Anda di halaman 1dari 36

SUSPEK KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

PADA PRIMIGRAVIDA HAMIL 6 MINGGU

Disusun oleh :
Arfan Surya Adhitama G99181011
Jemmy Haryadi Sima G991903025

Pembimbing :
Deyna Primavita Pahlevi, dr., Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019

1
2
BAB I
PENDAHULUAN

Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) atau Kehamilan Ekstrauterin


adalah istilah yang menggambarkan kondisi ketika implantasi dari
perkembangan blastosit hasil konsepsi terjadi diluar cavum endometrial dari
uterus. KET juga dihubungkan dengan kejadian infeksi tuba, dan juga
pencegahan dari clamidiasis dan gonorea harus lebih ketat untuk
menurunkan resiko dan insidensi. Dengan perhitungan yang akurat dari
kadar konsentrasi Human Chorionic Gonadotropin (HCG) dan juga
songrafi, >85% perempuan terdiagnosis sebelum terjadinya ruptur tuba,
yang mana membutuhkan terapi medis lebih lanjut hingga operasi
laparoscopy dengan penyelamatan tuba untuk menjaga fertilitas dikemudian
hari. Hari ini, intervensi dini dapat menyelamatkan nyara dan mengurangi
morbiditas, tetapi KET masih terhitung terjadi 4-10% dari kematian yang
berhubungan dengan kehamilan.
Insidensi KET terhihat meningkat dari pertengahan abad 20 hingga
fase plateu di tahun 1990an, hingga 19.7/1000 kehamilah dilaporkan oleh
CDCs. Peningkatan dilaporkan kemungkinan karena memang adanya
peningkatan kejadian, ditambah peningkatan perkembangan dari teknik
diagnostik yang dahulu belum tersedia. Pada kenyataannya keduanya
berperan. Peningkatan kasus dihubungkan dengan peningkatan insidensi
dari Pelvic Inflammatory Disease (PID) (Bodin L, Forslin L, Kamwendo F,
2000). Data terbaru diperkirakan 2% dari total kehamilan, 2010 berarti rata-
rata pertahun sekitar 0.64% pada wanita usia 15-44 tahun. Hal menarik
didapatkan dari pengalaman klinis, sekitar 16% perempuan yang datang
pada trimester pertama kehamilan, dengan keluhan perdarahan, nyeri
ataupun keduanya dididagnosis dengan KET (Volpe A, Landi S, Cagnacci
A, 1999).
Faktor resiko dari kejadian kasus ini cukup banyak, dari yang resiko
tinggi seperti KET sebelumnya, sterilisasi tuba, penggunaan IUD, PID, SIN
(Salphingitis Isthmica Nodosa). Resiko moderat seperti clamidiasis,
infertilitas, lebih dari 1 pasangan, merokok, dan juga resiko rendah seperti

3
GIFT (Gamete Intrafallopian transfer), usia <18, usia >35 tahun, douching/
pencucian vagina. Tatalaksana yang kurang tepat terutama ketika terjadi
ruptur tuba dapat menimbulkan kegawatan pada ibu, yakni syok hipovlemik.
Pada presentasi kasus ini kita akan sedikit membahas mengenai
KET, dimana kita ketahui juga KET merupakan salah satu kegawatan
dibidang Obstetri dan Gynecologi.

4
BAB II
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. R
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Panjer 02/08 Kebumen
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 17 April 2019
No RM : 412114
2. Keluhan Utama
Keluar darah pervaginam sejak kemarin (16/4/2019) dan nyeri perut
bagian bawah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. R, G1P0A0, 31 tahun, datang sendiri dengan membawa
rujukan dr. Diana Sp.OG dengan keterangan diagnosis G1P0A0
kehamilan ektopik terganggu. Pasien mengeluhkan keluar darah
sedikit-sedikit dari jalan lahir sejak kemarin (16/4/2019). Nyeri
tekan abdomen (+). Pasien mengetahui kehamilan ini sejak tadi pagi
(17/4/2019) menggunakan test pack. Pasien mengaku hari mens
terakhir ialah tanggal 4 Maret 2019. Usia kehamilan pasien apabila
dihitung dari HPMT ialah 6+2 minggu.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat perdarahan saat hamil : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal

5
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
5. Riwayat Haid
Menarche : 12 tahun
Lama menstruasi : 7 hari
Siklus menstruasi : 28 hari, teratur
6. Riwayat Obstetri
Hamil I : hamil ini
HPMT : 4 Maret 2019
HPL : 12 September 2019
UK : 6+2 minggu
7. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, usia pernikahan 5 tahun.
8. Riwayat KB
disangkal

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Cukup, komposmentis
b. Tanda Vital :
Tensi : 142/80 mmHg
Nadi : 116x/menit
Respiratory Rate : 20 x/menit
Suhu : 36,50C
c. Kepala : normocephal
d. Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-
/-)
e. THT : discharge (-/-)
f. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
g. Thorak :
1) Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

6
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
2) Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor // sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), Ronki Basah
Halus (-/-), wheezing (-)
h. Abdomen :
Inspeksi : dalam batas normal
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (+), TFU tidak teraba,
massa tidak teraba, mcburney sign (-).
Perkusi : Timpani
i. Genital : Vaginal Toucher: Vulva dan urethra tenang,
dinding vagina dalam batas normal, portio
mencucu, OUE tertutup, slinger pain (+),
cavum douglas menonjol, darah (+)
j. Ekstremitas :
oedema akral dingin
- - - -
- - - -

7
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LABORATORIUM (17/04/2019 12:09):
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemaglobin 10.7 g/dl 11.7 – 15.5
Hematokrit 30 % 35 – 47
Leukosit 14.8 ribu/ul 3.6 – 11.0
Trombosit 371 ribu/ul 150 – 440
Eritrosit 3.4 juta/ul 3.80 – 5.20
Golongan Darah A
HEMATOSTASIS
Massa Perdarahan/BT 2.00 Menit 1–3
Massa Pembekuan/CT 3.00 Menit 2–6
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah
127 Mg/dl 80 - 110
Sewaktu
SGOT 15 u/l <31
SGPT 6 u/l <32
Creatinine 0.47 mg/dl 0.6 – 1.1
Ureum 14 mg/dl 10 – 50
HEPATITIS
HbsAg Rapid NR NR
Test Kehamilan Positif Negatif

Ultrasonografi (USG) tanggal 16 September 2018


Abdomen
VU terisi cukup, tampak uterus membesar, tampak
gestational saccus di ekstrauterine, tampak hematokel
ekstrauterine.
Kesan menyokong gambaran kehamilan ektopik.
D. SIMPULAN
G1P0A0, 31 tahun, UK 6+2 minggu, rujukkan dr. Diana,Sp.OG
dengan keterangan diagnosis G1P0A0 Kehamilan ektopik terganggu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan (+), perdarahan
pervaginam (+), nyeri goyang portio (+), cavum douglas menonjol. Dari
pemeriksaan lab, didapatkan Hb 10.7, dari pemeriksaan USG didapatkan
hasil tampak GS ekstrauterine dan hematokele di retrouterine yang
menunjukkan kesan kehamilan ektopik.
E. DIAGNOSIS AWAL

8
Suspek kehamilan ektopik terganggu pada primigravida hamil 6 minggu

F. PROGNOSIS
Dubia

G. TERAPI
1. Pro laparotomi eksplorasi emergensi
2. Informed consent
3. KIE keluarga

H. FOLLOW UP
1. 17/04/2019 13.50
P0A1, 31 Tahun
S : Nyeri luka operasi (+), lemas
O : KU: lemah
Kesadaran: compos mentis
TD: 121/70
HR: 88
Mata: CA (+/+), SI (-/-)
Thorax: cor / pulmo dbn
Abdomen: Supel (+), nyeri tekan (+), luka tertutup perban,
terpasang drain
Genital: darah (+)
A : Post SOD Salpingostomy Dextra + ??? Ec ruptur tuba
kanan + hidrosalping sinistra + adhesi ???
P : Inj. Ceftriaxone 2 gr/ 24 jam
Inj. Ketorolac 1 amp / 8 jam
Inj. Asam tranexamat 1 gr / 8 jam
Cek DR3
Pindah ICU
2. 18/04/2019 06.00
P0A1, 31 Tahun

9
S : Nyeri luka operasi (+)
O : KU: lemah
Kesadaran: compos mentis
TD: 121/70
HR: 88
Mata: CA (+/+), SI (-/-)
Thorax: cor / pulmo dbn
Abdomen: Supel (+), nyeri tekan (+), luka tertutup perban,
terpasang drain
Genital: darah (+)
A : Post SOD Salpingostomy Dextra + adhesiolisis Ec ruptur
tuba kanan + hidrosalping sinistra + adhesi DPH 1
P : Inj. Ceftriaxone 2 gr/ 24 jam
Inj. Ketorolac 1 amp / 8 jam
Inj. Asam tranexamat 1 gr / 8 jam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Pada kehamilan normal, telur yang sudah dibuahi akan melalui tuba
falopi (saluran tuba) menuju ke uterus (rahim). Telur tersebut
akan berimplantasi(melekat) pada rahim dan mulai tumbuh menjadi janin.
Pada kehamilan ektopik, telur yang sudah dibuahi berimplantasi dan tumbuh
di tempat yang tidak semestinya. Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang
terjadi di luar kavum uteri.Sering disebut juga kehamilan ekstrauterin.
Kurang tepat, karena kehamilan pada cornu uteri atau serviks uteri
(intrauterin) juga masih termasuk sebagai kehamilan ektopik (Cunningham
et al, 2014).
Kehamilan ektopik adalah suatu keadaan dimana hasil konsepsi
berimplantasi, tumbuh dan berkembang di luar endometrium kavum uteri.
Bila kehamilan tersebut mengalami proses pengakhiran (abortus) maka
disebut kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu adalah
kehamilan ektopik yang terganggu, dapat terjadi abortus atau pecah dan hal
ini berbahaya bagi wanita tersebut (Anthonius, 2001).
Sebagian besar kehamilan ektopik terjadi di tuba. Implantasi pada
ovarium, rongga perut, kanalis servikalis, tanduk uterus yang rudimenter,
dan divertikel pada uterus (Prawirohardjo, 2008). Berdasarkan implantasi
hasil konsepsi pada tuba, terdapat kehamilan pars interstisialis (2-3%) tuba,
kehamilan pars ismika tuba (12%), kehamilan pars ampullaris tuba (70%),
dan kehamilan infundibulum tuba (11%) (Cunningham et al, 2014).

Etiologi
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi
wanita yang bersangkutan dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan
yang gawat. Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila kehamilan ektopik
terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang dapat
dihadapi oleh setiap dokter, karena beragamnya gambaran klinik kehamilan

11
ektopik terganggu itu. Perlu diketahui oleh setiap dokter klinik kehamilan
ektopik terganggu serta diagnosisnya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa
pada setiap wanita dalam masa gangguan atau keterlambatan haid yang
disertai nyeri perut bagian bawah, perlu dipikirkan kehamilan ektopik
terganggu (Saifuddin, 2011).
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, tetapi sebagian
besar penyebabnya tidak begitu diketahui. Tiap kehamilan dimulai dengan
pembuahan telur di bagian ampulla tuba, dan dalam perjalanan ke uterus
telur mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih di tuba.
Faktor-faktor yang memegang peranan dalam hal ini ialah sebagai berikut
(Saifuddin, 2011):
1) Faktor tuba
a. Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba
menyempit atau buntu.
b. Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang
berkelok-kelok panjang yang dapat menyebabkan fungsi silia tuba
tidak berfungsi dengan baik.
c. Keadaan pasca operasi rekanalisasi tuba dapat merupakan
predisposisi terjadinya kehamilan ektopik.
d. Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba atau
divertikel saluran tuba yang bersifat congenital
e. Adanya tumor disekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau
tumor ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk juga dapat
menjadi etiologi kehamilan ektopik terganggu.
2) Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka
zigot akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian
berhenti dan tumbuh di saluran tuba.

12
3) Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba dapat
membutuhkan konsep khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga
kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
4) Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB, yang hanya mengandung progesteron dapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan
dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
5) Faktor lain
Termasuk disini antara lain adalah pemakaian IUD dimana proses
peradangan yang dapat timbul pada endometrium dan endosalping
dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur
penderita yang sudah menua dan faktor perokok juga sering
dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik.

Patogenesis
Proses implantasi ovum di tuba pada dasarnya sama dengan yang
terjadi di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumnar atau
interkolumnar. Pada nidasi secara kolumnar telur bernidasi pada ujung atau
sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh
kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan
direabsorbsi. Pada nidasi interkolumnar, telur bernidasi antara dua jonjot
endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup maka ovum dipisahkan dari
lumen oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan
pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba malahan
kadangkadang sulit dilihat vili khorealis menembus endosalping dan masuk
kedalam otototot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah
(Rustam, 2003).
Perkembangan janin selanjutnya tergantung dari beberapa faktor,
yaitu; tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan
yang terjadi oleh invasi trofoblas. Di bawah pengaruh hormon esterogen dan
progesteron dari korpus luteum graviditi dan tropoblas, uterus menjadi besar

13
dan lembek, endometrium dapat berubah menjadi desidua. Beberapa
perubahan pada endometrium yaitu; sel epitel membesar, nukleus hipertrofi,
hiperkromasi, lobuler, dan bentuknya ireguler. Polaritas menghilang dan
nukleus yang abnormal mempunyai tendensi menempati sel luminal.
Sitoplasma mengalami vakuolisasi seperti buih dan dapat juga terkadang
ditemui mitosis. Perubahan endometrium secara keseluruhan disebut
sebagai reaksi AriasStella. Setelah janin mati, desidua dalam uterus
mengalami degenerasi kemudian dikeluarkan secara utuh atau
berkepingkeping. Perdarahan yang dijumpai pada kehamilan ektopik
terganggu berasal dari uterus disebabkan pelepasan desidua yang
degeneratif. Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan
antara 6 sampai 10 minggu. Karena tuba bukan tempat pertumbuhan hasil
konsepsi, tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus.
Beberapa kemungkinan yang mungkin terjadi adalah (Cunningham et al,
2014):
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumna, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi yang kurang dan dengan mudah diresobsi total.
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena terbukanya dinding pembuluh darah
oleh vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat
melepaskan mudigah dari dinding tersebut bersamasama dengan
robeknya pseudokapsularis.
Segera setelah perdarahan, hubungan antara plasenta serta membran
terhadap dinding tuba terpisah bila pemisahan sempurna, seluruh hasil
konsepsi dikeluarkan rneiaiui ujung firnbrae tuba ke dalarn kavum
peritonium. Dalam keadaan tersebut perdarahan berhenti dan gejala-
gejala menghilang (Anthonius, 2001).
3. Ruptur dinding tuba
Penyebab utama dan ruptur tuba adalah penembusan dinding viii
korialis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur
tuba sering terjadi bila ovum yang dibuahi berimplantasi pada isthmus

14
dan biasanya terjadi pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur yang
terjadi pada parsi ntersisialis pada kehamilan lebih lanjut. Ruptur dapat
terjadi secara spontan, atau yang disebabkan trauma ringan seperti pada
koitus dan pemeriksaan vagina.

Faktor Resiko
Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kehamilan
ektopik. Namun perlu diingat bahwa kehamilan ektopik dapat terjadi pada
wanita tanpa faktor risiko. Faktor risiko kehamilan ektopik adalah:
1. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Risiko paling besar untuk kehamilan ektopik. Angka kekambuhan
sebesar 15% setelah kehamilan ektopik pertama dan meningkat
sebanyak 30% setelah kehamilan ektopik kedua.
2. Penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron
Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil, masih
menggunakan kontrasepsi spiral (3 – 4%). Pil yang mengandung
hormon progesteron juga meningkatkan kehamilan ektopik karena pil
progesteron dapat mengganggu pergerakan sel rambut silia di saluran
tuba yang membawa sel telur yang sudah dibuahi untuk berimplantasi
ke dalam rahim.
3. Kerusakan dari saluran tuba
Telur yang sudah dibuahi mengalami kesulitan melalui saluran tersebut
sehingga menyebabkan telur melekat dan tumbuh di dalam saluran
tuba. Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan saluran
tuba diantaranya adalah (Anthnius, 2001):
 Merokok : kehamilan ektopik meningkat sebesar 1,6 – 3,5 kali
dibandingkan wanita yang tidak merokok. Hal ini disebabkan
karena merokok menyebabkan penundaan masa ovulasi (keluarnya
telur dari indung telur), gangguan pergerakan sel rambut silia di
saluran tuba, dan penurunan kekebalan tubuh

15
 Penyakit Radang Panggul : menyebabkan perlekatan di dalam
saluran tuba, gangguan pergerakan sel rambut silia yang dapat
terjadi karena infeksi kuman TBC, klamidia, gonorea
 Endometriosis : dapat menyebabkan jaringan parut di sekitar
saluran tuba
 Tindakan medis : seperti operasi saluran tuba atau operasi daerah
panggul, pengobatan infertilitas seperti bayi tabung –>
menyebabkan parut pada rahim dan saluran tuba.

Gejala Klinis
Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas,
dan penderita maupun dokter tidak mengetahui adanya kelainan dalam
kehamilan sampai terjadinya abortus tuba ataupun ruptur tuba. Pada
umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala hamil muda, dan mungkin
merasa nyeri sedikit di perut bagian bawah yang tidak seberapa
(Prawirohardjo, 2008).
Tanda dan gejala kehamilan tuba terganggu sangat berbeda-beda,
dari perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai
terdapatnya gejala yang tidak khas, sehingga sulit membuat diagnosisnya.
Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu,
abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi
dan keadaan umum penderita sebelum hamil (Prawirohardjo, 2008).
Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu.
Pada ruptur tuba nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan
intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita
pingsan dan masuk ke dalam syok. Biasanya pada abortus tuba nyeri tidak
seberapa hebat dan tidak terus menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada
satu sisi, tetapi setelah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke
bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut dapat
merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu dan bila
membentuk hematokel retrouterina, menyebabkan defekasi nyeri
(Prawirohardjo, 2008).

16
Perdarahan per vaginam merupakan tanda penting kedua pada
kehamilan ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan
berasal dari kavum uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan yang berasal
dari uterus biasanya tidak banyak dan berwarna cokelat tua. Perdarahan
berarti gangguan pembentukan human chorionic gonadotropin. Jika plasenta
mati, desidua dapat dikeluarkan seluruhnya (Prawirohardjo, 2008).
Amenorea merupakan tanda yang penting pada kehamilan ektopik.
Lamanya amenorea tergantung pada umur janin, sehingga dapat bervariasi.
Sebagian penderita tidak mengalami amenorea karena kematian janin terjadi
sebelum haid berikutnya.
Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan pada pemeriksaan
vaginal bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menyebabkan rasa nyeri,
demikian pula kavum douglas menonjol dan nyeri pada perabaan
(Prawirohardjo, 2008).

Diagnosis Kerja
Diagnosis kehamilan ektopik ditegakkan melalui:
1. Anamnesis
Dari anamnesis diketahui adanya (Cunningham et al, 2014):
 Amenorrhea, yaitu haid terlambat mulai beberapa hari sampai
beberapa bulan atau hanya haid yang tidak teratur. Kadang-
kadang dijumpai keluhan hamil muda dan gejala hamil lainnya.
 Bila terjadi kehamilan ektopik terganggu (KET): Pada abortus
keluhan dan gejala kemungkinan tidak begitu berat, hanya rasa
sakit di perut dan perdarahan pervaginam. Hal ini dapat
dikacaukan dengan abortus biasa. Pada ruptur tuba, maka gejala
akan lebih hebat dan dapat membahayakan jiwa si ibu.
 Perasaan nyeri dan sakit yang tiba-tiba di perut, seperti diiris
dengan pisau disertai muntah dan bisa jatuh pingsan.
 Nyeri bahu. Hal ini karena perangsangan diafragma.

2. Pemeriksaan Fisik (Wikjosastro, 2002)

17
 Tanda-tanda akut abdomen
Nyeri tekan yang hebat (defance musculair), muntah, gelisah,
pucat, anemis, nadi kecil dan halus, tensi rendah atau tidak
terukur (syok).
 Tanda Cullen
Sekitar pusat atau linea alba kelihatan biru hitam dan lebam.
 Pada pemeriksaan ginekologik terdapat :
o Adanya nyeri ayun. Dengan menggerakkan porsio dan
serviks ibu akan merasa sangat nyeri.
o Douglas crise, yaitu rasa nyeri hebat pada penekanan kavum
Douglasi
o Kavum Douglasi teraba menonjol. Hal ini terjadi karena
terkumpulnya darah.
o Teraba massa retrouterina (massa pelvis).
o Pervaginam keluar decidual cast.
o Pada palpasi perut dan pada perkusi : ada tanda-tanda
perdarahan intra abdominal (shifting dullness).

3. Pemeriksaan laboratorium (Bader, 2005):


 Pemeriksaan Hb seri tiap 1 jam menunjukkan penurunan kadar
Hb
 Adanya leukositosis

4. Pemeriksaan penunjang lainnya (Bader, 2005):


a. Tes kehamilan
Pada kehamilan ektopik hampir 100% menunjukkan
pemeriksaan β-hCG positif. Pada kehamilan intrauterin,
peningkatan kadar β-hCG meningkat 2 kali lipat setiap dua hari,
2/3 kasus kehamilan ektopik menunjukkan adanya peningkatan
titer serial hCG yang abnormal, dan 1/3 sisanya menunjukkan
adanya peningkatan titer hCG yang normal. Kadar hormon yang

18
rendah menunjukkan adanya suatu masalah seperti kehamilan
ektopik.
b. Dialatasi dan kerokan
Kerokan tidak mempunyai tempat untuk diagnosis kehamilan
ektopik. Biasanya kerokan dilakukan, apabila sesudah
amenorrhea terjadi perdarahan yang cukup lama tanpa
ditemukan kelainan nyata di samping uterus, sehingga
dipikirkan abortus inkompletus, perdarahan disfungsional, dan
lain-lain.Ditemukan desidua tanpa villus korialis dari sediaan
yang diperoleh dari kerokan, dapat membawa pikiran ke arah
kehamilan ektopik.
c. Laparoskopi
Laparoskopi merupakan cara pemeriksaan yang sangat penting
untuk diagnosis kehamilan ektopik pada umumnya dan
kehamilan ektopik yang tidak terganggu. Dengan cara
pemeriksaan ini dapat dilihat dengan mata sendiri perubahan-
perubahan pada tuba.
d. Ultrasonografi
Keunggulan cara pemeriksaan ini terhadap laparoskopi adalah
tidak invasif, artinya tidak perlu memasukkan alat dalam rongga
perut. Akan tetapi pemeriksaan ini memerlukan orang yang
berpengalaman dalam menginterpretasikan hasilnya. Dapat
dinilai kavum uteri, kosong atau berisi, tebal endometrium,
adanya massa di kanan atau kiri uterus, apakah kavum Douglasi
berisi cairan.
e. Kuldosintesis
Kuldosintesis dilakukan dengan memasukkan jarum dengan
lumen yang agak besar di Kavum Douglasi di garis tengah di
belakang serviks uteri, serviks ditarik ke atas dan keluar. Bila
keluar darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak
membeku atau hanya berupa bekuan-bekuan kecil di atas kain
kasa, maka hal ini dikatakan positif (fibrinasi) dan menunjukkan

19
adanya hematoma retrouterina. Bila darah segar berwarna merah
dan dalam beberapa menit membeku, hasil negatif karena darah
ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk. Jika hasil
kuldosintesis positif, sebaiknya segera dilakukan laparotomi,
oleh karena dengan tindakan itu dapat dibawa kuman dari luar
ke dalam darah yang terkumpul di kavum Douglasi, dan dapat
terjadi infeksi.
f. Histerosalpingografi dan tes pitosin
Memberikan gambaran kavum uteri kosong dan lebih besar dari
biasa, dengan janin di luar uterus. Pemeriksaan ini dilakukan
jika diagnosis kehamilan ektopik terganggu sudah dipastikan
dengan USG dan MRI.

Diagnosis Banding
Diagnosa diferensial dari kehamilan ektopik yaitu (Cunningham, 2014):
1) Infeksi pelvik
Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul waktu haid
dan jarang setelah mengenai amenorrhea. Nyeri perut bagian bawah
dan tahanan yang dapat diraba pada pemeriksaaan vaginal pada
umumnya bilateral. Pada infeksi pelvik perbedaan suhu rektal dan
ketiak melebihi 0,50C, selain itu leukositosis lebih tinggi daripada
kehamilan ektopik terganggu dan tes kehamilan menunjukkan hasil
negatif.
2) Abortus imminens/ inkomplit
Dibandingkan dengan kehamilan ektopik terganggu perdarahan lebih
merah sesudah amenorrhea, rasa nyeri yang sering berlokasi di
daerah median dan adanya perasaan subjektif penderita yang
merasakan rasa tidak enak di perut lebih menunjukkan ke arah
abortus imminens atau permulaan abortus insipiens. Pada abortus
tidak dapat diraba tahanan di samping atau di belakang uterus, dan
gerakan serviks uteri tidak menimbulkan rasa nyeri.
3) Tumor ovarium

20
Gejala dan tanda kehamilan muda, amenorrhea, dan perdarahan
pervaginam biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih
besar dan lebih bulat dibanding kehamilan ektopik terganggu.
4) Ruptur korpus luteum
Ruptur korpus luteum merupakan fenomena umum dengan
presentasi mulai dari tanpa gejala sampai gejala meniru abdomen
akut dan sekuele bervariasi. Resolusi mungkin spontan (paling
sering); perdarahan intraperitoneal dan kematian dapat terjadi.
Meskipun kebanyakan pasien hanya membutuhkan observasi,
beberapa membutuhkan laparoskopi atau laparotomi untuk mencapai
hemostasis.
5) Salpingitis akut
Salpingitis adalah inflamasi pada tuba fallopi. Salpingitis (biasanya
bilateral) menjalar ke ovarium hingga juga terjadi oophoritis.
Salpingitis dan oophoritis diberi nama adnexitis. Salpingitis akut,
tuba menjadi merah dan bengkak dan sekretnya banyak hingga
dinding dalam tuba dapat menempel jadi satu. Paling sering
disebabkan oleh gonococcus, disamping itu oleh staphylococus,
streptococus dan bakteri TBC. Kasus salpingitis yang ringan
mungkin tidak ada gejala. Saat gejala muncul, biasanya muncul
setelah periode menstruasi. Gejala yang biasa muncul adalah:
 Suhu tubuh tinggi
 Nyeri kiri dan kanan di perut bagian bawah terutama kalau
ditekan
 Mual dan muntah, ada gejala abdomen akut karena terjadi
perangsangan peritoneum
 Toucher: nyeri kalau portio digoyangkan, nyeri kiri dan
kanan dari uterus, kadang-kadang ada penebalan dari tuba,
tuba yang sehat tidak dapat diraba.
 Nyeri saat menstruasi
 Nyeri saat coitus
 Secret purulen di ostium serviks pada pemeriksaan inspekulo

21
Infeksi dapat menyebar ke bagian lain lewat kelenjar limfe.
Organisme penyebab infeksi ini diperkirakan mencapai tuba falopii
dan ovarium yang sebelumnya sudah cidera tersebut lewat cairan
limfe atau darah. Pada salah satu dari dua kasus tubo-ovarium yang
menjadi komplikasi dalam pertengahan kehamilan dan dirawat di RS
dilakukan histerektomi di samping salpingo-ooforektomi bilateral.
Pasien yang menderita salpingitis periodik akan timbul kerusakan
tuba yang irreversible sehingga menyebabkan hidrosalping,
piosalping atau abses tubo ovarium. Waktu yang terbaik untuk
pembedahan adalah saat proses inflamasi menghilang secara
maksimal diantara rekurensi. Pasien dapat disembuhkan setelah
menjalani proses kesembuhan pasca bedah yang sangat rumit.
Walaupun terjadi perlekatan yang luas dalam rongga panggul akibat
infeksi pelvis sebelumnya, pasien biasanya tidak mengalami efek
yang berarti selama kehamilannya.
6) Appendicitis akut
Gejala dan tanda kehamilan muda, amenorrhea, dan perdarahan
pervaginam biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih
besar dan lebih bulat dibanding kehamilan ektopik terganggu.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal,
antara lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh,
penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan
abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan
ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya
penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu
berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik
terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih
dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan

22
ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis dan
penatalaksanaan bedah (Lozeau, 2005).

Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar
75% pasien pada kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar β-
hCG. Penurunan kadar β-hCG diobservasi ketat dengan penatalaksanaan
ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar stabil atau cenderung
turun. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat
menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi
pada keadaan-keadaan berikut: 1) kehamilan ektopik dengan kadar β-hCG
yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3) tidak ada perdarahan intraabdominal
atau ruptur, dan 4) diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm. Sumber
lain menyebutkan bahwa kadar β-hCG awal harus kurang dari 1000
mIU/mL, dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan
bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba
(Cunningham, 2014).

Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak
integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima
tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan
hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas
jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum
Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi
yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit
penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang
koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta
tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini
akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis
(Lozeau, 2005).
1. Methotrexate

23
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk
terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit
trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan
pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat
merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan
tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan
ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus
stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang
normal. Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis
secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka
kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa
hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan
bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi diperlukan,
dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani pembedahan.
Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu
diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin
menjalani pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang.
Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus
diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis
dan depresi sumsum tulang. Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan
methotrexate yang disebutkan dalam literatur antara lain kadar -hCG,
progesteron, aktivitas jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan
ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum. Namun disebutkan
dalam sumber lain bahwa hanya kadar -hCG-lah yang bermakna secara
statistik. Untuk memantau keberhasilan terapi, pemeriksaan -hCG serial
dibutuhkan. Pada hari-hari pertama setelah dimulainya pemberian
methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomenyang
diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation
pain), dan hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat
diatasi dengan analgetik nonsteroidal. Pada hari-hari pertama pula massa
hasil konsepsi akan tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat
edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi.

24
Kadar -hCG umumnya tidak berhasil terdeteksi lagi dalam 14-21 hari
setelah pemberian methotrexate. Setelah terapi β-hCG masih perlu diawasi
setiap minggunya hingga kadarnya dibawah 5 mIU/mL (Bader, 2005).
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis
multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular),
sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg
(intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi
dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen
pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada
hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya
memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi
methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui
injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi
methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis
untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu (Lozeau, 2005).
2. Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin
intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada
pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya (Lozeau,
2005).
3. Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga
merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu.
Yeko dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa
hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya
injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan
terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini
jarang digunakan (Lozeau 2005).

Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan
kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu

25
saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan
secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk
menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana
integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana
salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang
kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-
macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi
maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak
stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi
(Cunningham, 2014).
1. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil
konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal
tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm
pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah
insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan
hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan
dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit
kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan
laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi
gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. Sebuah
penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan
injeksi methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan pada grup
salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup
methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang
lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih
rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba
dan angka kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup
tidak berbeda secara bermakna (Lozeau, 2005).
2. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali
bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur

26
menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis,
patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan
salpingotomi (Lozeau, 2005).
3. Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum
maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi
maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan
berikut ini: 1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien
tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi,
4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien
meminta dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pasca salpingotomi,
7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi
berdiameter lebih dari 5 cm. Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis
tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum
terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab
salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen
pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars
interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan
perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara
uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya
(stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan
arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari
mesosalping (Cunningham, 2014).
4. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat
dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan
menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau
spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya.
Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar
sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan (Anthonius,
2001).

27
Prognosis
Umumnya penyebab kehamilan ektopik (misalnya penyempitan tuba
atau pasca penyakit radang panggul) bersifat bilateral. Sehingga setelah
pernah mengalami kehamilan ektopik pada tuba satu sisi, kemungkinan
pasien akan mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi yang lain
(Anthonius 2001).
Apabila saluran tuba ruptur (pecah) akibat kehamilan ektopik dan
diangkat melalui operasi, seorang wanita akan tetap menghasilkan ovum
(sel telur) melalui saluran tuba sebelahnya namun kemungkinan hamil
berkurang sebesar 50 %. Apabila salah satu saluran tuba terganggu (contoh
karena perlekatan) maka terdapat kemungkinan saluran tuba yang di
sebelahnya mengalami gangguan juga. Hal ini dapat menurunkan angka
kehamilan berikutnya dan meningkatkan angka kehamilan ektopik
selanjutnya. Pada kasus yang berkaitan dengan pemakaian spiral, tidak ada
peningkatan risiko kehamilan ektopik apabila spiral diangkat (Lozeau,
2005).

28
BAB IV
ANALISIS KASUS

Insidensi KET terhihat meningkat dari pertengahan abad 20 hingga


fase plateu di tahun 1990an, hingga 19.7/1000 kehamilan dilaporkan oleh
CDCs. Peningkatan dilaporkan kemungkinan karena memang adanya
peningkatan kejadian, ditambah peningkatan perkembangan dari teknik
diagnostik yang dahulu belum tersedia. Pada kenyataannya keduanya
berperan. Peningkatan kasus dihubungkan dengan peningkatan insidensi
dari Pelvic Inflammatory Disease (PID). Data terbaru diperkirakan 2% dari
total kehamilan, 2010 berarti rata-rata pertahun sekitar 0.64% pada wanita
usia 15-44 tahun. Hal menarik didapatkan dari pengalaman klinis, sekitar
16% perempuan yang datang pada trimester pertama kehamilan, dengan
keluhan perdarahan, nyeri ataupun keduanya dididagnosis dengan KET.
Pada kasus ini kita akan membahas, seorang G1P0A0, 31 tahun, UK
6+2 minggu , datang sendiri dengan membawa rujukan dr. Diana Sp.OG
dengan keterangan diagnosis G1P0A0 kehamilan ektopik terganggu. Pasien
mengeluhkan keluar darah sedikit-sedikit dari jalan lahir sejak kemarin
(16/4/2019). Nyeri tekan abdomen (+). Pasien mengetahui kehamilan ini
sejak tadi pagi (17/4/2019) menggunakan test pack. Pasien mengaku hari
mens terakhir ialah tanggal 4 Maret 2019. Usia kehamilan pasien apabila
dihitung dari HPMT ialah 6+2 minggu.
Dari hasil anamnesis pada pasien didapatkan nyeri perut bagian
bawah dan keluar darah dari jalan lahir. Nyeri abdomen merupakan keluhan
utama yang sering ditemukan pada pasien kehamilan ektopik dan
appendisitis, diagnosis banding lain bisa ditemukan pada pasien peritonitis.
Nyeri disertai perdarahan jalan lahir dan atau keluarnya jaringan mrongkol-
mrongkol dapat ditemukan pada pasien abortus insipiens ataupun
incomplete. Pada kehamilan ektopik nyeri dapat unilateral atau bilateral,
pada abdomen bagian bawah, seluruh abdomen, atau hanya di bagian atas
abdomen. Sedangkan pada appendisitis keluhan nyeri akut umumnya
ditemukan pada abdomen kanan bawah. Pada Peritonitis biasanya

29
ditemukan defense muscular dan nyeri diseluruh lapang perut. Pada abortus
nyeri perut bawah disertai dengan keluarnya hasil konsepsi, dan dapat
ditegakkan lebih lanjut dengan pemeriksaan fisik dan penunjang.
Diperkirakan bahwa nyeri perut yang sangat menyiksa pada suatu
ruptur kehamilan ektopik, disebabkan oleh darah yang keluar ke dalam
kavum peritoneum, tepatnya pada cavum douglas. Adanya nyeri hebat,
meskipun perdarahannya sedikit, dan nyeri yang tidak berat pada
perdarahan yang banyak, jelas bahwa darah bukan satu-satunya sebab
timbul nyeri. Darah yang banyak dalam kavum peritoneal dapat
menyebabkan iritasi peritoneum dan menimbulkan rasa nyeri yang
bervariasi.
Selain nyeri abdomen, pasien juga mengalami amenore. Amenore
adalah haid yang terlambat mulai beberapa hari sampai bulan. Pasien
merasa haid terakhir sekitar kurang lebih 7 minggu yang lalu.
Kemudian pasien mengaku keluar darah dari jalan lahir. Keluarnya
bercak darah (spotting) atau perdarahan vaginal merupakan juga tanda yang
penting pada kehamilan ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian
janin, dan berasal dari uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan biasanya
sedikit, berwarna coklat tua, dan dapat intermiten atau terus menerus.
Adanya keluhan nyeri perut pada bagian bawah, amenore dan keluar darah
dari jalan lahir merupakan trias KET sehingga dapat mengarahkan ke
diagnosis KET.
Adapun faktor risiko dari yang resiko tinggi seperti KET
sebelumnya, sterilisasi tuba, penggunaan IUD, PID, SIN (Salphingitis
Isthmica Nodosa). Resiko moderat seperti clamidiasis, infertilitas, lebih dari
1 pasangan, merokok, dan juga resiko rendah seperti GIFT (Gamete
Intrafallopian transfer), usia <18, usia >35 tahun, douching/ pencucian
vagina. Pada pasien ini terdapat riwayat infertilitas selama 5 tahun. Setelah
dilakukan laparotomi ditemukan rupture tuba dextra serta hidrosalphing dan
adhesi tuba sinistra. Hidrosalphing adalah kondisi dimana tuba mengalami
pembengkakan dan berisi cairan akibat dari akumulasi cairan akibat dari
suatu infeksi sebelumnya. Sedangkan adhesi tuba merupakan suatu

30
perlengketan. pada dasarnya segala bentuk inflamasi yang ada diabdomen
dapat menyebabkan adhesi infeksi, tindakan bedah sebelumnya, trauma
abdomen, endrometriosis dan apendiksitis
Dari keadaan umum pasien, pasien tampak sakit sedang,
composmentis, gizi kesan cukup. Tanda vital didapatkan tensi 142/80
mmHg, HR: 116x/menit, RR : 20x/menit, T : 36.5 oC. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan konjungtiva anemis pada kedua mata, jantung dan paru
dalam batas normal, pada pemeriksaan abdomen supel, nyeri tekan (+), TFU
tidak teraba, massa tidak teraba, bising usus (+) normal. Pemeriksaan fisik
genital dengan vaginal toucher didapatkan vulva dan urethra tenang, dinding
vagina dalam batas normal, portio mencucu, OUE tertutup, slinger pain (+),
cavum douglas menonjol, darah (+).
Dari hasil pemeriksaan abdomen pada pasien didapatkan nyeri tekan
pada perut bagian bawah, TFU tidak teraba. Pada kehamilan dengan ektopik
dapat ditemukan tanda-tanda kehamilan muda. Portio livid merupakan salah
satu tanda pada kehamilan (+) yang disebabkan oleh hormon estrogen yang
meningkat sehingga menyebabkan hipervaskularisasi. Darah yang tampak
menunjukkan adanya perdarahan dari dalam rahim, yang berasal dari
kematian janin dan pelepasan desidua. Sedangkan dengan Vaginal Toucher,
pada pasien didapatkan slinger pain (+), OUE tertutup, darah (+), dan
discharge (-). Slinger pain biasanya akan muncul apabila terjadi ruptur tuba.
Hasil pemeriksaan laboratorium darah (17/04/2019) didapatkan
adanya leukositosis (14.8 x 103/μL), anemia (10.7 g/dL), penurunan HCT
(30%), penurunan AE (3.4x106/μL) dan tes kehamilan positif. Dari hasil
tersebut menunjukkan adanya leukositosis dan anemia. Leukositosis
mengacu pada naiknya jumlah leukosit. Pada KET, derajat leukositosis
sangat bervariasi dan menunjukkan adanya abortus maupun ruptur. Leukosit
dapat mencapai 30.000 dan pada pasien didapatkan angkanya adalah 30.400
yang berarti mengalami peningkatan. Peningkatan leukositosis dapat juga
disebabkan karena adanya perdarahan. Anemia pada pasien juga mungkin
disebabkan karena adanya perdarahan sehingga pasien mengalami
kehilangan darah dalam jumlah yang cukup banyak. Selain itu, pada pasien

31
juga didapatkan tes kehamilan positif yang dapat mengarahkan ke diagnosis
KET. Namun, apabila tes negatif, bukan berarti menyingkirkan
kemungkinan kehamilan ektopik. Hal ini dikarenakan kematian hasil
konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan produksi human chorionic
gonadotropin (HCG) menurun dan menyebabkan tes negatif.
Kemudian dari hasil pemeriksaan USG (17/04/2019) tampak VU
terisi cukup, uterus membesar, tampak GS pada ekstrauterin, dan
hematocele retrouterina (+). Hematocele retrouterina biasanya ditandai oleh
cavum douglasi yang menonjol. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya
perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh
villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya. Bila
pelepasan menyeluruh, mudigah dan selaputnya dikeluarkan dalam lumen
tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba abdominale.
Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan
kebiru-iruan (hematosalping) dan selanjutnya darah mengalir ke rongga
perut melalui ostium tuba berkumpul di kavum douglas dan akan
membentuk hematocele retrouterina. Gambaran hematocele retrouterin
merupakan salah satu yang menyokong adanya kehamilan ektopik.
Pada pasien didapatkan tampak GS pada ekstrauterin. Gestational
Sac atau kantong kehamilan tergambar sebagai suatu struktur anechoic
(hitam) pada gambar USG. Pada USG akan dilakukan pengukuran letak dan
ukuran. Pada pasien didapatkan pada ekstrauterin yang menunjukkan
terjadinya kehamilan di luar uterus atau ektopik.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pada pasien didapatkan diagnosis suspek kehamilan ektopik terganggu
sehingga diusulkan dilakukan laparotomi eksplorasi emergensi.
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik
terutama pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba. Tindakan
operasi yang dapat dilakukan adalah laparatomi untuk membersihkan isi
kavum abdomen dari darah dan sisa jaringan konsepsi serta menutup

32
sumber perdarahan dengan melakukan irisan baji (wedge resection) pada
kornu uteri dimana tuba pars interstisialis berada. Biasanya laparatomi akan
diikuti dengan tindakan pembedahan seperti salpingektomi ataupun
salpingooferektomi. Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan
tuba mengalami ruptur, karena perdarahan intraabdominal akan terjadi dan
harus segera diatasi. Hemoperitonium yang luas akan menempatkan pasien
pada keadaan krisis kardiopulmunonal yang serius. Sedangkan
salpingooferektomi dilakukan apabila ovarium termasuk dalam gumpalan
darah dan sukar dipisahkan. Dan pada pasien ini telah dilakukan operasi
lapatomi emergensi dan telah dilakukan SOD salpingostomi dextra+
adesiolisis ec ruptur tuba dextra + hidrosalping sinistra + adhesi yang
merupakan tatalaksana definitif dari KET dengan ruptur tuba.
Selanjutnya pada pasien ini dilakukan perawatan lebih lanjut, dan
edukasi bahwa kemungkinan untuk hamil sangat kecil karena pada tuba
dextra sudah ruptur dan tuba sinistra mengalami hidrosalphing+adhesi.
Dimana akan mengganggu tranport ke rahim.

33
BAB V
PENUTUP

SIMPULAN
1. Diperkirakan 2% dari total kehamilan, 2010 berarti rata-rata pertahun
sekitar 0.64% pada wanita usia 15-44 tahun. Sekitar 16% perempuan
yang datang pada trimester pertama kehamilan, dengan keluhan
perdarahan, nyeri ataupun keduanya dididagnosis dengan KET.
2. Faktor resiko terjadinya KET cukup banyak. Dari resiko tinggi seperti
riwayat KET sebelumnya, sterilisasi tuba, riwayat penggunaan IUD,
PID (Pelvic Inflammatory Disease), SIN (Salphingitis Isthmica
Nodosa). Resiko moderat seperti clamidiasis, infertilitas, lebih dari 1
pasangan, merokok. dan juga resiko rendah seperti GIFT (Gamete
Intrafallopian transfer), usia <18, usia >35 tahun, douching/ pencucian
vagina. Pada pasien ini ditemukan adanya infertilitas selama 5 tahun
dan merokok (pasif), dan juga adanya adhesiolisis.
3. Pada saat datang KU pasien baik, tetapi sudah konjungtiva anemis.
Penatalaksanaan yang tepat diperlukan untuk mencegah perburukan.
Stabilisasi pasien dari Airway, Breathing, Circulation hingga pasien
benar-benar stabil menjadi tanggung jawab dokter IGD. Baru
selanjutnya pemeriksaan untuk menegakkan etiologi syok yang teratasi.
4. Pada pasien ini setelah kondisi stabil dilakukan pemeriksaan fisik head
to toe. Dan juga dilakukan pemeriksaan dalam. Didapatkan salah satu
tanda khas KET yakni slinger pain (+). Dan karena fasilitas yang
memadai dilakukan USG per abdominal dan pervaginam. Dan setelah
ditegakkan diagnosis kerja menjadi KET, pasien direncanakan untuk
dilakukan laparotomi eksplorasi emergensi.
5. Setelah dilakukan lapararotomi emergensi didapatkan adanya ruptur
pada ampula tuba dextra + hidrosalphing sinistra + adhesi. Pasien sudah
dilakukan SOD + salphingostomi dextra.

34
SARAN
1. Edukasi pada pasien untuk meminimalisir faktor resiko, terutama
merokok dan juga infeksi genital dengan periksa dan berobat rutin.
2. Edukasi pada pasien tentang kemungkinan kehamilan selanjutnya,
bahwa hanya mempunyai kemungkinan hamil kembali sangat kecil.
3. Saran untuk dokter, agar dapat meningkatkan pengetahuan dan
kewaspadaan akan kasus KET, yang hampir 85% pasien datang dengan
diagnosis ruptur tuba yang mengancam nyawa.

35
DAFTAR PUSTAKA

Anthonius BM. (2001). Kehamilan Ektopik. Jakarta:Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia..324-67
Bader TJ. (2005) Ectopic Pregnancy. Ob/Gyn Secrets. 3rd ed. Philadelphia:
Elsevier-Mosby.p.109.
Benson, RC, Martin LP. (2009). Buku Saku Obstetri & Ginekologi. Edisi 9.
Jakarta : EGC
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman
BL, Casey BM, Sheffield JS, (2014). Williams Obstetric 24th edition.
McGraw-Hill Education.
Cagnacci A, Landi S, Volpe A. (1999). Rhythmic variation in the rate of
ectopic pregnancy throughout the year. Am J Obstet
Gynecol.180:1067–1071
Kamwendo F, Forslin L, Bodin L, et al, (2000). Epidemiology of ectopic
pregnancy during a 28 year period and the role of pelvic
inflammatory disease. Sex Transm Infect. 76:28–32.
Lozeau AM, Potter B. (2005) Diagnosis and Management of Ectopic
Pregnancy. American Academy of Family Physician.p.1707-14
Wiknjosastro, Hanifa. (2010). Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Prawirohardjo, S. (2008). Ilmu keb idanan. Jakarta: P.T. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Rustam MPH. (2003). Sinopsis Obstetri. Jilid 1. Jakarta: EGC.h.226-35.
Saifuddin, AB. (2011). Buku Panduan Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

36

Anda mungkin juga menyukai