Bab 2 LP DHF
Bab 2 LP DHF
2
Nyamuk Aedes Sp. dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosa lengkap,
sebagaimana serangga lainnya dalam ordo Diptera. Stadium yang dialami meliputi
stadium telur, larva, pupa dan dewasa (Gerald D. Schimt, 2001).
2.1 Telur Aedes aegypti
Stadium telur memakan waktu beberapa hari (1 – 2 hari). Telur nyamuk Aedes
aegypti berbentuk lonjong berwarna hitam, terdapat gambaran anyaman seperti
sarang lebah. Telur ini diletakkan oleh nyamuk betina secara terpisah-pisah di
tengah atau di tepi permukaan air jernih dan tenang. Telur nyamuk Aedes aegypti
dalam keadaan kering dapat bertahan dalam waktu 6 bulan meskipun dalam
lingkungan tanpa air (Depkes.RI., 1995a ).
2.2 Larva Aedes aegypti
3
Adapun sifat dari larva nyamuk Aedes aegypti diantaranya ukuran 0,5 sampai
1 cm, gerakannya berulang – ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk
bernapas kemudian turun kembali ke bawah dan seterusnya serta pada waktu
istirahat posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air (Depkes.RI., 1995a).
Ciri – ciri yang khas dari larva Aedes aegypti yaitu adanya corong udara pada
sigmen terakhir, pada corong udara terdapat pectin dan sepasang rambut serta
jumbae akan dijumpai pada corong udara. Pertumbuhan dan perkembangan larva
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya yang penting adalah temperatur,
cukup atau tidaknya bahan makanan dan ada tidaknya binatang lain yang
merupakan predator.
2.3 Pupa Nyamuk Aedes aegypti
Pupa nyamuk juga bersifat akuatik (hidup di air) dan sangat aktif, namun tidak
makan. Walaupun demikian mereka harus ke permukaan air untuk mengambil nafas
melalui terompet pernapasan yang dimilikinya. Pupa Aedes aegypti mempunyai
morfologi yang khas yaitu mempunyai terompet pernafasan berbentuk segitiga.
Bentuk tubuhnya seperti koma, bersifat aktif dan sensitive terhadap gerakan dan
cahaya. Biasanya pupa terbentuk pada sore hari dan berumur hanya 1-2 hari untuk
segera menjadi nyamuk dewasa (Tri Wulandari, 2001).
4
2.4 Imago Nyamuk Aedes aegypti
Aedes aegypti dewasa memiliki ciri morfologi yang khas yaitu berukuran lebih
kecil daripada nyamuk rumah, dengan warna dasar hitam berbelang-belang putih
pada bagian tubuh dan kaki dan adanya gambaran lyre berwarna putih dengan
senarnya yang berwarna kuning pada bagian dorsal thoraksnya. Nyamuk dewasa
betinalah yang menghisap darah manusia untuk keperluan pematangan telurnya.
Nyamuk Aedes aegypti betina ini adalah nyamuk yang cerdas ia tidak berdengung
ketika terbang sehingga orang yang akan digigitnya tidak akan sadar bahwa ia akan
digigit. Nyamuk ini menyerang manusia dari bagian bawah atau belakang tubuh
mangsanya. Biasanya pada tungkai kaki atau pada bagian pergelangan kaki. Dalam
menghisap darah, nyamuk ini bersifat intermitten (berulang) sebelum ia merasa
kenyang. Sifat seperti inilah yang menyebabkan dalam saat yang sama dapat
menginfeksi beberapa orang dalam suatu keluarga Umur Aedes aegypti di alam
bebas sekitar 10 hari. Umur ini telah cukup bagi nyamuk ini mengembangbiakkan
Virus Dengue menjadi jumlah yang lebih banyak dalam tubuhnya (Tri
Wulandari,2001).
Tempat perindukan nyamuk ini adalah tempat penampungan air yang
mengandung air jernih atau air yang sedikit terkontaminasi seperti bak mandi,
drum, tangki air dan tempayan. Spesies nyamuk ini aktif menghisap darah pada
siang hari (Hadinegoro SRH, dkk, 2004).
Nyamuk ini dapat menularkan virus dengue kepada manusia yaitu setelah
menggigit orang yang sedang mengalami viremia (2 hari sebelum panas sampai 5
5
hari setelah demam timbul). Virus kemudian berkembang biak dalam tubuh
nyamuk yang terutama ditemukan dalam air liurnya dalam 8-10 hari sebelum dapat
ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat
masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat
menularkan virus selama hidupnya. Pada manusia, virus memerlukan waktu 4-6
hari sebelum menimbulkan sakit.
6
3.1 Bagan Patofisiologi
Sumber : Modifikasi dari Hendarwanto, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 1996, Diagnosa Keperawatan
NANDA, 2006.
7
b) Derajat II
Seperti derajat I tetapi disertai pendarahan spontan di kulit dan atau pendarahan
nyata lain (petekie, pendarahan gusi, pendarahan hidung, hematemesis,
melena).
c) Derajat III
Seperti derajat II yang disertai tanda – tanda adanya kegagalan sirkulasi yaitu
denyut nadi yang cepat dan kecil, tekanan nadi menurun atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit menjadi dingin dan lembab, penderita tampak
gelisah.
d) Derajat IV
Sudah terjadi syok dimana nadi tak teraba dan tekanan darah tak terukur.
8
gejala gastroenteritis akut (Waspadalah Demam Derdarah, Depsos RI web sites.
Available at http://www. depsos. Go. Id/modules).
6. Kriteria Diagnosis
Sampai saat ini diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan kriteria WHO (1997)
yang meliputi kriteria klinis dan laboratories : (Hadinegoro SRH, dkk, 2004)
a. Kriteria klinis
1) Demam mendadak tinggi terus menerus, tanpa sebab yang jelas selama 2-
7 hari.
2) Terdapat manifestasi pendarahan seperti uji tourniquet positip, petekie,
purpura, ekimosis, pendarahan gusi, hematemesis, melena, hematuria.
3) Pembesaran hati (hepatomegali).
4) Tanpa atau dengan gejala syok seperti :
a) Nadi lemah, cepat dan kecil sampai tak teraba.
b) Tekanan nadi turun menjadi 20 mmHg atau kurang.
c) Kulit teraba dingin dan lembab, terutama di daerah akral seperti ujung
hidung, jari tangan dan kaki.
d) Sianosis di sekitar mulut, ujung jari tangan dan kaki.
b. Kriteria laboratories
1) Trombositopenia (trombosit 100.000 / mm3 atau kurang)
2) Hemokonsentrasi (adanya peningkatan hematokrit > 20 %)
9
Uji tourniquet ditujukan untuk menilai ada tidaknya gangguan
vaskular. Uji ini juga dapat memberikan hasil positif pada infeksi virus
selain virus dengue. Hasil dikatakan positif jika terdapat 10-20 atau lebih
petekie dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian depan dan pada
lipat siku.
Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DHF
merupakan indikator terjadinya perembesan plasma, selain
hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia, dan leukopenia.
2) Pemeriksaan urine.
Mungkin ditemukan albuminuria ringan
3) Sumsum tulang.
Pada awalnya hiposeluler, kemudia menjadi hiperseluler pada hari
ke-5 dengan gangguan maturasi sedangkan pada hari ke-10 biasanya sudah
kembali normal.
4) Serologi
1. Uji Hambatan Hemaglutinasi yang merupakan gold standard WHO
untuk mendiagnosis infeksi virus dengue.
2. Uji fiksasi komplemen dan uji netralisasi
3. Uji ELISA
4. Uji Dengue Blot Dot imunoasai Dengue Stick
5. Uji Imunokromatografi
b. Pemeriksaan Radiologi
Kelainan yang didapatkan antara lain :
1. Dilatasi pembuluh darah paru
2. Efusi pleura
3. Kardiomegali atau efusi perikard
4. Hepatomegali
5. Cairan dalam pongga peritoneum
6. Penebalan dinding vesika felea
10
8. Penatalaksanaan secara umum (Hendarwanto, 1996)
a. Pada kasus DHF derajat I dan II
1. Tirah baring
2. Asupan cairan, elektrolit, dan nutrisi
Asupan makanan berupa diet makanan lunak. Pasien dianjurkan
untuk banyak minum, 2-2,5 liter dalam 24 jam. Pemberian cairan oral
bertujuan untuk mencegah dehidrasi. Jenis minuman yang dianjurkan
adalah jus buah, teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Apabila cairan
oralit tidak dapat diberikan karena penderita muntah , tidak mau minum,
atau nyeri perut yang berlebihan sebaiknya diberikan secara intravena.
3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis
Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin dan
dipiron. Paracetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu
dibawah 39o C dengan dosis 10-15 mg / kgbb / kali. Hindari pemberian
salisilat (aspirin, asetosal) karena dapat menimbulkan pendarahan saluran
cerna dan asidosis. Selain pemberian obat-obatan juga dilakukan
pemberian kompres dingin.
4. Monitor tanda- tanda vital (suhu, nadi. Tekanan darah, pernafasan).
Jika kondisi pasien memburuk observasi ketat tiap jam. Periksa
hemoglobin, hematokrit dan trombosit setiap hari, terutama saat dimana
periode febris berubah menjadi afebril. Monitor tanda-tanda rejatan dini
meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil-hasil
pemeriksaan laboratorium yang memburuk. Bila penderita terus muntah
atau keadaan semakin memburuk perlu diberkan cairan per intravena
dengan Ringer laktat atau Dekstrosa 40 % dalam NaCL 0,9 %.
11
semprit dan setelah agak lancar baru dilanjutkan dengan tetesan infus.
Tetesan dapat diberikan dengan dosis 20 ml/kgbb/jam, sampai 30-40
ml/kgbb/jam. Secara praktis diberikan 1-2 liter secepat mungkin dalam
waktu 1-2 jam.
2. Bila dengan cairan ringer laktat tak memberikan respon yang baik, maka
cairan diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 ml/kgbb/jam. Dosis
dapat dinaikkansampai 30-40 ml/kgbb/jam. Pada beberapa kasus mungkin
perlu dilakukan pemeriksaan tekanan vena sentral.
3. Monitor tekanan darah, nadi, dan respirasi tiap 1-2 jam, Hb dan HCT tiap
4 jam. Observasi hepatomegali, pendarahan, efusi pleura, gejala edema
paru, produksi urin dan suhu badan.
4. Koreksi keseimbangan asam dan basa
5. Transfusi darah, sebaiknya darah segar. Indikasinya pendarahan nyata
seperti hematemesis, melena, epistaksis terus menerus
6. Pemberian antibiotik bila diperkirakan adanya infeksi sekunder.
7. Oksigen pada setiap pasien syok
8. Trombosit konsentrat. Pemberian ini masih kontroversial
13