Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


“ SYARI’AT ISLAM “

Disusun oleh :

Siti Maryam
Imam Rudiyanto
Moch. Aji Ardiyansyah

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS PETERNAKAN
TAHUN 2019
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr,Wb segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT,
karena berkat rahmat serta hidayah-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan Makalah dengan
judul “SYARI’AT ISLAM” dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan
Agama Islam.

Dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak. Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa pada makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
mengingat keterbatasan kemampuan kami. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan adanya
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sebagai masukan bagi kami.
Akhir kata kami berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya
dan kami sebagai penulis pada khususnya. Atas segala perhatiannya kami mengucapkan
banyak terima kasih.

Jimbaran, 7 Maret 2019

Kelompok 3
PENGERTIAN SYARI’AT ISLAM

Syariat Islam Kata syara' secara etimologi berarti "jalan-jalan yang bisa di tempuh
air", maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju allah. Syariat
Islamiyyah adalah hukum atau peraturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan
umat Islam. Selain berisi hukum, aturan dan panduan peri kehidupan, syariat Islam juga
berisi kunci penyelesaian seluruh masalah kehidupan manusia baik di dunia maupun di
akhirat.

Syariat Islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal, sehat, dan telah menginjak usia
baligh atau dewasa. (dimana sudah mengerti/memahami segala masalah yang
dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi anak laki-laki, yaitu apabila telah bermimpi
bersetubuh dengan lawan jenisnya, sedangkan bagi anak wanita adalah jika sudah
mengalami datang bulan (menstruasi).
Bagi orang yang mengaku Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan dalam
firman Allah SWT yang bunyinya:

‫علَ ٰى ش َِري َع ٍة ِمنَ ْاْل َ ْم ِر فَات َّ ِب ْع َها َو ََل تَت َّ ِب ْع أَ ْه َوا َء الَّذِينَ ََل‬ َ ‫ث ُ َّم َج َع ْلن‬
َ ‫َاك‬
َ‫يَ ْعلَ ُمون‬
"kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama
itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak
mengetahui." (QS. Jatsiyah: 18).

Syariat Islam ini, secara garis besar, mencakup tiga hal:

1. Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam gaib yang tak terjangkau
oleh indera manusia (Ahkam syar'iyyah I'tiqodiyyah) yang menjadi pokok bahasan
ilmu tauhid.
2. Petunjuk untuk mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia agar
menjadi makhluk terhormat yang sesungguhnya (Ahkam syar'iyyah khuluqiyyah) yang
menjadi bidang bahasan ilmu tasawuf (ahlak).
3. Ketentuan-ketentuan yang mengatur tata cara beribadah kepada Allah SWT atau
hubungan manusia dengan Allah (vetikal), serta ketentuan yang mengatur
pergaulan/hubungan antara manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya.

Dewasa ini, umat Islam selalu mengidentikkan syariat dengan fiqih, oleh karena
sedemikian erat hubungan keduanya. Akan tetapi antara syariat dan fiqih, sesungguhnya
ada perbedaan yang mendasar. Syariat Islam merupakan ketetapan Allah SWT tentang
ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global dan kekal, sehingga tidak mungkin
diganti/dirombak oleh siapa pun sampai kapan pun. Sedangkan fiqih adalah penjabaran
syariat dari hasil ijtihad para mujtahid, sehingga dalam perkara-perkara tertentu bersifat
lokal dan temporal. Itulah sebabnya ada sebutan fiqih Irak dan lain-lainnya. Selain itu,
karena fiqih hasil dari pemikiran mujtahid, maka ada fiqih Syafi'ie, fiqih Maliki, fiqih
Hambali, fiqih Hanafi.
Oleh Karena syariat Islam adalah ketetapan Allah SWT, maka memiliki sifat-sifat,
antara lain:

1. Umum, maksudnya syariat Islam berlaku bagi segenap umat Islam di seluruh penjuru
dunia, tanpa memandang tempat, ras, dan warna kulit. Berbeda dengan hukum
perbuatan manusia yang memberlakukannya terbatas pada suatu tempat karena
perbuatannya berdasarkan faktor kondisional dan memihak pada kepentingan
penciptanya.

2. Universal, maksudnya syariat Islam mencakup segala aspek kehidupan umat manusia.
Ditegaskan oleh Allah SWT. "Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam
Kitab (Al-Qur'an)." (QS. 6/An-An'am: 38). Maksudnya di dalam Al-Qur'an itu telah
ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah, dan tuntunan
untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.

Bukti bahwa hukum Islam mencakup segala urusan manusia, berikut kami petikkan
beberapa ayat Al-Qur'an, antara lain:
a. tentang ekonomi dan keuangan. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar." (QS. 2/Al-Baqoroh: 282].
b. tentang usaha dan kerja. “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah
diusahakannya." (QS. 53/An-Najm: 39).
c. tentang peradilan. "...dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil." (QS. 4/An-Nisa':58).
d. tentang militer. "Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi
mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat
menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya." (QS. 8/Al-Anfal: 60)
e. tentang masalah perdata. "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji." (QS.
5/Al-Maidah: 1). Maksudnya adalah janji kepada Allah, janji terhadap sesama manusia,
dan janji kepada diri sendiri.

3. Orisinil dan abadi, maksudnya syariat ini benar-benar diturunkan oleh Allah SWT, dan
tidak akan tercemar oleh usaha-usaha pemalsuan sampai akhir zaman. "Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya."
(QS. 151 Al-Hijr: 9). Firman Allah tersebut telah terbukti. Beberapa kali umat lain
gagal memalsukan ayat-ayat Al-Qur'an.
4. Mudah dan tidak memberatkan. Kalau kita mau merenungkan syariat Islam dengan
seksama dan jujur, akan kita dapati bahwa syariat Islam sama sekali tidak memberatkan
dan tidak pula menyulitkan. "Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai
dengan kesanggupannya." [QS. 2/Al-Baqoroh: 286).
Bukti-bukti bahwa syariat ini mudah dan tidak memberatkan, bisa kita dapati antara
lain bagi:
a. orang yang bepergian (Musafir) mendapat keringanan boleh mengqoshor
(memendekkan sholat yang empat rokaat menjadi dua rokaat), dan boleh tidak berpuasa
dengan catatan harus menggantinya pada hari yang lain.
b. orang yang sedang sakit tidak diharuskan bersuci dengan wudhu, melainkan dengan
tayammum yakni menggunakan debu. Dalam menunaikan sholat pun jika tidak
sanggup berdiri, boleh dengan duduk, atau bahkan boleh sambil merebahkan diri.
c. percikan najis dari genangan air di jalanan, apabila mengena pakaian, dimaafkan karena
itu sulit di hindarkan.
d. dalam keadaan terpaksa, tidak ada secuil pun makanan untuk mengganjal perut,
makanan yang telah diharamkan seperti bangkai, boleh dimakan asalkan tidak
berlebihan.

5. Seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat. Islam tidak memerintahkan umatnya
untuk mencari kesenangan dunia semata, sebaliknya juga tidak memerintahkan
pemeluknya mencari kebahagiaan akhirat belaka. Akan tetapi Islam mengajarkan
kepada pemeluknya agaromencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak. Ayat-
ayat Al Quran yang mensuratkan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat,
antara lain: "Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia." (QS. 28/Al-
Qoshosh: 77). Dialah yang menjadikan malam untukmu (sebagai) pakaian, dan tidur
untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha." (QS. 25/Al-Furqon:
47).
Jalan yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk bisa mendekatkan diri keada
Allah SWT adalah dengan mematuhi hukum dan ketentuan yang mengatur dalam islam
yaitu sumber hukum islam, yang dibagi menjadi 3 bagian yaitu :

1. Al-Qur’an

Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga
akhir zaman. Selain sebagai sumber ajaran Islam, Al Qur'an disebut juga sebagai sumber
pertama atau asas pertama syara'. Sebagai mana firman Allah :

ٍْ‫َِشى‬
َ‫ء‬ ‫ُل‬ ِ ً
‫اَلك‬ ‫َٰن‬
‫ْي‬ ‫َٰبَت‬
‫ِب‬ ‫ِت‬ ْ ‫ْك‬
‫َٱلك‬ ‫َّْلناَعلي‬
‫َنز‬‫و‬
‫ِين‬
َ ‫ِم‬‫ُسْل‬ ْ‫ََٰل‬
‫ِلم‬ ‫بشْرى‬
ُ‫ةَو‬ً‫ْم‬
‫دىَورح‬ً‫ه‬
ُ‫و‬
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” ( An
Nahl : 89 )

Al Qur'an merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya
yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Qur'an dari waktu ke
waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al Qur'an namun tidak ada yang saling
bertentangan.

2. Al-Hadist
Hadits terbagi dalam beberapa derajat keasliannya, diantaranya adalah:

 Shaheh

Menurut imam ahli hadits Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang
bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat
ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang
lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat).

 Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya
tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz

 Dhaif (lemah)

Ialah hadits yang tidak bersambung (terputus) sanadnya dan diriwayatkan oleh
orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.

 Maudu' (palsu)

Yang berarti ‘yang dilarang’, yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi
yang pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil
karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.

Hadits yang dijadikan acuan hukum hanya hadits dengan derajat shaheh dan hasan,
kemudian hadits dhaif menurut kesepakatan ulama salaf (generasi terdahulu) selama
digunakan untuk memacu gairah beramal (fadhilah amal) masih diperbolehkan untuk
digunakan oleh ummat Islam. Adapun hadist dengan derajat maudu dan derajat hadist yang
di bawahnya wajib ditinggalkan, namun tetap perlu dipelajari dalam ranah ilmu
pengetahuan.

Perbedaan al-qur'an dan al-Hadist adalah al-qur'an, merupakan kitab suci yang
berisikan kebenaran, hukum hukum dan firman Allah, yang kemudian dibukukan menjadi
satu untuk seluruh umat manusia. Sedangkan al-hadist, merupakan kumpulan yang khusus
memuat sumber hukum Islam setelah al Qur'an berisikan aturan pelaksanaan, tata cara
ibadah, akhlak, ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. Walaupun ada
beberapa perbedaan ulama ahli fiqih dan ahli hadist dalam memahami makna di dalam
kedua sumber hukum tersebut tapi semua merupakan upaya dalam mencari kebenaran demi
kemaslahatan ummat , namun hanya para ulama mazhab (ahli fiqih) dengan derajat
keilmuan tinggi dan dipercaya ummat yang bisa memahaminya dan semua ini atas
kehendak Allah.
3. Ijtihad

Ijtihad adalah sebuah usaha para ulama, untuk menetapkan sesuatu keputusan hukum
Islam, berdasarkan al Qur'an dan al Hadist. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad
wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada dia tentang sesuatu hukum maupun
perihal peribadatan. Namun, ada pula hal-hal ibadah tidak bisa di ijtihadkan. Beberapa
macam ijtihad, antara lain :

 Ijma', kesepakatan para ulama


 Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
 Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat
 'Urf, kebiasaan

Terkait dengan susunan tertib syariat, al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36
mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara,
maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara
implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan rasul-Nya belum
menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu.
Pemahaman makna ini didukung oleh ayat al Qur'an dalam Surat Al Maidah[2] yang
menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.

Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani


hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa
yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara'
(ibadah Mahdhoh) dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara' (Ghoir Mahdhoh).

- Asas Syara' (Mahdhoh)

Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam al Qur'an atau al Hadits.
Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam di mana al Qur'an itu asas pertama Syara`dan
al Hadits itu asas kedua syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia
di manapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad hingga akhir zaman, kecuali dalam
keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang
memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau
dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak
diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan
keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali
kepada ketentuan syariat yang berlaku.

- Furu' Syara' (Ghoir Mahdhoh)

Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam al Quran dan al Hadist. Kedudukannya
sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia
kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam
wilayah kekuasaannya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai
perkara ijtihadiyah.
TUJUAN SYARI’AT ISLAM

Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah
Islamiyah dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan tujuan
utama dari Syariat Islam, yaitu:

1. Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)


Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang
hendak merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan
untuk memilih agama, seperti ayat Al-Quran:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin, maka
Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan
murtad:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang
mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisaa
[4]: 48).
Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.

2. Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)


Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah hukum
qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang telah
membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan
dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti secara setimpal.
Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:

“Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada
orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan, atau
daiat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini:
“Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik
dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para calon
pembunuh akan berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai taruhannya.
Dengan begitu, jiwa orang beriman akan terpelihara.

3. Memelihara akal (Hifzh al-‘aqli)


Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia
dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah)
menuju manusia kamil. Salah satu cara yang paling utama dalam memelihara akan adalah
dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan
sebagai berikut:

“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan
judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]:
219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa
perjudian.

4. Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)


Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat Islam
telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak boleh
dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan
oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan emosional
(dengan disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.

5. Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)


Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman,
karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang
tertulis di dalam Al-Quran :

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan alasan
yang sangat kuat sebelum diputuskan. Jadi bukan berarti orang mencuri dengan serta merta
dihukum potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya serta
kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya mengambil beberapa butir buah untuk
mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong tangan. Berbeda dengan para koruptor
yang sengaja memperkaya diri dengan menyalahgunakan jabatannya, tentunya hukuman
berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi andalan dalam
menjaga suasana tertib masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.
Sumber Referensi :
https://darulilmi1.wordpress.com/2011/10/28/macam-macam-derajat-hadits-rasulullah-nabi-
muhammad-s-a-w/.

https://id.wikipedia.org/wiki/Syariat_Islam/

https://www.dakwah.id/pengertian-syariat-islam/

https://www.academia.edu/

https://islamqa.info/id/answers/10197/al-quran-al-karim

Anda mungkin juga menyukai