Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi pada tulang belakang yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sejak obat anti
tuberkulosis dikembangkan dan peningkatan kesehatan masyarakat, prevalensi
tuberkulosis tulang belakang menjadi menurun di daerah negara industri,
meskipun masih tetap tinggi di negara berkembang. Gejala yang ditimbulkan
antara lain demam, keringat terutama pada malam hari, penurunan berat badan
dan nafsu makan, terdapat masa di tulang belakang, kifosis, terkadang
berhubungan dengan kelemahan anggota gerak. Spondilitis tuberkulosis dapat
menjadi sangat destruktif. Berkembangnya tuberkulosis di tulang belakang
berpotensi meningkatkan morbiditas, termasuk defisit neurologis dan deformitas
yang berat. Pengobatan medikamentosa atau kombinasi antara medis dan bedah
dapat mengendalikan penyakit spondilitis tuberkulosis pada beberapa pasien.

1.2 Pembatasan Masalah


Referat ini akan membahas hal-hal mengenai definisi, etiologi, tanda dan
gejala, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari spondilitis
tuberkulosis.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini bertujuan untuk :

1. Memahami segenap perihal tentang spondilitis tuberkulosis secara


mendasar dan berkelanjutan.
2. Menyediakan sumber referensi ilmiah bagi setiap pembaca.
3. Meningkatkan kemampuan penulis dalam karya tulis penulisan ilmiah di
bidang kedokteran.

1.4 Metode Penulisan

Referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan mengacu


kepada berbagai literatur yang tersedia.

1
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Spondilitis Tuberkulosis1


Spondilitis tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang.
Spondilitis tuberkulosis juga dikenal dengan istilah Pott’s disease of the spine
atau tuberculous vertebral osteomyelitis.
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun
1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah
dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan
basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882,
sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.
Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang
dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5
tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi
usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih
sering terkena dibandingkan anak-anak.

2.2 Epidemiologi2,3
Pada tahun 2016, secara global kasus tuberkulosis mencapai angka 10
juta kasus per tahun, dan masih berkontribusi sebagai salah satu dari sepuluh
penyakit yang berkontribusi terhadap angka mortalitas secara global. TB tulang
berkontribusi sebanyak 10% dari angka kejadian extrapulmonary tuberculosis
(EPTB), dimana penyakit ini paling sering menyerang daerah thoracolumbar
junction, diikuti dengan daerah lumbal dan servikal. Spondilitis TB (pott’s
disease) merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada kasus TB tulang.

2.3 Etiologi4,5
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus).
Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium
tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lain pun dapat juga

2
bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum
(penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus,
ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita
HIV)(7,10). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat
mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang
bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara
yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk
memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched
dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik
Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya
dengan spesies lain.

2.4 Patofisiologi6
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena
ukuran bakteri sangat kecil 1- 5 μ. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya
imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada
penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer sedangkan pada penyebaran hematogen kuman TB masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus
atas paru. Bagian pada tulang belakang yang sering terserang adalah peridiskal
terjadi pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang,
dengan penyebaran melalui ligamentum longitudinal anterior terjadi sekitar
2,1% kasus spondilitis TB.

3
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi
berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra.
Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus
intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus
ini akan menyebabkan terjadinya kifosis. Kemudian eksudat ( yang terdiri atas
serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar
ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat
menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis
ligamen yang lemah.

Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis


dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat
dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal
sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat
trakea, esofagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra thorakalis biasanya
tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral,
berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat
menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal
dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah
ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke
daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis.

4
2.5 Stadium & Derajat Paraplegia Spondilitis Tuberkulosa6

Spondilitis tuberkulosa dibagi menjadi 5 stadium, yaitu:

1. Stadium implantasi:
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh
penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang
berlangsung 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus
dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium dekstruksi awal:
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi dektrusi korpus ertebra
serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung 3-6 minggu.
3. Stadium dekstruksi lanjut:
Pada stadium ini terjadi dekstruksi yang masif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin),
yang terjadi 23 bulan setelah stadium dekstruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini
terbentuk tulang baji terutama disebelah depan (wedging anterior) akibat
kerusakan korpus vertebra yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis:
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.

5
Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga
gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Derajat kerusakan
paraplegia, yaitu:
Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensoris.
Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita
masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipestesia/anestesia
Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia
dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan
penyakitnya.
Derajat I-III disebut paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual:
Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersiat permanen oleh karena kerusakan vertebra
yang masif di sebelah depan.

2.6 Diagnosis1,7
Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan
klinis secara lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB,
epidemiologi, gejala klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan
modern seperti X ray, CT scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu
menegakkan diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan
ditemukan basil Mycobacterium tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti.

2.6.1 Gejala klinis


Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami
keadaan sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut
tanpa sebab yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran

6
kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare
berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai benjolan/masa di
abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen.
Manifestasi klinis pada spondilitis TB tidak ditemukan pada bayi di
bawah 1 tahun. Penyakit ini baru muncul setelah anak belajar berjalan atau
melompat. Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang
belakang yang disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan
enggan menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan
menolak jika diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari
lantai. Nyeri tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan
deformitas pada tulang belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh
timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan membentuk sudut,
merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara progresif.
Terdapat 2 tipe klinis kiposis yaitu mobile dan rigid. Pada 80% kasus, terjadi
kiposis 100, 20% kasus memiliki kiposis lebih dari 100 dan hanya 4% kasus
lebih dari 300. Kelainan yang sudah berlangsung lama dapat disertai oleh
paraplegia ataupun tanpa paraplegia. Abses dapat terjadi pada tulang belakang
yang dapat menjalar ke rongga dada bagian bawah atau ke bawah ligamen
inguinal.
Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang
dikenal dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi
ditemukan pada stadium awal dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal,
dan paraplegia pada pasien yang telah sembuh yang biasanya berkembang
beberapa tahun setelah penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset
lambat.

2.6.2 Pemeriksaan penunjang


 Laboratorium
- Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis
- Uji Mantoux positif
- Pada pemeriksaan biakan kuman mungkinditemukan mikrobakterium
- Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
- Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel

7
 Pemeriksaan radiologis
- Pemeriksaan foto thoraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru
- Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik, dan destruksi
korpus vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang
berada diantara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan
adanya masa abses paravertebral.
- Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk
sarang burung (bird nest), di torakal berbentuk bulbus, dan pada
daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform.
- Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga
timbul kifosis (Gibbus)
- Pemeriksaan CT Scan
- Pemeriksaan MRI

Gambar 1.MRI of a 31-year-old man with tuberculosis of the spine. Images show the thoracic spine
before and after an infusion of intravenous gadolinium contrast. The abscess and subsequent destruction
of the T11-T12 disc interspace is marked with arrowheads.

8
2.7 Penatalaksanaan1,8
Saat ini pengobatan
spondilitis TB berdasarkan terapi
diutamakan dengan pemberian obat
anti TB dikombinasikan dengan
imobilisasi menggunakan korset.
Bila diagnosis ditegakkan lebih
awal, dimana destruksi dan
deformasi tulang yang terjadi masih
minimal, pemberian OAT saja dapat
mengobati spondilitis TB secara
sempurna. Serupa dengan terapi TB
pada umumnya, terapi infeksi spondilitis TB adalah multidrug therapy untuk
mencegah resistensi. World Health Organization (WHO) merekomendasikan
agar kemoterapi diberikan setidaknya selama 6 bulan. Sementara itu, British
Medical Research Council menganjurkan agar kemoterapi OAT pada spondilitis
TB torakolumbal diberikan selama 6 – 9 bulan.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen terapi


OAT untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru dengan TB
ektraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial
dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan atau 2 RHZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan 6

9
HE fase lanjutan. Pemberian regimen bisa diperpanjang sesuai dengan respons
klinis penderita. Sedangkan untuk kategori II, yaitu kasus gagal pengobatan,
relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial dilanjutkan 5HRE fase
lanjutan,atau 2RHZES dilanjutkan 5H3R3E3 fase lanjutan.

Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan dengan kemoterapi OAT


telah dicoba pada beberapa pasien dan dikatakan dapat meningkatkan proses
perbaikan tulang. Nerindronat 100 mg pada pemberian pertama, dan 25 mg
setiap bulan berikutnya selama 2 tahun telah diuji dengan hasil yang
memuaskan. Nerindrinat disebutkan dapat menghambat aktivitas resorpsi
osteoklas dan menstimulasi aktivitas osteoblast. Namun, studi ini masih terbatas
pada satu pasien dan perlu dievaluasi lebih lanjut. Terapi medikamentosa
dikatakan gagal jika dalam 3-4 minggu, nyeri dan atau defisit neurologis masih
belum menunjukkan perbaikan setelah pemberian OAT yang sesuai, dengan atau
tanpa imobilisasi atau tirah baring.

Penyangga eksternal merupakan salah satu bagian dari tata laksana


pasien spondilitis tuberkulosis berupa pemasangan alat di luar tubuh pasien,
seperti leher, toraks, punggung, dada, pinggang, perut hingga bokong.
Penyangga eksternal dapat diberikan pada pasien spondilitis tuberkulosis ringan
hingga sedang dengan tujuan untuk stabilisasi dan memperkuat struktur tulang
dari luar. Penyangga eksternal dapat mencegah terjadinya instabilitas tulang
berupa pergerakan tulang ke arah depan, belakang, samping, atau twisting.
Stabilisasi tulang menggunakan penyangga eksternal ini umumnya dilakukan
selama 6 bulan sejak pasien diizinkan rawat jalan. Selama masa itu, pasien tetap
harus kontrol secara berkala.

10
Jika tidak ada kemajuan, maka kemungkinan terjadi resistensi obat,
jaringan sekuester dan kaseonekrotik, nutrisi yang kurang baik, atau konsumsi
obat yang tidak teratur. Sayangnya, penyangga eksternal hanya dapat diberikan
jika tidak ada abses, deformitas vertebra, dan defisit neurologis yang parah. Jika
terjadi Pott’s paraplegia maka pembedahan harus dilakukan. Prosedur
pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami paraplegi
adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan laminektomi.
Indikasi pembedahan antara lain:

 Indikasi absolut
Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif,
paraplegia memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif,
kehilangan kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah
dilakukan pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak
terkontrol oleh karena suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan
atau adanya risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang
berat dengan onset yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena
kecelakaan mekanis atau abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis
vaskular tetapi hal ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya,
paraplegia flaksid, paraplegia dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang
komplit atau gangguan kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan.

 Indikasi relatif
Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal
sering tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri
yang diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya
komplikasi seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing.

2.8 Komplikasi1,6
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kifosis berat. Hal ini terjadi oleh
karena kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang
mengalami destruksi sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya

11
paraplegia pada ekstremitas inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s
paraplegia. Selain itu apabila abses paravertebra di torakal ruptur, maka pus
dapat memasuki rongga pleura yang dapat berakhir pada terjadinya empyema
tuberkulosa.

2.9 Prognosis1,6
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik
yang terjadi. Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan
meningitis TB, dapat terjadi sekuele antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi
mental, gangguan bergerak dan lain-lain. Prognosis bertambah baik bila
pengobatan lebih cepat dilakukan.

12
BAB 3

KESIMPULAN

Spondilitis TB adalah merupakan masalah penyakit yang kompleks dengan


manifestasi klinis yang bervariasi. Pemeriksaan radiografi mutlak diperlukan untuk
menegakkan diagnosis serta follow up penyakit. Jika dalam pemeriksaan didapatkan
normal, salah satu pemeriksaan jaringan harus dikerjakan untuk menyingkirkan
spondilitis TB. Tata laksana ditentukan oleh ada tidaknya paralisis atau paraplegi pada
ekstremitas inferior sehingga pembedahan harus segera dilakukan. Prognosis tergantung
dari perjalanan penyakit, tata laksana dan komplikasi yang menyertai.

13
Daftar Pustaka

1. Rasouli RM, Mirkoohi M, Vaccaro AR, Yarandi KK, Movaghar VR.


Spinal Tuberculosis : Diagnosis and Management. Asian Spine J.
2014:6(4);294-308.
2. World Health Organization, South East Asia. Tuberculosis Control in
South East Asia region. Annual report 2016.
http://www.searo.who.int/tb/annual-tb-report-2016.pdf?ua=1.
Published2016. Accessed May 26, 2019.
3. Wang Y, Wang Q, Zhu R, Yang C, Chen Z, Bai Y, Li M, Zhai X. Trends
of Spinal tuberculosis research (1994-2015). New Eng J Med.
2016:95(38);102-110.
4. Rajasekaran S, Soundararajan DCR, Shetty AP, Kanna RM. Spinal
Tuberculosis : Current Concepts. Global Spine J. 2018:8(46);965-1085.
5. Jain AK, Dhammi IK. Tuberculosis of the spine : a review. Clin Orthop
Relat Res. 2017;460:39-49.
6. Rajasekaran S, Kanna RM, Shetty AJ. Pathophysiology and treatment of
spine tuberculosis. JBJS Rev. 2014;2(1):224-250
7. Ansari S, Amanullah F, Ahmad K, Rauniyar RK. Pott’s spine :
diagnostic imaging modalities and technology advancements. N Am J
Med Sci. 2013;5:404-411.
8. Zeng H, Zhang YP, Shen XJ, et al. Staged treatment of thoracic and
lumbar spinal tuberculosis with flow injection abscess. Int J Clin Exp
Med. 2015;8(18):556-566.

14

Anda mungkin juga menyukai