset..."

(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah
Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang
terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yang baik antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris
dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh.
Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat
dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik
mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin
oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda.
Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan
secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun
karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan
dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah
prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu
Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.

Utsmaniyah Turki

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Saat pulang, utusan Kerajaan Aceh tersebut
terlunta-lunta sedemikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah
persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima
oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun
sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang
yang mahir dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut masih ada
hingga kini yang dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan
Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis
tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan
Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan
serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard
mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.

Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana
Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam
Darud Donya (kini Meuligoe Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali
dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda
juga memerintahkan untuk menggali sebuah kanal yang mengaliri air bersih dari sumber mata
air di Mata Ie hingga ke aliran Sungai Krueng Aceh dimana kanal tersebut melintasi istananya,
sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe. Di sanalah
sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Sultan Iskandar Muda memberikan tatanan baru dalam kerajaannya. Beliau mengangkat
pimpinan adat untuk tiap suku dan menyusun tata negara sekaligus qanun yang menjadi tuntunan
penyelenggaraan kerajaan dan hubungan antara raja dan rakyat.

Selama 30 tahun masa pemerintahannya (1606 - 1636 SM) Sultan Iskandar Muda telah
membawa Kerajaan Aceh Darussalam dalam kejayaan. kerajaan ini telah menjadi kerajaan Islam
kelima terbesar di dunia setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan Agra.

Seluruh wilayah semenanjung Melayu telah disatukan di bawah kerajaannya dan secara ekonomi
kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki hubungan diplomasi perdagangan yang baik secara
internasional. Rakyat Aceh pun mengalami kemakmuran dengan pengaturan yang mencakup
seluruh aspek kehidupan, yang dibuat oleh Iskandar Muda.

Tahun 1993, pada tanggal 14 September, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan


gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Iskandar Muda atas jasa dan kejayaannya membangun
dasar-dasar penting hubungan ketatanegaraan dan atas keagungan beliau, yakni dengan
dikeluarkannya Keppres No. 77/TK/1993.

8. Raja Purnawarman

Purnawarman merupakan raja ke-3


dan Raja terbesar Tarumanagara, yang
memerintah selama 39 tahun (antara tahun
395 hungga 434 M). Purnawarman dilahirkan
pada tanggal 8 bagian gelap
bulan Palguna di tahun 294 Saka (kira-kira
16 Maret 372 Masehi). Purnawarman telah
dinobatkan sebagai raja Tarumanagara ketiga
tanggal 13 bagian terang bulan Caitra di
tahun 317 Saka(kira-kira tanggal 12 Maret
395 Masehi). Ia naik tahta Tarumanagara
menggantikan ayahnya, Dharmayawarman,
dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang
Iswara Digwijaya Bhimaarakrama
Suryamahapurusa Jagatati atau Sang
Pramdara Saktipurusa.
Zaman Purnawarman merupakan
zaman keemasan tarumanagara. Banyak
prasasti memuat kebesaran namanya. Setidaknya ada 7 prasasti yag berkaitan dengannya. Ia
berusia 23 tahun ketika dinobatkan menjadi Raja—kurang lebih dua tahun sebelum ayahnya
wafat—dan memerintah selama 39 tahun, dari tahun 395 hingga 434 Masehi.
Dalam memerintah ia dibantu adiknya, Cakrawarman, yang menjadi panglima perang
(didarat). Sedangkan pamanya, Nagawarman menjadi panglima angkatan laut. Dari
prameswarinya, ia mempunyai beberapa anak laki-laki dan perempuan. Diantaranya
Wisnuwarman, yang kemudian menggantikannya. Raja Purnawarman dikabarkan membangun
ibu kota kerajaan yang baru pada tahun 397 Masehi, terletak lebih dekat ke wilayah pantai.
Ibu kota baru Tarumanagara itu dinamainya Sundapura. Pada masa pemerintahannya,
kekuasaan Tarumanagara mencakup wilayah Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah bagian
barat. Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan
Purnawarman, terdapat 48 daerah yang membentang dari wilayah Salakanagara atau
Rajatapura (di daerah Teluk Lada, Pandeglang sekarang) sampai ke wilayah Purwalingga
(sekarang Purbalingg, Jawa Tengah). Cipamali (Kali Brebes) dianggap sebagai batas
kekuasaan.
Daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Tarumanagara pada masa
Purnawarman memerintah di antaranya; Agrabinta, Alengka, Bhumisagandu, Cupunagara,
Cangkwang, Dwakalapa, Gunung Bitung, Gunung Cupu, Gunung Gubang, Gunung Kidul,
Gunung Manik, Hujungkulwan (Ujung Kulon ?), Indraprahasta, Jatiagong, Kalapagirang,
Karangsidulang, Kosala, Legon, Linggadewa, Malabar, Mandalasabara, Manukrawa, Nusa
Sabay, Pakwan Sumurwangi, Paladu, Pasirbatang, Pasirmuhara, Puradalem, Purwalingga,
Purwanagara, Purwagaluh, Purwasanggarung, Rajatapura, Rangkas, Sagarapasir,
Salakagading, Salakanagara, Satyaraja, Sindangrejo, Tanjungcamara, Tanjungkalapa,
Wanadatar, dan Wanagiri.

Akhir Hayat Raya Purnawarman


Maharaja Purnawarman wafat pada tanggal 24 November 434 Masehi, dalam usia 62
tahun. Beliau dipusarakan di tepi sungai Citarum, Sang Lumah ing Tarumandi. Tahta kerajaan
kemudian dipegang oleh putranya yang bernama Wisnuwarman yang memerintah dari tahun
434 hingga 455 Masehi.

Gelar-Gelar Raja Purnawarman


Gelar Purnawarman ketika dinobatkan menjadi raja konon adalah “Sri Maharaja
Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaprakarma Suryamahapurusa Jagapati”. Pada
akhir hayatnya, Purnawarman disebut sebagai “Sang Lumah ing Tarumandi”, karena
dipusarakan di Sungai Ci Tarum.
Dalam prasasti Tugu dan Cidangiang, Purnawarman dijuluki “Narendra
Ddhvajabuthena”, panji segala raja, ia juga dijuluki “Bhimaparakramoraja“, penakluk para
raja. Lawan-lawannya menjuluki Wyahgra ning Tarumanagara, Harimau dari Tarumanagara.
Dalam prasasti jambu, Gelar Purnawarman adalah Sang Purandara Saktipurusa,
penghancur benteng musuh. Dalam beberapa prasasti gelar yang biasanya ditujukan bagi
beliau adalah Sri Maharaja Purnawarman, Sang Purnawarman Maharaja Tarumanagara.
Setelah meninggal, ia digelari Sang Limahing Tarumanadi, karena abu jenazahnya di
larungkan di Sungai Citarum, dan tahta selalunjutnya jatuh kepada anak sulungnya,
Wisnuwarman.

Anda mungkin juga menyukai