Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit inflamasi kronis pada saluran pernapasan dimana


banyak sel dan elemen seluler yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, neutrofil
(terutama pada onset yang mendadak, eksaserbasi fatal, asma okupasi dan pasien
yang merokok), limfosit T, makrofag, dan epitel. Pada individu yang rentan, proses
peradangan ini menyebabkan episode batuk berulang (terutama pada malam hari atau
menjelang pagi hari), mengi (wheezing) berulang, sesak nafas dan dada terasa penuh
(chest tightness).1

Penyakit asma merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, baik
di negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit ini masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di hampir semua negara di dunia. Asma dapat diderita oleh
semua lapisan masyarakat dari usia anak-anak sampai usia dewasa dengan derajat
penyakit dari ringan sampai berat, bahkan beberapa kasus dapat menyebabkan
kematian. Asma merupakan penyakit kronis yang sering muncul pada masa kanak-
kanan dan usia muda sehingga dapat menyebabkan gangguan aktivitas sosial, bahkan
berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.2

Prevalensi asma meningkat tajam dan saat ini asma diketahui sebagai
penyebab kecacatan (disability) yang paling sering, membutuhkan biaya banyak dan
penyakit dengan kematian yang dapat dicegah. Laporan WHO dalam World Health
Report 2000 menyebutkan, lima penyakit paru utama merupakan 17,4 % dari seluruh
kematian di dunia, masing-masing terdiri dari infeksi paru 7,2 %, PPOK 4,8 %,
tuberkulosis 3,0 %, kanker paru/trakea/bronkus 2,1 % dan asma 0,3%. 2,3

. Saat ini penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi di


Indonesia. Berdasarkan data dari Riskesdas 2013 Kemenkes RI, terdapat 18 provinsi
yang mempunyai prevalensi panyakit asma yang tinggi.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Asma
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI), asma adalah
penyakit inflamasi kronis pada saluran pernapasan dimana banyak sel dan elemen
seluler yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, neutrofil (terutama pada
onset yang mendadak, eksaserbasi fatal, asma okupasi dan pasien yang merokok),
limfosit T, makrofag, dan epitel. Pada individu yang rentan, proses peradangan ini
menyebabkan episode batuk berulang (terutama pada malam hari atau menjelang
pagi hari), mengi (wheezing) berulang, sesak nafas dan dada terasa penuh (chest
tightness).1
Gejala tersebut terkait dengan hambatan aliran udara yang luas tetapi variable
sering reversible spontan atau reversible dengan pengobatan. Inflamasi juga
menyebabkan peningkatan hiperesponsif saluran nafas terhadap berbagai stimuli.
Reversibilitas hambatan aliran udara bisa inkomplit pada beberapa pasien asma. 3

Mekanisme dasar Asma

2
B. Etiologi
Asma dapat diturunkan dari orang tua melalui gen atau bisa saja tidak ada
riwayat penyakit asma di keluarga. Pada orang dengan asma, saluran nafas akan
menjadi lebih sensitif daripada orang normal. Asma dapat dipicu oleh beberapa
hal sebagai berikut :
a. Alergi : jika memiliki alergi, orang akan lebih mudah terkena asma. Asma
jenis ini sering terjadi pada anak-anak, namun juga dapat terjadi pada orang
dewasa. Alergen yang paling sering adalah serbuk (pollen) dari bunga,pohon,
rumput, jamur, bulu kucing atau anjing dan tungau debu. Ini dapat
menyebabkan bersin, mengi dan gatal pada mata serta hidung berair. Jika
paru-paru cukup terganggu, alergen dapat menyebabkan serangan asma.4
b. Infeksi saluran pernafasan : infeksi paru atau sinus yang sering dapat
menyebabkan asma. Infeksi dapat memicu episode mengi yang lebih lama
atau nafas pendek daripada yang disebabkan oleh alergi. Pada kenyataannya,
virus yang menyerang saluran pernafasan adalah penyebab paling umum
terjadinya serangan asma yang cukup berat sehingga menyebabkan penderita
tidak dapat bersekolah atau bekerja. 4

3
c. Beberapa bahan iritan yang dapat juga menyebabkan asma :
 Asap knalpot dari mobil, bus, truk dan lain-lain
 Bahan kimia seperti semprotan taman
 Jamur dan debu
 Bau dari cat, parfum, minyak wangi, semprotan rambut, deodorant
dan produk pembersih yang menyengat.
 Asap tembakau dari rokok, pipa atau cerutu
 Perubahan suhu atau cuaca
 Stress atau olahraga
 Obat-obatan, termasuk aspirin dan beta blocker (obat jantung atau
tekanan darah) 4

C. Faktor Resiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik (multiple
chromosomal region – kadar Ig E tinggi pada kromosom 5q, 11q, 12q gen Human
Leucocyte Antigen/HLA), alergik (atopi), hiperaktivitas bronkus, jenis kelamin
dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan /
predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya
eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor
lingkungan yaitu alergen, house dust mite, sensitisasi lingkungan kerja, asap
rokok, polusi udara, infeksi pernafasan (virus), diet, cuaca, status sosioekonomi
dan besarnya keluarga.5
Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui
kemungkinan :
a. Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma

4
b. Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.5

1. Genetik
Pola herediter komplek dan asma tidak dapat diklasifikasikan secara
sederhana cara pewarisannya seperti autosomal dominant, resesif atau sex-
linked. Namun dari studi genetik telah menemukan multiple chromosomal
region yang berisi gen-gen yang memberi kontribusi asma. Kadar serum IgE
yang tinggi telah diketahui ada hubungan dengan kromosom 5q, 11q dan 12q.
Secara klinik ada hubungan kuat antara hiperesponsif saluran nafas dengan
peningkatan kadar IgE dan bukti terbaru menunjukkan coinheritance dari gen
untuk atopi dan airway hyperactivity (AHR) dijumpai pada kromosom yang
sama. Gen yang menentukan spesifitas dari respons imun mungkin juga
penting pada patogenesis asma. Gen-gen yang terletak human leukocyte
antigen (HLA) kompleks dapat menentukan respons terhadap aeroallergen
pada beberapa individu. Gen-gen pada kromosom 11, 12, dan 13 dapat secara
langsung mengontrol sitokin proinflamasi. Kromosom 12 berisi gen yang

5
mengkode interferon gamma, mast cell, growth factor, insulin-like growth
factor dan nitric oxide sinthase. 3
2. Gender dan ras
Asma pada anak lebih sering dijumpai pada anak laki-laki tetapi
menjadi berlawanan pada pubertas dan dewasa. Prevalensi secara keseluruhan
wanita lebih banyak dari pria. Di amerika serikat ras kulit hitam diktehui
mempunyai risiko tinggi kematian, tidak tergantung status sosial ekonomi dan
pendidikan. Insiden asma tinggi di negara sedang berkembang diperkirakan
karena faktor-faktor lingkungan mungkin sama pentingnya seperti faktor-
faktor genetik dan ras. 3
3. Faktor lingkungan
Alergen dan occupational factor adalah penyebab terpenting asma.
Dari beberapa studi epidemiologi telah menunjukkan korelasi antara paparan
allergen dan prevalensi asma serta perbaikan asma bila paparan alergen
menurun. Alergen indoor yang penting adalah : domestic (house dust) mites,
allergen hewan (kucing, anjing, dan roden), alergen kecoak dan jamur
(alternaria, aspergillus, cladosporium dan candida). House dust terutama
beberapa senyawa organik dan inorganik termasuk insect dan faeses insect,
spora jamur, mamalia denders, pollen grains, fibers, mites dan mite faeses.
Out door allergen : pollen terutama dari pohon , weeds dan grasses dan fungi,
molds dan yeasts. 3
4. Polusi udara
Polutan di luar dan di dalam rumah mempunyai kontribusi perburukan
gejala asma dengan mentriger bronkokonstriksi, peningkatan hiperesponsif
saluran nafas dan peningkatan respons terhadap aeroallergen. Ada 2 polutan
out door yang penting yaitu industrial smog (sulfur dioxide, particulate
comples) dan photochemical smog (ozone dan nitrogen oxides). Teknologi
kontruksi modern telah dicurigai menyebabkan polusi indoor yang tinggi.
Pada gedung-gedung hemat energi ada kurang lebih 50% udara bersih
pertukarannya kurang terjadi. Polusi indoor termasuk cooking dan heating

6
fuel exhausts, insulating production, cat, vernis yang mengandung
formaldehid dan isocyanate. 3
5. Faktor lain
Dari sejumlah studi epidemiologi dapat ditemukan asosiasi antara
resiko terjadiya asma dengan atropi. Pertumbuhan di daerah pertanian
menurunkan risiko atopi dan rhinitis alergi pada dewasa (adulthood)
mengesankan bahwa faktor lingkungan mempunyai efek protektif pada
timbulnya alergi. Di negara sedang berkembang perpindahan ke kota
dihubungkan dengan perubahan dari bahan bakar biomassal seperti : kayu,
batu bara dan animal waste ke gas dan listrik. Penggunaan bahan bakar
modern ada hubungannya dengan peningkatan angka sensitisasi alergik dan
gejala. Dari studi yang telah dilakukan diketahui ada hubungan terbalik antara
besar keluarga dengan asma dari beberapa studi dilaporkan paparan/interaksi
antara anak kecil dengan anak yang lebih besar di rumah atau pada anak-anak
di pusat penitipan anak melindungi terbentuknya asma. Ada saran bahwa
konsumsi diet antioksidan dapat mencegah timbulnya asma.3

7
D. Epidemiologi
Asma dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal
kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun
dan sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak-anak,
terdapat perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun
perbandingan ini menjadi sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda
antara satu kota dengan kota yang lain dalam negara yang sama.6,7
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat
kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun
belakangan ini obat-obatan asma sudah banyak dikembangkan. Prevalensi asma
meningkat tajam dan saat ini asma diketahui sebagai penyebab kecacatan
(disability) yang paling sering, membutuhkan biaya banyak dan penyakit dengan

8
kematian yang dapat dicegah. Laporan WHO dalam World Health Report 2000
menyebutkan, lima penyakit paru utama merupakan 17,4 % dari seluruh kematian
di dunia, masing-masing terdiri dari infeksi paru 7,2 %, PPOK 4,8 %,
tuberkulosis 3,0 %, kanker paru/trakea/bronkus 2,1 % dan asma 0,3%. 2,3
Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia
diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2024 diperkirakan
jumlah pasien asma mencapai 400 juta.2
Saat ini penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi di
Indonesia. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %. Berdasarkan
data dari Riskesdas 2013 Kemenkes RI, terdapat 18 provinsi yang mempunyai
prevalensi panyakit asma yang tinggi.2,6,7

E. Patofisiologi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan
proses yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu
peneyempitan saluran nafas, hiperresponsif saluran nafas, dan remodeling saluran
pernafasan.6,7
1. Penyempitan saluran nafas
Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas
(bronkokontriksi), edema pada saluran napas, penebalan dinding saluran
napas dan hipersekresi mukus. 8

9
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap
berbagai mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme
dominan terhadap penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat
dikembalikan dengan bronkodilator. Pada asma eksaserbasi, bronkospasme
akut menyebabkan penyempitan saluran nafas, sebagai respons terhadap
berbagai stimuli seperti alergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut akibat
alergen terjadi lewat IgE-dependent release of mediator dari sel mast. Ada
mekanisme non-IgE dalam mediator pernapasan.3,8
Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi.
Hal ini penting pada eksaserbasi akut. Jika inflamasi makin progresif ada
faktor-faktor lain yang menghambat aliran udara antara lain : edema,
hipersekresi mukus, mukus plug, hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran
nafas. 3,8
Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing
process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang
mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut
melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang

10
sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan penyambung yang
menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut berkontribusi
dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan
perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway remodelling.9
Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan
jaringan yang menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-
ulang. Proses remodeling ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun,
pada onset awal terjadinya proses ini, kadang-kadang sebelum disebabkan
oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan proses remodeling ini dapat
menyebabkan asma secara simultan. Proses dari remodeling ini
dikarakteristikan dengan adanya peningkatan deposisi protein ekstraselular
matrik di dalam dan sekitar otot polos bronkial, dan peningkatan daripada
ukuran sel atau hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau hiperplasia.7

11
2. Hiperesponsif Saluran Nafas
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan
patofisiologis yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau
hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin berhubungan
dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang
terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas.
Mekanisme hiperesponsif saluran nafas bersifat multiple termasuk inflamasi,
disfungsi neuroregulasi dan perubahan struktral. Selain itu, inflamasi dinding
saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat
penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos.3,10,11
3. Airway Remodelling
Airway remodeling menimbulkan perubahan struktural yang meningkatkan
hambatan aliran udara saluran nafas dan hiperesponsif saluran nafas dan
meyebabkan pasien kurang respons terhadap pengobatan.3

12
F. Patogenesa

PENCETUS/TRIGGER (ALERGEN,
VIRUS, IRITAN, PSIKIS)

HIPERRESPONSIF SALURAN
NAPAS
Reaksi asma tipe cepat :

alergen terikat Ig E pada sel mast 


REAKSI IMUNOLOGIK DAN ATAU
degranulasi sel mast  release preformed
GANGGUAN
(histamin, protease) dan newly generated
BIOKIMIA/NEUROHUMORAL
mediators (leukotrien, prostaglandin,
PAF)  bronkospasme, hipersekresi
INFLAMASI AKUT (REAKSI ASMA mukus, vasodilatasi.
TIPE CEPAT DAN TIPE LAMBAT)
Reaksi asma tipe lambat :

Timbul 6-9 jam setelah paparan alergen


BRONKOSPASME, EDEMA,  aktivasi eosinofil, sel T CD4+, netrofil
HIPERSEKRESI MUKUS & makrofag.

INFLAMASI KRONIK DAN AIRWAY


REMODELLING

Melibatkan sel limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, dan
fibroblast dan menyebabkan kerusakan jaringan yg diikuti healing
process  perubahan struktur (airway remodeling) berupa:
1. Hipertrofi & hiperplasia otot polos bronkus & kelenjar mucus
2. Penebalan membran reticular basal
3. Hipervaskuler
4. Perubahan struktur parenkim  fibrosis

13
G. Gejala
Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas / dada terasa penuh
(chest tightness), batuk, dan mengi. Gejala lainnya dapat berupa rasa berat di
dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja, nyeri tenggorokan, dan pada
asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala tersebut dapat
bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau perenial,
beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat
dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara
dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga
mempengaruhi munculnya serangan pada pasien asma, seperti karakteristik
rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau sekolah, tingkat
pendidikan penderita, atau pekerjaan.6

14
H. Klasifikasi
Klasifikasi asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum pengobatan): 5,8,9

15
Klasifikasi derajat asma pada penderita dalam pengobatan : 5,8,9

I. Diagnosis
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas
yang reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala : 8,9
- bersifat episodik, reversible/berulang/kumat-kumatan dengan atau tanpa
pengobatan.
- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
- gejala timbul/memburuk di malam hari dan dini hari.
- respons terhadap pemberian bronkodilator (+).
- adanya pencetus / trigger

16
- riwayat asma dalam keluarga (+)
- riwayat alergi, sinusitis (+)

Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga


(atopi), riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan
penyakit dan pengobatan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda dan gejala
yang dapat meningkatkan kecurigaan terhadap asma akibat dari efek langsung
penyempitan saluran nafas difus dan hipersekresi mucus, dan efek tidak langsung
sebagai akibat dari peningkatan kerja nafas, peningkatan kebutuhan metabolic dan
rangsangan sarafsimpatik difus. Yang ditemukan adalah : 3,8,9
1. Takipnea dan takikardi  umum pada asma akut (RR 25-28x/menit atau >
30 x/menit, HR 100x/menit atau >120x/menit)
2. Dapat normal, kadang-kadang di dengarkan suara mengi / wheezing difus
 pada serangan ringan, saat inspirasi dan ekspirasi, wheezing keras dan
nada tinggi ada hubungan dengan obstruksi saluran nafas berat. Pada
serangan berat  wheezing dapat tidak tersengar, pasien sianosis, gelisah,
takikardi, retraksi ICS, pengunaan otot bantu nafas, penggunaan otot bantu
nafas
3. Ekspirasi memanjang
4. Dada hiperinflasi, disebabkan oleh hambatan aliran udara dan air trapping
Dari pemeriksaan faal paru, tes fungsi paru pernting untuk diagnosis,
menilai keparahan penyakit dan evaluasi pengobatan. Diagnose asma
dipastikan dengan ditemukan obstruksi saluran nafas pada pemeriksaan
spirometri. Ditemukan perbaikan yang bermakna dari FEV1, setelah terapi
bronkodilator atau pengulangan di waktu lain. Dikatakan obstruksi saluran
nafas reversible bila ditemukan peningkatan FEV1.> 12% pasca
bronkodilator.
Pemeriksaaan faal paru yang sering dilakukan untuk diagnosis dan
pemantauan adalah pemeriksaan forced expiratory volume 1 second (FEV1)

17
dengan spirometri dan peak expiratory flow (PEF) dengan alat peak flow
meter.
Pemeriksaan radiologi / foto thoraks untuk asma, pada sebagian besar
menunjukkan normal atau hiperinflasi. Pada eksaserbasi berat pemeriksaan
thoraks berguna untuk menyingkirkan penyakit lain atau mencari penyulit
yang terjadi seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis dan
pneumoni.
Tes provokasi bronkus memberi manfaat sdalam membantu diagnosis
asma. Hiperresponsif bronkus hampir selalu ditemukan pada asma dan
derajatnya berkorelasi dengan keparahan asma.

J. Pentalaksanaan
Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang
dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, ada 7 komponen program
penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya menyerupai komponen pengobatan
yang dianjurkan oleh GINA dan ditambah satu komponen pola hidup sehat : 5,9
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala

18
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan


bahasa yang mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan “7 langkah mengatasi
asma”, yaitu : 5

1. Mengenal seluk beluk asma


2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan menghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri dengan teratur
7. Menjaga kebugaran dan olahraga

7 komponen program penatalaksanaan asma :

1. EDUKASI
Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu
sendiri, tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol
faktor pencetus, obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan
juga penanganan serangan asma di rumah. 5
2. PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita
sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma : 5
a. Pemantauan tanda gejala asma
b. Pemeriksaan faal paru
3. IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN FAKTOR PENCETUS

19
Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi
sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. 5
4. MERENCANAKAN DAN MEMBERIKAN PENGOBATAN JANGKA
PANJANG
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk
mencapai atau mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga
faktor yang perlu dipertimbangkan: 5
a. Medikasi (obat-obatan)
b. Tahapan pengobatan
c. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)

Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi


jalan nafas, terdiri atas pengontrol dan pelega. 5,8,9

A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol adalah:
1) Glukokortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid inhalasi bertujuan untuk menekan proses
inflamasi dan komponen yang berperan dalam remodeling pada
bronkus yang menyebabkan asma. Pada tingkat vascular,
glukokortikosteroid inhalasi bertujuan menghambat terjadinya
hipoperfusi, mikrovaskular, hiperpermeabilitas, pembentukan mukasa
udem, dan pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis).6
Glukokortikosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang
yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian
menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan
faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi gejala,

20
mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas
hidup. Efek samping adalah efek samping lokal seperti kandidiasis
orofaring, disfonia dan batuk karena airitasi saluran nafas atas.6
2) Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan
digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat,
tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Untuk
jangka panjang, lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada
steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan,
maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu. Efek samping jangka
panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal
pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit,
striae, dan kelemahan otot.6
3) Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi
diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan
mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang
bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi pada sel inflamasi
tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain juga kemungkinan
menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara
inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan.
Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa tidak enak
obat saat melakukan inhalasi.
4) Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Sebagai pelega,
teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi dengan agonis β2
kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin
atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol,
dimana pemberian jangka panjang efektif mengontrol gejala dan

21
memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu
kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma
malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Efek samping
berpotensi terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari atau lebih)
dengan gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek
samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner
seperti takikardi, aritmia dan kadangkala merangsang pusat nafas.
Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian.
5) Agonis β2 kerja lama
Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2
memiliki efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan
memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Pada
pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil
dan mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor.
Pemberian inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan efek
bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral. Karena
pengobatan jangka panjang dengan agonis β2 kerja lama tidak
mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu
dikombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan
agonis β2 kerja lama inhalasi akan memperbaiki gejala, menurunkan
asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis
β2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan asma.
Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping
sistemik (rangsangan kardiovaskuler, tremor otot rangka dan
hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral.
6) Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan
pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-

22
lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrien (contohnya
zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel
target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja
tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain
bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.
B. Pelega
1) Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat.
Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian
dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset
yang lebih cepat dan efek samping minimal/tidak ada. Mekanisme
kerja sebagaimana agonis β2 yaitu relaksasi otot polos saluran nafas,
meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan
basofil. Efek sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot
rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit
menimbulkan efek samping.
2) Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek
bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan agonis β2 kerja singkat.
Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis β2
kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk
respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan
mempertahankan respon terhadap agonis β2 kerja singkat diantara
pemberian satu dengan berikutnya.
3) Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok
efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas.
Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik

23
vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokonstriksi
yang disebabkan iritan.. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan
rasa pahit.
4) Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai
berat, bila tidak tersedia agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2
kerja singkat.
C. Tahapan penanganan asma
Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma, agar dapat
tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal
mungkin. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan
stepdown therapy. 5

24
D. Pengobatan berdasarkan derajat berat asma5

25
5. MENETAPKAN PENGOBATAN PADA SERANGAN AKUT
Kunci awal dalam penanganan serangan akut adalah penilaian berat
serangan. Klasifikasi berat serangan asma akut : 5

26
Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan
tempat pengobatan : 5

27
6. KONTROL SECARA TERATUR
Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam
penatalaksanaan asma jangka panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow
up teratur dan merujuk ke ahli paru pada keadaan-keadaan tertentu. 5,8,9

Jika asma tidak terkontrol pada pengobatan yang dijalani, maka


pengobatan harus di naikkan. Secara umum, perbaikan harus dilihat selama 1
bulan. Tetapi sebelumnya harus dinilai tehnik medikasi pasien, kepatuhan dan
usaha menghindari faktor resiko. Jika asma sebagian terkontrol,

28
dipertimbangkan menaikkan pengobatan yang tergantung pada keefektifan
terhadap pengobatan yang ada, keamanan, dan harga serta kepuasan pasien
terhadap pengobataan yang dijalani pasien. Dan jika, asma berhasil dikontrol
selama minimal 3 bulan, pengobatan dapat diturunkan secara gradual. Tujuan
nya adalah mengurangi pengobatan. Monitoring tetap penting dilakukan
setelah asma terkontrol, karena asma dapat tetap dapat terjadi eksaserbasi
apabila kehilangan kontrol.5,8,9

29
BAB III

PENUTUP

Asma adalah penyakit inflamasi kronis pada saluran pernapasan dimana


banyak sel dan elemen seluler yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, neutrofil
(terutama pada onset mendadak, eksaserbasi fatal, asma okupasi dan pasien yang
merokok), limfosit T, makrofag, dan epitel. Pada individu yang rentan, proses
peradangan ini menyebabkan episode batuk berulang (terutama pada malam hari atau
menjelang pagi hari), mengi (wheezing) berulang, sesak nafas dan dada terasa penuh
(chest tightness). Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan
dengan proses yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu
peneympitan saluran nafas, hiperresponsif saluran nafas, dan remodeling saluran
pernafasan. Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi.
Gejala lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi
kerja, nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau
bersin. Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas
yang reversibel. Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia
yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, ada 7 komponen
program penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya menyerupai komponen
pengobatan yang dianjurkan oleh GINA dan ditambah satu komponen yaitu pola
hidup sehat.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. National Heart, Lung and Blood Institute. 2007. Guidelines for the Diagnosis
and Management of Asthma.
2. Kementrian Kesehatan RI. INFODATIN. 2016. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI “You Can Control Your Asthma”.
3. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR – RSUD Dr. Soetomo. 2010.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
4. American Thoracic Society. 2013. American Journal of Respiratory and
Critical Care Mecine Vol 188, P7-P8.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2005. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia.

6. O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al.


2010. Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma Management
and Prevention, Ontario Canada.
7. Sundaru, H. Sukamto. 2006. Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B.
Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid I, Edisi Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252.
8. N. Miglino, M. Roth, M. Tamm and P. Borger. 2011. House dust mite extracts
down regulates C/EBPa in asthmatic bronchial smooth muscle cells. Eur
Respir J; 38: 50–58.
9. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita.
Suryanto, E. et al. 2004. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
10. I. Bara, A. Ozier, J-M. Tunon de Lara, R. Marthan and P. Berger.2010.
Pathophysiology of bronchial smooth muscle remodelling in asthma. Eur
Respir J; 36: 1174–1184

31
11. McFaden, ER. 2005. Asthma, In: Kasper, DL. Pauci, AS. Longo, DL.
Draunwald, E. Hauser, SL. Jameson, JL. (eds), Harrison’s Principal of
Medicine, 16th ed, Vol 2, McGraw-Hill, Philladelphia, pp:1508-1515.

32

Anda mungkin juga menyukai

  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen6 halaman
    Daftar Isi
    theereeratna
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    theereeratna
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan
    Pendahuluan
    Dokumen4 halaman
    Pendahuluan
    avitrivardhayanti
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    theereeratna
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 Fix
    Bab 2 Fix
    Dokumen15 halaman
    Bab 2 Fix
    avitrivardhayanti
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    theereeratna
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan
    Pendahuluan
    Dokumen4 halaman
    Pendahuluan
    avitrivardhayanti
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    theereeratna
    Belum ada peringkat
  • Contoh Partograf
    Contoh Partograf
    Dokumen1 halaman
    Contoh Partograf
    theereeratna
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    theereeratna
    Belum ada peringkat
  • Transport
    Transport
    Dokumen1 halaman
    Transport
    theereeratna
    Belum ada peringkat
  • Epid N Patol
    Epid N Patol
    Dokumen2 halaman
    Epid N Patol
    theereeratna
    Belum ada peringkat
  • Kesimpualan Dan Saran
    Kesimpualan Dan Saran
    Dokumen2 halaman
    Kesimpualan Dan Saran
    theereeratna
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    theereeratna
    Belum ada peringkat
  • Tugas PBL Cover Skenario 3
    Tugas PBL Cover Skenario 3
    Dokumen3 halaman
    Tugas PBL Cover Skenario 3
    theereeratna
    Belum ada peringkat
  • Isbd
    Isbd
    Dokumen13 halaman
    Isbd
    theereeratna
    Belum ada peringkat