GEOLOGI DASAR
2.1. BATUAN BEKU (IGNEOUS ROCK) Batuan beku adalah batuan yang terbentuk secara
langsung dari hasil pembekuan magma, baik itu dibawah permukaan bumi (intrusif) ataupun
dipermukaan bumi (ekstrusif). Secara umum batuan beku memiliki cirri-ciri sebagai berikut ;
Massive Maksudnya batuan tersebut memiliki struktur yang kompak dank eras. Terdiri dari
paduan mineral-mineral pembentuk batuan, yaitu mineral primert [...]
Jenis Jenis Batuan. Batu adalah sejenis bahan yang terdiri daripada mineral dan dikelaskan
menurut komposisi mineral. Pengkelasan ini dibuat dengan berdasarkan:
a. Kandungan mineral yaitu jenis-jenis mineral yang terdapat di dalam batu ini.
b. Tekstur batu, yaitu ukuran dan bentuk hablur-hablur mineral di dalam batu;
c. Struktur batu, yaitu susunan hablur mineral di dalam batu.
d. Proses pembentukan
Terbentuknya Batuan
Pembentukan berbagai macam mineral di alam akan menghasilkan berbagai jenis batuan
tertentu. Proses alamiah tersebut bisa berbeda-beda dan membentuk jenis batuan yang
berbeda pula. Pembekuan magma akan membentuk berbagai jenis batuan beku. Batuan
sedimen bisa terbentuk karena berbagai proses alamiah, seperti proses penghancuran atau
disintegrasi batuan, pelapukan kimia, proses kimiawi dan organis serta proses penguapan/
evaporasi. Letusan gunung api sendiri dapat menghasilkan batuan piroklastik. Batuan
metamorf terbentuk dari berbagai jenis batuan yang telah terbentuk lebih dahulu kemudian
mengalami peningkatan temperature atau tekanan yang cukup tinggi, namun peningkatan
temperature itu sendiri maksimal di bawah temperature magma.
Batuan Beku
Magma dapat mendingin dan membeku di bawah atau di atas permukaan bumi. Bila
membeku di bawah permukaan bumi, terbentuklah batuan yang dinamakan batuan beku
dalam atau disebut juga batuan beku intrusive (sering juga dikatakan sebagai batuan beku
plutonik). Sedangkan, bila magma dapat mencapai permukaan bumi kemudian membeku,
terbentuklah batuan beku luar atau batuan beku ekstrusif.
Bentuk-bentuk batuan beku yang memotong struktur batuan di sekitarnya disebut diskordan,
termasuk di dalamnya adalah batholit, stok, dyke, dan jenjang volkanik.
* Batholit, merupakan tubuh batuan beku dalam yang paling besar dimensinya. Bentuknya
tidak beraturan, memotong lapisan-lapisan batuan yang diterobosnya. Kebanyakan batolit
merupakan kumpulan massa dari sejumlah tubuh-tubuh intrusi yang berkomposisi agak
berbeda. Perbedaan ini mencerminkan bervariasinya magma pembentuk batholit. Beberapa
batholit mencapai lebih dari 1000 km panjangnya dan 250 km lebarnya. Dari penelitian
geofisika dan penelitian singkapan di lapangan didapatkan bahwa tebal batholit antara 20-30
km. Batholite tidak terbentuk oleh magma yang menyusup dalam rekahan, karena tidak ada
rekahan yang sebesar dimensi batolit. Karena besarnya, batholit dapat mendorong batuan
yang di1atasnya. Meskipun batuan yang diterobos dapat tertekan ke atas oleh magma yang
bergerak ke atas secara perlahan, tentunya ada proses lain yang bekerja. Magma yang naik
melepaskan fragmen-fragmen batuan yang menutupinya. Proses ini dinamakan stopping.
Blok-blok hasil stopping lebih padat dibandingkna magma yang naik, sehingga mengendap.
Saat mengendap fragmen-fragmen ini bereaksi dan sebagian terlarut dalam magma. Tidak
semua magma terlarut dan mengendap di dasar dapur magma. Setiap frgamen batuan yang
berada dalam tubuh magma yang sudah membeku dinamakan Xenolith.
* Stock, seperti batolit, bentuknya tidak beraturan dan dimensinya lebih kecil dibandingkan
dengan batholit, tidak lebih dari 10 km. Stock merupakan penyerta suatu tubuh batholit atau
bagian atas batholit.
* Dyke, disebut juga gang, merupakan salah satu badan intrusi yang dibandingkan dengan
batholit, berdimensi kecil. Bentuknya tabular, sebagai lembaran yang kedua sisinya sejajar,
memotong struktur (perlapisan) batuan yang diterobosnya.
* Jenjang Volkanik, adalah pipa gunung api di bawah kawah yang mengalirkan magma ke
kepundan. Kemudaia setelah batuan yang menutupi di sekitarnya tererosi, maka batuan beku
yang bentuknya kurang lebih silindris dan menonjol dari topografi disekitarnya.
Bentuk-bentuk yang sejajar dengan struktur batuan di sekitarnya disebut konkordan
diantaranya adalah sill, lakolit dan lopolit.
* Sill, adalah intrusi batuan beku yang konkordan atau sejajar terhadap perlapisan batuan
yang diterobosnya. Berbentuk tabular dan sisi-sisinya sejajar.
* Lakolit, sejenis dengan sill. Yang membedakan adalah bentuk bagian atasnya, batuan yang
diterobosnya melengkung atau cembung ke atas, membentuk kubah landai. Sedangkan,
bagian bawahnya mirip dengan Sill. Akibat proses-proses geologi, baik oleh gaya endogen,
maupun gaya eksogen, batuan beku dapt tersingka di permukaan.
* Lopolit, bentuknya mirip dengan lakolit hanya saja bagian atas dan bawahnya cekung ke
atas.
Batuan beku dalam selain mempunyai berbagai bentuk tubuh intrusi, juga terdapat jenis
batuan berbeda, berdasarkan pada komposisi mineral pembentuknya. Batuan-batuan beku
luar secara tekstur digolongkan ke dalam kelompok batuan beku fanerik.
Dalam klasifikasi batuan beku batuan beku luar terklasifikasi ke dalam kelompok batuan
beku afanitik.
Batuan Metamorf
Batuan metamorf adalah jenis batuan yang secara genetis terebntuk oleh perubahan secara
fisik dari komposisi mineralnya serta perubahan tekstru dan strukturnya akibat pengaruh
tekanan (P) dan temperature (T) yang cukup tinggi. Kondisi-kondisi yang harus terpenuhi
dalam pembentukan batuan metamorf adalah:
· Terjadi dalam suasana padat
· Bersifat isokimia
· Terbentuknya mineral baru yang merupakan mineral khas metamorfosa
· Terbentuknya tekstur dan struktur baru.
Proses metamorfosa diakibatkan oleh dua factor utama yaitu Tekanan dan Temperatur (P dan
T). Panas dari intrusi magma adalah sumber utama yang menyebabkan metamorfosa.
Tekanan terjadi diakibatkan oleh beban perlapisan diatas (lithostatic pressure) atau tekanan
diferensial sebagai hasil berbagai stress misalnya tektonik stress (differential stress). Fluida
yang berasal dari batuan sedimen dan magma dapat mempercepat reaksi kima yang
berlangsung pada saat proses metamorfosa yang dapat menyebabkan pembentukan mineral
baru. Metamorfosis dapat terjadi di setiap kondisi tektonik, tetapi yang paling umum
dijumpai pada daerah kovergensi lempeng.
Fasies metamorfosis dicirikan oleh mineral atau himpunan mineral yang mencirikan sebaran
T dan P tertentu. Mineral-mineral itu disebut sebagai mineral index. Beberapa contoh mineral
index antara lain:
· Staurolite: intermediate à high-grade metamorphism
· Actinolite: low à intermediate metamorphism
· Kyanite: intermediate à high-grade
· Silimanite: high grade metamorphism
· Zeolite: low grade metamorphism
· Epidote: contact metamorphism
Batuan metamorf befoliasi membentuk urutan berdasarkan besar butir dan atau berdasarkan
perkembangan foliasi. Urut-urutannya adalah: slate à phyllite à schist à gneiss. Selain
menunjukkan besar butir dan derajat foliasi urut-urutan ini juga menunjukkan kandungan
mika yang semakin banyak dari kiri ke kanan. Salah satu ciri khas batuan metamorf yang
dapat teridentifikasi adalah kenampakkan kilap mika.
Sedangkan, untuk batuan metamorf non-foliasi contohnya adalah marmer, kuarsit dan
hornfels.
Sementara itu, untuk tekstur mineral pada batuan metamorfosa dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
· Lepidoblastik : terdiri dari mineral-mineral tabular/pipih, misalnya mineral mika (muskovit,
biotit)
· Nematoblastik : terdiri dari mineral-mineral prismatik, misalnya mineral plagioklas, k-
felspar, piroksen
· Granoblastik : terdiri dari mineral-mineral granular (equidimensional), dengan batas-batas
sutura (tidak teratur), dengan bentuk mineral anhedral, misalnya kuarsa.
· Tekstur Homeoblastik : bila terdiri dari satu tekstur saja, misalnya lepidoblastik saja.
· Tekstur Hetereoblastik : bila terdiri lebih dari satu tekstur, misalnya lepidoblastik dan
granoblastik
Batuan Piroklastik
Berdasarkan kata pembentuknya:
Pyro à pijar
Klastik à fragmen
Dapat disimpulkan bahwa batuan piroklastik adalah suatu batuan yang terbentuk dari hasil
langsung letusan gunung api (direct blast) yang kemudian terendapkan pada permukaan
sesuai dengan keadaan permukaannya (endapan piroklastik) dan lalu mengalami litifikasi
untuk menjadi batuan piroklastik.
Macam :
– block & ash flows
-scoria flows
-pumice / ash flows
Partikel, gas dan air vulkanik konsentrasi rendah yang mengalir dalam mekanisme turbulensi
sebagai sebuah gravity flow (runtuhan). Macam-macamnya adalah base, ground dan ash
cloud. Strukturnya cross-bedding dengan sortasi yang buruk.
Fragmen:
1. Gelas/ Amorf
2. Litik
3. Kristalin
Mineral-Mineral Alterasi
Alterasi = Metasomatisme
Merupakan perubahan komposisi mineralogy batuan (dalam keadaan padat) karena pengaruh
Suhu dan Tekanan yang tinggi dan tidak dalam kondisi isokimia menghasilkan mineral
lempung, kuarsa, oksida atau sulfida logam.
Batuan Sedimen
Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk dari pecahan atau hasil abrasi dari sedimen,
batuan beku, metamorf yang tertransport dan terendapkan kemudian terlithifikasi.
Ada dua tipe sedimen yaitu: detritus dan kimiawi. Detritus terdiri dari partikel-2 padat hasil
dari pelapukan mekanis. Sedimen kimiawi terdiri dari mineral sebagai hasil kristalisasi
larutan dengan proses inorganik atau aktivitas organisme. Partikel sedimen diklasifikasikan
menurut ukuran butir, gravel (termasuk bolder, cobble dan pebble), pasir, lanau, dan lempung.
Transportasi dari sedimen menyebabkan pembundaran dengan cara abrasi dan pemilahan
(sorting). Nilai kebundaran dan sorting sangat tergantung pada ukuran butir, jarak transportasi
dan proses pengendapan. Proses litifikasi dari sedimen menjadi batuan sedimen terjadi
melalui kompaksi dan sementasi.
Klasifikasi batuan sedimen klastik adalah berdasarkan besar butirnya, oleh karenanya
digunakan skala Wentworth. Sedangkan untuk klasifikasi batuan sedimen kimiawi dilakukan
berdasarkan matriks maupun fragmennya dengan klasifikasi dari Dunham, Embry-Klovan.
Makalah
I. Prinsip Sedimentasi
Pada dasarnya batubara termasuk ke dalam jenis batuan sedimen. Batuan sedimen terbentuk
dari material atau partikel yang terendapkan di dalam suatu cekungan dalam kondisi tertentu,
dan mengalami kompaksi serta transformasi balk secara fisik, kimia maupun biokimia. Pada
saat pengendapannyamaterial ini selalu membentuk perlapisan yang horizontal.
1. Pembusukan, yakni proses dimana tumbuhan mengalami tahap pembusukan (decay) akibat
adanya aktifitas dari bakteri anaerob. Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen dan
menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti selulosa, protoplasma, dan pati.
2. Pengendapan, yakni proses dimana material halus hasil pembusukan terakumulasi dan
mengendap membentuk lapisan gambut. Proses ini biasanya terjadi pada lingkungan berair,
misalnya rawa-rawa.
3. Dekomposisi, yaitu proses dimana lapisan gambut tersebut di atas akan mengalami
perubahan berdasarkan proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H20) clan sebagian
akan menghilang dalam bentuk karbondioksida (C02), karbonmonoksida (CO), clan metana
(CH4).
4. Geotektonik, dimana lapisan gambut yang ada akan terkompaksi oleh gaya tektonik dan
kemudian pada fase selanjutnya akan mengalami perlipatan dan patahan. _Selain itu gaya
tektonik aktif dapat menimbulkan adanya intrusi/terobosan magma, yang akan mengubah
batubara low grade menjadi high grade. Dengan adanya tektonik setting tertentu, maka zona
batubara yang terbentuk dapat berubah dari lingkungan berair ke lingkungan darat.
5. Erosi, dimana lapisan batubara yang telah mengalami gaya tektonik berupa pengangkatan
kemudian di erosi sehingga permukaan batubara yang ada menjadi terkupas pada
permukaannnya. Perlapisan batubara inilah yang dieksploitasi pada saat ini.
2. Lingkungan pengendapan ini sendiri dapat ditinjau dari beberapa aspek sebagai berikut :
• Struktur cekungan batubara, yakni posisi di mana material dasar diendapkan. Strukturnya
cekungan batubara ini sangat berpengaruh pada kondisi dan posisi geotektonik.
• Topografi dan morfologi, yakni bentuk dan kenampakan dari tempat cekungan
pengendapan material dasar. Topografi dan morfologi cekungan pada saat pengendapan
sangat penting karena menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara terbentuk.
Topografi dan morfologi dapat dipengaruhi oleh proses geotektonik.
• Iklim, yang merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembentukan batubara
karena dapat mengontrol pertumbuhan flora atau tumbuhan sebelum proses pengendapan.
Iklim biasanya dipengaruhi oleh kondisi topografi setempat.
3. Proses dekomposisi, yakni proses transformasi biokimia dari material dasar pembentuk
batubara menjadi batubara. Dalam proses ini, sisa tumbuhan yang terendapkan akan
mengalami perubahan baik secara fisika maupun kimia.
4. Umur geologi, yakni skala waktu (dalam jutaan tahun) yang menyatakan berapa lama
material dasar yang diendapkan mengalami transformasi. Untuk material yang diendapkan
dalam skala waktu geologi yang panjang, maka proses dekomposisi yang terjadi adalah fase
lanjut clan menghasilkan batubara dengan kandungan karbon yang tinggi.
5. Posisi geotektonik, yang dapat mempengaruhi proses pembentukan suatu lapisan batubara
dari :
• Tekanan yang dihasilkan oleh proses geotektonik dan menekan lapisan batubara yang
terbentuk.
• Struktur dari lapisan batubara tersebut, yakni bentuk cekungan stabil, lipatan, atau
patahan.
• Intrusi magma, yang akan mempengaruhi dan/atau merubah grade dari lapisan batubara
yang dihasilkan.
Keseluruhan faktor tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap bentuk, kenehalan, maupun
kualitas dari lapisan batubara.
Material Dasar
Geotektonik Lingkungan Pengendapan:
- Tekanan – Cekungan
- Struktur Coal – Topografi
- Intrusi – Iklim
Proses Dekomposisi
Dan Umur Geologi
2. Non Combustible Material, yaitu bahan atau material yang tidak dapat dibakar/dioksidasi
oleh oksigen. Material tersebut umumnya terediri dari aenvawa anorganik (Si02, A1203,
Fe203, Ti02, Mn304, CaO, MgO, Na20, K20, dan senyawa logam lainnya dalam jumlah yang
kecil) yang akan membentuk abu/ash dalam batubara. Kandungan non combustiblematerial
ini umumnya diingini karena akan mengurangi nilai bakarnya.
Pada proses pembentukan batubara/coalification, dengan bantuan faktor ti:ika dan kimia
alam, selulosa yang berasal dari tanaman akan mengalami pcruhahan menjadi lignit,
subbituminus, bituminus, atau antrasit. Proses transformasi ini dapat digambarkan dengan
persamaan reaksi sebagai berikut
Untuk proses coalification fase lanjut dengan waktu yang cukup lama atau dengan bantuan
pemanasan, maka unsur senyawa karbon padat yang terbentuk akan bertambah sehinggagrade
batubara akan menjadi lebih tinggi. Pada fase ini hidrogen yang terikat pada air yang
terbentuk akan menjadi semakin sedikit.
1. Vitrain dan Clarain, diendapkan di daerah pasang surut dimana terjadi perubahan muka air
laut.
3. Durain, diendapkan dalam lingkungan yang lebih dalam lagi, diperkirakan lingkungan laut
dangkal.
1. Vitrit, berasal dari kayu-kayuan seperti batang, dahan, akar, yang menunjukkan lingkungan
rawa berhutan.
2. Clarit, berasal dari tumbuhan yang mengandung serat kayu dan diperkirakan terbentuk
pada lingkungan rawa.
3. Durit, kaya akan jejak jejak akar dan spora, hal ini diperkirakan terbentuk pada lingkungan
laut dangkal.
4. Trimaserit, yang kaya akan vitrinit terbentuk di lingkungan rawa, sedangkan yang kaya
akan liptinit terbentuk di lingkungan laut dangkalclan yang kaya akan inertinit terbentuk
dekat daratan.
Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk hubungan antara lembaga
legislatif dengan lembaga eksekutif (Sri Soemantri, 1981:76). Sir Walter Bagehot (1955)
kemudian membedakan antara sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan
presidensial. Meskipun sebenarnya Bagehot hanya sekedar mencoba untuk memperbandingkan
antara sistem yang berlaku di Inggris dan di Amerika Serikat, namun pembedaan ini lalu menjadi
klasifikasi pokok bagi sistem pemerintahan itu sendiri.
Namun demikian uraian tentang sistem pemerintah Indonesia di sini akan sedikit diperluas. Tidak
hanya meliputi hubungan antara Presiden yang merupakan lembaga eksekutif dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif semata. Uraian di sini juga akan meliputi
penjelasan sekedarnya tentang lembaga-lembaga ketatanegaraan Indonesia yang lain.
Rupanya secara umum telah diyakini bahwa sistem pemerintahan Indonesia menurut Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD 1945) itu adalah sistem presidensial. Keyakinan ini secara yuridis
samasekali tidak berdasar. Tidak ada dasar argumentasi yang jelas atas keyakinan ini.
Apabila diteliti kembali struktur dan sejarah penyusunan UUD 1945 maka tampaklah bahwa
sebenarnya sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 itu adalah sistem campuran.
Namun sistem campuran ini bukan campuran antara sistem presidensial model Amerika Serikat
dan sistem parlementer model Inggris. Sistem campuran yang dianut oleh UUD 1945 adalah
sistem pemerintahan campuran model Indische Staatsregeling (‘konstitusi’ kolonial Hindia
Belanda) dengan sistem pemerintahan sosialis model Uni Sovyet.
Semua lembaga negara kecuali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), merupakan turunan
langsung dari lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda dahulu, yang berkembang
melalui pengalaman sejarahnya sendiri sejak zaman VOC. Sementara itu, sesuai dengan
keterangan Muhammad Yamin (1971) yang tidak lain adalah pengusulnya, MPR itu dibentuk
dengan mengikuti lembaga negara Uni Sovyet yang disebut Sovyet Tertinggi. Secara ringkas,
maka apabila lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda menurut Indische Staatsregeling
dan lembaga-lembaga negara Indonesia menurut UUD 1945 tersebut disejajarkan, maka akan
tampak sebagai berikut:
Alur berpikir seperti terurai di atas dapatlah membantu kita untuk memahami mengapa Presiden
menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu memiliki kekuasaan yang luar biasa besar. Hal ini
dapat dimengerti, sebab Gouverneur Generaal, yang kekuasaannya ditiru oleh UUD 1945 dalam
bentuk kekuasaan Presiden itu, adalah viceroy Belanda. Di tangan Gouvernuer Generaal-lah,
kekuasaan tertinggi atas Hindia Belanda itu terletak. Atas dasar itulah maka dapat dimengerti
bahwa Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu relatif omnipotent.
Di lain pihak, DPR yang merupakan turunan Volksraad-pun tidak dapat melepaskan diri dari
sifat-sifat Volksraad itu sendiri. Volksraad pada masa penjajahan Belanda itu dibentuk sebagai
‘wakil’ rakyat Hindia Belanda, yang berhadapan dengan Gouverneur Generaal yang mewakili
Mahkota Belanda itu. Fungsi Volksraad dengan demikian pertama-tama adalah sebagai lembaga
pengawas pemerintahan kolonial Hindia Belanda, bukan sebagai lembaga legislatif. Lembaga
legislatif Hindia Belanda tetaplah Gouverneur Generaal itu sendiri. Pola hubungan ini diikuti oleh
UUD 1945 (sebelum amandemen). DPR pertama-tama adalah lembaga pengawas Presiden,
dan bukan lembaga legislatif. Lembaga legislatif menurut UUD 1945 adalah Presiden (bersama
dengan DPR).
Namun dalam Sidangnya pada tanggal 19 Oktober 1999 MPR membatasi kekuasaan Presiden,
dan mengalihkan kekuasaan legislatif dari Presiden bersama DPR tersebut kepada DPR
(bersama Presiden). Konstruksi konstitusional ini lebih mirip dengan konstruksi model Inggris.
Kekuasaan legislatif di Inggris sepenuhnya ada di tangan Parliament, meskipun pengesahan
secara nominal tetap ada di tangan Raja. Presiden dengan demikian bertindak sebagai the
‘royal’ gouvernment, dan DPR bertindak sebagai the loyal opposition.
4. Kedudukan MPR
Pada awalnya MPR mempunyai fungsi yang presis sama dengan fungsi Sovyet Tertinggi di Uni
Sovyet atau Majelis Nasional di Republik Tiongkok (yang masih lestari berlaku di Taiwan dan
Republik Rakyat Cina itu). MPR seperti halnya Sovyet Tertinggi maupun Majelis Nasional
merupakan pelaksana Kedaulatan Rakyat. Dalam rangka itu MPR membuat Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) yang akan menjadi pedoman kerja pemerintahan selama lima tahun ke
depan.
Akan tetapi MPR pada prinsipnya tidak dapat menyelenggarakan pemerintahan yang
sebenarnya merupakan kewenangannya itu. Untuk itu maka MPR memberikan mandat
pemerintahan itu kepada Kepala Negara (yang bergelar Presiden itu). Itu sebabnya maka maka
Kepala Negara merupakan Mandataris MPR, yang tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.
Hal inilah yang mendasari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas pemerintahan di
Indonesia itu. Hal ini mirip dengan sistem di Uni Sovyet pula. Sovyet Tertinggi menyerahkan
mandat pemerintahan kepada Presidium Sovyet Tertinggi, yang bersifat kolektif itu (Denisov, A.
dan M. Kirichenko, 1960).
Lebih jauh, dengan demikian tidaklah tepat apabila dikatakan bahwa Presiden itu berfungsi
sebagai Kepala Negara seperti halnya sistem presidensial model Amerika Serikat (Thomas
James Norton, 1945). Berdasarkan Penjelasan Umum UUD 1945, MPR memegang kekuasaan
negara yang tertinggi. Untuk kemudian MPR mengangkat Kepala Negara yang bergelar
Presiden itu. Dengan demikian jabatan yang menjalankan pemerintahan itu adalah Kepala
Negara, sedangkan Presiden itu hanyalah gelar dari Kepala Negara Indonesia semata.
Sebaliknya tidak tepat pula apabila dikatakan bahwa Presiden Indonesia itu juga merangkap
sebagai Kepala Pemerintahan seperti Perdana Menteri Inggris (William A. Robson, 1948 dan
Wade, E.C.S & Godfrey Phillips, 1970). Hal ini mengingat bahwa Presiden Indonesia itu
mendapat mandat pemerintahan dari Pemegang Kedaulatan Rakyat, dan bukan dari Parlemen.
Namun politik hukum Indonesia sejak Masa Reformasi telah mengubah sistem ketatanegaraan
Indonesia secara signifikan. Ada upaya untuk melakukan amerikanisasi sistem pemerintahan
Indonesia. Sejak awal masa Reformasi, ada upaya nyata untuk menghapus eksistensi MPR ini,
dan diubah menjadi sistem pemerintahan model Amerika Serikat. Pada ini muncul lembaga
negara yang samasekali baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah. Secara politis, lembaga ini
merupakan akomodasi dari hilangnya Fraksi Daerah dalam susunan MPR. Akan tetapi dari sudut
kelembagaan itu sendiri, lembaga baru ini menjadi semacam lembaga Senate dalam susunan
Congress di Amerika Serikat. Dengan demikian susunan MPR itu sendiri terdiri atas DPR dan
DPD, mirip dengan susunan Congress, yang terdiri atas Senate dan House of Representatives
itu. Bedanya, DPD di Indonesia itu tidak diberi kewenangan apapun, kecuali hanya memberi
usulan dan pertimbangan. Sesuatu yang sangat tidak efisien dan efektif. Masalahnya mengapa
Indonesia harus mengacu pada sistem Amerika Serikat? Entahlah. Seringkali muncul pertanyaan
ironik: mengapa sistem pemerintahan Indonesia tersebut tidak mengacu saja pada Uganda atau
Nepal misalnya, sebagai sesama negara yang berdaulat?
Reformasi sistem pemerintahan Indonesia di Masa Refomasi seperti terurai di atas ditandai pula
dengan sebuah dagelan konstitutif. Melalui Amandemen Keempat pada tanggal 10 Agustus 2002
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga pemasehat Presiden dihapus. Namun
pada saat yang sama dibentuklah Dewan Pertimbangan Presiden (DPP). Masalahnya,
perbedaan antara kedua lembaga ini hanya pada istilah ‘Agung’ dan istilah ‘Presiden’ semata.
Tidak lebih, tidak kurang. Hal ini menunjukkan bahwa perancang perubahan ini samasekali tidak
mengacu pada sejarah lembaga prestisius ini, dan rupanya juga tidak pernah mempelajari
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967, tentang Dewan Pertimbangan Agung itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa lembaga pemasehat Kepala Negara semacam ini merupakan suatu
lembaga kenegaraan purba yang telah ada sejak masa Romawi dahulu. Para kaisar Romawi itu
senantiasa didampingi oleh sekelompok penasehat yang tergabung dalam Curia Regis.
Lembaga pendamping Kepala Negara ini tetap bertahan hingga dewasa ini di pelbagai negara.
Di Inggris terdapat Privy Council yang merupakan pendamping Kepala Negara Inggris
(King/Queen). Pada masa sebelum Revolusi Perancis dikenal lembaga conseil du roy, yang
pada masa Napoleon diganti menjadi conseil d’etat. Di Belanda terdapat Raad van State, dan di
Malaysia serta di Brunai dikenal lembaga Dewan Raja.
Pada hakekatnya bersama dengan kepala negara, lembaga penasehat ini merupakan sistem
pemerintahan purba. Sistem pemerintahan ini baru memiliki sistem pemerintahan pembanding
sejak munculnya teori Trias Politika, yang diterapkan di Amerika Serikat atas dasar Konstitusi
Amerika Serikat itu sendiri. Pada saat membentuk sistem organisasi dagangnya VOC-pun juga
mengikuti pola ini. Gouverneur Generaal mengendalikan reksa dagangnya di seberang lautan
(overzee) bersama dengan Raad van Indie (Kleintjes, Ph., 1932 & Schrieke, J.J., 1938-1939).
Pada masa pemerintahan jajahan Hindia Belanda lembaga ini berubah nama menjadi Raad van
Nederlandsch-Indie. Sedemikian prestisius dan terhormatnya kedudukan lembaga pendamping
Gubernur Jenderal ini, sehingga Kleintjes (1932) menempatkan Raad van Nederlandsch-Indie ini
sejajar dengan jabatan Gubernur Jenderal itu sendiri.
Inilah rupanya yang mendasari Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966, tentang Memorandum
DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia, menempatkan DPA sejajar dengan Presiden sebagai sesama
lembaga tinggi negara. Akan tetapi apapun posisinya, baik DPA maupun DPP merupakan
lembaga pendamping Presiden. Tidak ada perubahan fungsi sedikitpun antara keduanya. Hal ini
tampak jelas dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1963 tersebut di atas. Jadi,
tidak ada dasar akademik yang signifikan sedikitpun untuk menghapus DPA dan mengubahnya
menjadi DPP itu. Tidak lebih daripada sekedar dagelan konstitusional itu tadi.
Adapun mengenai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jelas lembaga kenegaraan ini mengambil
alih fungsi Algemeene Rekenkamer. Bahkan Indische Comptabilietswet (ICW) dan Indische
Bedrijvenswet (IBW) tetap lestari menjadi acuan kerja BPK sampai munculnya Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004,
tentang Perbendaharaan Negara. Bahkan Soepomo sendiri secara eksplisit mengatakan bahwa
badan ini '... dulu dinamakan Rekenkamer, ...' (Muhammad Yamin, 1971:311).
Selanjutnya, kedudukan BPK ini terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi
tidak berdiri di atas Pemerintah. Lebih jauh hasil pemeriksaan BPK itu diberitahukan kepada
DPR (Bonar Sidjabat, 1968:9-10; Muhammad Yamin, 1971:308-311). Artinya, BPK hanya wajib
melaporkan hasil pemeriksaannya kepada DPR. Dengan demikian BPK merupakan badan yang
mandiri, serta bukan bawahan DPR. Hal yang sama dijumpai pula pada hubungan kerja antara
Algemeene Rekenkamer dengan Volksraad.
7. Kekuasaan Kehakiman
Sama halnya dengan BPK, Mahkamah Agung juga mengambil alih fungsi Hooggerechtshof van
Nederlandsch-Indie. Ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan kehakiman warisan Hindia
Belanda diambil alih pula ke dalam sistem hukum tentang kekuasaan kehakiman Indonesia
beberapa waktu lamanya sampai terbentuk ketentuan yang baru. Bedanya, pada masa
penjajahan Belanda dahulu, terdapat dualisme susunan kekuasaan kehakiman ini. Ada
Europeesche Rechtsspraak yang menangani pelbagai perkara golongan Eropa, dan ada pula
Indische Rechtssspraak yang menangani perkara-perkara golongan inlanders (pribumi). Kelak
pada masa penjajahan Jepang, dualisme ini dihapus.
Selain itu, pada masa penjajahan Belanda, badan peradilan agama merupakan badan peradilan
khusus yang tidak berdiri sendiri. Artinya, pada Pengadilan Landraad ada jabatan Penghoeloe
yang menangani perkara-perkara agama Islam, atas nama Ketua Landraad setempat. Hal ini
tetap berlangsung di Pengadilan Negeri di masa Kemerdekaan. Perkara-perkara agama itu
masih memerlukan fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri manakala hendak dilakukan
eksekusi. Hal ini baru berakhir tahun 1989 dengan munculnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, tentang Peradilan Agama. Sejak itu Badan Peradilan Agama menjadi badan peradilan
khusus yang berdiri sendiri, sejajar dengan badan peradilan Umum.
Pada masa Reformasi, muncul dua lembaga kehakiman yang baru. Kedua lembaga kehakiman
tersebut adalah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, yang muncul pada Amandemen
Ketiga pada tanggal 9 November 2001. Komisi Yudisial tersebut diharapkan dapat mengatasi
permasalahan yang menyangkut mafia peradilan, sesuatu yang keberadaannya antara ada dan
tiada itu. Sementara itu Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga antitesa atas buruknya
kinerja lembaga peradilan itu sendiri yang berpuncak pada Mahkamah Agung itu.