Anda di halaman 1dari 48

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS PASCA

LUKA BAKAR

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

Untuk Memenuhi Sebagaian Persyaratan

Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Fisioterapi

Diajukan oleh :

Darmawan Rizki Fauzi

P27226016012

PROGRAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI

JURUSAN FISIOTERAPI

POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA KEMENTRIAN KESEHATAN RI

2018
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS PASCA

LUKA BAKAR

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

Untuk Memenuhi Sebagaian Persyaratan

Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Fisioterapi

Diajukan oleh :

Darmawan Rizki Fauzi

P27226016012

PROGRAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI

JURUSAN FISIOTERAPI

POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA KEMENTRIAN KESEHATAN RI

2018
PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS PASCA

LUKA BAKAR

Disusun oleh :

Darmawan Rizki Fauzi


P27226016012

Telah disetujui
Pada tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Fendy Nugroho, SST.FT, M.Fis Ftr. Saifudin Zuhri, M.Kes


NIP. - NIP. 19740427 200112 1 002

Mengetahui;
Ketua Prodi D III Fisioterapi

Ftr. Pajar Haryatno, M.Kes


NIP. 19790214 200604 1 002
DAFTAR ISI
Halaman judul ...................................................................................................... i

Halaman pengesahan .......................................................................................... ii

Daftar isi .............................................................................................................iii

Daftar gambar..................................................................................................... iv

Daftar tabel. ......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1

A. Latar belakang masalah ..................................................................... 1

B. Rumusan masalah .............................................................................. 3

C. Tujuan penulisan ............................................................................... 3

D. Manfaat penulisan ............................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 5

A. Deskripsi kasus ................................................................................... 5

B. Problematika fisioterapi .................................................................... 16

C. Teknologi interverensi ...................................................................... 19

BAB III RENCANA PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI ............................................... 22

A. Rencana pengkajian ......................................................................... 22

B. Problem Fisioterapi ......................................................................... 26

C. Tujuan Fisioterapi ........................................................................... 27

D. Teknologi Intervensi Alternatif ....................................................... 27

E. Rencana pelaksanaan Tindakan Fisioterapi .................................... 27

F. Rencana evaluasi ............................................................................. 35

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 36


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi kulit ................................................................................ 12

Gambar 2.2 Lapisan – lapisan epidermis .......................................................... 13

Gambar 2.3 Zona kerusakan jaringan ............................................................... 28


DAFTAR TABEL

Gambar 2.1 Komplikasi luka bakar .................................................................. 25

Gambar 3.1 Indeks barthel ................................................................................ 25


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa angka kematian

akibat luka bakar di dunia ini setiap tahunnya sekitar 300.000. Kurang lebih 2,5 juta

orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat setiap tahunnya dari kelompok ini

200.000 pasien memerlukan penanganan rawat jalan dan 100.000 pasien dirawat di

rumah sakit, sekitar 12.000 menigggal setiap tahunnya (Suranto, 2007). Insidensi

kematian akibat luka bakar kebanyakan terjadi di daerah afrika, asia tenggara dan

timur tengah yaitu sekitar 195.000 setiap tahunnya (WHO, 2008).

Di Indonesia, prevalensi luka bakar pada tahun 2013 adalah sebesar 0.7%

dan telah mengalami penurunan sebesar 1.5% dibandingkan pada tahun 2008

(2.2%). Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Papua (2.0%) dan Bangka

Belitung (1.4%), sedangkan prevalensi di Jawa Timur sebesar 0.7% (Depkes,

2013).

Luka bakar merupakan suatu trauma atau kerusakan jaringan tubuh yang

terjadi pada kulit atau jaringan organik lainnya akibat dari sentuhan atau kontak

langsung dengan sumber panas yaitu api, cairan panas, radiasi, radioaktivitas,

listrik atau bahan kimia (WHO, 2017). Terdapat beberapa pembagian derajat luka

bakar yaitu derajat 1 (superficial partial-thickness), derajat 2 (partial thickness),

dan derajat 3 (full thickness). Presentase yang mendominasi angka kejadian

tertinggi di antara derajat lainnya adalah luka bakar derajat 2 (partial thickness)
yang kerusakan kulitnya terjadi pada lapisan epidermis dan sebagian dermis

(Sarabahi, 2010).

Luka bakar merupakan luka yang unik karena luka tersebut meliputi

sejumlah besar jaringan mati (eskar) yang tetap berada pada tempatnya untuk

jangka waktu yang lama. Luka bakar paling sering terjadi di rumah, Kelompok

terbesar dengan kasus luka bakar adalah anak-anak kelompok usia di bawah 6

tahun. Puncak insiden kedua adalah luka bakar akibat kerja, yaitu pada usia 25-35

tahun. Kelompok ini sering kali memerlukan perawatan pada fasilitas khusus luka

bakar. Oleh karena itu, perawatan luka bakar memegang peranan penting dalam

proses penyembuhan luka (Negara dkk, 2014).

Luka bakar pada kaki atau tangan dapat mempengaruhi kemampuan fungsi

kerja pasien dan memerlukan tekhnik pengobatan yang berbeda dari lokasi pada

tubuh lain. Biasanya pasien akan takut untuk menggerakan sendi yang terkena luka

bakar sehingga terjadi keterbatasan gerak dan LGS pun berkurang. Pasien luka

bakar dapat mengalami penurunan kekuatan otot karena kehilangan beberapa

massa tubuh akibat metabolisme protein otot yang terkait dengan trauma luka

bakar dan proses penyembuhan. Luka bakar dapat menyebabkan nyeri akibat

inflamasi lokal dan kerusakan ujung saraf yang menekan nosiseptor. Oedem terjadi

akibat cairan plasma keluar ke interstitium karena peningkatan permeabilitas

kapiler dan perubahan tekanan hidrostatis (Cameron dan Monroe, 2011).

Sehingga peran fisioterapi pada luka bakar adalah mengurangi nyeri,

memelihara lingkup gerak sendi pada area yang terkena luka bakar, memelihara

kekuatan otot agar dapat berfungsi kembali, dan mengembalikan kemampuan


fungsional sehari – hari pasien. Masalah – masalah tersebut merupakan indikasi

diberikan terapi latihan, Terapi latihan sendiri adalah salah satu upaya pengobatan

atau modalitas dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan-

latihan gerak tubuh, baik secara aktif maupun pasif yang bertujuan untuk

mengatasi masalah yang tersebut diatas (Damping, 2012).

Berdasarkan latar belakang yang telah terpaparkan diatas prevalensi luka

bakar cenderung sedikit sehingga penanganan untuk kasus pasca luka bakar jarang

terekspos sehingga membuat penulis mengambil Karya Tulis Ilmiah dengan judul

“Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Pasca Luka Bakar.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang timbul pada kasus pasca luka

bakar yang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

Bagaimanakah penatalaksanaan fisioterapi pada kasus pasca luka bakar ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis pada karya tulis ilmiah ini adalah

untuk mengetahui cara Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus pasca luka bakar.
D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penulisan karya tulis ilmiah ini

adalah :

1. Terhadap ilmu pengetahuan

Ikut serta dalam menambah wacana ilmu pengetahuan khususnya mengenai

tentang penatalaksanaan fisioterapi pada kasus pasca luka bakar.

2. Terhadap institusi pendidikan

Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada di institusi pendidikan

khususnya mengenai fisioterapi integumen tentang penatalaksanaan fisioterapi

pada kasus pasca luka bakar.

3. Terhadap penulis

Untuk menambah pemahaman dan memperdalam tentang penatalaksanaan

fisioterapi pada kasus pasca luka bakar

4. Masyarakat umum

Membantu masyarakat dalam menghadapi permasalahan yang berhubungan

dengan luka bakar dan memberikan informasi bahwa fisioterapi berperan bagi

masyarakat yang mengalami kasus pasca luka bakar.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus

1. Definisi luka bakar

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan

yang disebabkan kontak dengan sumber panas dan suhu tinggi (seperti api, air

panas, bahan kimia, listrik dan radiasi) atau suhu yang sangat rendah. Dengan

kerusakan jaringan yang terjadi, demikian banyak dan kompleks permasalahan

yang timbul sehingga luka bakar merupakan suatu bentuk seberat-berat cedera

dengan morbiditas dan mortalitas tinggi memerlukan penatalaksanaan khusus sejak

awal (fase syok) sampai fase lanjut berkesinambungan (Moenadjat, 2006).

Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap trauma

suhu atau termal seperti api, air panas, listrik atau zat-zat yang bersifat membakar

seperti asam kuat dan basa kuat. Luka bakar dengan ketebalan parsial merupakan

luka bakar yang tidak merusak epitel kulit maupun hanya merusak sebagian dari

epitel. Luka bakar dengan ketebalan penuh merusak semua sumber-sumber

pertumbuhan kembali epitel kulit (Suranto, 2007).

Luka bakar merupakan satu jenis trauma yang memiliki morbiditas dan

mortalitas yang tinggi sehingga memerlukan perawatan yang khusus mulai fase

awal hingga fase lanjut (Hatta dkk, 2015).


2. Anatomi fungsional

Struktur kulit Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis.

Di bawah dermis terdapat selapis jaringan ikat longgar yaitu hipodermis, yang pada

beberapa tempat terutama terdiri dari jaringan lemak.

a. Epidermis

Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel berlapis

gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak

mempunyai pembuluh darah maupun limfe. Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu,

dari dalam ke luar, (1) Stratum basal atau germinativum, Lapisan ini terletak paling

dalam dan terdiri atas satu lapis sel yang tersusun berderet-deret di atas membran

basal dan melekat pada dermis di bawahnya. Selalu mengadakan mitosis. Sel -sel

hasil mitosis didorong ke atas menjadi lapisan sel di atas stratum basalis. (2)

Stratum spinosum, Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar

berbentuk poligonal dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan. Semakin ke atas

bentuk sel semakin gepeng. (3) Stratum granulosum, Lapisan ini terdiri atas

beberapa lapis sel yang sudah memipih. Menunjukkan tanda-tanda kematian sel.

Mengandung keratohialin, yang merupakan cikal bakal keratin (zat tanduk). (4)

Stratum lusidum, Lapisan ini dibentuk oleh lapisan sel gepeng yang tembus cahaya

dan hanya terdapat pada kulit yang tebal, seperti telapak tangan dan kaki. (5) Stratum

korneum, Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel-sel mati, pipih dan tidak berinti
serta sitoplasmanya digantikan oleh keratin. Sel-sel yang paling permukaan

merupakan sisik zat tanduk yang terdehidrasi yang selalu terkelupas.

b. Dermis

Dermis terdiri atas (1) Stratum papilaris, Lapisan ini tersusun lebih longgar,

ditandai oleh adanya papila dermis merupakan bagian atas dermis dan terdapat

pembuluh darah kapiler dan Korpus Meissner (Reseptor raba). (2) Stratum

retikularis, Lapisan ini tebal dan merupakan bagian bawah dermis yang

mengandung folikel rambut, kelenjar sebacea (lemak), kelenjar keringat, dan

Korpus Paccini (Reseptor tekanan).

c. Hipodermis

Sebuah lapisan subkutan di bawah retikularis dermis disebut hipodermis. Ia

berupa jaringan ikat lebih longgar dengan serat kolagen halus terorientasi terutama

sejajar terhadap permukaan kulit, dengan beberapa di antaranya menyatu dengan

yang dari dermis. Pada daerah tertentu, seperti punggung tangan, lapis ini

meungkinkan gerakan kulit di atas struktur di bawahnya. Di daerah lain, serat-serat

yang masuk ke dermis lebih banyak dan kulit relatif sukar digerakkan. Sel-sel lemak

lebih banyak daripada dalam dermis. Jumlahnya tergantung jenis kelamin dan

keadaan gizinya. Lemak subkutan cenderung mengumpul di daerah tertentu. Tidak

ada atau sedikit lemak ditemukan dalam jaringan subkutan kelopak mata atau penis,

namun di abdomen, paha, dan bokong, dapat mencapai ketebalan 3 cm atau lebih.

Lapisan lemak ini disebut pannikulus adiposus (Kalangi, 2013).


Gambar 2.1

Anatomi kulit (Mayhew dan Pandya, 2017)

1. Batang rambut

2. Pori – pori kuli

3. Otot arrector pilli

4. Folikel rambut

5. Kelenjar sebasea

6. Akar rambut

7. Reseptor folikel rambut

8. Jaringan adiposa

9. Serat saraf sensoris

10. Epidermis

11. Dermis

12. Hipodermis

13. Keenjar keringat ekrin

14. Korpus pacini

15. Pleksus vaskuler kulit


Gambar 2.2

Lapisan – lapisan epidermis (Mayhew dan Pandya, 2017)

1. Stratum Corneum

2. Stratum lucidum

3. Stratum granulosum

4. Stratum spinosum

5. Stratum basale

6. Melanosit

7. Dermis

8. Sel-sel mati diisi keratin

9. Granul lamellar

10. Keratinosit

11. Sel merkel

12. Saraf sensoris


3. Fisiologi

Kulit menurut Wahyuningsih (2017), mempunyai berbagai fungsi, yaitu

sebagai berikut :

a. Pelindung atau proteksi

Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi Jaringan-

jaringan tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruhpengaruh luar

seperti luka dan serangan kuman. Kulit dapat menahan suhu tubuh, menahan luka-

luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke dalam tubuh serta menghalau

rangsang-rangsang fisik seperti sinar ultraviolet dari matahari.

b. Penerima rangsang

Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang berhubungan

dengan sakit, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan, dan getaran. Kulit sebagai

alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung saraf sensasi.

c. Pengatur panas atau thermoregulasi

Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh kapiler

serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf otonom. Ketika terjadi

perubahan pada suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit mengadakan

penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-masing. Panas akan hilang

dengan penguapan keringat.


d. Pengeluaran (ekskresi)

Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar-kelenjar

keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan membawa garam,

yodium dan zat kimia lainnya.

4. Etiologi

Penyebab atau etiologi yang terjadi pada Luka bakar dapat dikategorikan

sebagai berikut :

a. Luka bakar termal

Luka bakar thermal (panas) disebabkan karena terpapar atau kontak dengan

api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya. Dalam banyak kasus, luka bakar

ini tidak dalam. Namun, khususnya kombinasi tekanan dan kontak yang terlalu

lama dengan sumber panas dapat menyebabkan cedera besar (Hermans, 2005).

b. Luka bakar kimia

Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit

dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya

jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar

kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat – zat pembersih yang sering

dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang

digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk

zat kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia (Rahayuningsih, 2012).
c. Luka bakar radiasi

Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe

injuri ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri.

Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan

salah satu tipe luka bakar radiasi. Cedera biasanya luka bakar derajat I (Hermans,

2005).

d. Luka bakar elektrik

Luka bakar electric (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari

energi listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi

oleh lamanya kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai

mengenai tubuh (Rahayuningsih, 2012).

5. Patofisiologi

Luka bakar pada tubuh terjadi baik karena konduksi panas langsung atau

radiasi elektromagnetik (Sabiston, 1995). Akibat pertama luka bakar adalah syok

karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan

permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat

terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan oedem dan

menimbulkan bula yang banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya

volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan

kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang
terbentuk pada luka bakar derajat dua dan pengeluaran cairan dari keropeng luka

bakar derajat tiga (Anggowarsito, 2014).

Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi

tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20% akan terjadi syok

hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat,

nadi kecil, dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang.

Pembengkakkan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. kulit

manusia dapat mentoleransi suhu 44 0 C relatif selama 6 jam sebelum mengalami

cedera termal (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).

Kerusakan kulit akibat luka bakar dibagi menjadi tiga zona yaitu (a) zona

koagulasi adalah daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein)

akibat pengaruh cedera panas. (b) zona statis adalah daerah yang langsung berada

di luar zona koagulasi. Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah

disertai kerusakan trombosit dan leukosit dan proses ini berlangsung selama 12-24

jam pasca cedera mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan. (c) zona hiperemi

adalah daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa

banyak melibatkan reaksi seluler (Johnson, 2011)


Gambar 2.3

Zona kerusakan jaringan (Johnson, 2011)

1. Zona koagulasi

2. Zona stasis

3. Zona hiperemi

4. Kulit

5. Lapisan subkutan

6. Stadium luka bakar

Luka bakar terbagi dalam 3 fase, yaitu fase akut, subakut, dan fase lanjut.

Pembagian ketiga fase ini membantu dalam penanganan luka bakar yang lebih

terintegrasi.

a. Fase akut
Fase akut atau fase syok ini dimulai saat kejadian hingga penderita

mendapatkan perawatan di Unit luka bakar. Penderita luka bakar mengalami

ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), dan

gangguan circulation (sirkulasi). Gangguan airway dapat terjadi seteah trauma, namun

obstruksi jalan nafas akibat juga dapat terjadi dalam 48-72 jam paska trauma. Cedera

inhalasi pada luka bakar adalah penyebab kematian utama di fase akut. Ganguan

keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat cedera termal berdampak sitemik

hingga syok hipovolemik yang berlanjut hingga keadaan hiperdinamik akibat

instabilisasi sirkulasi.

b. Fase subakut

Fase ini berlangsung setelah fase syok teratasi. Permasalahan pada fase ini

adalah proses inflamasi atau infeksi pada luka bakar, problem penutupan luka, dan

keadaan hipermetabolisme.

c. Fase lanjut

Pada fase ini penderita dinyatakan sembuh, namun memerlukan kontrol

rawat jalan. Permasalahan pada fase ini adalah timbulnya penyulit seperti jaringan

parut yang hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas, dan adanya

kontraktur (Anggowarsito, 2014).


7. Klasifikasi

Luka bakar menurut Moenadjat (2006) dibedakan menjadi beberapa jenis

berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan, yaitu :

a. Luka bakar derajat I

Kerusakan terbatas pada bagian permukaan (superfisial) epidermis, kulit

kering berupa hiperemik memberikan efloresensi berupa eritema, tidak dijumpai

bula, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi, penyembuhan terjadi secara

spontan dalam waktu 5-10 hari, Contoh luka bakar derajat I adalah luka bakar akibat

sengatan matahari (sun-burn).

b. Luka bakar derajat II (superficial burn)

Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagai lapisan

dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dibedakan menjadi derajat

dua dangkal dan derajat dua dalam.

1) Derajat II dangkal (superficial partial thickness burn)

Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis. Organ-organ kulit

seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh. Bula

mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera, dan luka bakar pada mulanya

tampak seperti luka bakar derajat I dan mungkin terdiagnosa sebagai derajat II

superficial setelah 12-24 jam.


2) Derajat II dalam (deep partial-thickness burn)

Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis kulit seperti folikel

rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian masih utuh. Penyembuhan

terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang tersisa. Biasanya penyembuhan

terjadi dalam waktu lebih dari tiga minggu atau lebih lama.

c. Luka bakar derajat III (full thickness burn)

Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dermis dan lapisan lebih dalam,

tidak dijumpai bula, apendises kulit rusak, kulit yang terbakar berwarna putih dan

pucat. Terjadi koagulasi protein pada epidermis yang dikenal sebagai scar, tidak

dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung –ujung syaraf sensorik

mengalami kerusakan atau kematian.

d. Luka bakar derajat IV (full thickness burn)

Luka bakar ini telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan

adanya kerusakan yang luas. Kerusakan meliputi seluruh dermis, organ-organ kulit

seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat mengalami kerusakan,

kulit yang terbakar berwarna abu-abu, hitam, dan pucat, tidak dijumpai rasa nyeri
dan hilang sensori karena ujung-ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan dan

kematian.

8. Tanda dan gejala

Menurut Sunnarleo (2017), tanda dan gejala yang terjadi pada luka bakar

dapat dibedakan menjadi luka bakar grade I, grade IIa, grade IIb, grade III, dan

grade IV.

a. Grade I

Kerusakan pada kulit bagian luar, kulit kering kemerahan, nyeri sekali,

sembuh dalam 3 - 7 hari dan tidak ada jaringan parut.

b. Grade IIa

Kerusakan pada epidermis (kulit bagian luar) dan dermis (kulit bagian

dalam), terdapat vesikel (benjolan berupa cairan atau nanah) dan oedem sub kutan

(adanya penimbunan dibawah kulit), luka merah dan basah, sangat nyeri, sembuh

dalam 14 - 21 hari tergantung komplikasi infeksi.

c. Grade IIb

Kerusakan pada dermis dan seluruh kelenjar keringat, sembuh dalam 21 -

28 hari. Setelah sembuh akan terlihat pucat, mengkilap, dan tumbuh bekas luka.

d. Grade III
Kerusakan pada semua lapisan kulit, nyeri tidak ada, luka merah keputih-

putihan (seperti merah yang terdapat serat putih dan merupakan jaringan mati) atau

hitam keabu-abuan (seperti luka yang kering dan gosong juga termasuk jaringan

mati), tampak kering, lapisan yang rusak tidak sembuh sendiri (perlu skin graf).

e. Grade IV

Terlihat parah mengenai jaringan lemak, otot, serta tulang. Tidak ada

sensasi karena pembuluh darah dan ujung saraf rusak.

9. Komplikasi

TABEL 2.1

KOMPLIKASI LUKA BAKAR

Sistem Komplikasi
Kardiovaskuler Kebocoran kapiler, Keadaan hipertematobisme,
Depresi miokard, SIRS (Systemic inflammatory
response syndrome), Hipotensi

Respirasi Bengkak saluran nafas, cedera inhalasi, ARDS (Acute


Respiratory distress syndrome), keracunan CO2

Gastrointestinal Ulkus lambung dan berdarah, kemungkinan bakteri,


translokasi dan sepsis

Ginjal Masalah ginjal akut

Hati Koagulopati

Neuromuskuler Peningkatan reseptor acetylcolin

Imun Fungsi barier (kulit dan usus) menurun, imunosupresi

(Rahayuningsih, 2012)

10. Prognosis

Prognosis pada kasus luka bakar ditentukan oleh beberapa faktor, dan

menyangkut mortalitas dan morbiditas atau burn illness severity and prediction of

outcome yang mana bersifat kompleks. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi

prognosis diantaranya : Jenis luka bakar, kedalaman, lokasi, trauma penyerta,

respons pasien terhadap trauma dan terapi dan terapi (Moenadjat, 2006).

B. Problematika Fisioterapi

Pada kondisi pasca luka bakar akan menghadapi berbagai problem atau

masalah. Problematika yang terjadi menurut klasifikasi dari WHO, 2001 yang

dikenal dengan International Classification of Funtion and Disability (ICF) terdiri

atas impairment, functional limitation, dan participation restriction.


1. Impairment

Adapun masalah yang dihadapi oleh pasien pada pasca luka bakar yaitu

problematika yang berhubungan dengan impairment dapat berupa : (a) adanya nyeri

pada area yang terkena luka bakar, (b) terjadi penurunan lingkup gerak sendi pada

area yang terkena luka bakar, (c) potensi terjadinya penurunan kekuatan otot akibat

kontraktur pada area yang terkena luka bakar, (d) adanya penurunan aktivitas

fungsional.

2. Fungsional limitation

Sedangkan fungsional limitation berupa, pasien belum mampu melakukan

aktivitas fungsional sehari-hari secara mandiri seperti transfer ambulasi, toileting,

dan, self care. Hal ini karena adanya nyeri dan keterbatasan gerak pada daerah Luka

bakar menyebabkan pasien enggan untuk bergerak melakukan aktivitas.

3. Participation restriction

Participation Restriction merupakan permasalahan individu yang

membatasi aktivitas sosial dan berinteraksi dengan lingkungan (WHO, 2001).

Kondisi tersebut akan menghalangi aktivitas pasien untuk berperan normal baik

sebagai anggota keluarga atau masyarakat.


C. Teknologi Intervensi Fisioterapi

Intervensi fisioterapi yang bermanfaat untuk mengurangi kontraktur,

penurunan LGS, penurunan kekuatan otot, dan nyeri gerak adalah dengan

menggunakan terapi latihan.

1. Terapi latihan

Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang

pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan gerak tubuh, baik secara aktif

maupun pasif. Tujuan dari terapi latihan untuk pasien pasca luka bakar adalah untuk

mengatasi gangguan fungsi dan gerak, mempertahankan atau meningkatkan

kekuatan dan kelenturan otot, mempertahankan fungsi kardiorespiratori, mencegah

kontraktur dan kekakuan pada persendian, mencegah timbulnya komplikasi,

mengurangi nyeri dan oedem serta melatih aktivitas fungsional (Damping, 2012).

Adapun terapi latihan yang akan digunakan adalah sebagai berikut :

a. Relaxed passive movement

Merupakan gerakan yang murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai

gerakan dari anggota tubuh pasien. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot secara

pasif, oleh karena gerakan berasal dari luar atau terapis sehingga dengan gerak ini

diharapkan otot yang dilatih menjadi rilek maka menyebabkan efek pengurangan
atau penurunan nyeri akibat luka, mencegah terjadinya perlengketan jaringan dan

keterbatasan gerak serta menjaga elastisitas otot (Kisner, 1996).

b. Asissted active movement

Merupakan bentuk latihan dimana gerakan yang terjadi akibat kontraksi otot

yang bersangkutan dan mendapat bantuan dari luar. Apabila kerja otot tidak cukup

kuat untuk melakukan suatu gerakan maka diperlukan kekuatan dari luar. Kekuatan

tersebut harus diberikan dengan arah yang sesuai dengan kerja otot. Bantuan dari

luar dapat berupa tangan terapis maupun papan licin. Latihan jenis ini membantu

mempertahankan fungsi sendi dan kekuatan otot setelah terjadi luka bakar (Appley,

2005).

c. Free active movement

Free active movement merupakan bagian dari active exercise yang

dihasilkan oleh kontraksi otot yang melawan gaya gravitasi pada bagian tubuh yang

bergerak, tanpa adanya bantuan atau tenaga dari luar, dengan tujuan sebagai

mobilisasi, rileksasi dan sebagai persiapan untuk latihan selanjutnya (Appley 2005).

d. Stretching

Stretching merupakan suatu bentuk latihan yang dilakukan dengan tujuan

mengulur otat agar dapat lebih rileks, teknik penguluran pada jaringan lunak dengan

teknik tertentu, untuk menurunkan ketegangan otot secara fisiologis sehingga otot
menjadi rileks dan penguluran jaringan yang mengalami pemendekan sehingga

terjadi peregangan yang dapat meningkatkan luas gerak sendi (Kisner, 1996).

e. Latihan gerak fungsional

Latihan gerak fungsional, Latihan ini bertujuan untuk mempersiapkan

aktivitas kesehariannya seperti duduk, berdiri, jalan sehingga penderita mampu

secara mandiri dapat melakukan perawatan diri sendiri.

BAB III

RENCANA PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

A. Rencana Pengkajian
Assesment atau pemeriksaan merupakan komponen penting dalam

manajemen penatalaksanaan fisioterapi. Tindakan ini bertujuan untuk menegakkan

diagnosis dan pedoman dalam pelaksanaan terapi terhadap keluhan yang dialami

pasien. Dalam luka bakar pemeriksaan yang diperlukan meliputi :

1. Anamnesis

Anamnesis adalah tanya jawab atau wawancara mengenai penyakit yang

diderita pasien. Hal ini merupakan tindakan pertama kali yang dilakukan scbelum

melakukan pemeriksaan yang lain. Ada dua jenis anamnesis, yaitu (1)

autoanamnesis adalah anamnesis yang dilakukan dengan penderita sendiri (2)

heteroanamnesis adalah anamnesis yang dilakukan dengan orang lain yang

dianggap mengetahui keadaan penderita, misalnya keluarga penderita atau yang

mengantarkan penderita (Hudaya, 2012)

a. Anamnesis umum

Dalam anamnesis ini hal yang diperoleh yaitu data pribadi atau data umum

dari pasien, diantaranya: (1) nama, (2) jenis kelamin, (3) umur, (4) pekerjaan, (5)

alamat, dan (6) agama.

b. Anamnesis khusus

Dalam anamnesis khusus ini data yang dapat diperoleh dapat berupa :

1) Keluhan utama
Adalah keluhan utama yang membawa penderita untuk datang mencari

pertolongan medis. Adapun keluhan ini adalah yang paling utama dirasakan oleh

penderita. Pada kondisi pasca luka bakar ini didapat keluhan berupa nyeri pada

daerah luka bakar dan sulit untuk transfer ambulasi.

2) Riwayat penyakit sekarang

Ditanyakan tentang perjalanan penyakit yang telah diderita sekarang,

adapun pertanyaan yang diajukan adalah kapan mulai terjadinya, dimana lokasinya,

bagaimana terjadinya, fackor penyebabnya, factor yang memperingan dan

memperberat, riwayat pengobatan, dan kondisi yang dirasakan.

3) Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit dahulu harus mencakup penjelasan tentang semua

penyakit dan tindakan pembedahan atau operasi masa lalu.

4) Riwayat penyakit penyerta

Berisi tentang penyakit diderita dahulu dan penyakit yang diderita sekarang.

Hal itu ditunjukan untuk mengetahui kemungkinan adanya hubungan antara

penyakit dahulu dan penyakit yang sekarang yang memungkinkan dapat

memperberat kondisi.

5) Riwayat keluarga
Memberikan petunjuk kemungkinan adanya predisposisi terhadap sesuatu

penyakit. Adakah pihak keluarga yang mempunyai penyakit yang sama yang

dialami oleh penderita sekarang atau tidak.

6) Riwayat pribadi

Berhubungan dengan hobi dan aktivitas sehari-hari pasien yang

memungkinkan munculnya berbagai keluhan pasien. Untuk kasus luka bakar ini

sendiri mungkin pekerjaan penderita dapat berhubungan dengan kejadian.

7) Anamnesis sistem

Anamnesis sistem adalah tanya jawab yang bertujuan untuk mengetahui

gangguan lain yang terdapat dalam sistem lain dalam tubuh yang mungkin dapat

berpengaruh atau berhubungan dengan gangguan sistem yang diderita pasien. Dan

juga ditujukan untuk mengetahui keadaan tubuh pasien secara keseluruhan.

Anamnesis sistem meliputi: (a) kepala dan leher, ditanyakan apakah pasien merasa

pusing dan kaku kuduk, (b) kardiovaskuler, ditanyakan apakah pasien merasa nyeri

dada dan jantung berdebar-debar, (c) respirasi, ditanyakan apakah pasien merasa

sesak napas dan batuk, (d) gastrointestinal, ditanyakan apakah pasien merasa mual

dan muntah, ditanyakan juga apakah defekasi (buang air besar) terkontrol atau

tidak, (e) urogenital, ditanyakan apakah proses miksi (buang air kecil) terkontrol

atau tidak, (f) nervorum, perlu pemeriksaan fungsi sensibilitas.

2. Pemeriksaan fisik
Menurut Hudaya (2012) pemeriksaan fisik ini meliputi :

a. Pemeriksaan vital sign

Dalam pemeriksaan vital sign ini meliputi : (1) tekanan darah, (2)

frekuensi pernafasan, (3) denyut nadi, (4) suhu tubuh, (5) tinggi badan, dan (6)

berat badan.

b. Inspeksi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara melihat dan mengamati keadaan

pasien secara langsung. Inspeksi ini dilakukan dalam 2 cara yaitu inspeksi statis

dan dinamis.

Inspeksi statis ini melihat pasien saat tidak melakukan aktifitas, yaitu saat

pasien duduk, berbaring di tempat tidur dan berdiri. Hal-hal yang perlu

diperhatikan adalah ekspresi wajah, adakah oedema pada anggota gerak dan

peralatan yang terpasang pada pasien. Dari pemeriksaan inpeksi secara statis

pasca luka bakar dapat diperkirakan : letak luka bakar bisa di wajah, badan,

maupun anggota ekstremitas atas atau bawah. Lalu apa ada balutan, infus, atau

kateter.

Inspeksi dinamis, pemeriksaan ini meliputi gerakan-gerakan yang

mampu dilakukan pasien, baik saat berjalan, perubahan posisi dan bagaimana

pasien melakukannya. Pada pemeriksaan inpeksi secara dinamis pasca luka

bakar dapat diperkirakan : ekspresi wajah saat berjalan maupun pindah posisi.
c. Palpasi

Pemeriksaan dilakukan dengann cara meraba, menekan dan memegang

organ atau bagian tubuh pasien untuk mengetahui adanya spasme pada otot, nyeri

tekan, suhu, odem, pada daerah luka bakar ditemukan adanya nyeri tekan dan

spasme pada otot otot disekitar luka bakar.

3. Pemeriksaan gerak dasar

Pemeriksaan gerak dilakukan pada anggota gerak atas dan bawah baik

kanan kiri dengan jalan melakukan gerakan yang terdiri dari pemeriksaan gerak

aktif, pasif, dan isometric melawan tahanan.

a. Gerak aktif

Pemeriksaan gerak aktif adalah suatu cara pemeriksaan gerak yang

dilakukan oleh pasien itu sendiri, terapis melihat dan mengamati, serta

memberiksn aba-aba informasi yang diperoleh dari pemeriksaan ini anatara lain

adalah rasa nyeri, lingkup gerak sendi, kekutan otot, dan koordinasi gerakan.

b. Gerak pasif

Adalah suatu cara pemberian gerakan yang dilakukan oleh terapis pada

penderita,sementara penderita dalam keadaan pasif, rileks. Misalnya: LGS, end

fell, provokasi nyeri.


c. Gerak isometrik melawan tahanan

Adalah suatu cara pemeriksaan gerak yang dilakukan oleh penderita

secara aktif semantara terapis memberikan tahanan secara berrlawanan arah dari

gerakan yang dilakukan oleh penderita. Pemeriksaan tersebut antara lain

digunakan untuk provokasi nyeri pada tendon.

4. Pemeriksaan spesifik

Pemeriksaan spesifik dilakukan untuk mengetahui informasi khusus

yang belum jelas sehingga fisioterapi mempumyai dasar untruk memperkuat

diagnosa fisioterapi. Pemeriksaan spesifik ini antara lain :

a. Pemeriksaan derajat nyeri

Pemeriksaan nyeri dilakukan untuk mengetahui beberapa tingkatan nyeri

dirasakan oleh pasien. Pengukuran derajat nyeri menggunakan VDS (verbal

description scale). Pemeriksaan ini di bagi menjadi 3, yaitu nyeri diam, nyeri

gerak dan nyeri tekan. Penilaian tingkat nyeri dengan Verbal Description Scale

(VDS) terdiri dari. (1) tidak nyeri, (2) nyeri sangat ringan, (3) nyeri ringan, (4)

nyeri tidak terlalu berat, (5) nyeri cukup berat, (6) nyeri berat, (7) Nyeri tak.

tertahankan.

b. Pemeriksaan lingkup gerak sendi


Pengukuran lingkup gerak sendi bertujuan untuk mengetahui ada

tidaknya keterbatasan untuk sendi lutut. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan

menggunakan goneometer dan dapat diukur pada gerak aktif maupun pasif, dan

mengacu pada kriteria international standart orthopaedic measurement (ISOM).

c. Pemeriksaan kekuatan otot

Pengukuran kekuatan otot menggunakan manual muscle testing (MMT)

dengan kriteria penilaian dari 5 dimana: (1) Normal dengan nilai 5 yaitu mampu

melawan tahanan maksimal dan dapat melawan gravitasi. (2) good dengan nilai

4 yaitu mampu melawan tahanan minimal dan melawan gravitasi. (3) fair dengan

nilai 3 yaitu tidak mampu melawan tahanan tetapi mampu melwan gravitasi. (4)

poor dengan nilai 2 yaitu full rom tetapi tidak mampu melawan tahanan dan

gravitasi. (5) frace dengan nilai 1 hanya mampu berkontraksi tanpa adanya

gerakan persendian. (6) zero dengan nilai 0 yaitu tidak ada kontraksi (Mardiman,

2002).

5. Pemeriksaan kognitif, inter personal dan intra personal

Pemeriksaan kognitif meliputi komponen atensi, konsentrasi, memori,

pemecahan masalah, orientasi ruang dan waktu. Pasien diminta menceritakan

awal serta waktu terjadinya keluhan, dan lain-lain. Interpersonal meliputi


kemampuan dalam memahami, menerima keadaan dirinya dan sebagainya. Kita

tanyakan usaha-usaha apa saja yang sudah dilakukan pasien guna

menyembuhkan penyakitnya. Intrapersonal meliputi kemampuan pasien dalam

berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Perlu tidaknya bantuan kepada

pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dan dukungan keluarga terhadap

kesembuhan pasien.

6. Pemeriksaan fungsional dan lingkungan aktivitas

a. Kemampuan fungsional dasar

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan pasien

dalam melakukan kemampuan fungsional dasar secara mandiri. Seperti

mampukah pasien berjongkok-berdiri, membungkukkan badan kedepan dan

kebelakang, bertahan saat duduk dan berdiri lama, berubah posisi dari

terlentang kemudian miring ke kiri maupun ke kanan dan tengkurap tanpa

bantuan orang lain, serta mengetahui ada tidaknya gangguan tidur.

b. Aktivitas fungsional

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan pasien

dalam melakukan kemampuan aktivitas fungsional secara mandiri. Seperti

mandi, berpakaian, makan, maupun minum.


c. Lingkungan aktivitas

Untuk lingkungan aktifitas meliputi segenap kondisi lingkungan

rumah, rumah sakit yang dapat mendukung kesembuhan pasien. Llingkungan

rumah pasien apakah ada trap-trapan , menggunakan WC jongkok atau duduk.

7. Penilaian aktivitas fungsional dengan Barthel index

TABEL 3.1
INDEKS BARTHEL

No. Kegiatan Skor Nilai


1. Makan 0 = Tidak mampu
(Feeding) 1 = Butuh bantuan memotong, mengoles
2 = Mandiri
2. Mandi 0 = Tergantung orang lain
(Bathing) 1 = Mandiri
3. Perawatan diri 0 = Membutuhkan bantuan orang lain
(Grooming) 1 = Mandiri perawatan muka, rambut, gigi
4. Berpakaian 0 = Tergantung orang lain
(Dressing) 1 = Sebagian dibantu (mengancing baju)
2 = Mandiri
5. Buang air kecil 0 = Inkontinensia tidak terkontrol
(Bowel) 1 = Kadang Inkontinensia (maks, 1x24
jam)
2 = Kontinensia (teratur lebih dari 7 hari)
6. Buang air 0 = Inkontinensia (tidak teratur)
besar 1 = Kadang Inkontensia (sekali seminggu)
(Bladder) 2 = Kontinensia (teratur)
7. Penggunaan 0 = Tergantung bantuan orang lain
toilet 1 = Kadang – kadang mandiri
2 = Mandiri
8. Transfer 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan 2 orang
2 = Bantuan kecil
3 = Mandiri
9. Mobilitas 0 = Tidab bisa berjalan
1 = Menggunakan kursi roda
2 = Berjalan dengan bantuan satu orang
3 = Mandiri
10. Naik turun 0 = Tidak mampu
tangga 1 = Membutuhkan bantuan (alat bantu)
2 = Mandiri
JUMLAH NILAI
Interpretasi hasil dari indeks barthel diatas adalah nilai 20 : mandiri, nilai

12-19 : ketergantungan ringan, nilai 9-11 : ketergantungan sedang, nilai 5-8 :

ketergantungan berat, nilai 0- 4 : ketergantungan total.

B. Perkiraan Problem Fisioterapi


Problematika yang terjadi menurut klasifikasi dari WHO, 2001 yang dikenal

dengan International Classification of Funtion and Disability (ICF) terdiri atas

impairment, functional limitation, dan participation restriction.

1. Impairment

Adapun masalah yang dihadapi oleh pasien pada pasca luka bakar yaitu

problematika yang berhubungan dengan impairment dapat berupa : (a) adanya nyeri

pada area yang terkena luka bakar, (b) terjadi penurunan lingkup gerak sendi pada

area yang terkena luka bakar, (c) potensi terjadinya penurunan kekuatan otot akibat

kontraktur pada area yang terkena luka bakar, (d) adanya penurunan aktivitas

fungsional.

2. Fungsional limitation

Sedangkan fungsional limitation berupa, pasien belum mampu melakukan

aktivitas fungsional sehari-hari secara mandiri seperti transfer ambulasi, toileting,

dan, self care. Hal ini karena adanya nyeri dan keterbatasan gerak pada daerah Luka

bakar menyebabkan pasien enggan untuk bergerak melakukan aktivitas.

3. Participation restriction

Participation Restriction merupakan permasalahan individu yang

membatasi aktivitas sosial dan berinteraksi dengan lingkungan (WHO, 2001).


Kondisi tersebut akan menghalangi aktivitas pasien untuk berperan normal baik

sebagai anggota keluarga atau masyarakat.

C. Perkiraan Tujuan Fisioterapi

Tujuan fisioterapi meliputi tujuan jangka pendek dan jangka panjang.

Tujuan jangka pendek diantaranya adalah : (1) Mengurangi nyeri pada area yang

terkena luka bakar, (2) Meningkatkan lingkup gerak sendi pada area yang terkena

luka bakar, (3) Meningkatkan kekuatan otot yang kontraktur akibat terkena luka

bakar. Sedangkan untuk tujuan jangka panjang adalah untuk meningkatkan

kemampuan fungsional ADL.

D. Teknologi Intervensi Alternatif

Teknologi intervensi alternatif yang digunakan pada kasus pasca luka

bakar adalah positioning, breathing exercise, free active movement, active

resisted movement, active asissted movement, relax passive, forced passive

movement, stretching, strengthening, ,dan latihan transfer ambulasi.

E. Rencana Pelaksanaan Tindakan Fisioterapi

Dari modalitas atau intervensi yang ada, maka selanjutnya adalah

pemberian terapi pada kasus pasca luka bakar menggunakan terapi latihan.
1. Relaxed passive movement

Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis disebelah kanan bed dengan

tangan kiri memfiksasi pada pergelangan kaki pasien, sedangkan tangan kanan

menggerakkan ankle kearah dorsal dan plantar flexi dilakukan pengulangan 8

kali. Untuk lutut, pasien tidur terlentang, posisi terapis memfiksasi pada sendi

pergelangan kaki sedangkan tangan satunya di bawah lutut kemudian digerakkan

flexi- extensi sendi lutut gerakan dilakukan dengan hati-hati sebatas toleransi

pasien dilakukan pengulangan 8 kali.

2. Assisted active movement

Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis berdiri di samping kanan bed,

tangan kiri terapis memfiksasi pada pergelangan kaki dan tangan kanan terapis

berada dipunggung kaki kanan pasien diminta untuk mengerakkan ankle kearah

dorsal dan plantar flexi dan terapis membantu menggerakannya. Dilakukan

pengulangan 8 kali. Posisi terapis berpindah, posisi pasien tidur terlentang, posisi

terapis beridri disamping bed. Tangan kiri terapis memfiksasi pada sendi lutut

sedangkan tangan kanan berada dipergelangan kaki kemudian pasien diminta

untuk fleksi lutut kemudian diluruskan kembali dan terapis membantu

menggerakannya. Dilakukan pengulangan 8 kali.

3. Free active movement

Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis berdiri di samping kanan bed

memberi aba-aba kepada pasien untuk bergerak aktif dan mandiri. Pasien
diminta untuk mengerakkan ankle kearah dorsal dan plantar flexi. Dilakukan

pengulangan 8 kali. Pasien diminta untuk bergerak aktif dan mandiri tanpa

bantuan terapis yaitu untuk menggerakan fleksi lutut kemudian diluruskan

kembali. Dilakukan pengulangan 8 kali.

4. Stretching

Posisi pasien tidur terlentang, posisi terapis berdiri di samping kanan bed.

Setelah itu pasien diminta mengerakkan ankle kearah plantar flexi penuh, setelah

itu pasien diminta untuk meluruskan lutut secara penuh. Masing-masing gerakan

ditahan 8 hitungan dan latihan ini dilakukan dengan pengulangan masing-masing

8 kali setiap sesi (Kisner, 1996).

5. Latihan gerak fungsional

a. Latihan duduk

Posisi pasien duduk dengan tungkai lurus (selonjor), kedua lengan di

belakang tubuh dan menyangganya. Tungkai sisi sehat diletakkan di bawah

tungkai sisi sakit dengan cara mengungkitnya, kemudian menggerakkan

tungkainya ke luar bed. Terapis membantu gerakan tersebut dengan cara

menyangga kedua tungkai pasien di bawah betis. Setelah kedua tungkai bawah

pasien di luar bed, dengan perlahan diturunkan sehingga kedua tungkai bawah

menggantung. Pada posisi menggantung tersebut, pasien diminta menggerak-

gerakan pergelangan kakinya ke arah plantar dan dorsal fleksi (untuk


menghilangkan rasa kesemutan). Pertahankan posisi duduk ongkang-ongkang

tersebut sekitar 3 – 5 menit, kemudian kembali ke posisi duduk selonjor di bed

dengan cara yang sama seperti waktu menuju duduk ongkang-ongkang. Ulangi

latihan tersebut hingga lancar.

b. Latihan berdiri

Siapkan walker di samping bed. Posisi pasien duduk ongkang-ongkang.

Sebelumnya beri penjelasan dan contoh cara turun dari bed. Kedua tangan pasien

memegang walker, kemudian pasien merosot turun dengan tungkai sisi sehat,

sedangkan tungkai sisi sakit non weight bearing (NWB). Terapis membantu

memegangi pasien dari samping. Pertahankan posisi berdiri tersebut semampu

pasien, bila pasien sudah tidak mampu, kembalikan ke duduk ongkang-ongkang

dengan cara kedua tangan menekan walker untuk mengangkat badan, pada waktu

yang bersamaan menjejakkan tungkai sehatnya ke lantai. Terapis membantu

mengangkat tungkai sisi sehat dengan satu tangan menyangga area perpatahan

dan tangan yang lain menyangga betis.

c. Latihan berjalan

Posisi awal berdiri NWB dengan walker, kedua tungkai sejajar.

Sebelumnya beri penjelasan dan contoh gerakanya. Angkat dan ayunkan walker

ke depan, kemudian pindahkan berat badan pada kedua tangan yang memegang
walker dan ayunkan kedua tungkai ke depan. Ulangi sehingga pasien berjalan

sejauh kemampuannya.

F. Rencana Evaluasi

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam

pelaksanaan terapi yang diberikan. Evaluasi dilakukan sesaat setelah terapi dan

pada akhir pelaksanaan program terapi. Beberapa pengukuran yang dilakukan

meliputi (1) Evaluasi tingkat nyeri menggunakan VDS, (2) Evaluasi lingkup

gerak sendi menggunakan goniometer, (3) Evaluasi kekuatan otot menggunakan

MMT dan (4) Evaluasi aktivitas fungsional dengan menggunakan Indeks barthel.

DAFTAR PUSTAKA

Anggowarsito, J.L. 2014. Luka Bakar Sudut Pandang Dermatologi. Jurnal


Widya Medika Surabaya. 2 (2): 115 – 119
Appley, A.G dan Solomon, L. 2005. Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur Sistem.
Edisi 7. Widya Medika. Jakarta

Cameron, M. H dan Monroe, L. 2011. Physical Rehabilitation for the Physical


Therapist Assistant. Edisi 7. Elsevier Health Sciences. St Louis
Meissouri

Damping, H.H. 2012. Pengaruh Penatalaksanaan Terapi latihan terhadap


kepuasan pasien fraktur di irina A BLU RSUP Prof. Dr. R.D Kandou
Manado. Jurnal Ilmiah Perawat Manado. 1 (1): 23-29

Depkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Hatta, R.D. dkk. 2015. Profil Pasien Kontraktur Yang Menjalani Perawatan Luka
Bakar Di Rsud Arifin Achmad Periode Januari 2011 – Desember 2013.
Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Kedokteran. 2 (2): 1-5

Hermans, M.H. 2005. A general overview of burn care. International Wound


Journal . 2 (3): 206-220

Hudaya, P. 2012. Pemeriksaan Fisioterapi Satu. Politeknik Kesehatan Surakarta.


Surakarta

Johnson, K.E. 2011. Quick Review Histologi dan Biologi set. Binarupa Aksara.
Tangerang selatan

Kisner, C. dan C. Lynn. 1996. Therapeutic Exercise Foundation and Technique.


Edisi 3. F.A Davis Company. Philadelphia

Mardiman dkk. 2002. Dokumentasi Persiapan Praktek Profesional Fisioterapi


(DPPPFT). Poltekkes Surakarta Jurusan Fisioterapi. Surakarta.

Mayhew, J. dan. B. Pandya. (2017). Ultrastructure of Skin. Diakses 06 November


2018, dari https://teachmeanatomy.info/the-basics/ultrastructure
/skin/.html

Moenadjat, Y. 2006. Luka Bakar : Masalah dan Tata Laksana. Edisi 3. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta

Negara, R.F. dkk. 2014. Pengaruh Perawatan Luka Bakar Derajat II Menggunakan
Ekstrak Etanol Daun Sirih (Piper betle Linn.) Terhadap Peningkatan
Ketebalan Jaringan Granulasi pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Jantan Galur Wistar. Majalah Kesehatan FKUB. 1 (2): 86-94
Rahayuningsih,T. 2012. Penatalaksanaan Luka Bakar (Combustio). Jurnal
Profesi. 8 : Februari – September 2012

Sabiston, DC. 1995. Buku ajar bedah bagian 1. Edisi 1. EGC Jakarta

Sarabahi, S. 2010. Principles and Practice of Burn Care. Jaypee. New Delhi

Sjamsuhidajat, R. dan. Jong W. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 4. EGC. Jakarta

Sonny J. R. Kalangi, S.J.R. 2013. Histofisiologi Kulit. Jurnal Biomedik (JBM), 5


(3): S12-20

Sunnarleo. (2017, April, 13). Luka Bakar. Kompasiana Online. Diakses dari
http://www.kompasiana.com

Suranto, A. 2007. Terapi madu. Edisi 1. Penebar Plus. Jakarta

Wahyuningsih, H.P dan. Y. Kusmiyati. 2017. Anatomi Fisiologi. Edisi 1. Pusdik


SDM Kesehatan. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

WHO. (2008). Burns 2008. WHO Library Cataloguing Data Geneva. Diakses 03
November 2018, http://www.who.int/violence_injury_prevention/
other_injury/burns/en/.html

WHO. (2017). Burns 2017. : WHO Library Cataloguing Data Geneva. Diakses 03
November 2018, http://www.who.int/violence_injury_prevention/
other_injury/burns/en/.html

Anda mungkin juga menyukai