Anda di halaman 1dari 3

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16725/4/Chapter%20II.

pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/44581/4/Chapter%20II.pdf

https://siamik.upnjatim.ac.id/poliklinik/aid.pdf

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/lain-lain/situasi-hiv-aids-2006.pdf

http://www.unn.edu.ng/wp-content/uploads/2015/10/HIV-AIDS-Related-Stigmatization-and-
Discrimination.pdf
Salah satu konsekuensi terburuk dari HIV dan AIDS adalah stigma dan diskriminasi yang
dihadapi para penderita atau mereka yang dinyatakan terinfeksi. Stigma dan diskriminasi
bukan hanya berbahaya bagi para penderita HIV dan AIDS, tetapi juga memicu epidemi virus
tersebut. Karena orang takut atas reaksi orang lain jika diketahui mengidap virus HIV, maka
mereka tidak mau melakukan tes dan tidak mau mempelajari kondisi tubuhnya. Mereka
kemungkinan terinfeksi dan tanpa sadar menularkan HIV kepada orang lain.

Diskriminasi terhadap hal yang berkaitan dengan HIV dan AIDS mengakibatkan penderita
yang telah sadar dengan kondisinya akan merahasiakan keadaannya, menarik diri dan
terisolasi. Hal ini dapat menurunkan harga dirinya dan berakibat buruk terhadap
kesehatannya. Stigmatisasi diri atau perasaan malu yang dialaminya dapat menyebabkan
penderita menjadi depresi, menyendiri atau melakukan bunuh diri. Dalam kasus yang lebih
ekstrim beberapa penderita bahkan dibunuh oleh masyarakat sekelilingnya. Orang cenderung
takut kepada hal yang belum diketahuinya. Stigma ini juga hasil dari ketakutan yang tidak
masuk akal tentang HIV. Oleh karena itu pendidikan tentang HIV dan AIDS dapat membantu
mengurangi stigma tersebut dan guru memegang peran penting dalam hal ini.

Banyak stigma tentang HIV dan AIDS berasal dari kenyataan bahwa virus HIV seringkali
ditularkan oleh kelompok orang yang berperilaku yang ditolak oleh masyarakat umum,
seperti penyalahguna narkoba dengan jarum suntik, pekerja seks atau kaum MSM. Wanita
pengidap HIV juga menderita stigma karena orang pada umumnya menganggap bahwa
wanita tersebut mendapat HIV akibat melakukan hubungan seks dengan banyak pasangan
sehingga tertular virus HIV. Namun demikian banyak juga wanita penderita HIV justru setia
kepada pasangannya atau suaminya dan kemungkinan pasangan prianya menularkan virus
tersebut. Nyatanya memang perilaku berisiko pada suami atau pasangan prianya telah
menyebabkan penularan virus HIV tersebut.

Riset tentang diskriminasi berkaitan dengan HIV dan AIDS di Asia yang dilakukan oleh
Jejaring Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) se-Asia Pasifik menemukan bahwa penyebab
utama diskriminasi terletak di sektor pelayanan kesehatan, di mana pengobatan ditolak,
kerahasiaan dilanggar serta penundaan pelayanan kesehatan. Dalam keluarga dan masyarakat
ditemukan bahwa penderita wanita secara signifikan lebih menderita akibat diskriminasi
daripada pria. Mereka sering menjadi obyek cemoohan, pelecehan, kekerasan fisik dan
beberapa di antaranya dipaksa untuk pindah tempat tinggal.

Sektor pendidikan merupakan wilayah lain bagi diskriminasi yang berhubungan dengan HIV
dan AIDS. Anak-anak yang terkena dampak HIV dan AIDS kemungkinan ditolak masuk ke
sekolah. Mereka dianiaya dan dicemooh oleh teman sekolahnya.

Dampak pada masyarakat

HIV dan AIDS dapat memisahkan atau menyatukan masyarakat. Reaksi umum terhadap HIV
dan AIDS adalah diskriminasi terhadap penderita HIV dan stigmatisasi yang terjadi pada
mereka. Upaya ”mengeluarkan” mereka yang terinfeksi – dari desa, rumah sakit,
sekolah dan rumah ibadah – praktis telah terjadi di seluruh bagian dunia termasuk di antara
kelompok etnis tertentu dalam semua jenjang kelas masyarakat dan ekonomi. Sayangnya,
masih banyak tokoh agama tetap menolak kepedulian dan melakukan upacara keagamaan
tertentu bagi pengidap HIV yang meninggal dunia.
Di banyak kelompok masyarakat yang berada di wilayah Afrika Sub- Sahara penyakit AIDS
telah merenggut kehidupan begitu banyak anak muda dan orang dewasa muda sehingga
seluruh struktur masyarakat kelompok ini terkena dampaknya. Akibat semakin kurangnya
anak muda dan orang dewasa yang produktif beban semakin berat harus ditanggung oleh
orang yang lebih tua dan anak-anak. Anak-anak terutama terpaksa harus putus sekolah untuk
mulai bekerja untuk membantu pembiayaan keluarga, sementara orang yang lebih tua juga
terpaksa harus cari pekerjaan lagi untuk mengurangi beban keluarganya. Beban keluarga
dalam kelompok masyarakat tersebut semakin berat tatkala beban tersebut memicu stres
secara emosional karena keuangan keluarga terancam.

Situasi semacam itu ternyata tidak terjadi di benua Asia saat ini, namun hal ini dapat terjadi
jika respon terhadap penyebaran HIV tidak ditingkatkan. Namun beberapa kelompok
masyarakat di negara-negara kepulauan Pasifik sangat rawan dengan skenario di atas karena
populasi mereka yang kecil, sehingga adanya orang dewasa yang akan meninggal karena HIV
akan memberi dampak yang besar.

Kelompok masyarakat kecil umumnya tergantung pada pertanian dan usaha kecil. Ketika
petani atau karyawan meninggal karena AIDS, perusahaan akan kehilangan karyawan
berkualitas yang memiliki keterampilan khusus. Bahkan ada perusahaan yang langsung tutup
akibat kematian karyawan karena AIDS. Hal inilah yang menyebabkan HIV dan AIDS
disebut masalah yang berkembang. Di wilayah Afrika seperti Sub- Sahara angkatan kerja
semakin berkurang karena banyak orang yang terkena infeksi HIV. Kurangnya angkatan kerja
tentunya akan berdampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan perekonomian. HIV
dan AIDS mampu menjatuhkan pembangunan nasional dan meruntuhkan hasil-hasil
pembangunan dan ekonomi yang selama ini dikembangkan dengan susah payah. Walaupun
wilayah Asia Pasifik belum mengalami penyebaran virus yang mematikan sendi-sendi
kehidupan seperti di atas, namun dapat terjadi kondisi tersebut, kecuali jika program
pencegahan dilaksanakan dengan lebih efektif.

Anda mungkin juga menyukai