Anda di halaman 1dari 18

REFERENSI ARTIKEL

Hubungan Paparan Sinar-X dengan


Malondialdehida (MDA)

DISUSUN OLEH:

Arfan Surya Adhitama G 99181011


Mutiyas Nadia Ulfa G 99172120
Khairunisa A Laily Agustin G 991903028
Latief Jaya Subrata G 991903029

PEMBIMBING :
dr. Sulistyani Kusumaningrum, M,Sc,, Sp. Rad(K)RI

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019

0
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Referensi artikel dengan judul:

Hubungan Paparan Sinar-X dengan Malondialdehida (MDA)

Hari, tanggal : Kamis, 1 Agustus 2019

Oleh:

Arfan Surya Adhitama G 99181011


Mutiyas Nadia Ulfa G 99172120
Khairunisa A Laily Agustin G 991903028
Latief Jaya Subrata G 991903029

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Referensi Artikel

dr. Sulistyani Kusumaningrum, M,Sc,, Sp. Rad(K)RI


NIP. 19700611 201001 2 003

1
DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... 1

DAFTAR ISI .................................................................................................... 2

PENDAHULUAN ........................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 4

A. Sinar X ............................................................................................ 5

B. Malondialdehida............................................................................... 8

C. Hubungan Paparan Sinar-X dengan Malondialdehida (MDA)....... 11

PENUTUP ........................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTKA.......................................................................................... 16

2
BAB I
PENDAHULUAN

Radiasi elektromagnetik termasuk di dalamnya adalah sinar X, dan sinar


gamma, merupakan radiasi yang memiliki kemampuan mengeluarkan elektron
dari orbitnya pada sebuah atom, sehingga keduanya disebut dengan radiasi
pengion. Radiasi pengion dianggap berbahaya karena atom yang terionisasi dapat
menyebabkan terjadinya radikal bebas. Ionisasi yang dimaksud adalah proses
menghilangkan satu atau lebih elektron dari atom yang kemudian dapat
menghasilkan efek biologis yang signifikan.
Malondialdehida merupakan salah satu produk final dari peroksidasi lipid.
Senyawa ini terbentuk akibat degradasi radikal bebas OH terhadap asam lemak
tak jenuh yang nantinya menjadi radikal yang sangat reaktif. MDA adalah
senyawa dialdehid yang merupakan produk akhir peroksidasi lipid di dalam
tubuh. Senyawa ini memiliki tiga rantai karbon dengan rumus molekul C3H4O 2 .
MDA juga merupakan produk dekomposisi dari asam amino, karbohidrat
kompleks, pentosa dan heksosa. Selain itu, MDA juga merupakan produk yang
dihasilkan oleh radikal bebas melalui reaksi ionisasi dalam tubuh dan produk
samping biosintesis prostaglandin yang merupakan produk akhir oksidasi lipid
membran. Di samping itu, MDA juga perupakan metabolit komponen sel yang
dihasilkan oleh radikal bebas. Oleh sebab itu, konsentrasi MDA yang tinggi
menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sinar-X
1. Pengertian sinar x
Berdasarkan IAEA (2011), radiasi elektromagnetik termasuk di
dalamnya adalah sinar X, dan sinar gamma, merupakan radiasi yang
memiliki kemampuan mengeluarkan elektron dari orbitnya pada sebuah
atom, sehingga keduanya disebut dengan radiasi pengion. Radiasi pengion
dianggap berbahaya karena atom yang terionisasi dapat menyebabkan
terjadinya radikal bebas. Ionisasi yang dimaksud adalah proses
menghilangkan satu atau lebih elektron dari atom yang kemudian dapat
menghasilkan efek biologis yang signifikan. Menurut Carroll (2011),
ionisasi dari radiasi dapat menyebabkan molekul membran sel pecah, hal
ini yang memungkinkan terjadinya kerusakan sel hingga kematian sel.
Sinar X merupakan radiasi yang diperoleh dari mesin pesawat sinar
X. Mesin tersebut dioperasikan pada tegangan tinggi yang kemudian dapat
menyebabkan interaksi antar partikel sehingga menghasilkan sinar X dan
neutron. Sinar-X atau sinar Röntgen adalah salah satu bentuk dari radiasi
elektromagnetik dengan panjang gelombang berkisar antara
10 nanometer ke 100 picometer (mirip dengan frekuensi dalam jangka
30 PHz to 60 EHz) (IAEA 2011).

2. Sifat-sifat sinar x
a) Memiliki daya tembus
Sinar-X dapat menembus bahan, dengan daya tembus sangat besar
dan digunakan dalam radiografi. Makin tinggi tegangan tabung
(besarnya kV) yang digunakan, makin besar daya tembusnya. Makin
rendah berat atom atau kepadatan suatu benda, makin besar daya
tembus sinarnya.

4
b) Pertebaran
Apabila berkas sinar-X melalui suatu bahan atau suatu zat, maka
berkas tersebut akan bertebaran ke segala arah, menimbulkan radiasi
sekunder (radiasi hambur) pada bahan/zat yang dilaluinya.
c) Penyerapan
Sinar-X dalam radiografi diserap oleh bahan atau zat sesuai dengan
berat atom atau kepadatan bahan/zat tersebut. Makin tinggi kepadatan
atau berat atomnya, makin besar penyerapannya.
d) Efek fotografik
Sinar-X dapat menghitamkan emulsi film (emulsi perakbromida)
setelah diproses secara kimiawi (dibangkitkan) di kamar gelap.
e) Pendar flour (flourosensi)
Sinar-X menyebabkan bahan-bahan tertentu seperti
kalsiumtungstat atau zink-sulfid memendarkan cahaya (luminisensi),
bila bahan tersebut dikenai radiasi sinar-X.
f) Ionisasi
Efek primer sinar-X apabila mengenai suatu bahan atau zat akan
menimbulkan ionisasi partikel-partikel bahan atau zat tersebut.
g) Efek biologis
Sinar-X akan menimbulkan perubahan-perubahan biologik pada
jaringan (Curry, 1984)
3. Jenis modalitas pemeriksaan radiologi
a) Radiologi konvensional
Radiologi konvensional merupakan suatu pemeriksaan sederhana
menggunakan sinar x dengan berbagai posisi pemeriksaan. Dapat
dilakukan dengan menggunakan kontras ataupun tanpa kontras.
Keunggulan dari pemeriksaan ini adalah mudah, cepat, dan biaya
relative murah. Namun kelemahan terkadang gambaran yang
dihasilkan tidak terlalu jelas dikarenakan superposisi (posisi tumpang
tindih) dengan organ lain sehingga untuk beberapa pemeriksaan harus
dilakukan dalam beberapa posisi agar diperoleh gambaran yang jelas.

5
Gambar pesawat x-ray konvensional
b) CT-scan (computed tomography)
Computed Tomography (CT) menggunakan foton sinar X dan
rekonstruksi digital untuk memproduksi sebuah gambaran. Scanner CT
terdiri dari tube sinar X dan detektor. Tube sinar X memproduksi
pancaran sinar sinar X yang menembus pasien, lalu ditangkap oleh
detektor dan direkonstruksi untuk membentuk gambaran 2D atau 3D.
Cara kerja CT-scan yaitu dengan adanya sumber sinar X yang diatur
untuk berotasi di sekeliling pasien. Keunggulan : dapat memberikan
gambaran 3 dimensi hingga dapat menghitung jumlah perdarahan pada
kasus tertentu. Kelemahan : radiasi yang dihasilkan lebih besar
dibanding radiologi konvensional, biaya yang dibutuhkan lebih besar,
dan sulit diterapkan pada pasien yang fobia terhadap tempat sempit
(klaustrofobia).

Gambar Diagram mesin CT-scan.

c) USG
USG merupakan suatu modalitas pencitraan yang menggunakan
energi akustik untuk melokalisasi dan mengkategorikan jaringan tubuh
manusia. Penggunaan gambaran sonografik (sonogram) bergantung
dari tiga komponen mayor, yaitu gelombang suara dengan frekuensi

6
tinggi, penerimaan gelombang yang direfleksikan (echo), dan konversi
dari echo ke dalam gambaran yang sesungguhnya.
Gelombang suara diproduksi oleh sebuah probe yang mengandung
satu atau lebih transducer, yang mengirimkan pancaran energi akustik
dalam suatu frekuensi tertentu. Probe diletakkan di luar permukaan
kulit dan digerakkan oleh sonograafer yang menggerakan probe ke
depan dan ke belakang dari area yang discan sementara melihat
gambaran yang diproduksi oleh USG pada saat itu di monitor. Untuk
dapat membuat kontak yang terbaik antara probe dan kulit, maka gel
diaplikasikan pada permukaan kulit terlebih dahulu.
Keuntungan : tidak menggunakan radiasi sinar x sehingga aman
untuk ibu hamil. Kelemahan : tidak dapat digunakan untuk melihat
bagian tubuh seperti tulang atau ruangan berongga yang berisi gas
seperti usus.

Gambar Pemeriksaan Ultrasonografi


d) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) melibatkan penggunaan
medan magnet yang sangat kuat dan gelombang frekuensi radio, tanpa
sinar x ataupun zat radioaktif. Pemeriksaan ini untuk memanipulasi
aktivitas nukleus atom dengan cara melepaskan energi dalam bentuk
sinyal radiofrekuensi, yang direkam oleh kumparan penerima pemindai
(scanner) dan kemudian diproses komputer untuk membentuk suatu
gambaran.
Kelebihan : memberikan gambaran yang dapat menunjukkan
perbedaan sangat jelas dan lebih sensitif untuk menilai anataomi
jaringan lunak, terutama otak, sumsum tulang belakang dan susunan
saraf dibanding pemeriksaan sinar x biasa. Kelemahan : tidak dapat
7
digunakan pada pasien dengan alat pacu jantung, alat dengar implant,
pasien dengan pen logam serta pasien fobia ruang sempit
(klaustrofobia).

Gambar MRI

B. Malondialdehida

1. Definisi Malondialdehida (MDA)


Malondialdehida merupakan salah satu produk final dari
peroksidasi lipid. Senyawa ini terbentuk akibat degradasi radikal bebas OH
terhadap asam lemak tak jenuh yang nantinya menjadi radikal yang sangat
reaktif. MDA adalah senyawa dialdehid yang merupakan produk akhir
peroksidasi lipid di dalam tubuh. Senyawa ini memiliki tiga rantai karbon
dengan rumus molekul C3H4O 2 . MDA juga merupakan produk
dekomposisi dari asam amino, karbohidrat kompleks, pentosa dan heksosa.
Selain itu, MDA juga merupakan produk yang dihasilkan oleh radikal
bebas melalui reaksi ionisasi dalam tubuh dan produk samping biosintesis
prostaglandin yang merupakan produk akhir oksidasi lipid membran. Di
samping itu, MDA juga perupakan metabolit komponen sel yang
dihasilkan oleh radikal bebas. Oleh sebab itu, konsentrasi MDA yang
tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel. Status
antioksidan yang tinggi biasanya diikuti oleh penurunan kadar MDA
(Winarsi, 2007). MDA dapat bereaksi dengan komponen nukleofilik atau
elektrofilik. Aktivitas non-spesifiknya, MDA dapat berikatan dengan
berbagai molekul biologis seperti protein, asam nukleat, dan 6
aminofosfolipid secara kovalen. MDA dapat menghasilkan polimer dalam
berbagai berat molekul dan polaritas. Efek negatif senyawa radikal

8
maupun metabolit elektrofil ini dapat diredam oleh antioksidan, baik yang
berupa zat gizi seperti vitamin A, C, E dan albumin, ataupun antioksidan
non-gizi seperti flavonoid dan gingerol. Oleh karena itu, tinggi rendahnya
kadar MDA sangat bergantung pada status antioksidan dalam tubuh
seseorang (Winarsi, 2007).
2. Biokimia Malondialdehida (MDA)
Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat pendek sehingga
sulit diukur dalam laboratorium. Kerusakan jaringan lipid akibat ROS
dapat diperiksa menggunakan senyawa MDA. MDA merupakan senyawa
hasil peroksidasi lipid yang terbentuk dari peroksidasi lipid pada membran
sel yaitu reaksi radikal bebas (radikal hidroksi) dengan PUFA. Reaksi
tersebut terjadi secara berantai akan menghasilkan sejumlah radikal lipid
dan senyawa yang sangat sitotoksik terhadap endotel. Radikal-radikal lipid
tersebut akan bereaksi dengan logam-logam transisi bebas dalam darah
seperti Fe 2+ dan Cu 2+ menghasilkan aldehid toksik, salah satunya adalah
MDA. Eliminasi MDA dari sirkulasi dengan bantuan enzim aldehid
dehidrogenase dan thiokinasi yang terjadi dihepar terjadi dalam waktu 2
jam pada tikus namun 10-30% melekat semi permanen pada protein dan
dieliminasi dalam waktu 12 jam (Winarsi, 2007). 7 Toksisitas MDA
meningkat karena reaktivitasnya yang tinggi terutama terhadap protein dan
DNA.Kadar MDA telah digunakan secara luas sebagai indikator stres
oksidatif pada lemak tak jenuh sekaligus merupakan indikator keberadaan
radikal bebas. MDA merupakan senyawa berbentuk kristal putih yang
higroskopis diperoleh dari hidrolisis asam 1,1,3,3 tetraethoxypropane.
Radioaktiktif C-MDA dapat dibuat dari 1,3 propanediol menggunakan
alkohol dehidrogenase (Winarsi, 2007). Stres oksidatif adalah keadaan
yang tidak seimbang antara antioksidan yang ada dalam tubuh dengan
produksi ROS. Stres oksidatif dapat menyebabkan terjadinya reaksi
peroksidasi lipid, protein termasuk enzim dan DNA, yang dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif. Kerusakan oksidatif pada
senyawa lipid terjadi ketika senyawa radikal bebas bereaksi dengan
senyawa PUFA. Peroksidasi lipid merupakan reaksi berantai yang terus

9
menghasilkan pasokan radikal bebas sehingga terjadi reaksi peroksidasi-
peroksidasi selanjutnya (Agarwal, et al., 2005).
3. Cara Pengukuran Malondialdehida (MDA)
Metode pengukuran MDA yang sering digunakan adalah metode
Thio Barbituric Acid Reactive Substances (TBARS) menggunakan
spektrofotometer atas dasar penyerapan warna yang terbentuk dari reaksi
TBARS dan MDA. Tes ini didasarkan pada reaksi kondensasi antara satu
molekul MDA dengan dua molekul TBARS pada pH rendah. Reaksi ini
terjadi pada suasana asam pada suhu 90- 8 100◦ C, TBARS akan
memberikan warna pink-cromogen yang dapat diperiksa secara
spektrofotometrik pada panjang gelombang 530-535 nm atau fluoresen
pada panjang gelombang 553 nm. Jumlah MDA yang terdeteksi
menunjukkan banyaknya peroksidasi lipid yang terjadi. Tes TBARS selain
mengukur kadar MDA yang terbentuk karena proses peroksidasi lipid juga
mengukur produk non-volatil yang terbentuk akibat panas yang
ditimbulkan pada saat pengukuran kadar MDA plasma yang sebenarnya
(Asni, 2012). Kadar MDA dapat diperiksa baik di plasma, jaringan,
maupun urin. Metode pengukuran MDA lain adalah dengan pengukuran
kadar MDA serum bebas menggunakan High- Performance Liquid
Chromatography (HPLC) namun metode ini membutuhkan penanganan
sampel yang sangat rumit. Pengukuran MDA dipengaruhi oleh variasi
diurnal, spesimen hemolisis dan jenis spesimen. Sampel hemolisis dapat
menyebabkan peningkatan kadar MDA oleh karena itu pemisahan sampel
harus dilakukan secepat mungkin dalam waktu kurang dari 30 menit.
Penggunaan sampel serum mendapatkan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan sampel plasma dengan antikoagulan (Mudassir, 2012).

C. Hubungan Paparan Sinar-X dengan Malondialdehida (MDA)


Sinar X termasuk kedalam kelompok radiasi ionisasi
elektromagnetik tidak langsung dan memiliki kekuatan tembus yang tinggi
karena memiliki low energy transfer (LET). Paparan radiasi sinar X pada
sel eukariotik akan menghasilkan radikal bebas yang bertahan beberapa
milidetik dan menghasilkan stres oksidatif melalui radiolisis dari cairan

10
tubuh yang sering disebut sebagai efek tidak langsung radiasi. Keadaan ini
dapat menginduksi perlukaan jaringan melalui proses lipidperoksidasi.
Meskipun begitu, radiasi adalah sebuah proses yang sulit diprediksi.
Secara spesifik, tidak dapat diindikasikan bagian tubuh mana yang akan
lebih banyak terpapar dan sel mana yang mendapatkan efek dari proses
tersebut. Efek yang disebabkan akan bergantung pada tingkat penyerapan
masing-masing individu. Pada dasarnya, perubahan kimiawi secara
molekuler terjadi beberapa detik hingga menit pasca paparan. Namun
perubahan biologis mungkin baru terlihat jelas setelah beberapa jam atau
bahkan beberapa dekade setelahnya.
Tentunya, tenaga kesehatan di bagian radiologi lebih besar
kemungkinanya untuk mendapatkan efek negatif dari paparan radiasi sinar
X. Untuk memastikan tingkat paparan radiasi tetap di bawah batas aman,
telah disepakati penggunaan maximum permissible dose (MPD) sebagai
standar, dengan nilai 1.25 rem per tahun. Sayangnya banyak tenaga
kesehatan yang cenderung tidak menggunakan alat proteksi seperti sarung
tangan, kacamata pelidung, dan pelindung badan.
Vijayamalathi, dkk (2015) melaporkan penelitian tentang hubungan
paparan sinar x dengan malondialdehida (MDA) pada tenaga kesehatan
bagian radiologi di rumah sakit di India yang bekerja 8-10 jam per hari.
Subjek pada penelitian ini adalah radiografer, teknisi radiologis, dan
orang-orang yang terlibat prosedur foto polos, angiogram, CT scan, dan
MRI. Subjek lalu dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan lama kerjanya,
kurang dari 7 tahun, dan 7-14 tahun. Kemungkinan penyebab stres
oksidatif lain selain paparan radiasi dihilangkan dengan menggunakan
kriteria eksklusif perokok, penginang, peminum alkohol, dan riwayat
penyakit kronis.
Dari hasil analisis pemeriksaan sampel darah masing-masing
subjek, kadar MDA pada kelompok tenaga kesehatan di bagaian radiologi
meningkat hingga dua kali lipat dibandingkan kelompok kontrol. Kadar
MDA cenderung meningkat sejalan dengan bertambah lamanya masa kerja
di bagian radiologi.

11
Penilitian serupa juga dilaporkan oleh Ahmad, dkk (2016) dengan
subjek yang bekerja di Nebraska Medical Center, Amerika. Kadar MDA
pada 20 tenaga kesehatan bagian radiologi dengan paparan radiasi pengion
jangka panjang meningkat secara signifikan dibanding kelompok kontrol
dan bertambah sejalan dengan semakin lamanya masa kerja.
Di sisi lain, peningkatan MDA pada pasien pasca paparan radiasi
juga pernah dilaporkan. Patait, dkk (2011) melakukan estimasi kadar MDA
serum sebelum dan sesudah pemberian radioterapi pada 60 pasien dengan
squamous cell carcinoma oral di Nagpur, India. Hasilnya, kelompok pasien
yang telah menjalani radioterapi hingga 50 gy radiasi selama 5 minggu
menunjukkan kadar MDA yang secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol (individu sehat), maupun kelompok
pasien yang belum menjalani radioterapi.
Khoshbin, dkk (2015) juga mengkaji efek radioterapi dan
kemoterapi pada kerapuhan osmotik sel darah merah serta kadar MDA
pasien kanker payudara. Dari hasil analisis pengukuran kadar MDA
sebelum kemoterapi, setelah kemoterapi dan sebelum rangkaian
radioterapi, dan setelah radioterapi, tidak didapatkan perbedaan kadar
MDA yang signifikan secara statistik. Namun, kadar MDA secara nyata
meningkat pasca radioterapi.
Arjmandi, dkk (2016) melaporkan hasil penelitian yang mengamati
serum oksidan dan antioksidan pada pasien kanker payudara di Iran
sebelum dan setelah pemeberian radioterapi. 80 perempuan pengidap
kanker payudara stadium I hingga stadium IV diberi perlakuan radioterapi
sebesar 50 Gy dengan ukuran pembagian 2 Gy selama lima minggu. Lalu,
subjek diambil sampel darahnya satu hari sehari dan sebelum radioterapi.
Hasilnya terdapat peningkatan MDA yang signifikan pada serum darah
setalah radioterapi dibandingkan pada serum darah sebelum radioterapi.
Paparan sinar X dapat berpengaruh terhadap sistem reproduksi.
Testis merupakan organ pada tubuh yang paling sensitif terhadap paparan
sinar X. Penelitian yang telah dilakukan oleh Liu et al., (2011) mebuktikan
bahwa paparan sinar X dapat meningkatkan kadar MDA pada testis tikus
pada hari ke 21 dan 35 setelah paparan sinar X dengan panjang gelombang
12
0,5 dan 1 Gy. Sedangkan pada paparan 12 jam setelah radiasi belum ada
peningkatan secara signifikan pada MDA testis.
Pada tahun 2015, telah dilaporkan juga penelitan yang
membandingakn peroksidase lipid pada pasien dengan kanker kepala dan
leher yang menjalani radioterapi. Dilakukan pengukuran kadar MDA dari
sampel saliva 30 pasien kanker kepala dan leher dari Rumah Sakit Imam
Khomeini Tehran, Iran, yang selanjutnya dibandingkan dengan kadar
MDA setelah pasien tersebut menjalani radioterapi. Kadar MDA tersebut
juga dibandingkan dengan kadar MDA kelompok kontrol yang terdiri dari
16 perempuan dan 14 laki-laki sehat tanpa riwayat paparan stres oksidatif
berlebih. Hasilnya, tidak ada perubahan kadar MDA yang bermakna secara
statistik. Berbeda dari kebanyakan penelitian yang dicantumkan
sebelumnya, kadar MDA pasien pasca radioterapi pada penelitian ini
menunjukkan penurunan dibandingkan kadar MDA pasien sebelum
radioterapi. Asumsi yang dapat menjelaskan kejadian ini adalah asumsi
bahwa penurunan kadar MDA mungkin berhubunan dengan kematian
tumor sel yang menginduksi penurunan ROS (Manifar, dkk 2015).
Peningkatan MDA pada tenaga kesehatan radiologi dan pasien
radioterapi mengindikasikan bahwa paparan radiasi sinar X jangka lama
secara signifikan dapat meningkatkan kadar radikal bebas dalam tubuh.
Lebih lanjut, MDA yang menandai adanya proses lipid peroksidase ini
dapat menjadi awal dari gangguang sinyal transduksi, ekspresi gen, dan
pengaturan fungsi sel yang terlibat dalam apoptosis, yang berhubungan
dengan karsinogenesis. Meskipun demikian risiko karsinogenik yang
muncul akibat paparan radiasi ini masih menjadi kontroversi.

D. Pemberian Antioksidan terhadap Kadar Malondialdehida (MDA)


Patil dan More (2013) menyelidiki efek dari suplementasi
antioksidan pada pasien kanker yang menjalani radioterapi. 30 pasien
kanker yang sedang menjalani radioterapi di Rumah Sakit Kanker Shri
Siddeshwar, Maharashtra, India dengan 20-30 dosis radiasi sebesar
200cGy perhari diambil sampel darahnya sebelum dan satu bulan sesudah
terapi. Dilakukan pengukuran kadar MDA dari sampel tersebut lalu

13
dianalisis perbandingannya dengan turut menyertakan kadar MDA yang
diambil dari kelompok kontrol (sehat). Hasil uji beda menunjukkan
perbedaan yang signifkan dari kadar MDA pada pasien kanker dan
kelompok kontrol. Terlihat juga kenaikkan MDA yang signifikan pada
pasien yang diberi radioterapi dan penurunan yang signifikan pula pada
pemberian antioksidan pasca radioterapi. Dari penelitian ini, diasumsikan
bahwa pemberian antioksidan pada pasien kanker pasca radioterapi dapat
menurunkan kadar lipid peroksidase.
Shariff et all (2009), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
suplemen antioksidan oral selama radioterapi adalah cara yang efektif
dalam mengurangi stres oksidatif. Suplemen antioksidan selama
radioterapi dapat berfungsi sebagai terapi tambahan pada keganasan yang
menawarkan perlindungan pada sel normal yang selanjutnya dapat
mengurangi risiko pengembangan kanker sekunder.
Makanan yang banyak mengandung carotenoid dan berwarna cerah
yang terdapat pada buah-buahan dan sayuran dapat digunakan sebagai
antioksidan salah satunya adalah semangka. Semangka mengandung
carotenoid yang tinggi seperti lycopene, beta-cryptoxanthin, beta-caroten,
dan vitamen E yang terbukti untuk membuang radikal bebas. Khairul et
al., (2014) melaporkan hasil penelitian yang mengamati pengaruh
semangka terhadap stres oksidative yang dipicu oleh sinar X. Hasil dari
penelitiannya membuktikan bahwa semangka dapat menurunkan secara
signifikan kadar MDA pada jaringan paru dan hepar. Namun, semangka
tidak menurunkan secara signifikan kadar MDA pada jaringan otak.

14
BAB III
PENUTUP

Sinar X termasuk kedalam kelompok radiasi ionisasi elektromagnetik


tidak langsung dan memiliki kekuatan tembus yang tinggi karena memiliki low
energy transfer (LET). Paparan radiasi sinar X pada sel eukariotik akan
menghasilkan radikal bebas yang bertahan beberapa milidetik dan menghasilkan
stres oksidatif melalui radiolisis dari cairan tubuh yang sering disebut sebagai efek
tidak langsung radiasi. Keadaan ini dapat menginduksi perlukaan jaringan melalui
proses lipidperoksidasi. Lipidperoksidasi memiliki produk akhir berupa
Malondialdehida. Meskipun begitu, radiasi adalah sebuah proses yang sulit
diprediksi.
Hubungan antara paparan sinar x dengan malondialdehida (MDA) cukup
banyak diteliti. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kadar MDA pada
kelompok tenaga kesehatan di bagaian radiologi meningkat hingga dua kali lipat.
Pada penelitian lain menyebutkaan pasien yang telah menjalani radioterapi hingga
50 gy radiasi selama 5 minggu menunjukkan kadar MDA yang secara signifikan
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (individu sehat), maupun kelompok
pasien yang belum menjalani radioterapi dan juga pada pasien. Peningkatan MDA
pada tenaga kesehatan radiologi dan pasien radioterapi mengindikasikan bahwa
paparan radiasi sinar X jangka lama secara signifikan dapat meningkatkan kadar
radikal bebas dalam tubuh.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Agarwal, S. et al. (2005) ‘Caloric restriction augments ROS defense in S.


cerevisiae, by a Sir2p independent mechanism’, Free Radical Research.
doi: 10.1080/10715760400022343.
2. Ahmad, et al (2017) Redox Status in Workers Occupationally Exposed to
Long Term Low Levels of Ionizing Radiation - A pilot study. PMC.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC5011313/ diakses 31 Juli
2019.
3. Arjmandi, M.A, et. al. (2016) Pre and post radiotherapy serum
oxidant/antioxidant status in breast cancer patients: Impact of age, BMI
and clinical stage of the disease. Elsevier. Reporys of practical oncology
and Radiotherapy 21 (2016) 141-148. Available on www.sciencedirect.com.
Diakses pada 5 Agustus 2018
4. Asni, E. et al. (2009) ‘Pengaruh Hipoksia Berkelanjutan terhadap Kadar
Malondialdehid, Glutation Tereduksi dan Aktivitas Katalase Ginjal Tikus’,
Maj Kedokt Indon.
5. Carroll QB. 2011. Radiography in the Digital Age: Physics-exposure-
radiation biology. USA: Charles C Thomas Publisher, LTD.
6. Curry III, Thomas S., 1984, “Christensens Introduction to The Physics of
Diagnostic Radiology”, Third Edition, Lea and Eigher Philadelphia
7. Gade, S. M. et al. (2012) ‘Synthesis of glycidol from glycerol and
dimethyl carbonate using ionic liquid as a catalyst’, Catalysis
Communications. doi: 10.1016/j.catcom.2012.07.003.
8. International Atomic Energy Agency (IAEA). 2011. Cytogenetic
Dosimetry: Applications in Preparedness for and Response to Radiation
Emergencies. Vienna: International Atomic Energy Agency.
9. Khairul, M. et al. (2014) ‘Juice Modulates Oxidative Damage Induced by
Low Dose X-Ray in Mice’, BioMed Research International.
10. Khosbin, et al (2015) The effect of radiotherapy and chemotherapy on
osmotic fragility of red blood cells and plasma levels of malondialdehyde
in patients with breast cancer. Reports of Practical Oncology &
Radiotherapy. Science Direct. https://www.sciencedirect.com/
science/article/pii/S1507136714001813. diakses 31 Juli 2019.

16
11. Liu, Y. et al. (2011) ‘Low-dose carbon ion irradiation effects on DNA
damage and oxidative stress in the mouse testis’, Advances in Space
Research. doi: 10.1016/j.asr.2010.08.037.
12. Manifar at al. (2015) Alteration of Lipid Peroxidation and Total
Antioxidant Capacity in Patients With Head and Neck Cancers Following
Radiotherapy. AJA University of Medical Sciences. J Arch Mill Med. 2015
November; 3 (4) : e30431. Diakses pada 5 Agustus 2018
13. M. Vijayamalathi, P. Kathiravan, R. Annamalai. “Effect of Ionising
Radiation on Oxidant Status in Radiology Unit Workers”. Journal of
Evolution of Medical and Dental Sciences 2015; Vol. 4, Issue 55, July 09;
Page: 9636-9642, DOI: 10.14260/jemds/2015/1390.
14. Patait, Mahendra & Mody, RN (2011) Estimation of Serum
Malondialdehyde before and after Radiotherapy in Oral Squamous Cell
Carcinoma Patients Undergoing Antioxidant Therapy. ResearchGate.
https://www.researchgate.net/publication/314569897_Estimation
_of_Serum_Malondialdehyde_before_and_after_Radiotherapy_in_Oral_S
quamous_Cell_Carcinoma_Patients_Undergoing_Antioxidant_Therapy.
diakses 31 Juli 2019
15. Patil RY & More HN (2013) Effect of Antioxidant Supplementation in
Cancer Patients on Radiotherapy. Associattion of Pharmaceutical Teachers
of India . Indian Journal of Pharmacy Practice vol. 6 Issue 2 April- Jun,
2013 p71- p73. Diakses 5 Agustus 2018
16. Shariff et all (2009) Effect of oral antioxidant supplementation on lipid
peroxidation during radiotherapy in head and neck malignancies,
Department of Biochemistry and *Radiotherapy, Krishna Institute of
Medical Sciences and Research Centre, Karad-415110,
Maharashtra,:India.
17. Winarsi (2007) ‘Stress Oksidatif Dan Status Antioksidan Pada Aktivitas
Fisik Maksimal’, Generasi Kampus. doi: 10.1042/BJ20091286.

17

Anda mungkin juga menyukai