TINJAUAN PUSTAKA
2.1.3 Klasifikasi
Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3
kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu:
2.1.3.1 CKR (Cedera Kepala Ringan)
1) GCS > 13
2) Tidak ada fraktur tengkorak
3) Tidak ada kontusio serebri, hematom
4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
5) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
6) Tidak memerlukan tindakan operasi
2.1.3.2 CKS (Cedera Kepala Sedang)
1) GCS 9-13.
2) Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam
3) Muntah
4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak
6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam
2.1.3.3 CKB (Cedera Kepala Berat)
1) GCS 3-8
2) Hilang kesadaran > 24 jam
3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracrania
2.1.4 Mekanisme Cedera
Pemahaman mengenai cedera kepala disertai pemeriksaan diagnostic dan
pemeriksaan fisik, membantu dalam mendiagnosis cedera kepala secara
tepat.Mekanisme khas cedera meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-
deselarasi, coup-contre coup, cedera rotasional, dan cedera penetrasi.
1) Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak.
2) Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam,
seperti pada aksus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca
depan mobil. Cedera akselerasi-deselarasi sering kali terjadi dalamkasus
kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.
3) Cedera coup-contre coup terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak
bergerak dalam ruang cranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak
yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Cedera
tersebut disebut juga cedera translasional karena benturan dapat berpindah ke
area otak yang berlawanan.
4) Cedera rotasional terjadi jika pukulan/ benturan menyebabkan otak berputar
dalam rongga tengkorak, yang menyebabkan peregangan atau robeknya
neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.
5) Cedera penetrasi dapat disebabkan olehpeluru, pecahan peluru, ataubenda
tajamlain yang bergerak dengan kecepatanyang cukup besar yang mengenai
kepala dan dapat merusak integritas tengkorak.
2.1.5 Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap
jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada
cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan
mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak
tetap bergerak ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah
titik bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik
bentur awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau
pada sisi sebaliknya (contra coup).
Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan
jaringan otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap
jaringan otak dan pembuluh darah. Respon awal otak yang mengalami cedra
adalah ”swelling”. Memar pada otak menyebabkan vasoliditasi dengan
peningkatan aliran darah ke daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan
menimbulkan penekanan terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak terdapat
ruang lebih dalam tengkorak kepala maka ‘swelling’ dan daerah otak yang cedera
akan meningkatkan tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak.
Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak segera terjadi tetapi mulai
berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini untuk mempertahankan
perfusi otak merupakan tindakan penyelamatan hidup.
Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal
CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan
vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi)
menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan
bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera
kepala akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-
akhir ini dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil
terhadap bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah
otak karena vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang
mengalami cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.
Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan angka kematian dengan
mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali
permenit dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat penting.
Hiperventilasi profilaksis pada cedera kepala sudah tidak direkomendasikan.
Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat
jaringan otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu
komponen akan diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap masing-
masing volume komponen yang lain karena tengkorak kepala orang dewasa (suatu
kotak yang kaku) tidak dapat mengembang (membesar). Walaupun CSF
memberikan toleransi, namun ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi
bengkak otak yang terjadi dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu
karena otak membutuhkan suplai darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk
bertahan hidup. Tidak satu pun dari komponen yang mendukung otak dapat
mentoloransi hal ini, oleh sebab itu, bengkak otak yang terjadi akan cepat
menyebabkan kematian. Tekanan yang ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut
tekanan intracranial (ICP). Tekanan ini biasanya sangat rendah. Tekanan intra
kranial dinilai berbahaya jika meningkat hingga 15mmHg, dan herniasi dapat
terjadi pada tekanan di atas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak
disebut sebagai tekanan perfusi serebral (CPP). Nilai CPP diperoleh dengan
mengurangkan MABP terhadap ICP. Tekanan perfusi harus dipertahankan 70
mmHg atau lebih. Jika otak membengkak atau terjadi pendarahan dalam
tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan perfusi akan
menurun. Tubuh memiliki refleks perlindungan (respons/refleks cushing) yang
berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan
intraserebral meningkat, tekanan darah sistematik meningkat untuk mencoba
mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan dalam
tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera kepala
memburuk dan semua tanda vital terganggu, dan berakhir dengan kematian
penderita. Jika terdapat peningkatan intrakranial, hipotensi akan memperburuk
keadaan. Harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistolik 100-110 mmHg pada penderita cedera kepala.
Saat otak membengkak, khususnya setelah benturan pada kepala,
peningkatan tekanan intrakranial yang tiba-tiba dapat terjadi. Hal ini dapat
mendorong bagian otak ke arah bawah, menyumbat aliran CSF dan menimbulkan
tekanan besar terhadap batang otak. Hal ini merupakan keadaan yang mengancam
hidup di tandai dengan penurunan tingkat kesadaran yang secara progresif
menjadi koma, dilatasi pupil dan deviasi mata ke arah bawah dan lateral pada
mata sisi kepala yang mengalami cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi
tubuh berlawanan terhadap sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi
(dijelaskan berikut ini) penderita selanjutnya akan kehilangan semua gerakan,
berhenti nafas dan meninggal. Sindroma ini sering terjadi setelah perdarahan
subdural akut. Sindroma herniasi merupakan satu-satunya keadaan di mana
hiperventilasi masih merupakan indikasi.
Cedera pada otak akibat kurangnya oksigen ( misal henti jantung, obstruksi
jalan nafas) mempengarui otak secara serius. Jika otak tidak mendapatkan oksigen
selama 4 hingga 6 menit, kerusakan irreversible hampir selalu terjadi. Setelah
episode anoksia, perfusi korteks akan terganggu akibat spasme yang terjadi pada
arteri kecil pada serebral. Setelah anoksia 4 hingga 6 menit, perbaikan oksigenasi
dan tekanan darah tidak akan memperbaiki perfusi korteks (tidak ada fenomena
reflow) dan cedera anoksia akan terus berlangsung dalam sel otak.
2.1.6 WOC
2.1.7 Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
2.1.7.1 Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat
dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera
pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan
darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada peningkatan
TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih bnyak darah
dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah peru-peru
berperan dalam proses dengan memungkinkan cairn berpindah ke dalam alveolus.
Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.
2.1.7.2 Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping
tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur
harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk
meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan napas
paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera lanjut pada
pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot terjado, dan
rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat
gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien.
Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat. Diazepam
merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan
melalui intravena. Karena obat ini menekan pernapan, maka frekuensi dan irama
pernapasan pasien harus dipantau dengan cermat. Jika kejang tiak bisa lagi diatasi
dengan obat ini, dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau fenitoin
untuk mempertahankan konrol terhadap kejang.
Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.