Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit


2.1.1 Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanent (PERDOSSI, 2007).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik (Snell, 2006).
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Hudak & Gallo, 2010).
2.1.2 Etiologi
2.1.2.1 Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam: menyebabkan cedera setempat & menimbulkan
cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom serebral,
kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak
atau hernia.
2.1.2.2 Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :
kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil, multiple
pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer, cerebral., batang
otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013).

2.1.3 Klasifikasi
Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3
kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu:
2.1.3.1 CKR (Cedera Kepala Ringan)
1) GCS > 13
2) Tidak ada fraktur tengkorak
3) Tidak ada kontusio serebri, hematom
4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
5) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
6) Tidak memerlukan tindakan operasi
2.1.3.2 CKS (Cedera Kepala Sedang)
1) GCS 9-13.
2) Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam
3) Muntah
4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak
6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam
2.1.3.3 CKB (Cedera Kepala Berat)
1) GCS 3-8
2) Hilang kesadaran > 24 jam
3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracrania
2.1.4 Mekanisme Cedera
Pemahaman mengenai cedera kepala disertai pemeriksaan diagnostic dan
pemeriksaan fisik, membantu dalam mendiagnosis cedera kepala secara
tepat.Mekanisme khas cedera meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-
deselarasi, coup-contre coup, cedera rotasional, dan cedera penetrasi.
1) Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak.
2) Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam,
seperti pada aksus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca
depan mobil. Cedera akselerasi-deselarasi sering kali terjadi dalamkasus
kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.
3) Cedera coup-contre coup terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak
bergerak dalam ruang cranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak
yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Cedera
tersebut disebut juga cedera translasional karena benturan dapat berpindah ke
area otak yang berlawanan.
4) Cedera rotasional terjadi jika pukulan/ benturan menyebabkan otak berputar
dalam rongga tengkorak, yang menyebabkan peregangan atau robeknya
neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.
5) Cedera penetrasi dapat disebabkan olehpeluru, pecahan peluru, ataubenda
tajamlain yang bergerak dengan kecepatanyang cukup besar yang mengenai
kepala dan dapat merusak integritas tengkorak.
2.1.5 Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap
jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada
cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan
mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak
tetap bergerak ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah
titik bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik
bentur awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau
pada sisi sebaliknya (contra coup).
Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan
jaringan otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap
jaringan otak dan pembuluh darah. Respon awal otak yang mengalami cedra
adalah ”swelling”. Memar pada otak menyebabkan vasoliditasi dengan
peningkatan aliran darah ke daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan
menimbulkan penekanan terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak terdapat
ruang lebih dalam tengkorak kepala maka ‘swelling’ dan daerah otak yang cedera
akan meningkatkan tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak.
Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak segera terjadi tetapi mulai
berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini untuk mempertahankan
perfusi otak merupakan tindakan penyelamatan hidup.
Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal
CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan
vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi)
menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan
bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera
kepala akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-
akhir ini dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil
terhadap bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah
otak karena vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang
mengalami cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.
Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan angka kematian dengan
mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali
permenit dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat penting.
Hiperventilasi profilaksis pada cedera kepala sudah tidak direkomendasikan.
Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat
jaringan otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu
komponen akan diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap masing-
masing volume komponen yang lain karena tengkorak kepala orang dewasa (suatu
kotak yang kaku) tidak dapat mengembang (membesar). Walaupun CSF
memberikan toleransi, namun ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi
bengkak otak yang terjadi dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu
karena otak membutuhkan suplai darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk
bertahan hidup. Tidak satu pun dari komponen yang mendukung otak dapat
mentoloransi hal ini, oleh sebab itu, bengkak otak yang terjadi akan cepat
menyebabkan kematian. Tekanan yang ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut
tekanan intracranial (ICP). Tekanan ini biasanya sangat rendah. Tekanan intra
kranial dinilai berbahaya jika meningkat hingga 15mmHg, dan herniasi dapat
terjadi pada tekanan di atas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak
disebut sebagai tekanan perfusi serebral (CPP). Nilai CPP diperoleh dengan
mengurangkan MABP terhadap ICP. Tekanan perfusi harus dipertahankan 70
mmHg atau lebih. Jika otak membengkak atau terjadi pendarahan dalam
tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan perfusi akan
menurun. Tubuh memiliki refleks perlindungan (respons/refleks cushing) yang
berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan
intraserebral meningkat, tekanan darah sistematik meningkat untuk mencoba
mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan dalam
tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera kepala
memburuk dan semua tanda vital terganggu, dan berakhir dengan kematian
penderita. Jika terdapat peningkatan intrakranial, hipotensi akan memperburuk
keadaan. Harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistolik 100-110 mmHg pada penderita cedera kepala.
Saat otak membengkak, khususnya setelah benturan pada kepala,
peningkatan tekanan intrakranial yang tiba-tiba dapat terjadi. Hal ini dapat
mendorong bagian otak ke arah bawah, menyumbat aliran CSF dan menimbulkan
tekanan besar terhadap batang otak. Hal ini merupakan keadaan yang mengancam
hidup di tandai dengan penurunan tingkat kesadaran yang secara progresif
menjadi koma, dilatasi pupil dan deviasi mata ke arah bawah dan lateral pada
mata sisi kepala yang mengalami cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi
tubuh berlawanan terhadap sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi
(dijelaskan berikut ini) penderita selanjutnya akan kehilangan semua gerakan,
berhenti nafas dan meninggal. Sindroma ini sering terjadi setelah perdarahan
subdural akut. Sindroma herniasi merupakan satu-satunya keadaan di mana
hiperventilasi masih merupakan indikasi.
Cedera pada otak akibat kurangnya oksigen ( misal henti jantung, obstruksi
jalan nafas) mempengarui otak secara serius. Jika otak tidak mendapatkan oksigen
selama 4 hingga 6 menit, kerusakan irreversible hampir selalu terjadi. Setelah
episode anoksia, perfusi korteks akan terganggu akibat spasme yang terjadi pada
arteri kecil pada serebral. Setelah anoksia 4 hingga 6 menit, perbaikan oksigenasi
dan tekanan darah tidak akan memperbaiki perfusi korteks (tidak ada fenomena
reflow) dan cedera anoksia akan terus berlangsung dalam sel otak.
2.1.6 WOC
2.1.7 Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
2.1.7.1 Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat
dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera
pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan
darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada peningkatan
TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih bnyak darah
dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah peru-peru
berperan dalam proses dengan memungkinkan cairn berpindah ke dalam alveolus.
Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.
2.1.7.2 Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping
tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur
harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk
meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan napas
paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera lanjut pada
pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot terjado, dan
rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat
gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien.
Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat. Diazepam
merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan
melalui intravena. Karena obat ini menekan pernapan, maka frekuensi dan irama
pernapasan pasien harus dipantau dengan cermat. Jika kejang tiak bisa lagi diatasi
dengan obat ini, dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau fenitoin
untuk mempertahankan konrol terhadap kejang.

2.1.7.3Kebocoran Cairan Serebrospinal


Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan
fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung. Ini
dapat akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal.
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik
2.1.8.1 CT scan
Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan ini
dapat dengan cepat dilakukan dan sensitive terhadap perdarahan. Satu kelemahan
CT scan adalah bahwa pemeriksaan tersebut tidak dapat secara adekuat
menangkap struktur fosa posterior.
2.1.8.2 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Bermanfaat karena artifak tulang diminimalkan sehingga struktur pada dasar
tengkorak dan medulla spinalis dapat divisualisasikan lebih baik dan perubahan
neuronal dapat diamati. Selain itu MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi
cedera vascular serebral dengan cara noninvasive.
2.1.8.3 Angiografi serebral
Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah dan tidak
adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai mengalami kematian
batang otak. Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh darah, stroke
akibat debris emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna radiopak, gagal ginjal
akut akibat pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari area pemasangan
selubung setelah infus dilepaskan.
2.1.8.4 Ultrasonografi Doppler Transkranial
Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan mekanisme
autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang melewati pembuluh darah.
Kemampuan pemeriksaan ini dalam meberikan informasi mengenai autoregulasi
serebral dapat mempengaruhi penatalaksanaan dinamik intracranial pada pasien
cedera kepala dimasa yang akan datang.
2.1.8.5 EEG (elektro ensefalogram)
Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan berguna
dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal
dengan fungsi kortikal abnormal. Pemeriksaan yang penting dalam mengeliminasi
kejang subklinis atau non konvulsif. Temuan yang paling umum pada pasien
cedera kepala adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik pada area cedera.
2.1.9 BAER (brainsteam auditory evoked responses) dan SSEP (somatosensory
evoked potential)
Pemeriksaan prognostik yang bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil
abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakkan
diagnosis disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan pemulihan
fungsional yang bermakna.
2.1.9 Penatalaksanaan
Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala dimulai segera
setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-rumahsakit.
Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera kepala berfokus pada pengkajian
system secara cepat dan penatalaksanaan jalan napas definitive, intervensi yang
dapat berdampak positif terhadap hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia
dan hiperkapnia, yang telah terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak
sekunder.
Pendekatan perawatan yang benar dan kecepatan dalam memberikan
pertolongan menekan angka kematian hingga 36% (National Traumatic Coma
Data Bank). Prinsip dasarnya sel saraf diberikan kondisi/suasana yang optimal
maka pemulihan akan berfungsi kembali:
1) Penatalaksanaan jalan napas: langkah awal yang sangat penting dalam
merawat pasien cedera kepala karena hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi
penurunan kesadaran, dan hipoksia serta hiperkpnia sangat memperburuk
kondisi pasien pada tahap awal cedera. Evaluasi lanjut terhadap status
neurologis dapat memperlihatkan perlunya terapi hiperventilasi jika terdapat
tanda herniasi serebral dan tidak dapat dikontrol dengan terapi farmakologis
awal, pemantauan lebih lanjut aliran darah serebral. Hiperventilasi Harus
dilakukan hati-hati, dibuat dengan cara menurunkan PCO2 dan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak, penurunan volume intracranial ini akan
menurunkan TIK. Hiperventilasi yang lama dan agresif akan menurunkan
perfusi otak, terutama bila PCO2 <25mmHg. PCO2 harus dipertahankan pada
30 mmHg, sehingga bila PCO2 <25mmHg hiperventilasi harus dicegah.
2) Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan meningkatkan
perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan dan penggunaan
vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan TIK untuk menurunkan tahanan
intracranial terhadap aliran darah.
3) Cairan: cairan intravena: jumlah cairan dalam cedera kepala dipertahankan
agar nomovolemia, kelebihan jumlah cairan akan membahayakan jiwa
penderita. Jangan memberikan cairan hipotonik, penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan penderita hyperglikemia yang
berakibat buruk pada penderita cedera kepala. Karena itu cairan yang
digunakan untuk resusitasi sebaiknya larutan garam fisiologis atau ringer
laktat. Kadar Natrium perlu diperhatikan karena hiponatremia akan dapat
menyebabkan odema otak yang harus dihindari.
4) Obat: manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial, umumnya
dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan bolus intra vena dengan
cepat. Untuk penderita hipotensi tidak boleh karena akan memperberat
hipovolemi. Furosemide diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan
TIK, kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim 0,3-0,5
mg/kg bb IV Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK
dan tidak memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan
5) Barbiturate: bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek hipotensi tak
diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut. Tidak dianjurkan pada
resusitasi akut Anti konvulsan: epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada
penderita trauma kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti
konvulsan hanya berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang, tidak
minggu yang berikut, jadi hanya dianjurkan pada minggu pertama saja.

2.2 Manajemen Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
2.2.1.1 Primary Survey
Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita (diagnostic)
sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa. Kunci utama untuk
penanganan pada pasien trauma adalah penanganan pada keadaan yang
mengancam nyawa (Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012).
1) Airway: kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah
anoxia otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam penanganan trauma
yaitu pastikan kelancaran jalan nafas, ventilasi yang adekuat dan oksigenasi.
Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur
laring atau trakea. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan
trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal. Vertebra servikal harus sangat hati-hati dijaga
setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang dapat
menggangu jalan nafas. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala
dalam keadaan netral, chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada
penanganan airway. Mekanisme pembersihan oada oropharing sering
dilakukan didalam pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan
nafas yang dibutuhkan dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan dilakukan
nasal atau oropharingeal airway. Jika tindakan pembersihan jalan nafas ini
juga tidak berhasil, maka dapat dilakukan tindakan intubasi endotrakeal.
Tindakan ini dinamakan airway definitive. Pada airway devinitif maka ada
pipa didalam trahea dengan balon (cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut
dihubungkan dengan suatu alat bantu pernafasan yang diperkaya oksigen, dan
airway tersebut dipertahankan ditempatnya dengan plester. Penentuan
pemasangan airway definitive didasarkan pada penemuan-penemuan klinis
antara lain:
(1) Adanya apnea
(2) Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara
yang lain
(3) Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus
(4) Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway. Seperti multiple
fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang berkepanjangan
(5) Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas (GCS=8)
(6) Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat apabila urgensi
pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind
nasotrakeal intubation) hanya dilakukan padapenderita yang masih bernafas
spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita ya ng apnoe.
Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur lamina
chiriformis merupakan kontrainidikasi relative untuk intubasi nasotrakeal. Bila
kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk mengatasi didalam control
airway, tindakan krikotiroidotomi dapat dilakukan. Tindakan ini dinamakan
airway surgical.
2) Breathing: tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventialsi.
Penururnan oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu tindakan
ventilasi. Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat membantu untuk
mengetahui kualitas ventilasi dari penderita. Airway yang baik tidak menjamin
ventilasi yang baik. Pertikaran gas yang terjadi ada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi
yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
Setiap komponen ini harus di evaluasi secara cepat. Tanda hipoksia dan
hi[ercarbia bias terjadi pada penderita dengan kegagalan ventilasi. Kegagalan
oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan observasi dan auskultasi pada leher
dan dada melalui distensi vena, devasi trakeal,gerakan paradoksal pada dada,
dan suara nafas yang hanya pada satu sisi (unilateral). Perlukaan yang
mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dalah tension pneumothorax,
flail chest dengan kontusio paru, open pneumothorax, massive hemothorax.
Keadaan-keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey.
Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru
menggangu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan harus dikenali pada
saat melakukan secondary survey.
3) Circulation: perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepatdab tepat di rumah sakit. Suatu
keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai
terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat
dari status henodinamika penderita. Kerusakan pada jaringan lunak dapat
mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan kahilangan darah yang
banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik adalah dengan tekanan
langsung. Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu disebabkan
oleh kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera dengan pemberian
larutan Ringer Laktat secara intravena harus memberikan respons yang baik
(2-L pada dewasa, ana 30ml/kgbb). Peradarahan oleh karena luka yang
terbuka dapat di control dengan penekanan luka secara langsung. Perfusi
jaringan dapat di evaluasi dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada
ujung-ujung jari lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.
Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan pertama, maka
pemberian larutan kristaloid dapat diberikan bahkan sampai dengan pemberian
transfuse darah. Namun jika respon tersebut sedikit atau sama sekali tidak
memberikan respontidak, maka pemberian cairan dengan larutan ringer laktat
(2L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat dilakuakn transfuse darah baik
tipe spesifik atau noncross matched universal donor O negative. Vasopressor
tidak boleh diberikan pada pasien dengan syok hipovolemik. Klasifikasi
perdarahan ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini dan patofisiologi
keadaan syok. Terdapat 4 klasifikasi perdarahan antara lain:
(1) Perdarah kelas 1 (kehilngan volume darah sampai 15%) ; gejala klinis dari
kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan
terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari tekanan
darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Pengisisan transkapiler dan
mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam 24
jam.
(2) Perdarahan kelas II (kehilangan darah 15% sampai 30%); gejala-gejala
klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih dari 100 pada orang
dewasa) takipnea, dan penurunan tekanan nadi. Perubahan saraf sentral
yang tidak jelas sperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan, produksi
urine hanya sedikit terpengaruh. Ada penderita yang kadang-kadang
memrlukan transfusi darah, tetapi dapat distabilkan dengan larutan
kristaloid pada mulanya.
(3) Perdarahan kelas III ( 30% samapi 40% kehilangan volume darah); Akibat
kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000ml untuk orang dewasa) dapat
sangat parah. Penderitanya hampir selalu menunjukan tanda klasik perfusi
yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan
penting oada status mental, dan perubahan tekanan darah sistolik. Dalam
keadaaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah kehilangan darah paling
kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun. Penderita
dengan kehilangan darah tingkat ini hamper selalu memerlukan transfuse
darah. Keputusan untuk memberi transfuse darah didasarkan atas respon
penderita terhadap resusitasi cairan semula dan peruse dan oksigenasi
organ yang adekuat.
(4) Perdarahan kelas IV (lebih dari 40% kehilangan volume darah); Dengan
kehilangan darah sebnayak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-gejalanya
meliputi takikardia yang jelas, penurunan tekanan darah sistolik yang
cukuo besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit (atau tekanan diastolic
yang tidak teraba). Produksi urine hampir tidak ada, kesadaran jelas
menurun. Kulit teraba dingin dan tampak pucat. Penderita ini sering kali
memerlukan transfuse cepat dan intervensi pembedahan segera. Keputusan
tersebut didasarkan atas respon resusitasi cairan yang diberikan.
Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita mengaibatkan
ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi, dan tekanan darah. Patah tulang
panjang dapat menimbulkan perdarahan yang berat. Fraktur kedua femur
dapat menimbulkan kehilangan darah did alam tungkai sampai 3-4 liter.
Menimbulkan syok kelas III. Pemasangan bidai yang baik akan dapat
menurunkan perdarahan secara nyata dengan mengurangi pergerakan dan
meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar fraktur. Pada patah tulang
terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
oerdarahan. Resusitasi cairan yang agresif merupakan hal yang penting
disamping usaha menghentikan perdarahan.
4) Disability: menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap
keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran,
serta ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat
kesadaran adalah metode AVPU:
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang sederhana dan dapat
meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan sebagau
pengganti AVPU. Bila belum dilakukannya reeavaluasi pada primary survey,
harus dilakukan pada secondary survey pada saat pemeriksaan neurologis.
Penurunan keasadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau penurun
an perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung padaotak. Penurunan
kesadraan menun tut dilakukannya reevaluasi terhadap oksigenasi, ventilasi,
dan perfusi.
5) Exposure: keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan deformitas
sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling aman dengan membuka
paaian penderita secara keseluruhan. Ini dilakukan dengan tujuan untuk
memudahkan dalam memeriksa dan mengevaluasi keadaan penderitra,
mencegah terjadinya displacement pada fraktur meminimalkan resiko
terjadiny komplikasi lebih lanjut. Hypothermia harus dapat dicegah, fungsi
jantung harus baik, terutama bila volume darah turun. Kain yang steril dapat
digunakan untuk menutupi luka yang terbuka dengan tujuan untuk mencegah
kontaminasi lebih lanjut.

2.2.1.2 Secondary Survey


1) Riwayat Penyakit Sekarang: adanya penurunan kesadaran, letargi, mual dan
muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan,
fraktur, hilang keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar kejadian,
tidak bisa beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit
mencerna/menelan makanan.
2) Riwayat Penyakit Dahulu: pasien pernah mengalami penyakit system
persyarafan, riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat
penyakit sistemik/pernafasan, kardiovaskuler dan metabolik.
3) Riwayat Penyakit Keluarga: kebutuhan Dasar, Eliminasi: Perubahan pada
BAK/BAB, inkontinensia, obstipasi, hematuria. Nutrisi: Mual, muntah,
gangguan mencerna/menelan makanan, kaji bising usus. Istirahat: Kelemahan,
mobilisasi, tidur kurang.
4) Psikososial: gangguan emosi/apatis, delirium, perubahan tingkah laku atau
kepribadian.
5) Pengkajian social: hubungan dengan orang terdekat, kemampuan komunikasi,
afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, disartria, anomia.
6) Nyeri/kenyamanan: skala kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda, respons
menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah.
7) Pengkajian Fisik: fungsi kognitif biasanya dikaji dengan mengajukan tiga
pertanyaan orientasi mengenai orang, waktu, tempat. Akan tetapi penting
untuk mendapatkan riwayat mendetail dari pasien guna memfasilitasi
pendeteksian perubahan yang tersembunyi sepanjang waktu. Pengkajian
tingkat keterjagaan, dalam mengkaji tingkat keterjagaan pada pasien cedera
kepala, stimulus maksimum harus diberikan secara sistematik dan meningkat
untuk mendapatkan secara efektif respon terbaik/ maksimum pasien. Langkah
pertama upaya membangunkan pasien hanya dengan berbicara, kemudian
berteriak, lalu dengan menggoyangkan, dan selanjutnya dengan memberikan
rangsang nyeri. Pendekatan bertahap seperti ini member pasien kesempatan
untuk mendemonstrasikan peningkatan keterjagaan atau respon sebaliknya.
Pengkajian mata meliputi evaluasi pupil dan pergerakan ekstraokuler, yang
membantu dalam melokalisasi area disfungsi otak. Pengujian saraf cranial II
(optikus) pada tempat perawatan akut mencakup pendeteksian defek lapang
pandang dan ketajaman penglihatan yang besar. Lapang pandang dapat secara
adekuat dikaji melalui kemampuan pasien untuk mendeteksi gerakan jari
pemeriksa pada setiap lapang pandang. Ketajaman penglihatan dapat secara
kasar dikaji dengan meminta pasien membaca kalimat yang dicetak pada satu
halaman atau menggunakan grafik mata snellen. Jika terdapat kekhawatiran
berkenaan dengan gangguan saraf optic, evaluasi lengkap yang dilakukan oleh
dokter spesialis mata direkomendasikan. Evaluasi saraf cranial III
(okulomotorius) meliputi inspeksi pupil, termasuk ukuran, bentuk, kesamaan,
dan reaksinya terhadap cahaya. Peningkatan TIK dapat menyebabkn
ketidakteraturan bentuk, anisokor, dan tidak adanya atau sangat sedikitnya
reaksi terhadap cahaya. Saraf cranial III, IV dan VI (okulomotorius, troklearis,
abdusens) seringkali dikelompokkan bersama untuk tujuan pengkajian karena
saraf-saraf tersebut menggerakkan mata. Pengkajian saraf-saraf tersebut
dilakukan dengan meminta pasien mengikuti jari pemeriksa ketika jari tersebut
digerakkan menurut pola huruf H. pengihatan ganda adalah tanda kelemahan
otot mata dengan gangguan saraf cranial. Pengkajian respon batang otak,
dapat dikaji lebih lanjut pada pasien yang tidak sadar dengan menguji refeks
corneal, batuk, dan gag. Reflex corneal merefleksikan saraf cranial V dan VII
(trigeminus dan fasialis). Reflex ini diuji dengan mengusapkan gumpalan
kapas pada konjungtiva bawah setiap mata. Kedipan kelopak mata bawah
mengindikasikan adanya reflex. Sensasi stimulus yang mengiritasi
menunjukkan fungsi utama satu cabang saraf trigeminus, dan gerakan kelopak
mata bawah menujukkan fungsi motorik saraf fasialis. Saraf cranial IX dan X
(glosofaringeus dan vagus) keluar pada ketinggian medulla dan bertanggung
jawab atas reflex batuk dan gag serta melindungi jalan napas dari aspirasi.
Reflex batuk dan gag harus dievaluasi pada apsien yang terjaga dan tidak
sadar. Pengkajian fungsi motorik, dilakukan pada pasien terjaga dan
kooperatif dengan meminta pasien menggerakkan ekstremitasnya melawan
gravitasi dan dengan resistansi pasif, pergerakkan terssebut digolongkan
menggunakan skala 1-5. Pasien yang tidak responsive tersebut dapat
menampilkan sikap tubuh lokalisasi, menarik diri, atau fleksor/ ekstensor
ebagai respon terhadap stimulus yang berbahaya. Lokalisasi stimulus nyeri
diamati sebagai suatu respon yang bertujuan karena pasien mampu
menunjukkan sumber nyeri dan bergerak kearah sumber nyeri tersebut dengan
satu atau kedua ekstremitas melewati garis tengah tubuh. Pengkajian fungsi
pernapasan, penting dalam mendeteksi perburukan cedera neurologis dan
kebutuhan dukungan mekanik. Banyak bagian dari kedua hemisfer serebral
yang mengatur kendali volunteer terhadap otot yang dignakan dalam bernapas,
dengan serebelum menyesuaikan dan mengkoordinasikan usaha otot.
Serebrum juga sedikit mengendalikan frekuensi dan irama pernapasan. Pusat
kritis inspirasi dan ekspirasi terdapat dalam medulla oblongata. Setiap lesi
intracranial yang berekpansi secara cepat, seperti perdarahan serebelar, dapat
mengompresi medulla, dan menghasilkan pernapasan ataksik. Pernapasan
tidak teratur tersebut terdiri dari napsa dalam dan dangkal disertai jeda tidak
teratur. Pola pernapasan tersebut menandakan perlunya control jalan nafas
definitive melalui intubasi endotrakeal. Pengkajian system tubuh lain ,selain
pengkajian system saraf pusat yang menyeluruh, pegkajian komprehensif dari
seluruh system tubuh lain sangat penting dalam mengindenifikasi secara dini
komplikasi dan sekuela pada pasien cedera otak.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
2) Gangguang perfusi jaringan serebral b.d hipoksia.
3) Gangguan persepsi sensori b.d defisit neorologis.
4) Resiko defisit volume cairan b.d mual-muntah.
5) Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual-muntah.
6) Gangguan pola eliminasi urine b.d oligouria.
7) Gangguan mobilitas fisik b.d imobilitas.
8) Nyeri akut b.d agen cedera fisik trauma kepala.
9) Resiko infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.

2.2.3 Intervensi Keperawatan


1) Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, diharapkan klien
mempunyai pola pernapasan yang efektif dengan kriteria hasil:
(1) Pola napas nomal (irama teratur, RR = 16-24 x/menit).
(2) Tidak ada pernapasan cuping hidung.
(3) Pergerakan dada simetris.
Intervensi:
(1) Pantau frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan
pernapasan.
(2) Catat kompetensi reflek GAG dan kemampuan untuk melindungi jalan
napas sendiri.
(3) Tinggikan kepala tempat tidur sesuai indikasi.
(4) Anjurkan kllien untuk bernapas dalam dan batuk efektif.
(5) Beri terapi O2 tambahan.
(6) Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri.
2) Gangguang perfusi jaringan serebral b.d hipoksia.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, diharapkan klien
mempunyai perfusi jaringan adekuat dengan kriteria hasil:
(1) Tingkat kesadaran normal (composmetis).
(2) TTV Normal (TD 120/80 mmHg, nadi 60-100x/menit, suhu 36,5-37,5 oC,
RR 16-24x/menit).
Intervensi:
(1) Kaji status neurologis yang berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan
TIK, terutama CGS.
(2) Monitor TTV; TD, denyut nadi, suhu, minimal setiap jam sampai klien
stabil.
(3) Tingggikan posisi kepala dengan sudut 15-45o tanpa bantal dan posisi
netral.
(4) Monitor suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi. Batasi pemakaian
selimut dan kompres bila de mam.
(5) Monitor asupan dan keluaran setiap delapan jam sekali.
(6) Berikan O2 tambahan sesuai indikasi.
(7) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat-obatan antiedema seperti
manito, gliserol dan losix sesuai indikasi.
3) Gangguan persepsi sensori b.d defisit neorologis.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, diharapkan klien
tidak mengalami gangguan persepsi sensori dengan kriteria hasil:
(1) Tingkat kesadaran normal. E4 M6V5.
(2) Fungsi alat-alat indera baik.
(3) Klien kooperatif kembali dan dapat berorientasi pada orang, waktu dan
tempat.
Intervensi:
(1) Kaji respon sensori terhadap panas atau dingin, raba atau sentuhan. Catat
perubahan-perubahan yang terjadi.
(2) Kaji persepsi klien, baik respon balik dan koneksi kemampuan klien
beroerientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
(3) Berikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran.
(4) Berikan keamanan klien dengan pengamanan sisi tempat tidur, bantu
latihan jalan dan lindungi dari cidera.
(5) Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi deuposi, wicara, terapi kognitif.
4) Resiko defisit volume cairan b.d mual-muntah.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, diharapkan klien
tidak mengalami defisit volume cairan dengan kriteria hasil:
(1) TTV normal (TD 120/80 mmHg, nadi 60-100x/menit, suhu 36,5-37,5 oC,
RR 16-24x/menit).
(2) Nadi perifer teraba kuat.
(3) Haluaran urin adekuat.
Intervensi:
(1) Ukur haluaran urin dan catat ketidakseimbangan input dan output cairan.
(2) Dorong pemasukan cairan per oral sesuai toleransi.
(3) Pantau tekanan darah dan denyut jantung.
(4) Palpasi denyut jantung perifer.
(5) Kaji membran mukosa, turgor kulit dan rasa haur klien.
(6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan tambahan parenteral
sesuai indikasi.
5) Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual-muntah.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, diharapkan klien
tidak mengalami defisit volume cairan dengan kriteria hasil:
(1) Terjadi peningkatan berat badan sesuai batasan waktu.
(2) Peningkatan status nutrisi.
Intervensi:
(1) Kaji status nurtrisi klien meliputi ABCD, tanda-tanda vital, sensori dan
bising usus.
(2) Sajikan makanan yang mudah dicerna, dalam keadaan hangat, tertutup dan
berikan sedikit-dikit, tetapi sering.
(3) Bantu klien makan jika tidak mampu.
(4) Ukur intake makanan dan timbang BB klien.
(5) Anjurkan klien untuk makan sedikit-sedikit tapi sering.
(6) Anjurkan klien untuk menghindari makan yang banyak mengandung gas.
(7) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam menentukan diet yang tepat bagi klien.
(8) Kolaborasi dengan dokter dalam monitor hasil lab, seperti glukosa,
elektrolit, albumin, hemoglobin.
6) Gangguan pola eliminasi urine b.d oligouria.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, diharapkan klien
tidak mengalami gangguan pola eliminasi urine dengan kriteria hasil:
(1) Klien dapat mengontrol pengeluaran urine tiap 4 jam.
(2) Tidak ada tanda- tanda retensi dan inkontinensia urine .
(3) Klien berkemih dalam keadaan berkemih.
Intervensi:
(1) Monitor keadaan bladder setiap 2 jam dan kolaborasi dalam bladder
training.
(2) Hindari faktor pencentus inkontenensia urine seperti cemas.
(3) Kolabarasi dengan dokter dalam pengobatan dan kateterisasi.
(4) Berikan penjelasan tentang pengobatan, kateter, penyebab dan tindakan
lainnya.
7) Gangguan mobilitas fisik b.d imobilitas.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, diharapkan klien
mampu melakukan aktifitas fisik dan ADL dengan kriteria hasil:
(1) Klien mampu pulih kembali pasca akut dalam mempertahankan fungsi
gerak.
(2) Tidak terjadi komplikasi, seperti dekubitus, bronkopnemonia
tromboplebitis dan kontraktur sendi.
(3) Mampu mempertahankan keseimbangan fungsi tubuh.
Intervensi:
(1) Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada
kerusakan yang terjadi
(2) Kaji tingkat kemampuan mobilitas dengan skala 0-4 (0: klien tidak
bergantung orang lain, 1: klien butuh sedikit bantuan, 2: klien butuh
bantuan sederhana, 3: klien butuh bantuan atau peralatan yang banyak dan
4: klien butuh sangat bergantung pada orang lain).
(3) Atur posisi klien dan ubah posisi secara teratur tiap dua jam sekali bila
tidak ada kejang atau setelah empat jam pertama.
(4) Bantu klien melakukan gerakan sendi secara teratur.
(5) Pertahankan linen tetap bersih dan bebas kerutan.
(6) Bantu untuk melalukan latihan rentang gerak aktif/pasif.
(7) Anjurkan klien untuk tetap ikut serta dalam pemenuhan kebutuhan ADL
sesuai kemampuan.

8) Nyeri akut b.d agen cedera fisik trauma kepala.


Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, nyeri berkurang
atau terkendali dengan kriteria hasil:
(1) Pelaporan nyeri terkontrol.
(2) Pasien tenang, tidak gelisah.
(3) Pasien dapat cukup istirahat.
Intervensi:
(1) Tentukan riwayat nyeri, lokasi, intensitas, keluhan dan durasi.
(2) Monitor TTV.
(3) Buat posisi kepala lebih tinggi (15-45o).
(4) Ajarkan latihan teknik relaksasi seperti latihan napas dalam.
(5) Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan dari luas dan berikan tindakan
yang menyenangkan seperti masase.
9) Resiko infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam, diharapkan klien
tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil:
(1) Tidak ada tanda-tanda infeksi (tumor: bengkak, kalor: panas, dolor: sakit,
rubor: merah dan fungsio laesa: fungsinya terganggu).
(2) Suhu tubuh 36,5-37,5 oC
(3) Mencapai penyembuhan tepat waktu.
(4) Berpartisipasi dalam intervensi dalam pencegahan infeksi.
Intervensi:
(1) Pertahankan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat bagi klien,
pengunjung maupun petugas kesehatan lainya.
(2) Pantau suhu secara teratur.
(3) Ubah posisi klien dengan sering, pertahankan linen tetap kering dan bebas
dari kerutan.
(4) Batasi/hindari prosedur invasif.
(5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antibiotik sesuai dengan
indikasi.

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat
terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
rencana keperawatan diantaranya:
Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi;
ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan
efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi
serta dokumentasi intervensi dan respon pasien.
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari
rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan
perawatan yang muncul pada pasien.
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan
evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi
keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan.
1) Berhasil: prilaku klien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang
ditetapkan di tujuan.
2) Tercapai sebagian: klien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang
ditentukan dalam pernyataan tujuan.
3) Belum tercapai: klien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang
diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.
DAFTAR PUSTAKA

Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

Dewi, Ni Made Ayu A. 2013. Autoregulasi Serebral Pada Cedera Kepala.


Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Udayana.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82587&val=970

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta:


Deltacitra Grafind.

Ganong, William F. (2005). Review of Medical Physiology. California: McGraw


Hill Professional.
Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi 6 Volume
2. Jakarta: EGC

Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012


Kidd, Pamela s. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Morton, Patricia G, et al. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan
Holistik. Jakarta: EGC
NANDA Internasional. (2012). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta: EGC.
Oman, K. S., McLain. J. K., & Scheetz, L. J. (2002). Panduan Belajar
Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.

PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal


3November 2007. Pekanbaru : PERDOSI.
Potter, Patricia A. & Anne G. Perry. (2006). Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. & Lorraine Wilson. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Snell RS. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.Sugiharto
L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk,
penerjemah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai