Anda di halaman 1dari 39

PERCOBAAN III

FORMAT GRAFIK, CITRA DAN VIDEO

3.1 Tujuan
1. Untuk mengetahui Peta warna dalam Citra 8-bit.
2. Untuk mengetahui Ruang warna dalam Grafik dan Citra.
3. Untuk mengetahui Chroma Subsampling.
4. Untuk mengetahui Efek aliasing karena subsampling.
5. Dapat menganalisa materi tersebut menggunakan MATLAB.

3.2 Peralatan
1. Laptop/PC.
2. Software MATLAB.

3.3 Dasar Teori


3.3.1 Citra
Citra adalah suatu representasi (gambaran), kemiripan, atau imitasi dari
suatu objek. Ditinjau dari sudut pandang matematisnya, citra merupakan fungsi
menerus (continue) dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Ketika
sumber cahaya menerangi objek, objek memantulkan kembali sebagian dari
berkas cahaya tersebut. Pantulan cahaya ini ditangkap oleh alat – alat pengindra
optik, misalnya mata pada manusia, kamera, pemindai (scanner), dan sebagainya
sehingga bayangan objek yang disebut citra tersebut terekam. Citra sebagai
keluaran dari suatu sistem perekaman data dapat bersifat :
1. Optik berupa foto,
2. Analog berupa sinyal video seperti pada gambar pada monitor televisi,
3. Digital yang dapat langsung disimpan pada suatu pita magnetik.

3.3.2 Citra Analog


Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada
monitor televisi, foto sinar-X, foto yang tercetak dikertas foto, lukisan,
pemandangan, hasil CT scan, gambar-gambar yang terekam pada pita kaset, dan
lain-lain sebagainya. Citra analog tidak dapat direpresentasikan dalam komputer
sehingga tidak dapat diproses di komputer secara langsung. Oleh sebab itu, agar
citra ini dapat diproses di komputer, proses konversi analog ke digital harus
dilakukan terlebih dahulu. Citra analog dihasilkan dari alat-alat analog, video
kamera analog, kamera foto analog, Web Cam, CT scan, sensor ultrasound pada
sistem USG, dan lain-lain.

3.3.3 Citra Digital


Citra digital adalah citra yang dapat diolah oleh komputer. Umumnya citra
digital berbentuk persegi panjang atau bujur sangkar (pada beberapa sistem
pencitraan ada pula yang berbentuk segi enam) yang memiliki lebar dan tinggi
tertentu. Ukuran ini biasanya dinyatakan dalam banyaknya titik atau pixel
sehingga ukuran citra selalu bernilai bulat. Setiap titik memiliki koordinat sesuai
posisinya dalam citra. Koordinat ini biasanya dinyatakan dalam bilangan bulat
positif, yang dapat dimulai dari 0 atau 1 tergantung pada sistem yang digunakan.
Setiap titik juga memiliki nilai berupa angka digital yang merepresentasikan
informasi yang diwakili oleh titik tersebut.
Format data citra digital berhubungan erat dengan warna. Pada
kebanyakan kasus, terutama untuk keperluan penampilan secara visual, nilai data
digital merepresentasikan warna dari citra yang diolah. Format citra digital yang
banyak dipakai adalah citra Biner (monokrom), citra Skala Keabuan (gray scale),
citra Warna (true color).
Citra digital merupakan sebuah larik (array) yang berisi nilai-nilai real
maupun kompleks yang direpresentasikan dengan deretan bit tertentu. Suatu citra
dapat didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) berukuran N baris dan M kolom, dengan
x dan y adalah koordinat spasial, dan amplitudo f di titik koordinat (x,y)
dinamakan intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik tersebut. Apabila
nilai x, y, dan nilai amplitudo f secara keseluruhan berhingga (finite) dan bernilai
diskrit maka dikatakan bahwa citra tersebut adalah citra digital. Gambar 3.1
menunjukan posisi koordinat citra digital.
Gambar 3.1 Citra digital dalam sumbu koordinat

Dari gambar diatas, citra digital dapat didefinisikan sebagai fungsi dua
variabel, f(x1,y1), dengan x1 dan y1 adalah koordinat  spasial dan  nilai  f(x1, y1)
adalah intensitas citra pada  koordinat  tersebut.

3.3.4 Pengolahan Citra (Image Processing)


Pengolahan citra merupakan proses pengolahan dan analisis citra yang
banyak melibatkan persepsi visual. Proses ini mempunyai ciri data masukan dan
informasi keluaran yang berbentuk citra. Istilah pengolahan citra digital secara
umum didefinisikan sebagai pemrosesan citra dua dimensi dengan komputer.
Dalam definisi yang lebih luas, pengolahan citra digital juga mencakup semua
data dua dimensi. Citra digital adalah barisan bilangan nyata maupun kompleks
yang diwakili oleh bitbit tertentu.
Citra merupakan istilah lain dari gambar yang merupakan komponen
multimedia yang memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi
visual. Citra mempunyai karakteristik yang tidak dimiliki oleh data teks, yaitu
kaya akan informasi. Citra digital adalah citra hasil digitalisasi citra kontinu
(analog). Tujuan dibuatnya citra digital adalah agar citra tersebut dapat diolah
menggunakan komputer atau piranti digital dan memperbaiki kualitas citra agar
mudah diinterpretasi oleh manusia atau mesin (komputer). Teknik-teknik
pengolahan citra mentransformasikan citra menjadi citra lain yang mempunyai
kualitas lebih baik.
Secara umum, langkah-langkah dalam pengolahan citra dapat dijabarkan
menjadi beberapa langkah, yaitu:
1. Akuisisi Citra

Akuisisi citra adalah tahap awal untuk mendapatkan citra digital. Tujuan
akuisisi citra adalah untuk menentukan data yang diperlukan dan memilih metode
perekaman citra digital. Tahap ini dimulai dari objek yang akan diambil
gambarnya, persiapan alat-alat, sampai pada pencitraan. Pencitraan adalah
kegiatan transformasi dari citra tampak (foto, lukisan, gambar, patung,
pemandangaan dan lain-lain) menjadi citra digital. Beberapa alat yang dapat
digunakan untuk pencitraan adalah:
a. Video kamera
b. Kamera digital
c. Kamera konvensional dan converter analog to digital
d. Scanner
e. Photo sinar-x atau sinar infra merah

2. Preprocessing
Tahapan ini diperlukan untuk menjamin kelancaran pada proses
berikutnya. Hal-hal penting yang dilakukan pada tingkatan ini diantaranya adalah:
a. Peningkatan kualitas citra (kontras, brightness, dan lain-lain)
b. Menghilangkan noise
c. Perbaikan citra (image restoration)
d. Transformasi (image transformation)
e. Menentukan bagian citra yang akan diobservasi

3. Segmentasi
Tahapan ini bertujuan untuk mempartisi citra menjadi bagian-bagian
pokok yang mengandung informasi penting. Misalnya, memisahkan objek dari
latar belakang.

4. Representasi dan Deskripsi


Dalam hal ini representasi merupakan suatu proses untuk
merepresentasikan suatu wilayah sebagai suatu daftar titik-titik koordinat dalam
kurva yang tertutup, dengan deskripsi luasan atau perimeternya. Setelah suatu
wilayah dapat direpresentasikan, proses selanjutnya adalah melakukan deskripsi
citra dengan cara seleksi ciri dan ekstraksi ciri (Feature Extraction and Selection).
Seleksi ciri bertujuan untuk memilih informasi kuantitatif dari ciri yang ada, yang
dapat membedakan kelas-kelas objek secara baik, sedangkan ekstraksi ciri
bertujuan untuk mengukur besaran kuantitatif ciri setiap piksel, misalnya rata-rata,
standar deviasi, koefisien variasi, signal to noise ratio (SNR), dan lain-lain.

5. Pengenalan dan interpretasi


Tahap pengenalan bertujuan untuk memberi label pada suatu objek yang
informasinya disediakan oleh descriptor, sedangkan tahap interpretasi bertujuan
untuk memberi arti atau makna kepada kelompok objek-objek yang dikenali.

6. Basis pengetahuan
Basis pengetahuan sebagai basis data pengetahuan berguna untuk
memandu operasi dari masing-masing modul proses dan mengkontrol interaksi
antara modul-modul tersebut. Selain itu, basis pengetahuan juga digunakan
sebagai referensi pada proses template matching atau pada pengenalan pola.

3.3.5 Citra Warna 8-Bit


Setiap pixel dari citra warna (8 bit) hanya diwakili oleh 8 bit dengan
jumlah warna maksimum yang dapat digunakan adalah 256 warna. Ada dua jenis
citra warna 8 bit. Pertama, citra warna 8 bit dengan menggunakan palet warna 256
dengan setiap paletnya memiliki pemetaan nilai (colormap) RGB tertentu. Model
ini lebih sering digunakan. Kedua, setiap pixel memiliki format 8 bit sebagai
berikut.
Tabel 3.1 Format Citra Warna 8-bit
Bit-7 Bit-6 Bit-5 Bit-4 Bit-3 Bit-2 Bit-1 Bit-0
R R R G G G B B

Setiap piksel pada citra warna yang merupakan kombinasi tiga warna
dasar (RGB= Red (merah) Green (hijau) Blue (biru)) sehingga citra warna disebut
juga warna RGB. Setiap warna dasar menggunakan penyimpanan 8 bit = 1 byte,
yang mempunyai kombinasi warna sebanyak juta warna lebih. Itulah sebabnya
format ini dinamakan true color karena mempunyai jumlah warna yang cukup
besar sehingga bisa dikatakan hampir semua warna di alam.
Penyimpanan citra true color di dalam memori berbeda dengan citra
grayscale. Setiap piksel dari citra grayscale memiliki 256 gradasi warna yang
diwakili oleh 1 byte. Sedangkan 1 piksel citra true color diwakili oleh 3 byte,
dimana masing-masing byte mempresentasikan warna merah (Red), hijau (Green)
dan biru (Blue).

3.3.6 Dithering
Dithering merupakan suatu teknik dalam komputer grafik untuk
menciptakan kedalaman warna pada gambar dari sekumpulan warna yang ada.
Dengan cara ini, warna yang tidak tersedia dari color palette akan diciptakan
dangan difusi beberapa pixel dari color palette yang ada. Mata manusia mengenali
difusi ini sebagai pencampuran warna.

Gambar 3.2 Menggunakan web-safe color palette dengan Floyd – Steinberg dithering

Dithering mirip dengan halftoning yang digunakan dalam printing. Cara


kerja dithering adalah dengan mengurangi kedalaman warna dari sebuah gambar
memberikan efek yang cukup signifikan terhadap gambar tersebut. Jika misalnya
sebuah gambar fotografi yang memiliki informasi jutaan warna, maka pembatasan
warna gambar tersebut sesuai color palette tertentu akan membuang banyak
informasi warna. Sebagai contoh, gambar asli dirubah warnanya menjadi web-
safe color palette. Jika warna pixel dirubah ke warna terdekat dari color palette
yang ada, maka tidak ada proses dithering yang terjadi. Akan tetapi, hal ini
berakibat pada kehilangan detil warna serta munculnya bercak dan area dengan
warna yang sama. Dengan menggunakan dithering, hal semacam ini dapat
dikurangi.
Salah satu masalah yang terkait dalam penggunaan palet warna yang tetap
(fixed color palette) yaitu banyak warna yang diperlukan tidak tersedia didalam
palet warna, dan sebaliknya banyak palet warna tersedia tetapi tidak diperlukan.
Maka penggunaan optimized color palette dapat dipakai dalam hal ini. Optimized
color palette membuat warna yang tersedia dipilih berdasarkan seberapa sering
warna tersebut digunakan dalam gambar aslinya. Dengan mengurangi kedalaman
warna menggunakan optimized color palette, maka hasilnya akan lebih bagus.
Jumlah warna yang tersedia dalam palet warna juga mempunyai pengaruh. Jika
sebuah palet hanya memiliki 16 warna, maka gambar asli akan banyak kehilangan
detil warna. Dengan menggunakan dithering, hal ini dapat diminimalisasi.

3.3.7 Aliasing
Dalam proses pengolahan sinyal analog, sinyal input masuk ke Analog
Signal Processing (ASP), diberi berbagai perlakukan (misalnya pemfilteran,
penguatan,dan sebagainya) dan outputnya berupa sinyal analog.

Gambar 3.3 Sistem Pengolahan Sinyal Analog

Proses pengolahan sinyal secara digital memiliki bentuk sedikit berbeda.


Komponen utama system ini berupa sebuah processor digital yang mampu bekerja
apabila inputnya berupa sinyal digital. Untuk sebuah input berupa sinyal analog
perlu proses awal yang bernama digitalisasi melalui perangkat yang bernama
analog-to-digital conversion (ADC), dimana sinyal analog harus melalui proses
sampling, quantizing dan coding. Demikian juga output dari processor digital
harus melalui perangkat digital-to-analog conversion (DAC) agar outputnya
kembali menjadi bentuk analog. Ini bisa kita amati pada perangkat seperti PC,
digital sound system, dan sebagainya. Secara sederhana bentuk diagram bloknya
adalah seperti berikut ini.

Gambar 3.4 Sistem Pengolahan Sinyal Digital

3.3.8 Antialiasing
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa konversi raster-scan
adalah pengisian harga-harga elemen suatu matriks (yaitu frame buffer)
sedemikian rupa sehingga secara visual tergambarkan primitif-primitif grafik yang
bersangkutan. Jadi pada dasarnya adalah semacam diskretisasi obyek tersebut.
Selanjutnya sebagai sesuatu yang diskret, masalah yang timbul adalah distorsi
informasi yang disebut aliasing. Secara visual obyek garis atau batas suatu area
akan terlihat sebagai tangga (efek tangga atau jaggies). Peningkatan resolusi
frame buffer dapat mengurangi efek ini namun tidak dapat dihilangkan sama
sekali karena keterbatasan teknologi (ingat faktor-faktor yang menentukan
resolusi: refresh rate, dan ukuran frame buffer).
Pada sistem raster dengan tingkat intensitas > 2 bisa diaplikasikan metoda
antialiasing dengan memodifikasi intensitas piksel-piksel batas obyek dengan latar
atau obyek lainnya. Modifikasi tersebut akan memperhalus batas-batas tersebut,
sehingga mengurangi penampakan yang jaggies tersebut.
Secara logika metode ini memperhalus ukuran pixel ke dalam subpiksel-
subpiksel dan menggambarkan garis pada grid subpixel tersebut, lalu harga
intensitas suatu pixel ditentukan sesuai dengan berapa banyak subpixelnya dikenai
garis tersebut. Alternatif penghitungan sederhana (rasio) ini adalah dengan
pembobotan dengan mask diskret (Pixelweighting Mask), dan pembobotan dengan
mask kontinyu (continuous filtering).
1.  Pixel-weighting Masks
Alternatif menggunakan rasio secara langsung di atas, teknik filtering
dalam pengolahan citra (bedanya: pengolahan citra pada pixel sedangkan di sini
pada subpixel) dengan suatu mask (atau kernel) sesuai dengan subdivision pixel
misalnya 3x3 subpixel digunakan untuk menghitung. Ada beberapa bentuk mask.
Contohnya:
- Box Mask (berefek averaging)
- Gaussian Mask kadang-kadang mask meliputi juga subpixel di pixel
tetangganya untuk mendapatkan hasil yang lebih smooth.

2. Continuous Filtering
Smoothing mirip weighting mask di atas pada subpiksel-subpiksel (dari
pixel tersebut dan juga dari subpixel tetangganya) namun menggunakan fungsi
permukaan kontinyu: box, konus, atau gaussian. Jadi secara teoritis dilakukan
konvolusi antara fungsi filter dengan fungsi citra pada tingkat subpixel. Secara
praktis untuk mengurangi komputasi digunakan suatu table-lookup dari kombinasi
pixel dengan piksel-piksel tetangganya.
3.4 Langkah Percobaan
3.4.1 Dithering
1. Buatlah sebuah script pada konsul editor Matlab dan simpan dengan
nama “dither1” dengan parameter di, dan function repmat (di, m/4, n/4)
im = imread('lena.bmp');
di = 4*ones(4,4);
[m n] = size(im);
mat = repmat(di, m/4, n/4);
im = im / 17;
dithered = im > mat;
imshow(dithered);
Koding Program 3.1 Dithering

2. Jalankan script tersebut dan simpan hasilnya.


3. Bandingkan hasil gambar luaran script “dither1” dan gambar asli.
4. Gunakan definisi fungsi “repmat” pada Matlab

3.4.2 Colour Maps


1. Buatlah sebuah script pada konsul editor Matlab dan simpan dengan
nama “colormap”
clear all, close all;
imRGB = imread('parrots.jpg');
figure,imshow(imRGB), title('RGB Image');
% Konversi ke 8-bit
[im8bit, cmap8bit] = rgb2ind(imRGB,256);
figure,imshow(im8bit, cmap8bit), title('24-8 Bit
Image');
figure,rgbplot(cmap8bit), title('24-8 Bit Cmap');
% Konversi ke 4-bit
[im4bit, cmap4bit] = rgb2ind(imRGB, 16);
figure,imshow(im4bit, cmap4bit), title('24-4 Bit
Image');
figure,rgbplot(cmap4bit), title('24-4 Bit Cmap');
%Gif (8bit) Cmap.
[imGIF, cmapGIF] = imread('parrots.gif');
figure,imshow(imGIF,cmapGIF),title('24-8Bit Cmap');
figure, rgbplot(cmap8bit), title('GIF(8Bit)Cmap');
% Merubah Colourmap
figure, imshow(imGIF, cmapGIF), title('Jet Cmap');
CMAP (‘jet (255)’);
% Contoh konversi pada ruang warna
berbeda hsv_image24 = rgb2hsv(imRGB); %
24-bit
figure,imshow(hsv_image24),title('HSV24-bit Image');
cmap_hsv8 = rgb2hsv(cmapGIF); % 8-bit
figure, imshow(imGIF,cmap_hsv8),title('HSV 8-bit Cmap
Image')
figure, imshow(imRGB(:,:,1)), title('RGB R
plane');figure, imshow(imRGB(:,:,2)), title('RGB
G Plane'); figure, imshow(imRGB(:,:,3)),
title('RGB B Plane'); figure,
imshow(hsv_image24(:,:,1)), title('HSV H plane');
figure, imshow(hsv_image24(:,:,2)), title('HSV
S Plane');
figure, imshow(hsv_image24(:,:,3)), title('HSV
V Plane');
Koding Program 3.2 Colour Map

2. Jalankan script tersebut dan simpan hasilnya untuk dianalisis lebih lanjut.
3. Bandingkan hasil gambar luaran script “colormap” dan gambar hasil
pada Matlab.

3.4.3 Chroma Subsampling


1. Buatlah sebuah script pada konsul editor Matlab dan simpan dengan
nama “chromasubsampling_eg1”
clear all, close all;
% Iterasi tunggal Chroma subsampling
imRGB = imread('parrots.jpg');
figure, imshow(imRGB), title('RGB Full Image');
imYIQ = rgb2ntsc(imRGB);
% Subsample kanal I dan Q menggunakan subsampling tipe
4:2:0
imYIQsubI = imresize(imYIQ(:,:,2),0.5,'bilinear');
imYIQsubQ = imresize(imYIQ(:,:,3),0.5,'bilinear'); %
Backup resa,ple citra
imYIQupsampI = imresize(imYIQsubI,2);
imYIQupsampQ = imresize(imYIQsubQ,2);
reconstruct_imYIQ= imYIQ; % Copy YIQ untuk Y;
reconstruct_imYIQ(:,:,2) = imYIQupsampI;
reconstruct_imYIQ(:,:,3) = imYIQupsampQ;
% Rekontruksi RGB reconstruct_imRGB =
uint8(256*ntsc2rgb(reconstruct_imYIQ));
figure, imshow(reconstruct_imRGB); title('Reconstructed
RGB Full Image');

% Menampilkan error bidang R,G,B


figure, imshow(256*abs(imRGB(:,:,1) -
reconstruct_imRGB(:,:,1))); title('Reconstructed R
Error');
figure, imshow(256*abs(imRGB(:,:,2) -
reconstruct_imRGB(:,:,2))); title('Reconstructed G
Error');
figure, imshow(256*abs(imRGB(:,:,3) -
reconstruct_imRGB(:,:,3))); title('Reconstructed B
Error');
Koding Program 3.3 Chroma Subsampling

2. Jalankan script tersebut dan simpan hasilnya untuk dianalisis lebih lanjut.
3. Bandingkan hasil gambar luaran script “chromasubsampling_eg1” dan
gambar hasil pada Matlab.
3.4.4 Image Aliasing Errors
1. Buatlah sebuah script pada konsul editor Matlab dan simpan dengan
nama “zoom_alias”
im = imread('parrots.jpg');
zoom = 4
% Mengambil dimensi citra dan hitung pusat dan window
untuk zoom;
[n m o] = size(im)
% Pusat citra nmid = n/2;
mmid= m/2;
xoff = n/(zoom*2);
yoff = m/(zoom*2);
%Potong bagian citra dari pusatnya yang proporsional
untuk zoom
newim = im(nmid-xoff:nmid+xoff,mmid-yoff:mmid+yoff,:);

%zoom image use imresize function newimzoom =


imresize(newim,zoom);
% show images figure(1) imshow(im);
title('Original Image')
figure(2)
imshow(newim);
title('Original Image Cropped')
figure(3)
imshow(newimzoom);
title('Zoomed Image (Aliasing Artifacts)')
Koding Program 3.4 Zoom Alias

2. Jalankan script tersebut dan simpan hasilnya untuk dianalisis lebih lanjut.
3. Bandingkan hasil gambar luaran script “zoom_alias” dan gambar hasil pada
Matlab.

3.5 Gambar dan Data Hasil Percobaan


3.5.1 Dithering
Pada gambar 3.5 menunjukkan hasil koding program 3.1 bernama
dithering yang di tunjukkan sebagai berikut:
Gambar 3.5 Hasil Citra Dithering

3.5.2 Colour Maps


Pada gambar 3.6 sampai gambar 3.21 menunjukkan hasil koding program
3.2 bernama colour maps yang di tunjukkan sebagai berikut:

Gambar 3.6 RGB Image

Gambar 3.7 24-8 Bit Image


Gambar 3.8 24-8 Bit Cmap

Gambar 3.9 24-4 Bit Image

Gambar 3.10 24-4 Bit Cmap


Gambar 3.11 24-8 Bit Cmap

Gambar 3.12 GIF (8 Bit) Cmap

Gambar 3.13 Jet Cmap


Gambar 3.14 HSV 24 Bit Image

Gambar 3.15 HSV 8 Bit Cmap Image

Gambar 3.16 RGB R Plane


Gambar 3.17 RGB G Plane

Gambar 3.18 RGB B Plane

Gambar 3.19 HSV H Plane


Gambar 3.20 HSV S Plane

Gambar 3.21 HSV VPlane

3.5.3 Chroma Subsampling


Pada gambar 3.22 sampai gambar 3.26 menunjukkan hasil koding program
3.3 bernama chroma subsampling yang di tunjukkan di bawah ini:

Gambar 3.22 RGB Full Image


Gambar 3.23 Rekontruksi RGB Full Image

Gambar 3.24 Rekontruksi R Error

Gambar 3.25 Rekontruksi G Error


Gambar 3.26 Rekontruksi B Error

3.5.4 Image Aliasing Errors


Pada gambar 3.27 sampai gambar 3.29 menunjukkan hasil koding program
3.4 bernama image aliasing errors yang di tunjukkan di bawah ini:

Gambar 3.27 Original Image

Gambar 3.28 Original Image Cropped


Gambar 3.29 Zoomed Image
3.6 Analisa Hasil Percobaan
3.6.1 Dithering
Dithering adalah salah satu teknik pada pengolahan citra untuk
mengkonversi gambar grayscale ke bit-map yang digunakan untuk pencetakan.
Pada kondisi ini menggunakan koding program 3.1 dengan menghasilkan program
citra yang di dithering atau citra yang dikonversikan dari grayscale ke bit-map.

Gambar 3.30 Hasil Citra Dithering

Pada gambar 3.30 tampak hasil citra yang terdithering. Berbeda dengan
citra sebelumnya yang hasilnya masih terlihat jelas dan piksel yang digunakan
dari 0 sampai 255. Jika intensitasnya lebih tinggi dari ambang batas yang telah
ditentukan, pixel ditetapkan untuk warna putih. Metode dithering pada gambar
3.30 merupakan metode ordered threshold. Metode ordered threshold tidak
menggunakan ambang tetap untuk seluruh citra (atau nilai acak untuk setiap
piksel), tapi menggunakan ambang batas matriks (ukuran biasanya kecil, kurang
dari 10) dari pola yang telah ditetapkan diberlakukan. Matriks lebih membuka
daerah sudut tertentu dan setiap piksel dari pengembangan citra oleh nilai dari
matriks.

3.6.2 Colour Maps


Colourmap (peta) menetapkan figure colormap saat ini ke colormap yang
ditentukan menurut pemetaanya. Figure colormap mempengaruhi semua sumbu
pada citra, kecuali jika kita mengatur sumbu colormap secara terpisah. Pada
kondisi ini menggunakan koding program 3.2 menampilkan figure colourmap.
Citra yang digunakan adalah citra parrots.jpg. Citra ini kemudian di konversikan
ke dalam 8 bit ( yaitu 256 bit ). Kemudian di konversikan lagi dari citra dengan 8
bit ke citra 4 bit (yaitu 16 bit). Setelah itu dikonversi ke format GIF 8 bit lalu
dirubah colourmapnya. Kemudian citra dikonversikan ke ruang warna yang
berbeda (HSV atau Hue Saturation Value). Dan adapun hasil dari koding
program 3.2 tersebut adalah suatu citra figure colourmap adalah sebagai berikut :

Gambar 3.31 RGB Image

Pada gambar 3.31 adalah citra asli dari figure colourmaps yang memiliki
warna yang jelas dengan kecerahan yang bagus. Citra ini memiliki intensitas nilai
piksel 8 bit (256 bit) dilihat dari warna dan kecerahan pada citra. Citra ini
berikutnya dikonversikan ke dalam intensitas piksel 8 bit.
Adapaun hasil dari konversi citra asli ke konversi citra dengan intensitas
piksel 8 bit dapat dilihat pada gambar 3.32 sebagai berikut :

Gambar 3.32 24-8 Bit Image


Pada gambar 3.32 adalah citra hasil konversi dari citra asli ke citra yang
dikonversikan dengan intensitas piksel 8 bit ( 256 bit ). Pembentukan citra asli ke
citra konversi piksel 8 bit dengan fungsi image 8 bit dan cmap 8 bit menjadi 256
bit. Cmap adalah colourmap mengembalikan matriks tiga kolom triple RGB yang
mendefinisikan figure colourmap saat ini. Citra yang dihasilkan sama dengan citra
aslinya karena citra asli intensitasnya adalah 8 bit atau 256 bit. Maka dari itu
intensitas warna dan kecerahan citra pada gambar 3.32 sama dengan citra aslinya
pada gambar 3.31.
Adapun grafik cmap konversi citra ke intensitas piksel 8 bit dapat dilihat
pada gambar 3.33 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.33 24-8 Bit Cmap

Pada grafik cmap dapat dilihat gambar 3.33. Grafik cmap menandakan
intensitas warna yang digunakan pada citra konversi piksel 8 bit atau 256 bit.
Dapat dilihat pada gambar 3.33, grafik cmap menunjukkan intensitas warna
perbitnya yang digunakan pada citra. Adapun warna – warna yang mendominasi
pada grafik adalah RGB (Red, Green dan Blue) yang memang merupakan standar
pada citra. Grafik yang menandakan warna – warna pada citra sangatlah rapat, itu
berarti menandakan bahwa warna – warna yang digunakan pada citra konversi 8
bit tingkat warna dan kecerahannya jelas dan bagus sama dengan citra aslinya.
Setelah dikonversikan ke piksel 8 bit, citra juga di konversikan ke piksel 4
bit atau 16 bit dengan hasil gambar yang dapat dilihat pada gambar 3.34.

Gambar 3.34 24-4 Bit Image

Pada gambar 3.34 adalah citra yang dikonversikan ke intensitas piksel 4


bit. Pembentukan citra asli ke citra konversi piksel 4 bit dengan fungsi image 4 bit
dan cmap 4 bit menjadi 16 bit. Cmap adalah colourmap untuk mengembalikan
matriks tiga kolom triple RGB yang mendefinisikan figure colourmap saat ini.
Tampak pada citra hasil konversi ke piksel 4 bit berbeda dengan citra aslinya.
Perbedaannya terletak pada intensitas warna pada citra yang tidak setegas dan
secerah citra aslinya atau bisa dikatakan warna pada citra agak pudar.
Adapun hasil dari konversi citra asli ke konversi citra dengan intensitas
piksel 4 bit dapat dilihat pada gambar 3.35 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.35 24-4 Bit Cmap


Pada grafik cmap dapat dilihat gambar 3.35. Grafik cmap menandakan
intensitas warna yang digunakan pada citra konversi piksel 4 bit atau 16 bit. Dapat
dilihat pada gambar 3.35, grafik cmap menunjukkan intensitas warna perbitnya
yang digunakan pada citra, tampak pada grafik, warna – warna yang mendominasi
pada grafik adalah RGB (Red, Green dan Blue) yang memang standar pada citra.
Grafik yang menandakan warna – warna pada citra sangatlah sedikit, itu berarti
menandakan bahwa warna – warna yang digunakan pada citra konversi 4 bit
tingkat warna dan kecerahannya tidak setegas dan sejelas dengan citra aslinya.
Setelah dikonversikan ke piksel 4 bit, citra dikonversikan ke format GIF
dengan intensitas piksel 8 bit yang dapat dilihat pada gambar 3.36.

Gambar 3.36 24-8 Bit Cmap

Pada gambar 3.36 adalah citra yang dikonversikan ke intensitas piksel GIF
8 bit. Pembentukan citra asli ke citra konversi piksel GIF 8 bit dengan fungsi
image 8bit dan cmap 8 bit menjadi 256 bit. Cmap adalah colourmap
mengembalikan matriks tiga kolom triple RGB yang mendefinisikan figure
colourmap saat ini. GIF (Graphics Interchange Format) adalah sebuah format
yang digunakan karena ukurannya yang relatif kecil karena format ini membatasi
ukuran dan jumlah warnanya sebanyak 256 warna. Tampak pada citra hasil
konversi ke piksel GIF 8 bit tampak sedikit berbeda dengan citra aslinya.
Perbedaannya terletak pada warna yang sedikit pudar tetapi tidak sepudar citra
hasil konversi dikarenakan adanya proses lossless compression yang merupakan
sifat dari format GIF.
Adapun grafik cmap konversi citra ke intensitas piksel GIF 8 bit dapat
dilihat pada gambar 3.37 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.37 GIF (8 Bit) Cmap

Pada grafik cmap dapat dilihat gambar 3.37. Grafik cmap menandakan
intensitas warna yang digunakan pada citra konversi piksel GIF 8 bit atau 256 bit.
GIF (Graphics Interchange Format) adalah sebuah format yang digunakan karena
ukurannya yang relatif kecil karena format ini membatasi ukuran dan jumlah
warnanya sebanyak 256 warna. Dapat dilihat pada gambar 3.37, grafik cmap
menunjukkan intensitas warna perbitnya yang digunakan pada citra, tampak pada
grafik, warna – warna yang mendominasi pada grafik adalah RGB (Red, Green
dan Blue) yang memang merupakan warna standar pada citra. Grafik yang
menandakan warna – warna pada citra sangat rapat dan banyak, namun hasil citra
yang sebenarnya memiliki warna yang sedikit memudar karena adanya proses
lossless compression yang merupakan sifat dari format GIF.
Berikutnya adalah perubahan colourmap pada citra dengan format GIF
(Graphics Interchange Format) yang dapat dilihat pada gambar 3.38 adalah
sebagai berikut :
Gambar 3.38 Jet Cmap

GIF (Graphics Interchange Format) adalah sebuah format yang digunakan


karena ukurannya yang relatif kecil karena format ini membatasi ukuran dan
jumlah warnanya sebanyak 256 warna. Pada citra gambar 3.38 adalah hasil
perubahan colourmap. Colourmap menetapkan figure colourmapnya ke
colourmap yang ditentukan menurut pemetaannya. Hasil citra asli dengan citra
hasil perubahan colourmap sangatlah berbeda dari segi warna dan kecerahan pada
citra yang didasari oleh format GIF sebagai lossless compression.
Berikutnya adalah contoh citra konversi pada ruang warna yang berbeda
yang dapat dilihat pada gambar 3.39 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.39 HSV 24 Bit Image

Model HSV (Hue Saturation Value) mendefinisikan warna dalam


terminology Hue, Saturation dan Value. Mekanisme ini lebih sensitif terhadap
variasi dalam kecerahan warna. Pada gambar 3.39 adalah citra yang menggunakan
mekanisme HSV dengan intensitas piksel sebesar 24 bit. Citra ini menunjukkan
bagaimana ketajaman mata manusia dalam mendeteksi kecerahan setiap objek
yang dilihatnya.
Berikutnya adalah contoh citra konversi pada ruang warna yang berbeda
yang dapat dilihat pada gambar 3.40 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.40 HSV 8 Bit Cmap Image

Model HSV (Hue Saturation Value) mendefinisikan warna dalam


terminology Hue, Saturation dan Value. Mekanisme ini lebih sensitif terhadap
variasi dalam kecerahan warna. Cmap adalah colourmap mengembalikan matriks
tiga kolom yang mendefinisikan figure colourmap saat ini. Pada gambar 3.40
adalah citra yang menggunakan mekanisme HSV dengan intensitas piksel sebesar
8 bit atau 256 bit. Citra ini menunjukkan bagaimana ketajaman mata manusia
dalam mendeteksi kecerahan setiap objek yang dilihatnya dengan pemetaan warna
yang sudah ditentukan sehingga citra pada gambar 3.38 memiliki intensitas warna
dan kecerahan yang jelas.
Berikutnya adalah contoh citra konversi pada ruang warna yang berbeda
yang dapat dilihat pada gambar 3.41 adalah sebagai berikut :
Gambar 3.41 RGB R Plane

RGB adalah singkatan dari Red, Green, Blue yaitu model warna
pencahayaan. Pada gambar 3.41 adalah citra hasil RGB R plane, yang artinya
fokus pada warna Red atau merah. Citra yang di fokuskan pada warna merah
memiliki warna yang paling redup dibandingkan warna lainnya.
Berikutnya adalah contoh citra konversi pada ruang warna yang berbeda
yang dapat dilihat pada gambar 3.42 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.42 RGB G Plane

RGB adalah singkatan dari Red, Green, Blue yaitu model warna
pencahayaan. Pada gambar 3.42 adalah citra hasil RGB G plane, yang artinya
fokus pada warna Green atau hijau. Citra yang di fokuskan pada warna merah
memiliki warna yang paling redup dibandingkan warna lainnya.
Berikutnya adalah contoh citra konversi pada ruang warna yang berbeda
yang dapat dilihat pada gambar 3.43 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.43 RGB B Plane

RGB adalah singkatan dari Red, Green, Blue yaitu model warna
pencahayaan. Pada gambar 3.43 adalah citra hasil RGB B plane, yang artinya
fokus pada warna blue atau biru. Citra yang di fokuskan pada warna merah
memiliki warna yang paling redup dibandingkan warna lainnya.
Berikutnya adalah contoh citra konversi pada ruang warna yang berbeda
yang dapat dilihat pada gambar 3.44 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.44 HSV H Plane

Model HSV (Hue Saturation Value) mendefinisikan warna dalam


terminology Hue, Saturation dan Value. Hue adalah apa yang biasanya kita sebut
sebagai ‘warna’ dalam bahasa sehari-hari. Istilah hue berarti kombinasi dari
warna-warna dasar, dengan kata lain, merah, hijau, biru atau kuning (RGB).
Mekanisme ini lebih sensitif terhadap variasi dalam kecerahan warna. Pada citra
gambar 3.44 adalah citra pada gambar 3.41 yang menggunakan mekanisme HSV
untuk tingkat kualitas kecerahan pada citra.
Berikutnya adalah contoh citra konversi pada ruang warna yang berbeda
yang dapat dilihat pada gambar 3.45 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.45 HSV S Plane

Model HSV (Hue Saturation Value) mendefinisikan warna dalam


terminology Hue, Saturation dan Value. Saturation menunjukkan intensitas dari
hue. Warna-warna dasar yang terang adalah warna dengan saturation tinggi,
sementara warna-warna pastel saturationnya rendah. Monochrome (hitam dan
putih) seluruhnya tidak memiliki saturation karena tidak punya intensitas warna
di dalamnya. Mekanisme ini lebih sensitif terhadap variasi dalam kecerahan
warna. Pada citra gambar 3.45 adalah citra pada gambar 3.42 yang menggunakan
mekanisme HSV untuk tingkat kualitas kecerahan pada citra.
Berikutnya adalah contoh citra konversi pada ruang warna yang berbeda
yang dapat dilihat pada gambar 3.46 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.46 HSV VPlane


Model HSV (Hue Saturation Value) mendefinisikan warna dalam
terminology Hue, Saturation, dan Value. Lightness (yang kadang-kadang disebut
juga sebagai value atau tone) berhubungan dengan tajam atau tidaknya sebuah
warna atau tingkat hitam atau putih pada skala warna. Sebuah warna dengan value
yang rendah berarti lebih dekat dengan hitam, sementara yang memiliki value
tinggi lebih dekat dengan putih. Mekanisme ini lebih sensitif terhadap variasi
dalam kecerahan warna. Pada citra gambar 3.46 adalah citra pada gambar 3.43
yang menggunakan mekanisme HSV untuk tingkat kualitas kecerahan pada citra.

3.6.3 Chroma Subsampling


Chroma subsampling adalah sebuah pengkodingan citra dengan
menerapkan resolusi yang rendah untuk informasi chroma. Pada kondisi ini
menggunakan koding program 3.3 menampilkan chroma subsampling. Koding
program 3.3 adalah koding progam chroma subsampling. Citra yang digunakan
adalah citra parrots.jpg. Chroma subsampling adalah sebuah pengkodingan citra
dengan menerapkan resolusi yang rendah untuk informasi chroma. Pertama citra
yang akan di gunakan di rekontruksi dahulu, setelah itu citra akan di tampilkan
errornya pada bidang RGB. Dan adapun hasil dari koding program 3.3 tersebut
adalah suatu citra chroma subsampling adalah sebagai berikut:

Gambar 3.47 RGB Full Image

Pada gambar 3.47 adalah citra yang akan di deteksi errornya pada bidang
RGB yang memiliki warna yang jelas dengan kecerahan yang bagus. Citra ini
memiliki intensitas nilai piksel 8 bit (256 bit) dilihat dari warna dan kecerahan
pada gambar. Citra ini berikutnya dikonversikan ke dalam intensitas piksel 8 bit.
Berikutnya adalah rekontruksi citra yang akan di chroma subsampling
yang dapat dilihat pada gambar 3.48 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.48 Rekontruksi RGB Full Image

Pada gambar 3.48 adalah citra yang sudah di rekontruksi. Citra ini diambil
samplenya (proses subsampling) dengan menghilangkan beberapa informasinya
namun hasilnya masih sama dengan citra aslinya. Kemudian citra ini ditampilkan
errornya pada tiap bidang Red, Green, dan Blue dapat dilihat pada gambar 3.49,
gambar 3.50 dan gambar 3.51 sebagai berikut :

Gambar 3.49 Rekontruksi R Error

Chroma subsampling adalah sebuah pengkodingan gambar dengan


menerapkan resolusi yang rendah untuk informasi chroma. Pada gambar 3.49
adalah hasil rekontruksi dari citra asli yang sudah dihilangkan beberapa
informasinya. Hasil rekontruksi citra ini adalah rekontruksi pada red atau warna
merah yang error akibat citra tersebut di kompresi atau dihilangkan beberapa
bagian informasinya pada sisi RGB Red plane. Berikutnya adalah rekontruksi
citra G error yang akan di chroma subsampling yang dapat dilihat pada gambar
3.50 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.50 Rekontruksi G Error

Chroma subsampling adalah sebuah pengkodingan gambar dengan


menerapkan resolusi yang rendah untuk informasi chroma. Pada gambar 3.50
adalah hasil rekontruksi dari citra asli yang sudah dihilangkan beberapa
informasinya. Hasil rekontruksi citra ini adalah rekontruksi pada green atau warna
hijau yang error akibat citra tersebut dikompresi atau dihilangkan beberapa
bagian informasinya pada sisi RGB Green plane.
Berikutnya adalah rekontruksi citra G error yang akan di chroma
subsampling yang dapat dilihat pada gambar 3.51 adalah sebagai berikut :

Gambar 3.51 Rekontruksi B Error


Chroma subsampling adalah sebuah pengkodingan gambar dengan
menerapkan resolusi yang rendah untuk informasi chroma. Pada gambar 3.51
adalah hasil rekontruksi dari citra asli yang sudah dihilangkan beberapa
informasinya. Hasil rekontruksi citra ini adalah rekontruksi pada blue atau warna
biru yang error akibat citra tersebut di kompresi atau dihilangkan beberapa bagian
informasinya pada sisi RGB Blue plane.
Perbedaan tiap citra yang direkontruksi adalah hilangnya beberapa
informasi pada masing – masing warna RGB pada citra. Tampak rekontruksi
error yang paling sedikit errornya adalah pada Blue plane karena unsur warna
biru pada citra sangatlah sedikit dibandingkan warna merah maupun hijau
sehingga bentuk gambar yang dihasilkan lebih menyerupai gambar aslinya.

3.6.4 Image Aliasing Errors


Aliasing adalah suatu efek yang muncul karena citra atau sinyal yang
disampling tidak mencapai frekuensi maksimum. Makin besar frekuensi
samplingnya, maka sinyal akan semakin terhindar dari aliasing. Pada kondisi ini
menggunakan koding program 3.4 untuk menampilkan image aliasing errors pada
sebuah citra dengan menggunakan citra parrots.jpg. Adapun hasil dari koding
program 3.4 tersebut adalah suatu citra image aliasing errors adalah sebagai
berikut :

Gambar 3.52 Original Image


Pada gambar 3.52 adalah citra yang akan dialiasing yang memiliki warna
yang jelas dengan kecerahan yang bagus. Citra ini memiliki intensitas nilai piksel
8 bit (256 bit) dilihat dari warna dan kecerahan pada gambar. Berikutnya citra ini
di crop pada bagian paruh burung yang dapat dilihat pada gambar 3.53.

Gambar 3.53 Original Image Cropped

Pada gambar 3.54 adalah citra asli yang sudah dicropped dan setelah itu
citra di zoom dan di aliasing.

Gambar 3.54 Zoomed Image

Zoom adalah pengubahan resolusi atau tidak memperoleh citra resolusi


yang tidak memadai. Aliasing adalah suatu efek yang muncul karena citra atau
sinyal yang disampling tidak mencapai frekuensi maksimum. Makin besar
frekuensi samplingnya, maka sinyal terhindar dari aliasing. Aliasing pada sebuah
citra akan tampak seperti tangga berundak yang begerigi atau tampak seperti
gambar 3.54.
3.7 Simpulan
Pada percobaan yang telah di lakukan maka dihasilkan simpulan sebagai
berikut:
1. Dithering adalah salah satu teknik pada pengolahan citra untuk
mengkonversi gambar grayscale ke bit-map yang digunakan untuk
pencetakan.
2. Colourmap pada citra bergerak dengan format .gif dengan level warna 256
atau 8 bit menghasilkan distribusi warna RGB yang sama rapatnya dengan
citra yang format .jpeg.
3. Chroma subsampling adalah sebuah pengkodingan citra dengan
menerapkan resolusi yang rendah untuk informasi chroma. Hasil
rekontruksi sampling ini menyebabkan error pada color channel red,
green, maupun blue dimana rekontruksi error yang paling sedikit errornya
adalah pada Blue plane karena unsur warna biru pada citra asli sangat
sedikit.
4. Aliasing adalah suatu efek yang muncul karena citra atau sinyal yang
disampling tidak mencapai frekuensi maksimum. Makin besar frekuensi
samplingnya, maka sinyal terhindar dari aliasing. Hal ini dikarenakan
munculnya frekuensi dari sinyal yang disampling lainnya.
5. Konversi warna dari RGB ke HSV menghasilkan citra dengan kondisi
warna yang berbeda. Kandungan warna Hue, Saturation, dan Value pada
citra HSV memiliki color channel yang berbeda. Color channel red, green
dan blue pada citra RGB juga memiliki color channel yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai