Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PERJANJIAN DI DALAM ASURANSI SYARIAH


DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH HUKUM ASURANSI

D
I
S
U
S
U
N

Oleh :

HARDYANTI MUHAMMAD HERU


NIM : 0505161013 NIM : 0505161015
MUHAMMAD LUKMAN HAKIM RAYMATUL HUSNI
NIM : 0505161007 NIM : 0505161022
SAFNY LORENZA SAHRI ARAMIKO
NIM : 0505163078 NIM : 0505163077
Jurusan : Asuransi Syariah B Semester III

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2017
KATA PENGANTAR

Setinggi Puja Sedalam Syukur, Marilah Kita Panjatkan Kehadirat Allah SWT. Karena
limpahan rahmat dan karunianya dapatlah kami menyelesaikan sebuah makalah yang
berjudul “Perjanjian didalam Asuransi Syariah”.

Shalawat dan salam semoga tetap tersampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW.
Karena beliaulah yang telah membawa kita dari zaman ketidaktahuan menuju zaman yang
penuh pengetahuan. Semoga dengan memperbanyak shalawat kepada beliau, kita tergolong
umat yang akan mendapat Syafaat di yaumil akhir kelak.

Selanjutkan kami ucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Hukum
Asuransi yang telah memberikan bimbingan dan arahan demi terselesaikannya makalah ini.

Kami akui makalah ini belumlah sempurna, maka dari itu kami sangat mengharapkan
masukan baik itu kritik maupun saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah
ini.

Akhirnya dengan menyerahkan diri kepada Allah, kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Medan, 20 November 2017

Pemakalah
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Asuransi

Asuransi merupakan serapan dari kata assurantie (Belanda), atau assurance/insurance


(Inggris). Secara sederhana asuransi berarti pertanggungan atau perlindungan atas suatu
obyek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian.1

Santoso Poedjosoebroto, mengatakan bahwa : Asuransi pada umumnya adalah suatu


perjanjian timbal balik, dalam mana pihak penanggung dengan menerima premi mengikatkan
diri untuk memberikan pembayaran pada pengambil asuransi atau orang yang ditunjuk karena
terjadinya suatu peristiwa yang belum pasti, yang disebut di dalam perjanjian, baik karena
pengambilan asuransi atau tertunjuk menderita kerugian yang disebabkan oleh peristiwa
tadi, maupun karena peristiwa tadi mengenai hidup kesehatan atau validituit seorang
tertanggung.2

Dalam pasal 246 KUHD telah dijelaskan pengertian asuransi, yaitu : Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri
kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak tertentu.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 2 Tahun 1992, berbunyi : Asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara 2 pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.

1
M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional: Teori, Sistem, Aplikasi & Pemasaran.
(Jakarta: Kholam Publishing, 2006), h. 39.
2
Santoso Poedjosoebroto, Beberapa Aspek Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia, cet. II,(Bandung
: Alumni, 1976) h. 82.
Definisi mengenai asuransi juga dapat dilihat dari Undang-Undang No. 40 tahun 2014
tentang Perasuransian pada Ketentuan Umum Pasal 1 yang menyebutkan bahwa Asuransi
adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang
menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:

a) Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena


kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

b) Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau


pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah
ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

Dengan demikian tampak bahwa definisi asuransi dalam Undang- Undang No.40
tahun 2014 lebih luas jika dibandingkan dengan definisi asuransi yang ada dalam KUHD.
Dalam Pasal 246 telah secara eksplisit hanya melingkupi asuransi kerugian. Sedangkan dalam
Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang No. 40 tahun 2014 telah melingkupi asuransi
kerugian sekaligus juga asuransi jiwa.

Baru kemudian pada Pasal 247 KUHD disebutkan bahwa pertanggungan itu antara
lain dapat mengenai bahaya kebakaran, bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum
dipanen, jiwa satu orang atau lebih dan bahaya perbudakan, bahaya pengangkutan di darat, di
suangai, dan perairan pedalaman.

Berdasarkan definisi dari KUHD dan Undang-Undang No. 40 tahun 2014 tersebut,
maka dalam asuransi terkandung empat unsur yaitu:3

a) Pihak peserta (insured) yang berjanji untuk membayar uang premi kepada pihak
penanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur.

b) Pihak penanggung (insurer) yang berjanji akan membayar sejumlah uang


(santunan) kepada pihak peserta, sekaligus atau secara berangsur-angsur apabila terjadi
sesuatu yang mengandung unsur tidak tentu.

c) Suatu peristiwa (accident) yang tidak tentu (yang tidak diketahui sebelumnya)

3
Khotibul Umam, Memahami dan Memilih Produk Asuransi, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011),
h. 3-6
d) Kepentingan (interest) yang mungkin akan mengalami kerugian karena peristiwa
yang tidak tentu.

2. Pengertian Asuransi Syariah

Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman


Umum Asuransi, asuransi syariah adalah (ta‟min, takaful atau tadhamun) adalah usaha
saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/ pihak melalui investasi
dalam bentuk asset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan prinsip syariah. 4
Dalam pengertian tersebut terdapat tiga kata sebagai padanan dari kata asuransi syariah, yaitu
takaful, ta‟min dan tadhamun. Ketiga padanan kata tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

a. Takaful

Di Indonesia, istilah asuransi syariah dikenal dengan istilah takaful. Takaful berasal
dari kata bahasa Arab, yaitu kafala.5 Dalam kamusbahasa Arab berarti menanggung atau
menjamin. Kata takaful akar katanya (kafala-yakfulu-kafaalatan) yang berarti menanggung.
Kemudian dari mujarrad dipindah ke tsulasi mazid menjadi (takaafala-yataakaafalu-
takaafulan) dan mempunyai arti yang satu menanggung yang lain atau saling menanggung
satu dengan yang lain. Dalam pengertian muamalah, takaful adalah jaminan sosial di antara
sesama muslim, sehingga antara satu dengan yang lainnya bersedia saling menanggung
resiko.6Di dalam al-Qur‟an tidak ditemukan istilah takaful yang menunjukkan arti asuransi,
namun ada kata yang seakar dengan istilah takaful, seperti yang terdapat pada QS. Thaha
(20): 40 dan QS. An-Nisa (4): 85 yang berbunyi sebagai berikut:

1. Q.S. Thaha : 40

‫َاك ِإلَى أ ُ ِم َك َك ْي تَقَ َّر َع ْينُ َها َو َل‬


َ ‫ِإ ْذ ت َ ْمشِي أ ُ ْخت ُ َك فَتَقُو ُل ه َْل أَدُلُّ ُك ْم َعلَى َمن َي ْكفُلُهُ فَ َر َج ْعن‬
َ َّ‫َاك ِمنَ ْالغ َِم َوفَتَن‬
َ ْ‫اك فُتُونا ً فَلَبِث‬
‫ت ِسنِينَ فِي أ َ ْه ِل َم ْد َينَ ث ُ َّم‬ َ ‫ت َ ْحزَ نَ َوقَت َ ْل‬
َ ‫ت نَ ْفسا ً فَنَ َّج ْين‬
‫سى‬ َ ‫ت َعلَى قَدَ ٍر يَا ُمو‬ َ ْ‫ِجئ‬

4
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Oprasional,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004) h. 30
5
Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.3.
6
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h.98.
Artinya : (yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga
Fir'aun): "Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?" Maka
Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. dan
kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan
Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan; Maka kamu tinggal beberapa tahun
diantara penduduk Madyan, kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan Hai
Musa.”

2. Q.S. An-Nisa : 85

ُ‫سيِئَةً يَ ُكن لَّه‬


َ ً ‫عة‬ َ ‫يب ِم ْن َها َو َمن يَ ْشفَ ْع‬
َ ‫شفَا‬ ِ ‫سنَةً يَ ُكن لَّهُ ن‬
ٌ ‫َص‬ َ ‫عةً َح‬ َ ‫َّمن يَ ْشفَ ْع‬
َ ‫شفَا‬
ً ‫ش ْيءٍ ُّم ِقيتا‬ َ ُ‫ِك ْف ٌل ِم ْن َها َو َكانَ ّللا‬
َ ‫علَى ُك ِل‬
Artinya : “Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh
bahagian (pahala) dari padanya. dan Barangsiapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia
akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Kedua ayat al-Qur‟an di atas tidak mengarah pada takaful dalam arti asuransi, akan
tetapi ayat diatas hanya menyebutkan kata Kafala. Sementara, Takaful dalam pengertian
asuransi terdapat dalam QS: al-Ma‟idah ayat 2 sebagai berikut:

َ‫ي َول‬ َ ‫ام َولَ ْال َه ْد‬


َ ‫ش ْه َر ْال َح َر‬
َّ ‫ش َعآ ِئ َر ّللاِ َولَ ال‬َ ْ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ لَ ت ُ ِحلُّوا‬
‫ضالً ِمن َّر ِب ِه ْم َو ِرض َْوانا ً َو ِإذَا َحلَ ْلت ُ ْم‬ ْ َ‫ام يَ ْبتَغُونَ ف‬ َ ‫ْت ْال َح َر‬ َ ‫ْالقَآلئِدَ َول ِآمينَ ْالبَي‬
‫ع ِن ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام أَن‬ َ ‫َآن قَ ْو ٍم أَن‬
َ ‫صدُّو ُك ْم‬ ُ ‫شن‬َ ‫طادُواْ َولَ يَ ْج ِر َمنَّ ُك ْم‬
َ ‫ص‬
ْ ‫فَا‬
ِ ‫اإلثْ ِم َو ْالعُ ْد َو‬
ْ‫ان َواتَّقُوا‬ ِ ‫علَى ْال‬
َ ْ‫بر َوالت َّ ْق َوى َولَ تَ َع َاونُوا‬
ِ ‫علَى‬ َ ْ‫تَ ْعتَدُواْ َوتَ َع َاونُوا‬
ِ ‫شدِيدُ ْال ِعقَا‬
‫ب‬ َ َ‫ّللاَ ِإ َّن ّللا‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan
apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-
kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.”

Ayat di atas menganjurkan umat manusia untuk saling tolong- menolong dalam hal
kebaikan. Dasar dari asuransi syariah adalah adanya unsur tolong-menolong. Dalam asuransi
syariah cara untuk menolong sesama muslim dilakukan dengan cara memberikan dana
kebajikan atau tabarru’ secara sukarela yang ditujukan untuk menanggung resiko setiap
peserta asuransi syariah.

b. Al-ta’min

Al-ta’min berasal dari kata bahasa Arab amana yang berarti memberi perlindungan,
ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut. Sebagaimana firman Allah SAW dalam QS.
Quraisy : 4 sebagai berikut:

ْ َ‫الَّذِي أ‬
ٍ‫طعَ َم ُهم ِمن ُجوعٍ َوآ َمنَ ُهم ِم ْن خ َْوف‬
Artinya : “Yang Telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan.”

Dalam al-ta‟min penanggung disebut dengan istilah mu`ammin,sedangkan


tertanggung disebut mu`amman lahu atau musta`min. Ketenangan dan rasa aman akan
didapatkan seseorang apabila seseorang tersebut mengikatkan diri dengan nilai-nilai
keimanan kepada Allah SAW. Seseorang ber-ta‟min dengan cara membayar sejumlah uang
secara angsuran yang bertujuan untuk memberikan sejumlah uang kepada ahli waris
sebagaimana yang telah disepakati dan/ atau memberikan ganti rugi atas hartanya yang
hilang akibat resiko yang tidak pasti. Tujuannya adalah menghilangkan rasa takut dari
sesuatu kejadian yang tidak dikehendaki, dengan adanya jaminan tersebut maka rasa takut itu
akan hilang seiring dengan adanya rasa terlindungi pada diri peserta asuransi.

c. Al-tadhamun

Al-tadhamun berasal dari kata dlamana yang mempunyai arti saling menanggung.
Tujuan dari Al-tadlamun adalah untuk menutupi kerugian atas suatu peristiwa dan musibah
yang tidak pasti. Seseorang yang menanggung memberikan pengganti kepada yang
ditanggung karena adanya musibah yang menimpa tertanggung. Tolong-menolong (ta‟awun)
merupakan makna yang ada di dalam al-tadlamun sehingga ada rasa keharusan untuk saling
tolong menolong antar anggota masyarakat yang sedang tertimpa musibah.

Menurut Mushtafa Ahmad Zarqa pengertian Asuransi secara istilah adalah kejadian,
adapun metodelogi dan gambarannya dapat berbeda- beda, namun pada intinya asuransi
adalah suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari risiko
(ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya atau dalam aktivitas
ekonominya. Ia berpendapat, bahwa sistem Asuransi adalah sistem ta’awun dan tadhamun
yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah oleh
sekelompok tertanggung kepada orang yang tertimpa musibah tersebut Penggantian
tersebut berasal dari premi mereka.7

Menurut Husain Hamid Hisan mengatakan Asuransi adalah sikap ta’awun yang telah
diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia, semuanya telah siap
mengantisipasi suatu peristiwa, jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut, maka
semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian
(derma) yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian (derma) tersebut
mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami oleh peserta yang tertimpa musibah.
Dengan demikian asuransi adalah ta’awun yang terpuji, yaitu saling tolong menolong dalam
berbuat kebajikan dan takwa. Dengan ta’awun mereka saling membantu antara sesama, dan
mereka takut dengan bahaya (malapetaka) yang mengancam mereka.8

Dalam ensiklopedi hukum Islam telah disebutkan bahwa asuransi adalah transaksi
perjanjian antara dua pihak, dimana pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak
yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika
terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.9

7
Wirdyaningsih, Kanaen P, Gemala Dewi, Yeni S. Berlianti, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2005) h.24
8
Abdullah Amrin, Meraih Berkah melalui Asuransi Syariah ( Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2011) h. 39
9
AM. Hasan Ali, Masail Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), h.95.
Abbas Salim berpendapat, bahwa asuransi adalah suatu kemauan untuk menetapkan
kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (subsitusi) kerugian-
kerugian yang belum pasti.10

3. Pengertian Perjanjian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau
dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati
apa yang tersebut dalam persetujuan itu.11

Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh
dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi
persetujuan yang telah dibuat bersama.12

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.13

Menurut R. Subekti Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang


berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal.14

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian adalah hubungan antara dua


pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hukum.15

4. Perjanjian Asuransi.

Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian, oleh karena itu
perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian asuransi. Di
samping itu karena acuan pokok perjanjian tetap pada pengertian dasar dari perjanjian
asuransi. Secara umum pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain sebagai berikut :16

1. Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.

10
Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.1.
11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthsar Indonesia Edisi Ketiga ( Jakarta : Balai
Pustaka. 2005) h. 458.
12
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rincka Cipta, 2007) h. 363
13
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.Terjemahan KUH.Perdata( Jakarta : Pradnya Paramita, 1994) h.306.
14
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1979), h .1.
15
Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, (Yogyakarta:Liberty, 1998) h. 97.
16
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1995) h. 82
2. Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang satu (yang berpiutang
atau kreditur) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain. (yang berhubungan atau debitur)
yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggung jawab atas suatu prestasi.

Sebagai suatu perjanjian, asuransi juga tunduk pada ketentuan-ketentuan dasar yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) buku III bab Kedua.
Asuransi dikatakan suatu perjanjian jelas ditentukan dalam pasal 246 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD). Sebagai suatu perjanjian, maka asuransi juga dikuasai oleh
ketentuan mengenai persyaratan sahnya suatu perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyebutkan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3. Mengenai suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

Asuransi sebagai perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagai yang ditetapkan


dalam pasal 1320 KUHperdata , juga harus memenuhi syarat-syarat khusus yang tercantum
dalam KUHD pasal 250 dan 251. Dalam hal ini akan diuraikan sebagai berikut :

a. Ada persetujuan kehendak.

Antara pihak-pihak yang mengadakan pertanggungan harus ada persetujuan


kehendak. Artinya kedua belah pihak menyutujui tentang benda yang menjadi objek
perjanjian dan tentang syarat-syarat tertentu yang berlaku bagi perjanjian tersebut.Apa yang
disetujui oleh pihak penanggung,disetujui juga oleh pihak tertanggung. Dengan demikian
tercapai satu pengertian yang sama antarakedua belah pihak tentang benda yang menjadi
objek perjanjian dan tentang syarat – syarat yang berlaku dalam perjanjian itu.

b. Wewenang melakukan perbuatan hukum.

Kedua belah pihak yang mengadakan pertanggungan harus berwenang melakukan


perbuatan hukum. Artinya kedua belah pihak itu sudah dewasa, tidak di bawah pengampuan ,
tidak dalam keadaan sakit ingatan , tidak dalam keadaan pailit. Demikian juga apabila pihak-
pihak lain mengadakan pertanggungan perlu menyebutkan untuk kepentingan siapa ia
mengadakan pertanggungan itu.Kedua belah pihak dapat berupa manusia atau badan hukum ,
biasanya berbentuk badan suatu usaha. Pihak penanggung selalu dalam bentuk usaha yang
pekerjannya bergerak dalam bidang pertanggungan.

c. Ada benda yang dipertanggungkan

Dalam setiap pertanggungan harus ada benda yang dipertanggungkan. Karena yang
mempertanggungkan benda itu adalah tertanggung,maka tertanggung harus mempunyai
hubungan langsung atau tidak langsung dengan benda yang dipertanggungkan itu. Dikatakan
ada hubungan langsung apabila tertanggung memiliki benda tersebut, dikatakan ada
hubungan tidak langsung, apabila tertanggung mempunyai kepentingan atas benda tersebut.
Pihak tertanggung harus dapat membuktikan bahwa ia betul-betul memiliki atau mempunyai
kepentingan atas benda yang dipertanggungkan itu. Undang- undang tidak akan mentolerir
orang yang tidak mempunyai kepentingan dalam pertanggungan. Dianggap tidak mempunyai
kepentingan, orang yang mempertanggungkan benda yang dilarang oleh undang – undang.
Jika diadakan pertanggungan juga , pertanggungan itu batal ( pasal 599 KUHD).

d. Ada causa yang diperbolehkan

Yang dimaksud dengan causa yang diperbolehkan disini adalah bahwa isi dari
perjanjian pertanggungan itu tidak dilarang oleh undang-undang , tidak bertentangan dengan
kepentingan umum,dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Misalnya adalah
mempertanggungkan benda yang dilarang oleh undang-undang , disini tidak ada causa yang
halal.

e. Pembayaran premi

Karena pertanggungan itu adalah perjanjan timbal balik, maka kedua belah pihak
harus berperestasi. Penanggung menerima peralihan atas benda yang dipertanggungkan,
sedangkan tertanggung harus membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Besar atau
kecil jumlah premi bukan soal penting,yang penting kedua belah pihak harus mencapai
persetujuan. Jika premi tidak dibayar, maka risiko tidak akan beralih.

f. Kewajiban pemberitahuan dari tertanggung

Salah satu syarat sahnya pertanggungan adalah pemberitahuan kepada penanggungan


tentang keadaan benda pertanggungan. Ketentuan tersebut dimuat dalam pasal 251 KUHD
yang berbunyi sebagai berikut:
“setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal
yang diketahuinya oleh si tertanggung, betapapun itikad baik itu ada padanya , yang demikian
sifatnya , sehingga , seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya
perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat – syarat yang sama,
mengakibatkan batalnya pertanggungan.

Menurut ketenuan pasal 251 KUHD, pertanggungan itu batal apabila ada
pemberitahuan yang palsu mengenai keadaan benda pertanggungan, baik kepalsuan itu
disengaja maupun karena ketidaktahuannya. Hal ini mengakibatkan kekecewaan bagi
tertanggung yang jujur , karena dengan batalnya pertanggungan dia tidak mendapat ganti
kerugian. Apabila keadaan benda pertanggungan yang sebenarnya ternyata tidak sesuai
dengan pemberitahuan sebelumnya,diketahui setelah terjadinya peristiwa yang menimbulkan
kerugian.

Dengan telah diadakannya perjanjian asuransi bukan berarti bahwa penanggung hams
melaksanakan prestasi yang diperjanjikan, dengan membayar ganti rugi kepada pihak
tertanggung. Pelaksanaan prestasi tertanggung hanya akan direalisasikan apabila peristiwa
tertentu yang diperjanjikan itu terjadi dan menimbulkan kerugian kepada tertanggung.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi agar penanggung itu melaksanakan


prestasinya adalah:

1. Adanya peristiwa yang tidak tertentu

Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa perjanjian asuransi itu adalah perjanjian
bersyarat. Sedang syarat yang diperjanjikan dalam polis adalah kerugian yang ditimbulkan
oleh peristiwa yang tidak tertentu (evenement). Yang dimaksud dengan peristiwa tidak
tertentu di sini adalah peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, dan secara subyektif
diketahui bahwa peristiwa itu belum timbul sebelumnya dan tidak ada kepastian bahwa
peristiwa itu akan terjadi. Seandainya peristiwa itu telah terjadi atau secara obyektif diketahui
pasti akan terjadi, maka perjanjian masih secara sah berlaku asalkan tertanggung tidak
mengetahui sama sekali bahwa peristiwa itu telah atau pasti akan terjadi.
2. Hubungan sebab akibat

Kerugian yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa tertentu (evenement) tidak secara
otomatis menyebabkan kerugian itu dibayar. Agar suatu kerugian itu diberikan ganti oleh
penanggung, hams dapat dibuktikan terlebih dahulu bahwa kerugian itu adalah disebabkan
oleh perihal yang termasuk ke dalam tanggung jawab penanggung. Apabila ada beberapa
peristiwa yang menyebabkan kerugian, dan beberapa di antaranya termasuk ke dalam jenis
peristiwa yang dijaminkan kepada penanggung.

3. Catat atau kebusukan benda

Pasal 249 KUHD menentukan apabila bahwa dalam polls secara tegas mengecualikan
kerugian yang ditimbulkan oleh suatu cacat, kebusukan sendiri atau karena sifat dari barang
yang dipertanggungkan itu, maka penanggung tidak akan bertanggung jawab terhadap
kerugian yang disebabkan oleh hal-hal yang disebutkan tadi. Kecuali dalam perjanjian
asuransi kesehatan karena dalam perjanjian semacam itu, yang dipertanggungkan justru cacat
dari badan itu sendiri, namun itupun tidak berlaku apabila cacat itu disembunyikan sewaktu
kontrak akan ditandatangani atau penyakit telah ada sebelumnya.

4. Kesalahan sendiri dari tertanggung

Pasal 276 KUHD menyatakan bahwa pada dasarnya penanggung tidak akan
bertanggung jawab terhadap kerugian, yang ditimbulkan oleh kesalahan tertanggung sendiri.
Namun kesalahan sendiri itu juga merupakan suatu peristiwa yang tidak tertentu. Apabila
kesalahan sendiri itu akan dipertanggungkan, harus dinyatakan secara tegas dalam polis.

5. Prinsip indemnity (keseimbangan)

Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa perjanjian asuransi itu mempunyai tujuan


untuk mengalihkan risiko dan tertanggung kepada penanggung dengan cara membeli polis
asuransi. Dengan dialihkannya risiko kepada penanggung, maka apabila terjadi kerugian yang
disebabkan oleh peril yang dijaminkan, penanggung akan membayar ganti rugi sebesar nilai
kerugian/nilai pertanggungan.

Dengan demikian, dalam memberikan ganti rugi tersebut berlakulah azas


keseimbangan karena ganti rugi yang diberikan harus seimbang dengan nilai kerugian. Jadi
perjanjian asuransi itu hanya bertujuan untuk mengembalikan kedudukan ekonomi
tertanggung seperti semula, dan tidak bermaksud untuk mencari/memberikan keuntungan
kepada pihak tertanggung. Sebagai akibatnya apabila sebuah benda dipertanggungkan dan
nilai pertanggungannya melebihi nilai benda itu sendiri, maka tertanggung hanya berhak
menerima ganti rugi sebesar nilai bendanya itu (kecuali dalam perjanjian rangka kapal atau
marine hull yang membolehkan untuk menanggungkan kapal sebesar agreed value). KUHD
mengatur azas tersebut dalam pasal 250, 264, 268, dan 612.

6. Nilai benda yang dipertanggungkan

Dalam asuransi, nilai benda yang dipertanggungkan sangat panting. Hal tersebut
disebabkan oleh tujuan perjanjian asuransi adalah hanya untuk memberikan ganti kerugian
sebesar nilai kerugian yang terjadi, sehingga nilai barang yang dipertanggungkan sangat
penting untuk diketahui. Dari situ pula dapat kita ketahui apakah perjanjian pertanggungan
itu under valued, proper valued ataukah over valued. Karena nilai benda yang
dipertanggungkan penting untuk diketahui secara tepat oleh para pihak yang berkepentingan,
maka perlu dilakukan penaksiran harga barang secara benar.

7. Hal-hal yang memberatkan risiko

Seringkali terjadi bahwa setelah perjanjian asuransi itu ditandatangani, keadaan yang
dapat menyebabkan timbulnya risiko itu bertambah besar (timbul hazard baru baik yang
berupa fisik, moral, morale atau legal hazard).

8. Subrograsi

Di dalam hukum perjanjian kita mengenal adanya perikatan yang timbul karena
perbuatan orang dan perikatan yang timbul karena undang-undang.Pasal 1365 KUHPerdata
menetapkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut. Di sini undang-undang menetapkan bahwa perikatan dapat timbul karena perbuatan
melanggar hukum.

Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut di atas, bagi pemegang polis yang


menderita kerugian yang disebabkan oleh bahaya yang diperjanjikan dalam polis karena
kesalahan orang lain, dapat menuntut ganti rugi dari dua pihak. Namun hal semacam itu
bertentangan dengan prinsip indemnity yang berlaku dalam hukum asuransi. Oleh karena itu,
pembentuk undang-undang telah memberikan rambu-rambu guna mencegah penyalahgunaan
semacam itu.
Pasal 284 KUHD menentukan bahwa penanggung yang telah membayar ganti
terhadap suatu barang yang dipertanggungkan, memperoleh semua hak tertanggung yang
timbul karena adanya kerugian itu pada pihak ketiga Prinsip itu disebut sebagai subrograsi.

9. Persekutuan dan penanggung

Persekutuan dari penanggung itu terjadi dalam hal atas suatu polis asuransi yang
sama, beberapa penanggung memberikan jaminan kepada suatu obyek asuransi dengan harga
melebihi nilai dan barang itu sendiri. Dalam pertanggungan semacam itu, maka setiap
penanggung hanya bertanggung jawab seimbang dengan risiko yang ditanggungnya menurut
harga barang yang sebenarnya. Prinsip ini diatur dalam pasal 278 KUHD, dan ketentuan itu
sesuai dengan prinsip indemnity yang berlaku dalam hukum asuransi.

10. Restorno

Yang dimaksudkan dengan restorno adalah pembayaran kembali premi asuransi


karena gugurnya/batalnya perjanjian asuransi. Dasar hukum dari azas ini adalah pasal 1359
KUHPer yang menyatakan bahwa tiap-tiap pembayaran yang memperkirakan adanya utang,
maka atas semua pembayaran yang tidak wajib dan telah dilakukan dapat dituntut
pengembaliannya. Batalnya perjanjian antara lain dapat disebabkan oleh adanya penipuan,
adanya paksaan secara fisik atau secara rohani sebagaimana diatur oleh pasal 1321 sampai
dengan 1328 KUHPer. Pengecualian dan kewajiban untuk dikembalikan diberikan kepada
biaya atau bunga apabila memang ada (pasal 1452 dan 1453 KUHPer).Dalam hukum
asuransi, penerapan azas ini harus hati-hati karena dapat merugikan penanggung yang
disebabkan oleh adanya itikad yang tidak balk dan tertanggung, terutama tertanggung yang
tidak mempunyai kepentingan terhadap obyek yang diasuransikan. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka pasal 281 KUHD menentukan bahwa premi restomo itu tidak
akan ada apabila tertanggung mempunyai itikad buruk. Tertanggung memperoleh hukuman
dengan membiarkan premi tetap berada pada penanggung diperhatikanadanya beberapa hal
lain yang berpengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian asuransi.
5. Perjanjian Asuransi Menurut Hukum Islam

Dalam Al- Qur’an ada dua istilah yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu Al-
‘Aqdu(akad) atau Al-‘Ahdu (janji). Pengertian akad menurut para ahli hukum Islam adalah
perikatan antara ijab (penawaran) dan kabul (penerimaan) yang dibenarkan oleh syara’
(hukum Islam). Selain Al-‘Ahdu, kata lain yang maknanya memiliki kesamaan dengan Al-
‘Aqdu/ (akad) adalah wa’ad atau al-wa’du dan iltizam. Al- Wa’du artinya janji, yaitu suatu
pernyataan yang dimaksud oleh pemberi pernyataan untuk melakukan perbutan di masa
depan. Dengan kata lain, wa’ad adalah keinginan yang dikemukakan oleh seseorang untuk
melakukan sesuatu baik perbuatan maupun ucapan dalam rangka memberi keuntungan bagi
pihak lain. Janji ini hanya bersifat penyampaian suatu keinginan dan tidak mengikat secara
hukum, namun mengikat secara moral. Adapun kata iltizam banyak digunakan oleh ulama
kontemporer untuk menegaskan terisinya dzimmah seseorang atau suatu pihak dengan suatu
hak yang wajib ditunaikan kepada orang atau pihak lain. Menurut Mustafa Az-Zarqa,
iltizam adalah keadaan seseorang diwajibkan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu bagi kepentingan orang lain menurut hukum syara’.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ketiga kata yang sering dianggap
sama pengertiannya dengan kata akad, dalam praktiknya memiliki makna berbeda dan
menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda pula.17

Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan (Al-‘Aqdu)melalui tiga tahap,


yaitu:

1. Al-‘Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dan tidak ada hubungannya dengan kemauan orang lain.

2. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama,
dimana persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.

3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang
dinamakan ‘aqdu. Maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan

perjanjian bukan lagi‘ahdu atau perjanjian, tetapi ‘aqdu (perikatan).18

17
Neneng Nurhasanah. Mudharabah dalam Teori dan Praktik,.(Bandung: PT.Refika Aditama. 2015) h.
39-40.
Subekti menyatakan bahwa perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.19

Sedangkan pengertian perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa di mana


seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.20 Peristiwa perjanjian ini menimbulkan hubungan di antara orang-
orang tersebut yang disebut dengan perikatan. Dengan demikian, hubungan antara perikatan
dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan.

Seperti yang tercantum dalam Pasal 1233 KUHPerdata, bahwa perjanjian merupakan
salah satu sumber perikatan. Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara
KUHPerdata dan Hukum Islam adalah pada tahap perjanjiannya. Pada hukum perikatan
Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua tahap), baru
kemudian lahir perikatan. Sedangkan pada KUHPerdata, perjanjian antara pihak pertama dan
pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menumbulkan perikatan diantara mereka.
Menurut A.Gani Abdullah,dalam hukum perikatan Islam, titik tolak yang paling
membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar dalam tiap transaksi. Apabila dua janji

antara para pihak tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan ikrar, maka terjadilah‘aqdu

(perikatan).21

Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi
bagi sahnya suatu akad menurut hukum Islam. Kata rukun diambil dari bahasa Arab “rukun”
yang berarti adalah suatu hal yang sangat menentukan bagi terbentuknya sesuatu dan
merupakan bagian dari sesuatu tersebut.22 Sedangkan syarat adalah hal yang sangat
berpengaruh atas keberadaan sesuatu tapi bukan merupakan bagian atau unsur pembentuk
dari sesuatu tersebut. Beda syarat dan rukun terletak pada apakah hal tersebut merupakan
bagian inti pembentuk dari sesuatu tersebut atau tidak. Sebagai contoh, para pihak (the
contracting parties) adalah rukun yang merupakan bagian inti dari suatu akad, sedangkan
kesadaran atau sehat akal merupakan syarat bagi masing-masing para pihak tersebut. Adanya

18
Wirdyaningsih ,ibid, h.47
19
R.Subekti, ibid, h.1
20
Ibid.
21
Wirdyaningsih, ibid, h.47
22
ibid, h.12
akal yang sehat dari seseorang belum tentu digunakannya untuk berakad, sehingga akal sehat
itu sendiri bukan bagian inti dari akad.

Menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, suatu akad terbentuk dengan adanya empat


komponen rukun akad yang harus dipenuhi, dimana dari masing-masing komponen tersebut
kita dapat melihat syarat-syarat sahnya, antara lain:23

A. Subjek perikatan

Subjek perikatan adalah para pihak yang melakukan akad, dan merupakan subjek
hukum. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu:24

1. Manusia

Manusia sebagai subjek hukum perikatan adalah pihak yang sudah dapat dibebani
hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak
secara hukum, baik berhubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial.

2. Badan hukum

Badan hukum adalah suatu persekutuan yang dapat bertindak dalam hukum dan
mempunyai hak dan kewajiban, serta dapat melakukan hubungan hukum terhadap orang lain
atau badan lain.25

B. Objek perikatan

Objek perikatan adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya
akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda berwujud maupun
benda tak berwujud, seperti manfaat. Adapun syarat-syarat objek akad yaitu:26

a. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan suatu perikatan yang objeknya tidak
ada adalah batal, seperti menjual anak hewan yang masih didalam perut induknya.

b. Objek perikatan dibenarkan oleh syariah. Pada dasarnya benda-benda yang menjadi objek
perikatan haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Namun jika objek perikatan itu

23
Wirdyaningsih, Ibid, h. 14-15
24
Ibid. h.51
25
Ibid, h.58
26
Ibid. h.52
dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan syariah, maka tidak dapat
dibenarkan pula, seperti pelacuran.

c. Objek akad harus jelas dan dikenali. Suatu benda yang menjadi objek perikatan harus
memiliki kejelasan, hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara para
pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika objek tersebut berupa benda, makabenda
tersebut harus jelas bentuk, fungsi dan keadaannya. Jika objek tersebut berupa jasa, harus
jelas bahwa pihak yang memiliki keahlian sejauh mana kemampuan dan keterampilannya.

d. Objek dapat diserahterimakan. Benda yang menjadi objek perikatan dapat diserahkan
pada saat akad terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Disarankan bahwa objek
perikatan berada dalam kekuasaan pihak-pihak pertama agar mudah untuk menyerahkannya
kepada pihak kedua.

C. Tujuan perikatan

Tujuan perikatan ialah tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad atau dalam
KUHPerdata hal ini merupakan suatu “prestasi” (hal yang dapat dituntut oleh satu pihak
kepada pihak lainnya), yang dirumuskan dengan menyerahkan barang, melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu.27 Syarat- syarat dari tujuan akad, yaitu:

a. Baru ada pada saat dilaksanakan akad.

b. Berlangsung adanya hingga berakhirnya akad.

c. Tujuan akad harus dibenarkan syara’.

D. Ijab dan qabul

Ijab dan qabul adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad, berupa ijab
dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah suatu pernyataan menerima dari
pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Ada 3 syarat dalam
melakukan ijab dan qabul, antara lain:28

a. Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat
dipahami jenis akad yang dikehendaki.

27
Wirdyaningsih, Ibid. h. 17-18
28
Ibid. h.63
b. Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul.

c. Jamzul iradataini,yaitu antara ijab dan qabul menunjukan kehendak para pihak secara
pasti, tidak ragu dan tidak terpaksa.

Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Selain telah tercapai
tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi pembatalan atau telah berakhir waktunya.
Pembatalan terjadinya dengan sebab- sebab sebagai berikut:29

a. Di dibatalkan, karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yang disebutkan
dalam akad rusak (akad tidak berlaku). Misalnya,jual-beli barang yang tidak memenuhi
syarat kejelasan.

b. Dengan sebab adanya khiyar, cacat, syarat, atau majelis.

c. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas
akad yang baru saja dilakukan (fasakh iqalah)

d. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.

e. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka waktu tertentu dan
tidak dapat diperpanjang.

f. Karena tidak mendapat izin pihak yang berwenang.

g. Karena kematian.

Akad juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) buku II, bab I
pasal 20 bahwa akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih
untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Pada bab II Asas Akad
Pasal 21, dimana akad dilakukan berdasarkan asas:

a. Sukarela, setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan
karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.

b. Menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakan
yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji.

29
Ibid. h.94-95
c. Kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan
secara tepat dan cermat.

d. Tidak berobah, setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang
cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulsi atau maisir.

e. Saling menguntungkan,setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak


sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.

f. Kesetaraan, para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai
hak dan kewajiban yang seimbang.

g. Transparansi,setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.

h. Kemampuan,setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak
menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.

i. Kemudahan,setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada


masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.

j. Itikad baik, akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung
unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

k. Sebab yang halal, tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak
haram.30

2.4. Dasar-dasar Penggunaan Akad dalam Asuransi Syariah

Majelis Ulama Indonesia, melalui Dewan Syariah Nasional, mengeluarkan fatwa


khusus tentang; Pedoman Umum Asuransi Syariah sebagai berikut:

Pertama: Ketentuan Umum

a. Asuransi Syariah (Ta`min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindung dan
tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan
atau tabarru` yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui
akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

30
Akad.2012.Buku II, https://infoislamicbanking.wordpress.com/2012/01/22/ebook- kompilasi-
hukum-ekonomi-syariah/ diakses tanggal 18 November 2017, 23:00 WIB.
b. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah yang tidak
mengandung penipuan, perjudian, riba (bunga), penganiayaan, suap, barang haram dan
maksiat.

c. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersil.

d. Akad tabarru` adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan
tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersil.

e. Premi adalah kewajiban peserta untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan
sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

f. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberi perusahaan asuransi sesuai dengan
kesepakatan dalam akad.

Kedua: Akad dalam Asuransi

a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan atau
akad tabarru`.

b. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru`
adalah hibah.

c. Dalam akad sekurang-kurangnya disebutkan:

- Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan,

- Cara dan waktu pembayaran premi,

- Jenis akad tijarah dan atau akad tabarru` serta syarat- syarat yang disepakati sesuai dengan
jenis asuransi yang diakad.

Ketiga: Kedudukan Setiap Pihak dalam Akad Tijarah dan Tabarru`

a. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola)


dan peserta bertindak sebagai sahibul maal (pemegang polis).
b. Dalam akad tabarru` (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan sebagai pengelola dana
hibah.

Keempat: Ketentuan dalam Akad Tijarah dan Tabarru`

a. Jenis akad tijarah dapat dirubah menjadi jenis akad tabarru` bila pihak yang tertahan
haknya dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang
belum menunaikan kewajibannya.

b. Jenis akad tabarru` tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah

Kelima: Jenis Asuransi dan Akadnya

a. Dipandang dari segi jenis, asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

b. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.31

Dalam Perjanjan antara peserta dengan perusahaan asuransi, perusahaan diamanahkan untuk
menginvestasikan dan mengusahakan pembiayaan kedalam proyek-proyek dalam bentuk
musyarakah, mudharabah dan wadiah yang dihalalkan syara’.32 Selain itu akad yang
digunakan adalah wakalah dan syirkah. Wakalah merupakan akad tijarah yang memberikan
kuasa kepada perusahaan sebagai wakil peserta asuransi untuk mengelola dana tabarru'
dan/atau dana investasi peserta asuransi, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan,
dengan imbalan berupa ujrah (fee).33 Mudharabah adalah akad tijarah yang memberikan
kuasa kepada perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi dana tabarru' dan
peserta asuransi bertindak sebagai shahibul maal(pemegang polis). Premi yang berasal dari
jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investainya dibagikan kepada peserta
asuransi. Akad Mudharabah dalam asuransi syariah dapat direlakan bagi hasilnya oleh pihak
peserta asuransi apabila ada hal-hal yang membuat peserta asuransi melepaskan haknya
dengan sukarela.34 Wadiah berarti meninggalkan atau menjaga. Akad wadiah yang digunakan

31
Muhammad Syakir Sula, Ibid, h.42
32
Ibid, h.43
33
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.10/2010, pasal 1 angka 9.
34
Neneng Nurhasanah. Ibid., h. 166.
dalam asuransi Islam ini adalah wadiah yad dhamanah, dimana pihak yang dititipkan dana
(dalam hal ini asuransi syariah) berhak untuk memanfaatkan dana tersebut. Penitipan
dilakukan dalam rekening giro, dana yang terkumpul dari nasabah yaitu premi akan
dititipkan kepada perusahaan asuransi Islam untuk kemudian dana tersebut dikelola oleh
perusahaan asuransi Islam. Musyarakah berarti perjanjian antara dua pihak atau lebih dalam
melaksanakan suatu usaha tertentu. Konsep asuransi Islam pada dasarnya merupakan konsep
musyarakah dimana terdapat perusahaan asuransi yang memiliki tenaga dan juga keahlian,
serta peserta asuransi Islam yang memiliki dana dan juga modal.35 Syirkah termasuk dalam
jenis-jenis akad musyarakah. Para ulama fiqh membagi syirkah kedalam dua bentuk, yaitu

syirkah al-amlak (perserikatan dalam pemilikan) dan syirkah al-‘uqu (perserikatan

berdasarkan perjanjian). Perserikatan dalam pemilikan, yaitu kepemilikan harta secara


bersama (dua orang atau lebih) tanpa diperjanjikan terlebih dahulu menjadi hak bersama atau
terjadi secara otomatis. Dalam perserikatan ini, sebuah asset dan keuntungan yang dihasilkan
menjadi milik bersama yang bersarikat/berkongsi.Sedangkan perikatan berdasarkan
perjanjian yaitu perkongsian/perserikatan yang terbetuk karena adanya ikatan perjanjian
diantara para pihak, yang masing-masing sepakat untuk memberikan kontribusi sesuai
dengan porsinya dan sepakat pula untuk berbagi keuntungan dan kerugian.36

35
Nurul Huda, Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis danPraktis. (Jakarta:
Kencana,2010) h. 184.
36
Fathurrahman Djamil. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syariah. (Jakarta: Sinar Grafika Offset 2012) h. 166.
M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional: Teori, Sistem, Aplikasi &
Pemasaran. (Jakarta: Kholam Publishing, 2006).

Santoso Poedjosoebroto, Beberapa Aspek Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia, cet.


II,(Bandung : Alumni, 1976).

Khotibul Umam, Memahami dan Memilih Produk Asuransi, (Yogyakarta: Pustaka


Yustisia, 2011).

Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem
Oprasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004)

Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)

Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010)

Wirdyaningsih, Kanaen P, Gemala Dewi, Yeni S. Berlianti, Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005)

Abdullah Amrin, Meraih Berkah melalui Asuransi Syariah ( Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2011)

AM. Hasan Ali, Masail Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2003)

Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995)

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthsar Indonesia Edisi Ketiga ( Jakarta :
Balai Pustaka. 2005)

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rincka Cipta, 2007)

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.Terjemahan KUH.Perdata( Jakarta : Pradnya Paramita, 1994)

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1979)


Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, (Yogyakarta:Liberty, 1998)

Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, ( Jakarta : Sinar Grafika,
1995)

Akad.BukuII,https://infoislamicbanking.wordpress.com/2012/01/22/ebook-kompilasi-hukum-
ekonomi-syariah/ diakses tanggal 18 November 2017, 23:00 WIB.

Nurul Huda, Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis danPraktis.
(Jakarta: Kencana,2010)

Fathurrahman Djamil. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan


Syariah. (Jakarta: Sinar Grafika Offset 2012)

Anda mungkin juga menyukai