Anda di halaman 1dari 8

Gejala klinis dan Penatalaksanaan Apendisitis pada Anak

Yohana Boru Sidabalok 11 2017 276

Pembimbing :

dr. Arief Priambodo, Sp.A, M.Kes

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Periode 21 Mei 2018 – 28 Juli 2018

Rumah Sakit Bayukarta Karawang


Definisi
Apendisitis akut adalah proses peradangan akut pada apendiks fermiformis yang
merupakan penyebab abdomen akut yang sering terjadi. Apendisitis merupakan penyakit yang
ditimbulkan akibat tersumbatnya lumen apendiks oleh berbagai hal seperti cacing, kotoran
penderita yang mengeras, benda asing (biji), dan tumor usus. Sumbatan ini menyebabkan
produksi lender apendiks tidak tersalurkan ke usus besar, dan berakibat pada pembangkakan
serta terjadinya infeksi di apendiks. Apendiks hanya mempunyai satu saluran pembuangan yaitu
usus besar, jadi jika salurannya tersumbat maka produksinya menumpuk. Radang usus buntu
bersifat akut atau kronis, bila tidak diatasi akan berakibat pada pecahnya usus buntu dan berakhir
dengan kematian penderita. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak
kasus memerlukan laparatomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak
terawatt, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai
cacing yang terinfeksi hancur.1

Etiologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling berperan dalam etiologi
terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi lumen apendiks. Pada keadaan klinis, faktor
obstruksi ditemukan dalam 60 – 70 % kasus. Sekitar 60 % obstruksi disebabkan oleh hyperplasi
kelenjar limfe submukosa, 35 % disebabkan oleh fekalit, dan 5 % disebabkan oleh faktor
obstruksi yang lain.2
Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa parasite seperti Entamoeba histolytica,
Trichuris trichiura, dan Enterobius vermicularis dapat menyebabkan erosi membran mukosa
apendiks dan perdarahan. Pada awalnya Entamoeba histolytica berkembang di kripte glandula
intestinal. Selama invasi pada lapisan mukosa, parasit ini memproduksi enzim yang dapat
menyebabkan nekrosis mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus. Keadaan obstruksi berakibat
terjadinya proses inflamasi. Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadinya obstruksi
adalah; akumulasi dan peningkatan tekanan dari cairan intraluminal, kongesti dinding, apendiks,
obstruksi vena dan arteri, yang akhirnya menimbulkan keadaan hipoksia sehingga
mengakibatkan invasi bakteri.2
Epidemiologi
Apendisitis dapat terjadi pada semua kelompok usia, mulai dari bayi, anak, remaja,
dewasa hingga lansia. Untuk pasien anak, apendisitis akut sering terjadi pada rentang usia 6 – 10
tahun dan 50 - 85 % kasus apendisitis akut pada anak baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Tingginya kejadian perforasi apendiks pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang belum
sempurna dimana lumen apendiks masih tipis, omentum belum berkembang, dan daya tahan
tubuh yang belum sempurna dapat membuat proses perforasi berlangsung cepat. Selain itu,
pasien anak biasanya kurang mampu untuk menggambarkan rasa nyeri yang timbul sehingga
memperlambat waktu untuk diagnosis. Angka mortalitas apendisitis secara keseluruhan 0,2 – 0,8
% yang disebabkan oleh komplikasi pada intervensi bedah dan keterlambatan diagnostic. Pada
pasien anak, angka mortalitasnya 0,1 – 1 %, pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun, angka
mortalitasnya diatas 20%, hal ini terjadi terutama karena keterlambatan diagnostik dan terapi.3

Gejala klinis
Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
visceral disekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai dengan mual dan kadang ada muntah.
Umumnya nafsu makan menurun, dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah di
titik Mc Burney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 – 38,5 oC. bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah biasanya dilihat pada
abses periapendikuler. Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada region iliaka kanan, bias
disertaai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
Nyeri tekan, nyeri lepas, dan defance muskuler di titik Mc Burney merupakan kunci diagnosis.
Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda
Rovsing. Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik pada
peristalsis generalisata akibat apendisitis perforate. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
merupakan pemeriksaan yang lebih ditunjukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi
aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang
menempel di m. psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator
digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m. obturator internus,
yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvka. Pemeriksaan jumlah leukosit
membantu menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis
terlebih pada kasus dengan komplikasi.2

Skor Alvarado
Skor Alvarado adalah 10 butir skoring untuk diagnosis apendisitis berdasarkan simptom
dan tanda klinis serta pemeriksaan laboratorium.4

Tabel 1. Alvarado Scoring System4


Characteristics Score
3 Symptoms
Migration of pain to the right lower quadrant 1 Sesuai dengan penelitian-
Nausea and vomiting 1 penelitian sebelumnya, system
Anorexia 1 skoring sederhana ini dapat

3 Signs menentukan tindakan

Tenderness in right iliac fossa 2 selanjutnya pada pasien

Rebound tenderness in right iliaca fossa 1 apendisitis akut.4

Elevated temperature 1
2 Laboratory finding Tabel 2. Menejemen

Leukocytosis 2 Apendisitis Akut Berdasarkan


Skor Alvarado4
Shift to left of neutrophils 1
Skor Manajemen
Total 10
Alvarado
0–3 Pasien boleh dipulangkan, tidak dilakukan operasi apendektomi, dan segera
kembali ke dokter jika tidak ada perbaikan dari gejala.
4–6 Observasi selama 12 jam dan setelah 12 jam dinilai kembali skor Alvaradonya,
jika skor tetap 4-6 dengan gejala yang sama tidak ada perbaikan maka
dilakukan apendektomi.
7–9 Untuk pasien anak dan laki-laki segera apendektomi, sedangkan untuk pasien
perempuan dilakukan pemeriksaan laparaskopi terlebih dahulu kemudoa
apendektomi
Patofisiologi
Apendiks (usus buntu) pada keadaan inflamasi, menyebabkan kontraksi otot apendiks
terganggu, pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15-25 cmH2O (satuan
untuk mengukur nafas pada respiratoi dan ventilator) dan meningkat menjadi 30-50 cmH2O pada
waktu kontraksi, pada keadaan normal tekanan pada lumen sekum antara 3-4 cmH2O, sehingga
terjadi perbedaan tekanan yang berakibat cairan didalam lumen apendiks terdorong masuk
kedalam sekum, cairan lendir yang dihasilkan sebanyak 1-2ml perhari. Sekresi immunoglobulin
diproduksi oleh Gus-Associated Lymphoid Tissues(GALD)dan hasil sekresi yang dominan
adalah IgA yang berguna dalam mengontrol prolifasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah
penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lain.5
Faktor utama penyebab terjadinya appendisitis akut pada dasarnya adalah obstuksi lumen
apendiks, obstruksi bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat.
Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen sekum, yang diikuti oleh
obstruksi fungsional apendiks dan berkembang biaknya bakteri. Penyebab utama konstipasi
adalah diet rendah serat, diet rendah serat dapat menyebabkan feses menjadi memadat, lebih
lengket, dan berbentuk makin besar, sehingga membutuhkan waktu transit yang lebih lama
didalam kolon, juga dapat mengubah kandungan bakteri. Proses awal appendisitis terjadi 12-24
jam pertama, apabila terjadi obstruksi terus menerus mukus akan terakumulasi sehingga
menyebabkan tekanan intra lumen meningkat yang dapat memicu translokasi kuman dan
peningkatan jumlah kuman didalam lumen apendiks, gangguan sirkulasi limfe, menyebabkan
udem sehingga mempermudah invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa,
menyebabkan ulserasi mukosa apendiks yang disebut apendisitis fokal. Obstruksi yang
berkelanjutan menyebabkan gangguan sirkulasi vaskuler yang dapat menyebabkan udem
bertambah berat dan penanahan pada dinding apendiks, ini disebut apendisitis akuta surpuratif.
Pada keadaan lebih lanjut terjadi gangguan sirkulasi arterial yang menyebabkan terjadinya
ganggren yang disebut apendisitis ganggrenosa.6 Bila tekanan semakin meningkat akan terjadi
perforasi didaerah yang mengalami gangrene tersebut, material intralumen yang infeksius akan
keluar kedalam rongga peritonium dan terjadi peritonitis lokal. Apabila terjadi penanahan maka
akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah disekitar apendiks, terjadi keadaan yang disebut
abses periapendikular, bila keadaan tubuh membaik maka proses akan terlokalisir, tetapi bila
keadaan tubuh tidak membaik maka akan terjadi peritoniti general. Pemakaian antibiotik dapat
mengubah berlangsungnya proses tersebut sehingga dapat terjadi keadaan seperti appendisitis
rekurens, appendisitis kronis. Apendisitis rekurens adalah appendisitis yang secara klinis
memberikan serangan yang berulang, sedangkan apendisitis kronis adalah apendisitis yang
secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu 19. Kadang-kadang apendisitis terjadi tanpa
adanya obstruksi, ia terjadi karena adanya penyebaran infeksi dari organ lain secara hematogen
ke apendiks. Terjadi abscessmultiplekecil pada apendiks dan pembesaran lnn.
mesentricaregional. Karena terjadi tanpa obstruksi maka gambaran klinis tentunya berbeda
dengan gejala obstruksi tersebut diatas.5

Penatalaksana
Penanganan perioperative pasien dengan diagnosis apendisitis masih bervariasi, misalnya
penggunaan drain, penutupan luka operasi, walaupun para spesialis bedah setuju bahwa
penanganan apendisitis adalah apendiktomi (operatif).7
Pada survey yang dilakukan oleh anggota American Pediatric Surgery Association, hanya
separuh dari para spesialis bedah yang melakukan operasi pada saat tengah malam. Tidak ada
peningkatan terjadinya perforasi atau komplikasi antara grup yang dilakukan operasi dalam 6
jam setelah masuk dan grup yang dilakukan operasi dalam 6-18 jam setelah masuk.7
Penanganan operatif pasien dengan apendisitis akut dapat dilakukan dengan cara terbuka
ataupun minimal invasive surgery / keyhole surgery. Keunggulan dan kerugian dari masing-
masing cara operasi ini masih diperdebatkan. Keunggulan yang diklaim dari mnimal invasive
surgery adalah waktu rawat yang lebih singkat, kurangnya nyeri setelah operasi, kurangnya
komplikasi luka pasca-operasi, apendiktomi lebih mudah pada pasien yang gemuk, waktu
pemulihan pasca-operasi lebih cepat, sedangkan kelemahan minimal invasive surgery adalah
biaya lebih mahal, memerlukan spesialis bedah yang mempunyai pengalaman untuk
mengerjakan.8
Antibiotic yang digunakan adalah antibotik yang dapat menggantikan kuman aerob dan
anaerob. Antibiotic yang banyak digunakan adalah kombinasi antara ampisilin (25-50
mg/kgBB/dosis IV/IM empat kali sehari), metronidazole (7,5 mg/kgBB/dosis tiga kal sehari) dan
gentamisin (7,5 mg/kgBB/dosis IV/IM sekali sehari).8 Untuk apendisitis tanpa komplikasi,
dianjurkan memakai antibiotic bervariasi dari single dose sampai 48 jam setelah operasi
sedangkan untuk apendisitis dengan komplikasi, pemakaian antibiotic dianjurkan palinh tida
sampai 48 jam – 5 hari setelah operasi.7

Daftar Pustaka

1. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Departement of Health and Human Service. National
Institute of Health. Diakses dari : http://www.digestive.niddk.nih.gov/. 21 Juli 2018.
2. Wiyono MH. Aplikasi skor Alvarado pada penatalaksanaan apendisitis akut. Jakarta:
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana; Jurnal
Kedokteran Meditek. Vol 17 (44); 2011.
3. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Apendiks. Buku ajar
ilmu bedah sjamsuhidajat-dejong. Ed 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2010.
4. Marisa, Junaedi HI, Satiawan MR. Batas angka leukosit antara apendisitia perforasi di
rumah sakit umum daerah tugurejo semarang selama januari 2009-juli 2011. Jurnal
Universitas Muhammadiyah Semarang; 2012. Vol 1 (1).
5. Ivan. Karakteristik penderita apendisitis di RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2009.
Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2010.
6. Sisk JE. 2004. Appendicitis. Encyclopedia of Children’s Health. Diakses dari :
http://www.healthofchildren.com/A/Appendicitis.html. 21 Juli 2018.
7. Supriyantno B. Tatalaksana berbagai keadaan gawat darurat pada anak. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia- RSCM;
2013.
8. World Health Organitation (WHO). Apendisitis. Dalam: Pelayanan kesehatan anak di
rumah sakit, pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/ kota.
Jakarta: WHO; 2009.h.274.

Anda mungkin juga menyukai