TINJAUAN MATERI
T4 ke peredaran darah.
http://poskotanews.com/2012/07/27/jangan-anggap-enteng-gangguan-fungsi-
kelenjar-tiroid/
Distribusi dalam plasma terikat pada protein plasma protein bound iodine (PBI),
sebagian besar PBI T4, sebagian kecil PBI T3 terikat pada protein jaringan yang
bebas dalam keadaan keseimbangan. Reaksi yang diperlukan untuk sintesis dan
sekresi hormon tiroid:
1. Transpor aktif yodium dari plasma ked alam tiroid dan lumen dari folikel-
folikel, proses ini dibantu oleh thyrotrop stimulating hormone (TSH).
2. Dalam kelenjar yodium tiroid dioksidasi sehingga menjadi yodium yang aktif
dan dibantu oleh TSH.
1
3. Idiotirosin mengalami perubahan kondensasi oksidatif dengan bantuan
peroksidase. Reaksi terjadi dalam molekul trigobulin membentuk iodotironin di
antaranya T4 (tetraiodotironin) dan T3 (triiodotironin) yang terikat pada tirosin,
dalam kelenjar tiroid dalam bentuk tirosin.
4. Tahap terakhir, pelepasan iodotironin bebas ke dalma darah. Setelahtrigobulin
dipecah melalui hidrolisis, T4 dan T3 dalam kelenjar tiroid dapat lepas dalma
darah.
Sel-sel dari folikel tiroid menyebabkan yodium dalam bentuk yodida yang
diserap dari pembuluh kapiler terdapat di sekeliling setiap folikel. Yodida yang
diserap akan bergabung dengan protein membentuk tirgobulin yang akan disekresi
ke dalam lumen dari setiap folikel dan membentuk koloid. Tirgobulin diuraikan
oleh enzim proteolitis menjadi tiroksin, merupakan salah satu hormon dari kelenjar
tiroid. Di dalam pembuluh darah tiroksin akan berkaitan dengan molekul protein.
2
Insulin (bahasa latin insula, “pulau”, karena diproduksi di pulau-pulau
Langerhans di pankreas) adalah sebuah hormon yang terdiri dari 2 rantai
polipeptida yang mengatur metabolisme karbohidrat (glukosa menjadi
glikogen). Dua rantai dihubungkan oleh ikatan disulfida pada posisi 7 dan 20 di
rantai A dan posisi 7 dan 19 di rantai B (Guyton & Hall, 2012).
Insulin dihasilkan didarah dalam dengan bentuk bebas dengan waktu paruh
plasma ±6 menit, bila tidak berikatan dengan reseptor pada sel target, maka akan
didegradasi oleh enzim insulinase yang dihasilkan terutama di hati dalam waktu
10-15 menit (Guyton dan Hall, 2006). Peningkatan kadar glukosa darah dalam
tubuh akan menimbulkan respons tubuh berupa peningkatan sekresi insulin.
Bila sejumlah besar insulin disekresikan oleh pankreas, kecepatan
pengangkutan glukosa ke sebagian besar sel akan meningkat sampai 10 kali
lipat atau lebih dibandingkan dengan kecepatan tanpa adanya sekresi insulin.
Sebaliknya jumlah glukosa yang dapat berdifusi ke sebagian besar sel tubuh
tanpa adanya insulin, terlalu sedikit untuk menyediakan sejumlah glukosa yang
dibutuhkan untuk metabolisme energi pada keadaan normal, dengan
pengecualian di sel hati dan sel otak (Guyton & Hall, 2012).
3
Pada kadar normal glukosa darah puasa sebesar 80-90 mg/100ml, kecepatan
sekresi insulin akan sangat minimum yakni 25mg/menit/kg berat badan. Namun
ketika glukosa darah tiba-tiba meningkat 2-3 kali dari kadar normal maka
sekresi insulin akan meningkat yang berlangsung melalui 2 tahap (Guyton &
Hall, 2012) :
1. Ketika kadar glukosa darah meningkat maka dalam waktu 3-5 menit kadar
insulin plasama akan meningkat 10 kali lipat karena sekresi insulin yang sudah
terbentuk lebih dahulu oleh sel-sel beta pulau langerhans. Namun, pada menit
ke 5-10 kecepatan sekresi insulin mulai menurun sampai kirakira setengah dari
nilai normalnya.
2. Kira-kira 15 menit kemudian sekresi insulin mulai meningkat kembali untuk
kedua kalinya yang disebabkan adanya tambahan pelepasan insulin yang sudah
lebih dulu terbentuk oleh adanya aktivasi beberapa sistem enzim yang
mensintesis dan melepaskan insulin baru dari sel beta.
4
Kelenjar Hipofisis (pituitary) disebut juga master of gland atau kelenjar
pengendali karena menghasilkan bermacam-macam hormon yang mengatur
kegiatan kelenjar lainnya. Kelenjar ini berbentuk bulat dan berukuran kecil,
dengan diameter 1,3 cm. Hipofisis dibagi menjadi hipofisis bagian anterior,
5
merangsang kelenjar adrenal untuk
mensekresikan glukokortikoid (hormon
yang dihasilkan untuk metabolisme
karbohidrat)
Prolaktin (PRL) atau Lactogenic Membantu kelahiran dan memelihara
hormone (LTH) sekresi susu oleh kelenjar susu
Hormon gonadotropin pada wanita : Merangsang pematangan folikel dalam
1. Follicle Stimulating Hormone ovarium dan menghasilkan estrogen
(FSH)
2. Luteinizing Hormone (LH) Mempengaruhi pematangan folikel dalam
ovarium dan menghasilkan progestron
Hormone gonadotropin pada pria : Merangsang terjadinya spermatogenesis
1. FSH (proses pematangan sperma)
2. Interstitial Cell Stimulating Merangsang sel-sel interstitial testis untuk
Hormone (ICSH) memproduksi testosteron dan androgen
B. KOMA MIKSEDEMA
1.1 DEFINISI
Hipotiroidisme suatu penyakit kronis yang sering terjadi pada wanita, terjadi
pada semua usia namun sebagian besar terjadi pada usia 50 tahun.
Hipotiroidisme terjadi akibat defisiensi pembentukan hormon tiroid oleh
kelenjar tiroid. Pembentukan hormon tiroid yang rendah mengakibatkan
6
keadaan klinis yang disebut hipotiroidisme. Hipotiroidisme biasanya
disebabkan oleh proses primer dimana jumlah produksi hormon tiroid oleh
kelenjar tiroid tidak mencukupi. Dapat juga sekunder oleh karena gangguan
sekresi hormon tiroid yang berhubungan dengan gangguan sekresi Thyroid
Stimulating Hormone (TSH) yang adekuat dari kelenjar hipofisis atau karena
gangguan pelepasan Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) dari hipotalamus
(hipotiroid sekunder atau tersier). Manifestasi klinis pada pasien akan
bervariasi, mulai dari asimtomatis sampai keadaan koma dengan kegagalan
multiorgan (koma miksedema).
Hal ini sering terjadi pada wanita, sekitar 10% sampai 15% pasien lansia
mengalami peningkatan TSH akibat hipotiroidisme. Hipertiroidisme
disebabkan kelainan struktural dan fungsional dari kelenjar tiroid sehingga
sintesis dari hormon tiroid menjadi insufisiensi. Diseluruh dunia penyebab
hipotiroidisme terbanyak adalah akibat kekurangan iodium. Sementara itu
dinegara-negara dengan asupan iodium yang mencukupi, penyebab tersering
adalah tiroiditis autoimun. Di daerah endemik, prevalensi hipotiroidisme adalah
5 per 1000, sedangkan prevalensi hipotiroidisme subklinis sebesar 15 per 1000.
Hipotiroidisme umumnya lebih sering dijumpai pada wanita, dengan
perbandingan angka kejadian hipotiroidisme primer di Amerika adalah 3,5 per
1000 penduduk untuk wanita dan 0,6 per 1000 penduduk untuk pria
Koma miksedema adalah kondisi mengancam jiwa yang langka. Keadaan
ini merupakan dekompresi hipotiroidimes berat dimana pasien hipotermia dan
tidak sadar (Hinkle. L dan Kerry, 2014). Koma miksedema merupakan
kegawatan yang mengancam hidup, yang terjadi akibat keadaan hipotiroidisme
ektrim (Patricia, 2012). Koma miksedema adalah suatu kondisi dengan
disfungsi tiroid yang mendasari menunjukan gambaran hipotiroidime yang
berlebihan (Susan, 2011). Miksedema dewasa mempunyai gejala nonspesifik,
timbulnya sangat perlahan dengan gejala konstipasi, latergi, tidak tahan dingin,
otot tegang dan sering keram.
Kesimpulannya bahwa koma miksedema adalah suatu keadaan kegawatan yang
mengancam jiwa dengan menunjukan hipotiroidisme yang berlebihan yang
lebih sering insidennya terjadi pada wanita.
7
1.2 ETIOLOGI
Etiologi dari koma miksedema yaitu:
1. Hipotiroidisme berat
2. Pembedahan kelenjar tiroid
3. Pengaruh radioaktif yodium pada pengobatan gangguan tiroid
4. Malfungsi kelenjar tiroid
Kadar hormon tiroid menurun, kadar tiroid stimulating hormon (TSH) dan
tiroid releaxing hormon (TRH) meningkat karena tidak adanya umpan balik
negatif oleh hormon tiroid pada hipofisis anterior dan hipotalamus.
1.3 PATOFISIOLOGI
1. Kelemahan
2. Suhu tubuh biasanya rendah (hipotermi), suhu inti mungkin serendah 26,6 o
C
3. Penurunan kesadaran, koma.
4. Edema
8
5. Kesulitan bernafas
6. Kadar oksigen yang rendah
7. Penumpukan cairan di sekitar paru-paru
8. Kerja jantung melambat dan terjadi gangguan pemompaan darah.
9. Peningkatan cairan dalam tubuh sebagai contoh penurunan kadar natrium
karena pengenceran yang disebabkan oleh tubuh mempertahankan air
ekstra.
1.5 KOMPLIKASI
Krisis miksedema dapat menyebabkan kematian yang diakibatkan oleh
komplikasi dari infeksi, perdarahan dan kegagalan nafas.
9
4. Hipotermia harus dihindari dengan memakai selimut yang tebal, suhu
ruangan hangat.
5. Hiponatremia dan hipoglikemia sering terjadi, dan harus diobati dengan
benar. Misalnya dengan pemberian cairan infus yang mengandung dextrose.
C. KRISIS TIROID
1.1 DEFINISI
Krisis tirotoksis adalah bentuk hipertiroidisme yang parah dan sering
kali dihubungkan dengan stres psikologis atau fisiologis. Ketika kondisi tiroid
memburuk secara kritis, kondisi ini disebut krisi tiroid. (Jane Kapustin, 2011)
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan eksaserbasi lanjut dari kondisi
hipertiroid dengan karakteristik kegagalan organ pada satu atau lebih sistem
organ. (Migneco et al, 2005). Krisis tiroid adalah keadaan krisis terburuk dari
status tirotoksik. Penurunan kondisi yang sangat cepat dan kematian dapat
terjadi jika tidak segera ditangani. (Hudak & Galo, 2010)
Jadi, Krisis tiroid merupakan suatu bentuk kegawatdaruratan yang
merupakan suatu keadaan eksaserbasi lanjut dari tirotoksikosis dengan
karakteristik dekompensasi organ yang dapat dengan segera menimbulkan
kematian jika pasien tidak mendapatkan penanganan yang segera.
1.2 ETIOLOGI
10
Krisis tiroid juga dikaitkan dengan hipokalsemia berat. Seorang kasus
wanita berusia 30 tahun dengan krisis tiroid dan gangguan fungsi ginjal
menunjukkan adanya hipokalsemia. Hipokalsemia pada kasus tersebut telah ada
saat kreatinin serumnya masih normal. Kadar serum normal fragmen ujung
asam amino hormon paratiroid dalam keadaan hipokalsemia pada kasus tersebut
menunjukkan adanya gangguan fungsi paratiroid. Karena kadar serum
magnesiumnya normal dan tidak memiliki riwayat operasi tiroid ataupun terapi
radio-iodium, hipoparatiroidisme yang terjadi dianggap idiopatik. Kasus ini
adalah kasus ketujuh yang disebutkan di literatur tentang penyakit Grave yang
disertai hipoparatiroidisme idiopatik.
Krisis tiroid dilaporkan pula terjadi pada pasien nefritis interstisial.
Kasus seorang pria berusia 54 tahun yang telah diterapi dengan tiamazol (5
mg/hari) menunjukkan kadar hormon tiroid yang meningkat tajam setelah
dilakukan eksodontia. Meskipun dosis tiamazol yang diresepkan dinaikkan
setelah eksodontia pada hari keempat, pria ini mengalami krisis tiroid pada hari
ke-52 pasca eksodontia. Temuan laboratoris juga menunjukkan disfungsi ginjal
(kreatinin 1,8 mg/dL pada hari ke 37 pasca eksodontia). Kadar hormon tiroid
kembali dalam batas normal setelah tiroidektomi subtotal. Namun, kadar serum
kreatinin masih tetap tinggi. Pria ini kemudia didiagnosis dengan nefritis
interstisial berdasarkan hasil biopsi ginjal dan diterapi dengan prednisolon 30
mg/hari. Kasus ini mewakilit kejadian krisis tiroid yang terjadi meskipun
tiamazol ditingkatkan dosisnya setelah eksodontia. Tampak bahwa nefritis
interstisial sebagaimana pula eksodontia merupakan faktor yang dapat
meningkatkan fungsi tiroid. Setelah buruknya respon terhadap obat anti-tiroid,
penting untuk mencegah krisis tiroid dengan menentukan faktor-faktor ini dan
pengobatan yang sesuai.
1.3 PATOFISIOLOGIS
Mekanisme fisiologis yang diduga menyebabkan krisis tiroid adalah
pelepasan hormon tiroid secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang besar, toleransi
jaringan yang rendah terhadap Triidotironin (T3) dan Tiroksin (T4),
hiperaktivitas adrenergik, lipolisis dan produksi asam lemak yang berlebihan.
Penghentian pelepasan hormon tiroid dalam jumlah besar menyebabkan
manifestasi hipermetabolik yang dijumpai selama krisis tiroid. Berbagai
11
manifestasi yang berbeda dari endokrin, reproduksi, gastrointestinal,
integumen, dan manifestasi okular disebabkan oleh peningkatan kadar hormon
tiroid dalam sirkulasi dan oleh stimulasisistem saraf simpatis.
Hiperaktivitas adrenergik dianggap berhubungan dengan krisis tiroid.
Meskipun hormon tiroid dan katekolamin memiliki efek saling menguatkan,
kadar katekolamin selama krisis tiroid biasanya dalam rentang normal.
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing
hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk
menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang
memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini
menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama
oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan
T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara
biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar
T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis
pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar
di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam
merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang
melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari
tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang
semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa
peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel
tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi
untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa
hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine
monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan
kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien
tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori
berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid
dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien
dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak
meningkat, pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul.
12
Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang
sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan
kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin.
Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid
setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini.
Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan
ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-
blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat
patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat
terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar
hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat
ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat
pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI).
Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan
terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada keadaan
tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat
kemiripan strukturnya dengan katekolamin.
1.4 MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari kritis tiroid merupakan suatu kondisi ekstrem dari
keadaan tirotoksikosis. Semakin parahnya, gejala dari tirotoksikosis patut
diwaspadai, karena kondisi seperti ini akan jatuh pada tahap krisis tiroid.
Migneco (2014) menjelaskan bahwa gambaran klinis dari krisis tiroid
terbagi menjadi 4 hal utama, yaitu : 1) demam tinggi, 2) gangguan
kardiovaskuler seperti sinus takikardi atau variasi aritmia supraventrikuler
(takikardi atrial paroksisimal, atrial fibrilasi, atrial flutter), dan dapat dijumpai
gagal jantung kongestif, 3) gangguan sistem saraf pusat (agitasi, kegelisahan,
kebingungan, delirium, dan koma), 4) gangguan gastrointestinal seperti muntah
dan diare, 5) gangguan pernapasan (takipnea), 6) Hiperglikemia.
13
1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Seperti yang telah dijelaskan di atas penegakkan diagnosa krisis tiroid
berdasarkan temuan-temuan klinis, bukan berdasarkan hasil laboratorium.
Hasil laboratorium dapat berguna untuk mengidentifikasi faktor pencetus.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan
ultratiroid scan. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan keadaan dari
hipertiroidisme yang ditunjukkan dengan gambaran khas dari basedow’s
disease atau nodular goiter dengan karakteristik warna-pola Doppler dari
hiperaktivitas kelenjar tiroid. Sehingga, hal ini dapat membedakan kelenjar
normal dengan mudah (Migneco et al, 2005).
c. Pemeriksaan Lainnya
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah ECG. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk memonitor cardiac aritmia, dimana kasus atrial fibrilasi
paling banyak ditemukan pada pasien dengan krisis tiroid. Aritmia yang lain
seperti halnya flutter, ventrikular takikardi juga dapat terjadi pada kasus ini
(Misra, 2010).
14
1.6 PENATALAKSANAAN
a. Pre Hospital
1) Jika terjadi hipertermi kompres dengan spons yang dingin, es dan alkohol.
2) Menjaga pola makan yang benar teratur.
3) Mengkonsumsi air minum dengan teratur.
4) Rutin kontrol ke dokter.
b. Intra Hospital
Ada tiga komponen utama pengobatan krisis tiroid yaitu
1) Koreksi hipertiroidisme
a) Mengahambat sintesis hormone tiroid
Obat yang dipilih adalah profiltiorasil (PTU) atau metimasol. PTU lebih
banyak dipilih karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer.
PTU di berikan melalui selang nasogastric dengan dosis awal 600-1000mg
kemudian diikuti 200-250mg setiap 4 jam (dosisi total 1200-1500/hari).
Metimasol di berikan dengan dosis 20mg tiap 4 jam (dosis total
120mg/hari), bisa di berikan dengan atau tanpa dosis awal 60-100 mg.
b) Menghambat sekresi hormone yang telah terbentuk
Obat pilihan adalah larutan kalium iodide pekat (SSKI) dengan dosis 5
tetes setiap 6 jam atau larutan lugol 30tts/hari dengan dosis terbagi 4,
Menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer, termasuk : PTU, Ipodate,
atau Ioponoad, pekat be ta (Propanolol), kortikosteroid.
c) Menurunkan kadar hormone secara langsung
Dengan plasma plasma feresis, tukar plasma, dialysis peritoneal,
transfuse tukar, dan charcoal plasma perfusion. Hal ini dlakukan bila dengan
pengobatan konvensional tidak berhasil.
d) Terapi definitive
Iodione radioaktif dan pembedahan (tiroidektomi atau total).
2) Menormalkan dekompensasi homeostatis
a) Terapi suportif
(1) Dehidrasi dan keseimbangan elektrolit segera diobati dengan cairan
intravena
(2) Glukosa untuk kalori dan cadangan glikogen
(3) Multivitamin, terutama vitamin b
(4) Obat aritmia, gagal jantung kongestif
15
(5) Lakukan pantauan invasive bila diperlukan (suplemen O2)
(6) Obati hipertermia
(7) Glukokortikoid (hidrokortison 100mg/8 jam) atau dexametason 2mg/6jam
b) Obat anti adrenergic
Yang tergolong obat ini adalah penyekat beta, reserpine, gunetidin.
Reseptin dan guinetidin kini praktis tidak dipakai lagi di ganti dengan
penyekat beta. Penyekat beta yang paling banyak di pakai adalah
propranolol. Dosisnya yaitu 20-40 mg peroral atau 1-5 mg IV setiap 6 jam,
bila diperlukan dapat dinaikan 240-480 mg/hari/po. Pada penderita dengan
kontran Taindikasi terhadap penyekat beta dapat diberikan guanetidin
dengan dosis 1-2mg/kg/hari dosis terbagi atau reserphin 2,5-5 mg/4-6jam
3) Terapi untuk faktor pencetus
Obat secara agresif faktor pencetus yang di ketahui. Terutama mencari
faktor infeksi, misalnya dilakukan kulturdarah, urin dan sputum, juga foto
dada. Obat-obatan: Amiodaron, Penyekat beta, Penggantian tiroid
iatrogenic
D. HIPOGLIKEMIA
1.1 DEFINISI
Hipoglikemia atau penurunan kadar gula darah merupakan keadaan dimana
kadar glukosa darah berada di bawah normal, yang dapat terjadi karena
ketidakseimbangan antara makanan yang dimakan, aktivitas fisik dan obat-obatan yang
digunakan. Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis antara lain penderita
merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan menjadi kabur dan gelap, berkeringat
dingin, detak jantung meningkat dan terkadang sampai hilang kesadaran (syok
hipoglikemia) (Nabyl, 2009).
Hipoglikemia merupakan suatu kegagalan dalam mencapai batas
normal kadar glukosa darah (Kedia,2011).
Hipoglikemia adalah efek samping yang paling sering terjadi akibat terapi
penurunan glukosa darah pada pasien DM dan pengontrolan glukosa darah secara
intensif selalu meningkatkan risikp terjadinya hipoglikemia berat. Hipoglikemia lebih
sering terjadi pada DM tipe 1 dengan angka kejadian 10%-30% pasien per tahun dengan
angka kematiannya 3%-4%, sedangkan pada DM tipe 2 angka kejadiannya 1,2 % pasien
per tahun (Gruden et al, 2012).
16
Kesimpulan, Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang
mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar glukosa darah kurang dari batasan
normal.
1.2 ETIOLOGI
1. Aktivitas fisik yang berat
2. Keterlambatan makanan
3. Puasa
4. Penurunan respon hormonal (adrenergik)
5. Regimen insulin yang tidak fisiologis.
6. Overdosis insulin atau sulfonylurea
7. Gerak badan tanpa kompensasi makanan
8. Penyakit ginjal stadium akhir
9. Penyakit hati stadium akhir
10. Konsumsi alcohol
11. Kebutuhan insulin
12. Penyembuhan dari keadaan stress
13. Penggunaan zat – zat hipoglikemia
1.3 PATOFISIOLOGI
Seperti sebagian besar jaringan lainnya, matabolisme otak terutama bergantung
pada glukosa untuk digunakan sebagai bahan bakar. Saat jumlah glukosa terbatas, otak
dapat memperoleh glukosa dari penyimpanan glikogen di astrosit, namun itu dipakai
dalam beberapa menit saja. Untuk melakukan kerja yang begitu banyak, otak sangat
tergantung pada suplai glukosa secara terus menerus dari darah ke dalam jaringan
interstitial dalam system saraf pusat dan saraf-saraf di dalam system saraf tersebut.
17
Oleh karena itu, jika jumlah glukosa yang di suplai oleh darah menurun, maka akan
mempengaruhi juga kerja otak. Pada kebanyakan kasus, penurunan mental seseorang
telah dapat dilihat ketika gula darahnya menurun hingga di bawah 65 mg/dl (3.6 mM).
Saat kadar glukosa darah menurun hingga di bawah 10 mg/dl (0.55 mM), sebagian
besar neuron menjadi tidak berfungsi sehingga dapat menghasilkan koma.
Patogenesis pada waktu makan cukup tersedia sumber energi yang diserap dari
usus. Kelebihan energi disimpan sebagai makromolekul dan dinamakan fase anabotik.
60% dari glukosa yang di serap usus dengan pengaruh insulin akan di simpan di hati
sebagai glikogen, sebagian dari sisanya akan disimpan di jaringan lemak dan otot
sebagai glikogen juga. Sebagian lagi dari glukosa akan mengalami metabolisme
anaerob maupun aerob untuk energi seluruh jaringan tubuh terutama otak sekitar 70%
pemakaian glukosa berlangsung di otak tidak dapat menggunakan asam lemak bebas
sebagai sumber energi.
Pencernaan dan penyerapan protein akan menimbulkan peningkatan asam amino di
dalam darah yang dengan bantuan insulin akan disimpan di hati dan otak sebagai
protein. Lemak diserap dari usus melalui saluran limfe dalam bentuk kilomikron
yang kemudian akan dihidrolasi oleh lipoprotein lipase menjadi asam lemak. Asam
lemak akan mengalami esterifikasi dengan gliserol membentuk trigliserida, yang akan
disimpan di jaringan lemak. Proses tersebut berlangsung dengan bantuan insulin.
Pada waktu sesudah makan atau sesudah puasa 5-6 jam, kadar glukosa darah mulai
turun keadaan ini menyebabkan sekresi insulin juga menurun, sedangkan hormon
kontraregulator yaitu glukagon, epinefrin, kartisol, dan hormon pertumbuhan akan
meningkat. Terjadilah keadaan kortison sebaliknya (katabolik) yaitu sintetis glikogen,
protein dan trigliserida menurun sedangkan pemecahan zat-zat tersebut akan
meningkat.
Pada keadaan penurunan glukosa darah yang mendadak: glukogen dan epinefrilah
yang sangat berperan. Kedua hormon tersebut akan memacu glikogenolisis,
glukoneogenisis, dan proteolisis di otot dan lipolisis di jaringan lemak. Dengan
demikian tersedia bahan untuk glukoneogenesis yaitu asam amino terutama alanin,
asam laktat, piruvat, sedangkan hormon, kontraregulator yang lain berpengaruh
sinergistk glukogen dan adrenalin tetapi perannya sangat lambat. Secara singkat dapat
dikatakan dalam keadaan puasa terjadi penurunan insulin dan kenaikan hormon
kontraregulator. Keadaan tersebut akan menyebabkan penggunaan glukosa hanya di
18
jaringan insulin yang sensitif dan dengan demikian glukosa yang jumlahnya terbatas
hanya disediakan untuk jaringan otak.
Walaupun metabolik rantai pendek asam lemak bebas, yaitu asam asetoasetat dan
asam β hidroksi butiran (benda keton) dapat digunakan oleh otak untuk memperoleh
energi tetapi pembentukan benda-benda keton tersebut memerlulan waktu beberapa
jam pada manusia. Karena itu ketogenesis bukan merupakan mekanisme protektif
terhadap terjadinya hipoglikemia yang mendadak.
Selama homeostatis glukosa tersebut di atas berjalan, hipoglikemia tidak akan
terjadi. Hipoglikemia terjadi jika hati tidak mampu memproduksi glukosa karena
penurunan bahan pembentukan glukosa, penyakit hati atau ketidakseimbangan
hormonal.
1.6 PENATALAKSANAAN
Untuk terapi hipoglikemik adalah sebagai berikut :
a. Hipoglikemi
1. Beri pisang/ roti/ karbohidrat lain, bila gagal
2. Beri teh gula, bila gagal tetesi gula kental atau madu dibawah lidah.
b. Koma hipoglikemik
1. Injeksi glukosa 40% IV 25ml, infus glukosa 10%, bila belum sadar dapat
diulang setiap ½ jam sampai sadar (maksimum 6x), bila gagal
2. Beri injeksi efedrin bila tidak ada kontraindikasi jantung dll 25-50 mg atau
injeksi glukagon 1mg/IM, setelah gula darah stabil, infus glukosa 10% dilepas
bertahap dengan glukosa 5%
1.2 ETIOLOGI
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kali. Pada pasien yang sudak diketahui DM sebelumnya 80% dapat dikenali
adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan
pencegahan ketoasidosis berulang.
Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah pankreatitis akut,
penggunaan obat golongan steroid, serta menghentikan atau mengurangi dosis insulin.
Tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat
disebabkan oleh:
1.3 PATOFISIOLOGI
Ketoasisdosis terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena
dipakainya jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energy, maka akan
terbentuk keton. Bila hal ini dibiarkan terakumulasi, darah akan menjadi asam
sehingga jaringan tubuh akan rusak dan bisa menderita koma. Hal ini biasanya
terjadi karena tidak mematuhi perencaan makan, mengehentikan sendiri suntikan
21
insulin, tidak tahu bahwa dirinya sakit diabetes mellitusm mendapat infeksi atau
penyakit berat lainnya seperti kematian otot jantung, stroke, dan sebagainya
Faktor-faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan ketoasidosis
diabetic (KAD) adalah infeksi, infark miokardialm trauma ataupun kehiangan
insulin. Semua gangguan metabolic yang ditemukan pada ketoasidosis diabetic
(KAD) adalah tergolong konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan
insulin.
Menurunya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan
menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria. Meningkatnya
lipolysis akan menyebabkan kelebihan produksi asam asam lemak, yang sebagian
diantaranya akan dikonversi (diubah) menjadi keton, menimbulkan ketoanemia,
asidosis metabolic dan ketonuria. Glikosuria akan menyebabkan diuresis osmotic,
yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalium,
magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi terjadi bila terjadi secara hebat akan
menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan syok hipovolemik. Asidosis
metabolic yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajat
ventilasi (pernafasan kussmaul).
Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat
kehilangan air dan mempercepat kehilangan air dan elektrolit. Sehingga,
perkembangan KAD adalah merupakan rangkaian dari siklus interlocking vicious
yang seluruhnya harus diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme
karbohidrat dan lipid normal.
Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan
berkurang juga . Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali.
Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk
menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan
mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium dan
kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan
menyebabkan dehidrasi dan kehilangna elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik
yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq
natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24 jam.
Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak (lipolisis)
menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah
menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan
22
keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal
akan mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila
bertumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis
metabolic.
1.4 MANIFESTASI KLINIS
1. Hiperglikemi
Hiperglikemi pada ketoasidosis diabetik akan menimbulkan;
Poliuri dan polidipsi (peningktan rasa haus)
Penglihatan yang kabur
Kelemahan
Sakit kepala
Pasien dengan penurunan volume intravaskuler yang nyata mungkin akan
menderita hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg
atau lebih pada saat berdiri).
Penurunan volume dapat menimbulkan hipotensi yang nyata disertai denyut nadi
lemah dan cepat.
Anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen.
Pernapasan Kussmaul ini menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi asidosis
guna melawan efek dari pembentukan badan keton.
Mengantuk (letargi) atau koma.
Glukosuria berat.
Asidosis metabolik.
Diuresis osmotik, dengan hasil akhir dehidrasi dan penurunan elektrolit.
Hipotensi dan syok.
23
Koma atau penurunan kesadaran.
1.5 KOMPLIKASI
24
Keterlambatan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul mulai dari
rasa gelisah sampai berupa koma dan kejang-kejang.
6. Impotensi
Sangat banyak diabetisi laki-laki yang mengeluhkan tentang impotensi
yang dialami. Hal ini terjadi bila diabetes yang diderita telah menyerang saraf.
Keluhan ini tidak hanya diutarakan oleh penderita lanjut usia, tetapi juga mereka
yang masih berusia 35 – 40 tahun. Pada tingkat yang lebih lanjut, jumlah sperma
yang ada akan menjadi sedikit atau bahkan hampir tidak ada sama sekali. Ini
terjadi karena sperma masuk ke dalam kandung seni (ejaculation retrograde).
Penderita yang mengalami komplikasi ini, dimungkinkan mengalami
kemandulan. Sangat tidak dibenarkan, bila untuk mengatasi keluhan ini
penderita menggunakan obat-obatan yang mengandung hormon dengan tujuan
meningkatkan kemampuan seksualnya. Karena obat-obatan hormon tersebut
akan menekan produksi hormon tubuh yang sebenarnya kondisinya masih baik.
Bila hal ini tidak diperhatikan maka sel produksi hormon akan menjadi rusak.
Bagi diabetes wanita, keluhan seksual tidak banyak dikeluhkan.
Walau demikian diabetes millitus mempunyai pengaruh jelek pada
proses kehamilan. Pengaruh tersebut diantaranya adalah mudah mengalami
keguguran yang bahkan bisa terjadi sampai 3-4 kali berturut-turut, berat bayi
saat lahir bisa mencapai 4 kg atau lebih, air ketuban yang berlebihan, bayi lahir
mati atau cacat dan lainnya.
7. Hipertensi
Karena harus membuang kelebihan glokosa darah melalui air seni, ginjal
penderita diabetes harus bekerja ekstra berat. Selain itu tingkat kekentalan darah
pada diabetisi juga lebih tinggi. Ditambah dengan kerusakan-kerusakan
pembuluh kapiler serta penyempitan yang terjadi, secara otomatis syaraf akan
mengirimkan signal ke otak untuk menambah takanan darah.
8. Komplikasi lainnya
Selain komplikasi yang telah disebutkan di atas, masih terdapat beberapa
komplikasi yang mungkin timbul. Komplikasi tersebut misalnya:
a. Ganggunan pada saluran pencernakan akibat kelainan urat saraf. Untuk itu
makanan yang sudah ditelan terasa tidak bisa lancar turun ke lambung.
25
b. Gangguan pada rongga mulut, gigi dan gusi. Gangguan ini pada dasarnya karena
kurangnya perawatan pada rongga mulut gigi dan gusi, sehingga bila terkena
penyakit akan lebih sulit penyembuhannya.
c. Gangguan infeksi. Dibandingkan dengan orang yang normal, penderita diabetes
millitus lebih mudah terserang infeksi.
2. Natrium
Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang intravaskuler.
Untuk setiap 100 mg / dL glukosa lebih dari 100 mg / dL, tingkat natrium serum
diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat natrium
serum meningkat dengan jumlah yang sesuai.
3. Kalium.
Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat dengan
perawatan. EKG dapat digunakan untuk menilai efek jantung ekstrem di tingkat
potasium.
4. Bikarbonat
Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH yang
rendah (6,8-7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg) mencerminkan
kompensasi respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi metabolik.
Akumulasi badan keton (yang mencetuskan asidosis) dicerminkan oleh hasil
26
pengukuran keton dalam darah dan urin. Gunakan tingkat ini dalam
hubungannya dengan kesenjangan anion untuk menilai derajat asidosis.
1.7 PENATALAKSANAAN
a. Jika Anda memiliki diabetes tipe 1, Anda perlu memantau kadar gula darah
sesuai instruksi dokter. Periksa kadar gula Anda lebih sering jika Anda merasa
tidak enak badan, atau jika Anda sedang terkena infeksi, atau jika Anda baru
saja terserang penyakit atau kecelakaan.
b. Dokter Anda dapat merekomendasikan obat insulin suntik kerja-singkat ketika
terjadi peningkatan kadar gula darah secara moderat. Seharusnya pasien dengan
diabetes diajari kapan harus menyuntikan insulin ekstra dan pemeriksaan keton
urine serta kadar gula darah di rumah.
c. Waspada terhadap tanda infeksi dan jaga diri Anda untuk tetap tercukupi
kebutuhan cairan dengan meminum cairan bebas gula sepanjang hari.
28
b. Insulin sebaiknya tidak ditunda dan perlu diberikan secara kontinyu melalui
infus (bukan bolus, bolus suntikan yang diberikan secara cepat melalui selang
infus) untuk menghentikan pembentukan keton dan menstabilkan fungsi
jaringan dengan membawa kembali potasium ke dalam sel tubuh. Ketika kadar
glukosa darah turun di bawah 300 mg/dl, glukosa dapat diberikan bersama
dengan pemberian insulin untuk mencegah hipoglikemia (kondisi kurangnya
kadar gula darah).
c. Orang yang didiagnosis dengan ketoasidosis diabetikum biasanya perlu rawat
inap di rumah sakit dan kalau perlu dirawat di intensive care unit (ICU).
d. Orang-orang dengan asidosis ringan dengan kehilangan cairan dan elektrolit,
dan dapat meminum sejumlah cairan dan mengikuti instruksi medis dapat
selamat dan melakukan pengobatan rawat jalan. Tindak lanjut perlu dilakukan
oleh dokter. Individu dengan diabetes yang muntah perlu opname untuk
observasi dan penatalaksanaan yang tepat.
29
terhadap rangsangan nyeri sebagai akibat komplikasi diabetes mellitus (Greenberg,
1985).
Hiperglikemia, hiperosmoler, koma non ketotik (HHNK) adalah komplika
si metabolik akut diabetes, biasanya pada penderita diabetes mellitus (DM) tipe 2
yang lebih tua. Pada kondisi ini, terjadi hiperglikemia berat (kadar glukosa serum
>60 mg/dL yang tanpa disertai ketosis. Hiperglikemia menyebabkan
hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak
sadar dan meninggal bila tidak segera ditangani (Price, 2006).
Jadi koma hyperosmolar hiperglikemik non ketotik merupakan suatu
keadaan gawat darurat akibat dari komplikasi diabetes mellitus tanpa disertai
ketosis serum.
1.2 ETIOLOGI
1. Lansia dengan riwayat DM tipe 2 (NIDDM) atau tanpa DM
3. Insulin tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia tetapi cukup untuk mencegah
ketoasidosis signifikan
1) Infeksi, misalnya adanya selulitis, infeksi gigi, pneumonia, sepsis, dan ISK
30
5) Penyakit penyerta, missal adanya infark miokard akut, tumor yang menghasilkan
hormone adrenokortikotropin, kejadian serebrovaskular, sindrom cushing,
hipertemia, hipotermia, thrombosis mesenterika, pancreatitis, emboli paru, gagal
ginjal, luka bakar berat, tirotoksitosis, dll.
1.3 PATOFISIOLOGI
31
darah).Hiperglikemi menyebabkan munculnya glukosa dalam urin (glucosuria) dan
peningkatan osmolalitas intravaskular. Glucosuria selanjutnya menyebabkan
kehilangan air dan elektrolit dalam jumlah yang cukup sehingga menyebabkan
munculnya gejala dehidrasi yang selanjutnya akan mempengaruhi fungsi ginjal.
Kondisi dehidrasi dan peningkatan osmolalitas intravascular akan menimbulkan
kondisi hiperosmolar. Hal ini menyebabkan munculnya sindrom hiperglikemi
hiperosmolar (Stoner, 2005; Zeitler at al., 2011).
Perubahan Neurologis :
1. Perubahan sensori
2. Kejang
3. Hemiparesis
4. Nyeri perut, mual dan muntah
5. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau napas aseton
1.5 KOMPLIKASI
1. Koma
2. Gagal jantung
3. Gagal ginjal
4. Gangguan hati
32
2) Osmolalitas plasma = 2 x (Na + K) + glukosa (mmol / L) + urea (mmol /)
a) Ditandai defisit air bebas 6-18 liter (urea: rasio kreatinin meningkat)
b) Glikosuria sekunder
c) Tidak adanya ketoasidosis signifikan : metabolik asidosis tidak ada atau ringan
d) HypoNa / hyerpNa
e) HypoNa + / hyperNa +
1.7 PENATALAKSANAAN
1. Rehidrasi intravena
Bisa diberikan cairan isotonik atau hipotonik ½ normal diguyur 1000
ml/jam sampai keadaan cairan intravaskular dan perfusi jaringan mulai
membaik, baru diperhitungkan kekurangan dan diberikan dalam 12-48 jam.
Pemberian cairan isotonil harus mendapatkan pertimbangan untuk pasien
dengan kegagalan jantung, penyakit ginjal atau hipernatremia.Glukosa 5%
diberikan pada waktu kadar glukosa dalam sekitar 200-250 mg%.
2. Penggantian elektrolit
3. Pemberian insulin intravena
Pada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien hipersemolar
hiperglikemik non ketotik sensitif terhadap insulin dan diketahui pula bahwa
pengobatan dengan insulin dosis rendah pada ketoasidosis diabetik sangat
bermanfaat. Karena itu pelaksanaan pengobatan dapat menggunakan skema
mirip proprotokol ketoasidosis diabetik
G. SIADH
1.1 DEFINISI
SIADH adalah suatu karakteristik atau ciri dan tanda yang disebabkan oleh
ketidakmampuan ginjal mengabsorbsi atau menyerap air dalam bentuk ADH yang
berasal dari hipofisis posterior. (Barbara K. Timby, 2000). SIADH adalah gangguan
33
pada hipofisis posterior akibat peningkatan pengeluaran ADH sebagai respon
terhadap peningkatan osmolaritas darah dalam tingkat yang lebih ringan.
SIADH adalah syndrome yang diakibatkan karena ekresi ADH yang
berlebihan dari lobus posteriordan dari sumber ektopik yang lain. (Black dan
Matassarin Jacob,1993). SIADH adalah gangguan pada hipofisis posterior akibat
peningkatan pengeluaran ADH sebagai respon terhadap peningkatan osmolaritas
darah dalam tingkat yang lebih ringan (Corwin,2001). SIADH (syndrome of
inapropiate secretion of anti diuretic hormone) adalah gangguan pada hipofisis
posterioryang ditandai dengan peningkatan pelepasan ADH dari hipofisis posterior.
(Elizabet j.corwin, 2001).
1.2 ETIOLOGI
SIADH sering terjadi pada pasien gagal jantung atau dengan gangguan
hipotalamus (bagian dari otak yang berkoordinasi langsung dengan kelenjar
hipofise dalam memproduksi hormone). Pada kasus lainnya, beberapa keganasan
(ditempat lain dari tubuh) bisa merangsang produksi hormonanti diuretic , terutama
keganasan di paru dan kasus lainnya seperti dibawah ini:
1. Kelebihan Vasopressin
2. Peningkatan tekanan intracranial baik pada proses infeksi maupun trauma pada
otak.
3. Obat yang dapat merangsang atau melepaskan vasopressin (vinuristin,cisplatin,
dan ocytocin)
4. Penyakit endokrin seperti insufislensi adrenal dan insufisiensi pituitary anterior
5. Tumor pituitary terutama karsinoma bronkogenik/ karsinoma pancreatic dapat
mensekresi ADH secara ektopik (salah tempat)
6. Cidera kepala
7. Pembedahan (obat yang menurunkan gula darah)
8. Carbama/zepine (obat anti kejang)
9. Tricilye (antidepresan)
10. Vasopressin dan oxytocin (hormone anti diuretic buatan )
11. Meningitis
12. Kelebihan ADH
13. Penyakit paru (pneumonia, TB)
34
14. Penyakit SSP ( sistem saraf pusat) atrofi serebrum senilis, hidrosefalus
Fakto pencetus :
1. Trauma kepala
2. Meningitis
3. Ensefalitis
4. Neoplasma
5. Cedera cerebrovaskuler
6. Pembedahan
7. Penyakit endokrin
1.3 PATOFISIOLOGI
Terdapat beberapa keadaan yang dapat menggangu regulasi cairan tubuh dan
dapat menyebabkan sekresi ADH yang abnormal. Tiga mekanisme patofisiologi
yang bertanggung jawab akan SIADH, yaitu :
1. Sekresi ADH yang abnormal dari sistem hipofisis. Mekanisme ini disebabkan
oleh kelainan system saraf pusat, tumor, ensafalitis, sindrom guillain barre.
Pasien yang mengalami syok, status asmatikus, nyeri hebat atau stress tingkat
35
tinggi, atau tidak adanya tekanan positif pernafasan juga akan mengalami
SIADH.
2. ADH atau subtansi ADH dihasilkan oleh sel-sel diluar system supraoptik-
hipofisis, yang disebut sebagai sekresi ektopik (misalnya pada infeksi)
3. Kerja ADH pada tubulus ginjal bagian distal mengalami pemacuan bermacam-
macam obat-obatan menstimulasi atau mempotensiasi pelepasan ADH. Obat
obat tersebut termasuk nikotin, transquilizer, anestasi umum, suplemen kalium,
diuretic tiazid. Obat-obat hipoglikemia, asetominofen, isoproterenol dan empat
anti neoplastic : sisplatin, siklofosfamid, vinblastine dan vinkristin.
1.5 KOMPLIKASI
1. Hipourikalemia
Hipourikalemia adalah kadar urea dalam darah sangat rendah. Nilai normal
urea dalam darah adalah 20 mg – 40 mg setiap 100 ccm darah. Penurunan kadar
urea sering dijumpai pada penyakit hati yang berat. Pada nekrosis hepatic akut,
sering urea rendah asam-asam amino tidak dapat dimetabolisme lebih lanjut.
Pada sirosis hepatis, terjadi pengurangan sintesis dan sebagian karena retensi air
oleh sekresi hormone antidiuretic yang tidak semestinya.
2. Overload tipe hipotonik
Lazim disebut “keracunan Air”. Ketidakseimbangan cairan tubuh dimana
seluruh tubuh akan berada dalam keadaan hipotonik, disertai dengan
osmolaritas tubuh menuru. Sehingga didalam tubuh, cairan ekstraseluler akan
36
pindah ke kompartemen intraseluler. Terjadi ekspansi air berlebihan diseluruh
kompartemen cairan dan kadar elektrolit berkurang karena dilusi ( rendahnya
elektrolit serum). Dalam kondisi perpindahnya cairan seperti ini, tubuh sangat
sulit mengkompensasinya. faktor penyebab tubuh menjadi overload hipotonik
adalah SIADH (kumpulan gelaja karena malfungsi hormohormonediuretik).
3. Penurunan osmolaritas (plasma )
Tekanan normal osmolaritas plasma darah ialah 285 + 5 m0sm/L.
sementara penurunan osmolaritas plasma terjadi akibat kerja hormone ADH
yang berlebihan dan gangguan pada ginjal dalam meekskresikan cairan. Pada
keadaan ini terjadi perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel, termasuk ke sel
otak. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema otak yang mana keadaan ini
merupakan keadaan berat yang dapat menyebabkan kejang dan penurunan
kesadaran.
4. Hipokalemia
Nilai normal kalium dalam darah adalah (3,5 – 5,0 MEQ/L). penyebab
utama kehilangan kalium adalah penggunaan obat-obatan diuretic yang juga
menarik kalium misalnya : tiazid, dan furosemide (tamsuri anas 2009).
5. Hipomagnesemia
Nilai normal magnesium dalam darah adalah (1,4 -2,1 mg/l).
hypomagnesemia dapat terjadi karena penggunaan beberapa obat dalam jangka
waktu lama (diuretic, siplantin) (tamsuri anas 2009).
1.6 PENATALAKSANAAN
Pada umumnya pengobatan SIADH terdiri dari retriksi cairan (manifestasi
klinis SIADH biasanya menjadi jelas ketika mekanisme haus yang mengarah
kepada peningkatan intake cairan larutan hipertonis 3% tepat di gunakan pada
pasien dengan gejala neurologis akibat hiponatremi.Penatalaksanaan SIADH
terbagi menjadi 3 kategori yaitu :
a) Pengobatan penyakit yang mendasari, yaitu pengobatan yang ditunjukan untuk
mengatasi penyakit yang menyebabkan SIADH, misalnya berasal dari tumor
ektopik, maka terapi yang ditunjukan adalah untuk mengatasi tumor tersebut.
b) Mengurangi retensi cairan yang berlebihan
Pada kasus ringan retensi cairan dapat dikurangi dengan membatasi masukan
cairan. Pedoman umum penanganan SIADH adalah bahwa sampai konsentrasi
37
natrium serum dapat dinormalkan dan gejala-gejala dapat diatasi. Pada kasus yang
berat, pemberian larutan normal cairan hipertonik (Adalah cairan infus yang
osmolaritasnya lebih tinggi disbanding serum, sehingga “menarik” cairan dan
elektrolit dari jaringan dan sel kedalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan
tekanan darah, meningkatkan produksi urin. Penggunaanya kontradiktif dengan
cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5% hipertonik, dextrose 45% hipertonik,
dextrose 5% + ringer-lactate, dextrose 5%+Nacl 0,9%, produk darah dan albumin
dan furosemide (Lasix) adalah terapi pilihan.
c) Semua asuhan yang diperlukan saat pasien mengalami penurunan tingkat kesdaran
(kejang,koma, dan kematian) seperti pemantauan yang cermat masukan dan
haluaran urine. Kebutuhan nutrisi/diit dengan garam Na dan K dengan aman
terpenuhi dan dukungan emosional.
Rencana Non farmakologi
1. Pembatasan cairan (pantau kemungkinan kelebihan cairan).
2. Pemberian diit dengan garam Na dan K dengan aman.
Rencana farmakologi
1. Penggunaan diuretic untuk mencari plasma osmolaritas rendah.
2. Obat/penggunaan obat demeeloculine, untuk menekaan vasopressin.
3. Hiperosmolaritas, volume edema menurun.
4. Ketidakseimbangan sistem metabolic, kandungan dari hipertonik saline 3% secara
perlahan-perlahan mengatasi hiponatremi dan peningkatan osmolaritas serum
(dengan peningkatan = overload) cairan dengan penyesalan ini mungkin disebabkan
oleh kegagalan jantung kongestif.
5. Pengobatan khusus=prosedur pembedahan.
38