Pembimbing :
Etiologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling berperan dalam etiologi
terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi lumen apendiks. Pada keadaan klinis, faktor
obstruksi ditemukan dalam 60 – 70 % kasus. Sekitar 60 % obstruksi disebabkan oleh hyperplasi
kelenjar limfe submukosa, 35 % disebabkan oleh fekalit, dan 5 % disebabkan oleh faktor
obstruksi yang lain.2
Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa parasite seperti Entamoeba histolytica,
Trichuris trichiura, dan Enterobius vermicularis dapat menyebabkan erosi membran mukosa
apendiks dan perdarahan. Pada awalnya Entamoeba histolytica berkembang di kripte glandula
intestinal. Selama invasi pada lapisan mukosa, parasit ini memproduksi enzim yang dapat
menyebabkan nekrosis mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus. Keadaan obstruksi berakibat
terjadinya proses inflamasi. Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadinya obstruksi
adalah; akumulasi dan peningkatan tekanan dari cairan intraluminal, kongesti dinding, apendiks,
obstruksi vena dan arteri, yang akhirnya menimbulkan keadaan hipoksia sehingga
mengakibatkan invasi bakteri.2
Epidemiologi
Apendisitis dapat terjadi pada semua kelompok usia, mulai dari bayi, anak, remaja,
dewasa hingga lansia. Untuk pasien anak, apendisitis akut sering terjadi pada rentang usia 6 – 10
tahun dan 50 - 85 % kasus apendisitis akut pada anak baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Tingginya kejadian perforasi apendiks pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang belum
sempurna dimana lumen apendiks masih tipis, omentum belum berkembang, dan daya tahan
tubuh yang belum sempurna dapat membuat proses perforasi berlangsung cepat. Selain itu,
pasien anak biasanya kurang mampu untuk menggambarkan rasa nyeri yang timbul sehingga
memperlambat waktu untuk diagnosis. Angka mortalitas apendisitis secara keseluruhan 0,2 – 0,8
% yang disebabkan oleh komplikasi pada intervensi bedah dan keterlambatan diagnostic. Pada
pasien anak, angka mortalitasnya 0,1 – 1 %, pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun, angka
mortalitasnya diatas 20%, hal ini terjadi terutama karena keterlambatan diagnostik dan terapi.3
Gejala klinis
Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
visceral disekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai dengan mual dan kadang ada muntah.
Umumnya nafsu makan menurun, dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah di
titik Mc Burney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 – 38,5 oC. bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah biasanya dilihat pada
abses periapendikuler. Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada region iliaka kanan, bias
disertaai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
Nyeri tekan, nyeri lepas, dan defance muskuler di titik Mc Burney merupakan kunci diagnosis.
Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda
Rovsing. Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik pada
peristalsis generalisata akibat apendisitis perforate. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
merupakan pemeriksaan yang lebih ditunjukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi
aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang
menempel di m. psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator
digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m. obturator internus,
yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvka. Pemeriksaan jumlah leukosit
membantu menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis
terlebih pada kasus dengan komplikasi.2
Skor Alvarado
Skor Alvarado adalah 10 butir skoring untuk diagnosis apendisitis berdasarkan simptom
dan tanda klinis serta pemeriksaan laboratorium.4
Elevated temperature 1
2 Laboratory finding Tabel 2. Menejemen
Penatalaksana
Penanganan perioperative pasien dengan diagnosis apendisitis masih bervariasi, misalnya
penggunaan drain, penutupan luka operasi, walaupun para spesialis bedah setuju bahwa
penanganan apendisitis adalah apendiktomi (operatif).7
Pada survey yang dilakukan oleh anggota American Pediatric Surgery Association, hanya
separuh dari para spesialis bedah yang melakukan operasi pada saat tengah malam. Tidak ada
peningkatan terjadinya perforasi atau komplikasi antara grup yang dilakukan operasi dalam 6
jam setelah masuk dan grup yang dilakukan operasi dalam 6-18 jam setelah masuk.7
Penanganan operatif pasien dengan apendisitis akut dapat dilakukan dengan cara terbuka
ataupun minimal invasive surgery / keyhole surgery. Keunggulan dan kerugian dari masing-
masing cara operasi ini masih diperdebatkan. Keunggulan yang diklaim dari mnimal invasive
surgery adalah waktu rawat yang lebih singkat, kurangnya nyeri setelah operasi, kurangnya
komplikasi luka pasca-operasi, apendiktomi lebih mudah pada pasien yang gemuk, waktu
pemulihan pasca-operasi lebih cepat, sedangkan kelemahan minimal invasive surgery adalah
biaya lebih mahal, memerlukan spesialis bedah yang mempunyai pengalaman untuk
mengerjakan.8
Antibiotic yang digunakan adalah antibotik yang dapat menggantikan kuman aerob dan
anaerob. Antibiotic yang banyak digunakan adalah kombinasi antara ampisilin (25-50
mg/kgBB/dosis IV/IM empat kali sehari), metronidazole (7,5 mg/kgBB/dosis tiga kal sehari) dan
gentamisin (7,5 mg/kgBB/dosis IV/IM sekali sehari).8 Untuk apendisitis tanpa komplikasi,
dianjurkan memakai antibiotic bervariasi dari single dose sampai 48 jam setelah operasi
sedangkan untuk apendisitis dengan komplikasi, pemakaian antibiotic dianjurkan palinh tida
sampai 48 jam – 5 hari setelah operasi.7
Daftar Pustaka
1. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Departement of Health and Human Service. National
Institute of Health. Diakses dari : http://www.digestive.niddk.nih.gov/. 21 Juli 2018.
2. Wiyono MH. Aplikasi skor Alvarado pada penatalaksanaan apendisitis akut. Jakarta:
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana; Jurnal
Kedokteran Meditek. Vol 17 (44); 2011.
3. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Apendiks. Buku ajar
ilmu bedah sjamsuhidajat-dejong. Ed 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2010.
4. Marisa, Junaedi HI, Satiawan MR. Batas angka leukosit antara apendisitia perforasi di
rumah sakit umum daerah tugurejo semarang selama januari 2009-juli 2011. Jurnal
Universitas Muhammadiyah Semarang; 2012. Vol 1 (1).
5. Ivan. Karakteristik penderita apendisitis di RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2009.
Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2010.
6. Sisk JE. 2004. Appendicitis. Encyclopedia of Children’s Health. Diakses dari :
http://www.healthofchildren.com/A/Appendicitis.html. 21 Juli 2018.
7. Supriyantno B. Tatalaksana berbagai keadaan gawat darurat pada anak. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia- RSCM;
2013.
8. World Health Organitation (WHO). Apendisitis. Dalam: Pelayanan kesehatan anak di
rumah sakit, pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/ kota.
Jakarta: WHO; 2009.h.274.