D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Setinggi Puja Sedalam Syukur, Marilah Kita Panjatkan Kehadirat Allah SWT. Karena
limpahan rahmat dan karunianya dapatlah kami menyelesaikan sebuah makalah yang
berjudul “Perjanjian didalam Asuransi Syariah”.
Shalawat dan salam semoga tetap tersampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW.
Karena beliaulah yang telah membawa kita dari zaman ketidaktahuan menuju zaman yang
penuh pengetahuan. Semoga dengan memperbanyak shalawat kepada beliau, kita tergolong
umat yang akan mendapat Syafaat di yaumil akhir kelak.
Selanjutkan kami ucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Hukum
Asuransi yang telah memberikan bimbingan dan arahan demi terselesaikannya makalah ini.
Kami akui makalah ini belumlah sempurna, maka dari itu kami sangat mengharapkan
masukan baik itu kritik maupun saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah
ini.
Akhirnya dengan menyerahkan diri kepada Allah, kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Pemakalah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Asuransi
Dalam pasal 246 KUHD telah dijelaskan pengertian asuransi, yaitu : Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri
kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak tertentu.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 2 Tahun 1992, berbunyi : Asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara 2 pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
1
M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional: Teori, Sistem, Aplikasi & Pemasaran.
(Jakarta: Kholam Publishing, 2006), h. 39.
2
Santoso Poedjosoebroto, Beberapa Aspek Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia, cet. II,(Bandung
: Alumni, 1976) h. 82.
Definisi mengenai asuransi juga dapat dilihat dari Undang-Undang No. 40 tahun 2014
tentang Perasuransian pada Ketentuan Umum Pasal 1 yang menyebutkan bahwa Asuransi
adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang
menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
Dengan demikian tampak bahwa definisi asuransi dalam Undang- Undang No.40
tahun 2014 lebih luas jika dibandingkan dengan definisi asuransi yang ada dalam KUHD.
Dalam Pasal 246 telah secara eksplisit hanya melingkupi asuransi kerugian. Sedangkan dalam
Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang No. 40 tahun 2014 telah melingkupi asuransi
kerugian sekaligus juga asuransi jiwa.
Baru kemudian pada Pasal 247 KUHD disebutkan bahwa pertanggungan itu antara
lain dapat mengenai bahaya kebakaran, bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum
dipanen, jiwa satu orang atau lebih dan bahaya perbudakan, bahaya pengangkutan di darat, di
suangai, dan perairan pedalaman.
Berdasarkan definisi dari KUHD dan Undang-Undang No. 40 tahun 2014 tersebut,
maka dalam asuransi terkandung empat unsur yaitu:3
a) Pihak peserta (insured) yang berjanji untuk membayar uang premi kepada pihak
penanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur.
c) Suatu peristiwa (accident) yang tidak tentu (yang tidak diketahui sebelumnya)
3
Khotibul Umam, Memahami dan Memilih Produk Asuransi, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011),
h. 3-6
d) Kepentingan (interest) yang mungkin akan mengalami kerugian karena peristiwa
yang tidak tentu.
a. Takaful
Di Indonesia, istilah asuransi syariah dikenal dengan istilah takaful. Takaful berasal
dari kata bahasa Arab, yaitu kafala.5 Dalam kamusbahasa Arab berarti menanggung atau
menjamin. Kata takaful akar katanya (kafala-yakfulu-kafaalatan) yang berarti menanggung.
Kemudian dari mujarrad dipindah ke tsulasi mazid menjadi (takaafala-yataakaafalu-
takaafulan) dan mempunyai arti yang satu menanggung yang lain atau saling menanggung
satu dengan yang lain. Dalam pengertian muamalah, takaful adalah jaminan sosial di antara
sesama muslim, sehingga antara satu dengan yang lainnya bersedia saling menanggung
resiko.6Di dalam al-Qur‟an tidak ditemukan istilah takaful yang menunjukkan arti asuransi,
namun ada kata yang seakar dengan istilah takaful, seperti yang terdapat pada QS. Thaha
(20): 40 dan QS. An-Nisa (4): 85 yang berbunyi sebagai berikut:
1. Q.S. Thaha : 40
4
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Oprasional,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004) h. 30
5
Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.3.
6
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h.98.
Artinya : (yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga
Fir'aun): "Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?" Maka
Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. dan
kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan
Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan; Maka kamu tinggal beberapa tahun
diantara penduduk Madyan, kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan Hai
Musa.”
2. Q.S. An-Nisa : 85
Kedua ayat al-Qur‟an di atas tidak mengarah pada takaful dalam arti asuransi, akan
tetapi ayat diatas hanya menyebutkan kata Kafala. Sementara, Takaful dalam pengertian
asuransi terdapat dalam QS: al-Ma‟idah ayat 2 sebagai berikut:
Ayat di atas menganjurkan umat manusia untuk saling tolong- menolong dalam hal
kebaikan. Dasar dari asuransi syariah adalah adanya unsur tolong-menolong. Dalam asuransi
syariah cara untuk menolong sesama muslim dilakukan dengan cara memberikan dana
kebajikan atau tabarru’ secara sukarela yang ditujukan untuk menanggung resiko setiap
peserta asuransi syariah.
b. Al-ta’min
Al-ta’min berasal dari kata bahasa Arab amana yang berarti memberi perlindungan,
ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut. Sebagaimana firman Allah SAW dalam QS.
Quraisy : 4 sebagai berikut:
ْ َالَّذِي أ
ٍطعَ َم ُهم ِمن ُجوعٍ َوآ َمنَ ُهم ِم ْن خ َْوف
Artinya : “Yang Telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan.”
c. Al-tadhamun
Al-tadhamun berasal dari kata dlamana yang mempunyai arti saling menanggung.
Tujuan dari Al-tadlamun adalah untuk menutupi kerugian atas suatu peristiwa dan musibah
yang tidak pasti. Seseorang yang menanggung memberikan pengganti kepada yang
ditanggung karena adanya musibah yang menimpa tertanggung. Tolong-menolong (ta‟awun)
merupakan makna yang ada di dalam al-tadlamun sehingga ada rasa keharusan untuk saling
tolong menolong antar anggota masyarakat yang sedang tertimpa musibah.
Menurut Mushtafa Ahmad Zarqa pengertian Asuransi secara istilah adalah kejadian,
adapun metodelogi dan gambarannya dapat berbeda- beda, namun pada intinya asuransi
adalah suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari risiko
(ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya atau dalam aktivitas
ekonominya. Ia berpendapat, bahwa sistem Asuransi adalah sistem ta’awun dan tadhamun
yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah oleh
sekelompok tertanggung kepada orang yang tertimpa musibah tersebut Penggantian
tersebut berasal dari premi mereka.7
Menurut Husain Hamid Hisan mengatakan Asuransi adalah sikap ta’awun yang telah
diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia, semuanya telah siap
mengantisipasi suatu peristiwa, jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut, maka
semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian
(derma) yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian (derma) tersebut
mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami oleh peserta yang tertimpa musibah.
Dengan demikian asuransi adalah ta’awun yang terpuji, yaitu saling tolong menolong dalam
berbuat kebajikan dan takwa. Dengan ta’awun mereka saling membantu antara sesama, dan
mereka takut dengan bahaya (malapetaka) yang mengancam mereka.8
Dalam ensiklopedi hukum Islam telah disebutkan bahwa asuransi adalah transaksi
perjanjian antara dua pihak, dimana pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak
yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika
terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.9
7
Wirdyaningsih, Kanaen P, Gemala Dewi, Yeni S. Berlianti, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2005) h.24
8
Abdullah Amrin, Meraih Berkah melalui Asuransi Syariah ( Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2011) h. 39
9
AM. Hasan Ali, Masail Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), h.95.
Abbas Salim berpendapat, bahwa asuransi adalah suatu kemauan untuk menetapkan
kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (subsitusi) kerugian-
kerugian yang belum pasti.10
3. Pengertian Perjanjian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau
dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati
apa yang tersebut dalam persetujuan itu.11
Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh
dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi
persetujuan yang telah dibuat bersama.12
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.13
4. Perjanjian Asuransi.
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian, oleh karena itu
perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian asuransi. Di
samping itu karena acuan pokok perjanjian tetap pada pengertian dasar dari perjanjian
asuransi. Secara umum pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain sebagai berikut :16
1. Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.
10
Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.1.
11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthsar Indonesia Edisi Ketiga ( Jakarta : Balai
Pustaka. 2005) h. 458.
12
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rincka Cipta, 2007) h. 363
13
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.Terjemahan KUH.Perdata( Jakarta : Pradnya Paramita, 1994) h.306.
14
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1979), h .1.
15
Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, (Yogyakarta:Liberty, 1998) h. 97.
16
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1995) h. 82
2. Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang satu (yang berpiutang
atau kreditur) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain. (yang berhubungan atau debitur)
yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggung jawab atas suatu prestasi.
Sebagai suatu perjanjian, asuransi juga tunduk pada ketentuan-ketentuan dasar yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) buku III bab Kedua.
Asuransi dikatakan suatu perjanjian jelas ditentukan dalam pasal 246 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD). Sebagai suatu perjanjian, maka asuransi juga dikuasai oleh
ketentuan mengenai persyaratan sahnya suatu perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyebutkan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu :
Dalam setiap pertanggungan harus ada benda yang dipertanggungkan. Karena yang
mempertanggungkan benda itu adalah tertanggung,maka tertanggung harus mempunyai
hubungan langsung atau tidak langsung dengan benda yang dipertanggungkan itu. Dikatakan
ada hubungan langsung apabila tertanggung memiliki benda tersebut, dikatakan ada
hubungan tidak langsung, apabila tertanggung mempunyai kepentingan atas benda tersebut.
Pihak tertanggung harus dapat membuktikan bahwa ia betul-betul memiliki atau mempunyai
kepentingan atas benda yang dipertanggungkan itu. Undang- undang tidak akan mentolerir
orang yang tidak mempunyai kepentingan dalam pertanggungan. Dianggap tidak mempunyai
kepentingan, orang yang mempertanggungkan benda yang dilarang oleh undang – undang.
Jika diadakan pertanggungan juga , pertanggungan itu batal ( pasal 599 KUHD).
Yang dimaksud dengan causa yang diperbolehkan disini adalah bahwa isi dari
perjanjian pertanggungan itu tidak dilarang oleh undang-undang , tidak bertentangan dengan
kepentingan umum,dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Misalnya adalah
mempertanggungkan benda yang dilarang oleh undang-undang , disini tidak ada causa yang
halal.
e. Pembayaran premi
Karena pertanggungan itu adalah perjanjan timbal balik, maka kedua belah pihak
harus berperestasi. Penanggung menerima peralihan atas benda yang dipertanggungkan,
sedangkan tertanggung harus membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Besar atau
kecil jumlah premi bukan soal penting,yang penting kedua belah pihak harus mencapai
persetujuan. Jika premi tidak dibayar, maka risiko tidak akan beralih.
Menurut ketenuan pasal 251 KUHD, pertanggungan itu batal apabila ada
pemberitahuan yang palsu mengenai keadaan benda pertanggungan, baik kepalsuan itu
disengaja maupun karena ketidaktahuannya. Hal ini mengakibatkan kekecewaan bagi
tertanggung yang jujur , karena dengan batalnya pertanggungan dia tidak mendapat ganti
kerugian. Apabila keadaan benda pertanggungan yang sebenarnya ternyata tidak sesuai
dengan pemberitahuan sebelumnya,diketahui setelah terjadinya peristiwa yang menimbulkan
kerugian.
Dengan telah diadakannya perjanjian asuransi bukan berarti bahwa penanggung hams
melaksanakan prestasi yang diperjanjikan, dengan membayar ganti rugi kepada pihak
tertanggung. Pelaksanaan prestasi tertanggung hanya akan direalisasikan apabila peristiwa
tertentu yang diperjanjikan itu terjadi dan menimbulkan kerugian kepada tertanggung.
Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa perjanjian asuransi itu adalah perjanjian
bersyarat. Sedang syarat yang diperjanjikan dalam polis adalah kerugian yang ditimbulkan
oleh peristiwa yang tidak tertentu (evenement). Yang dimaksud dengan peristiwa tidak
tertentu di sini adalah peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, dan secara subyektif
diketahui bahwa peristiwa itu belum timbul sebelumnya dan tidak ada kepastian bahwa
peristiwa itu akan terjadi. Seandainya peristiwa itu telah terjadi atau secara obyektif diketahui
pasti akan terjadi, maka perjanjian masih secara sah berlaku asalkan tertanggung tidak
mengetahui sama sekali bahwa peristiwa itu telah atau pasti akan terjadi.
2. Hubungan sebab akibat
Kerugian yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa tertentu (evenement) tidak secara
otomatis menyebabkan kerugian itu dibayar. Agar suatu kerugian itu diberikan ganti oleh
penanggung, hams dapat dibuktikan terlebih dahulu bahwa kerugian itu adalah disebabkan
oleh perihal yang termasuk ke dalam tanggung jawab penanggung. Apabila ada beberapa
peristiwa yang menyebabkan kerugian, dan beberapa di antaranya termasuk ke dalam jenis
peristiwa yang dijaminkan kepada penanggung.
Pasal 249 KUHD menentukan apabila bahwa dalam polls secara tegas mengecualikan
kerugian yang ditimbulkan oleh suatu cacat, kebusukan sendiri atau karena sifat dari barang
yang dipertanggungkan itu, maka penanggung tidak akan bertanggung jawab terhadap
kerugian yang disebabkan oleh hal-hal yang disebutkan tadi. Kecuali dalam perjanjian
asuransi kesehatan karena dalam perjanjian semacam itu, yang dipertanggungkan justru cacat
dari badan itu sendiri, namun itupun tidak berlaku apabila cacat itu disembunyikan sewaktu
kontrak akan ditandatangani atau penyakit telah ada sebelumnya.
Pasal 276 KUHD menyatakan bahwa pada dasarnya penanggung tidak akan
bertanggung jawab terhadap kerugian, yang ditimbulkan oleh kesalahan tertanggung sendiri.
Namun kesalahan sendiri itu juga merupakan suatu peristiwa yang tidak tertentu. Apabila
kesalahan sendiri itu akan dipertanggungkan, harus dinyatakan secara tegas dalam polis.
Dalam asuransi, nilai benda yang dipertanggungkan sangat panting. Hal tersebut
disebabkan oleh tujuan perjanjian asuransi adalah hanya untuk memberikan ganti kerugian
sebesar nilai kerugian yang terjadi, sehingga nilai barang yang dipertanggungkan sangat
penting untuk diketahui. Dari situ pula dapat kita ketahui apakah perjanjian pertanggungan
itu under valued, proper valued ataukah over valued. Karena nilai benda yang
dipertanggungkan penting untuk diketahui secara tepat oleh para pihak yang berkepentingan,
maka perlu dilakukan penaksiran harga barang secara benar.
Seringkali terjadi bahwa setelah perjanjian asuransi itu ditandatangani, keadaan yang
dapat menyebabkan timbulnya risiko itu bertambah besar (timbul hazard baru baik yang
berupa fisik, moral, morale atau legal hazard).
8. Subrograsi
Di dalam hukum perjanjian kita mengenal adanya perikatan yang timbul karena
perbuatan orang dan perikatan yang timbul karena undang-undang.Pasal 1365 KUHPerdata
menetapkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut. Di sini undang-undang menetapkan bahwa perikatan dapat timbul karena perbuatan
melanggar hukum.
Persekutuan dari penanggung itu terjadi dalam hal atas suatu polis asuransi yang
sama, beberapa penanggung memberikan jaminan kepada suatu obyek asuransi dengan harga
melebihi nilai dan barang itu sendiri. Dalam pertanggungan semacam itu, maka setiap
penanggung hanya bertanggung jawab seimbang dengan risiko yang ditanggungnya menurut
harga barang yang sebenarnya. Prinsip ini diatur dalam pasal 278 KUHD, dan ketentuan itu
sesuai dengan prinsip indemnity yang berlaku dalam hukum asuransi.
10. Restorno
Dalam Al- Qur’an ada dua istilah yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu Al-
‘Aqdu(akad) atau Al-‘Ahdu (janji). Pengertian akad menurut para ahli hukum Islam adalah
perikatan antara ijab (penawaran) dan kabul (penerimaan) yang dibenarkan oleh syara’
(hukum Islam). Selain Al-‘Ahdu, kata lain yang maknanya memiliki kesamaan dengan Al-
‘Aqdu/ (akad) adalah wa’ad atau al-wa’du dan iltizam. Al- Wa’du artinya janji, yaitu suatu
pernyataan yang dimaksud oleh pemberi pernyataan untuk melakukan perbutan di masa
depan. Dengan kata lain, wa’ad adalah keinginan yang dikemukakan oleh seseorang untuk
melakukan sesuatu baik perbuatan maupun ucapan dalam rangka memberi keuntungan bagi
pihak lain. Janji ini hanya bersifat penyampaian suatu keinginan dan tidak mengikat secara
hukum, namun mengikat secara moral. Adapun kata iltizam banyak digunakan oleh ulama
kontemporer untuk menegaskan terisinya dzimmah seseorang atau suatu pihak dengan suatu
hak yang wajib ditunaikan kepada orang atau pihak lain. Menurut Mustafa Az-Zarqa,
iltizam adalah keadaan seseorang diwajibkan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu bagi kepentingan orang lain menurut hukum syara’.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ketiga kata yang sering dianggap
sama pengertiannya dengan kata akad, dalam praktiknya memiliki makna berbeda dan
menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda pula.17
1. Al-‘Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dan tidak ada hubungannya dengan kemauan orang lain.
2. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama,
dimana persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang
dinamakan ‘aqdu. Maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan
17
Neneng Nurhasanah. Mudharabah dalam Teori dan Praktik,.(Bandung: PT.Refika Aditama. 2015) h.
39-40.
Subekti menyatakan bahwa perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.19
Seperti yang tercantum dalam Pasal 1233 KUHPerdata, bahwa perjanjian merupakan
salah satu sumber perikatan. Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara
KUHPerdata dan Hukum Islam adalah pada tahap perjanjiannya. Pada hukum perikatan
Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua tahap), baru
kemudian lahir perikatan. Sedangkan pada KUHPerdata, perjanjian antara pihak pertama dan
pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menumbulkan perikatan diantara mereka.
Menurut A.Gani Abdullah,dalam hukum perikatan Islam, titik tolak yang paling
membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar dalam tiap transaksi. Apabila dua janji
antara para pihak tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan ikrar, maka terjadilah‘aqdu
(perikatan).21
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi
bagi sahnya suatu akad menurut hukum Islam. Kata rukun diambil dari bahasa Arab “rukun”
yang berarti adalah suatu hal yang sangat menentukan bagi terbentuknya sesuatu dan
merupakan bagian dari sesuatu tersebut.22 Sedangkan syarat adalah hal yang sangat
berpengaruh atas keberadaan sesuatu tapi bukan merupakan bagian atau unsur pembentuk
dari sesuatu tersebut. Beda syarat dan rukun terletak pada apakah hal tersebut merupakan
bagian inti pembentuk dari sesuatu tersebut atau tidak. Sebagai contoh, para pihak (the
contracting parties) adalah rukun yang merupakan bagian inti dari suatu akad, sedangkan
kesadaran atau sehat akal merupakan syarat bagi masing-masing para pihak tersebut. Adanya
18
Wirdyaningsih ,ibid, h.47
19
R.Subekti, ibid, h.1
20
Ibid.
21
Wirdyaningsih, ibid, h.47
22
ibid, h.12
akal yang sehat dari seseorang belum tentu digunakannya untuk berakad, sehingga akal sehat
itu sendiri bukan bagian inti dari akad.
A. Subjek perikatan
Subjek perikatan adalah para pihak yang melakukan akad, dan merupakan subjek
hukum. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu:24
1. Manusia
Manusia sebagai subjek hukum perikatan adalah pihak yang sudah dapat dibebani
hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak
secara hukum, baik berhubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial.
2. Badan hukum
Badan hukum adalah suatu persekutuan yang dapat bertindak dalam hukum dan
mempunyai hak dan kewajiban, serta dapat melakukan hubungan hukum terhadap orang lain
atau badan lain.25
B. Objek perikatan
Objek perikatan adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya
akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda berwujud maupun
benda tak berwujud, seperti manfaat. Adapun syarat-syarat objek akad yaitu:26
a. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan suatu perikatan yang objeknya tidak
ada adalah batal, seperti menjual anak hewan yang masih didalam perut induknya.
b. Objek perikatan dibenarkan oleh syariah. Pada dasarnya benda-benda yang menjadi objek
perikatan haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Namun jika objek perikatan itu
23
Wirdyaningsih, Ibid, h. 14-15
24
Ibid. h.51
25
Ibid, h.58
26
Ibid. h.52
dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan syariah, maka tidak dapat
dibenarkan pula, seperti pelacuran.
c. Objek akad harus jelas dan dikenali. Suatu benda yang menjadi objek perikatan harus
memiliki kejelasan, hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara para
pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika objek tersebut berupa benda, makabenda
tersebut harus jelas bentuk, fungsi dan keadaannya. Jika objek tersebut berupa jasa, harus
jelas bahwa pihak yang memiliki keahlian sejauh mana kemampuan dan keterampilannya.
d. Objek dapat diserahterimakan. Benda yang menjadi objek perikatan dapat diserahkan
pada saat akad terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Disarankan bahwa objek
perikatan berada dalam kekuasaan pihak-pihak pertama agar mudah untuk menyerahkannya
kepada pihak kedua.
C. Tujuan perikatan
Tujuan perikatan ialah tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad atau dalam
KUHPerdata hal ini merupakan suatu “prestasi” (hal yang dapat dituntut oleh satu pihak
kepada pihak lainnya), yang dirumuskan dengan menyerahkan barang, melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu.27 Syarat- syarat dari tujuan akad, yaitu:
Ijab dan qabul adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad, berupa ijab
dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah suatu pernyataan menerima dari
pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Ada 3 syarat dalam
melakukan ijab dan qabul, antara lain:28
a. Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat
dipahami jenis akad yang dikehendaki.
27
Wirdyaningsih, Ibid. h. 17-18
28
Ibid. h.63
b. Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul.
c. Jamzul iradataini,yaitu antara ijab dan qabul menunjukan kehendak para pihak secara
pasti, tidak ragu dan tidak terpaksa.
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Selain telah tercapai
tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi pembatalan atau telah berakhir waktunya.
Pembatalan terjadinya dengan sebab- sebab sebagai berikut:29
a. Di dibatalkan, karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yang disebutkan
dalam akad rusak (akad tidak berlaku). Misalnya,jual-beli barang yang tidak memenuhi
syarat kejelasan.
c. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas
akad yang baru saja dilakukan (fasakh iqalah)
d. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.
e. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka waktu tertentu dan
tidak dapat diperpanjang.
g. Karena kematian.
Akad juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) buku II, bab I
pasal 20 bahwa akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih
untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Pada bab II Asas Akad
Pasal 21, dimana akad dilakukan berdasarkan asas:
a. Sukarela, setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan
karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.
b. Menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakan
yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji.
29
Ibid. h.94-95
c. Kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan
secara tepat dan cermat.
d. Tidak berobah, setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang
cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulsi atau maisir.
f. Kesetaraan, para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai
hak dan kewajiban yang seimbang.
h. Kemampuan,setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak
menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.
j. Itikad baik, akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung
unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
k. Sebab yang halal, tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak
haram.30
a. Asuransi Syariah (Ta`min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindung dan
tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan
atau tabarru` yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui
akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
30
Akad.2012.Buku II, https://infoislamicbanking.wordpress.com/2012/01/22/ebook- kompilasi-
hukum-ekonomi-syariah/ diakses tanggal 18 November 2017, 23:00 WIB.
b. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah yang tidak
mengandung penipuan, perjudian, riba (bunga), penganiayaan, suap, barang haram dan
maksiat.
c. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersil.
d. Akad tabarru` adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan
tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersil.
e. Premi adalah kewajiban peserta untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan
sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
f. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberi perusahaan asuransi sesuai dengan
kesepakatan dalam akad.
a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan atau
akad tabarru`.
b. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru`
adalah hibah.
- Jenis akad tijarah dan atau akad tabarru` serta syarat- syarat yang disepakati sesuai dengan
jenis asuransi yang diakad.
a. Jenis akad tijarah dapat dirubah menjadi jenis akad tabarru` bila pihak yang tertahan
haknya dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang
belum menunaikan kewajibannya.
b. Jenis akad tabarru` tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah
a. Dipandang dari segi jenis, asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
b. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.31
Dalam Perjanjan antara peserta dengan perusahaan asuransi, perusahaan diamanahkan untuk
menginvestasikan dan mengusahakan pembiayaan kedalam proyek-proyek dalam bentuk
musyarakah, mudharabah dan wadiah yang dihalalkan syara’.32 Selain itu akad yang
digunakan adalah wakalah dan syirkah. Wakalah merupakan akad tijarah yang memberikan
kuasa kepada perusahaan sebagai wakil peserta asuransi untuk mengelola dana tabarru'
dan/atau dana investasi peserta asuransi, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan,
dengan imbalan berupa ujrah (fee).33 Mudharabah adalah akad tijarah yang memberikan
kuasa kepada perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi dana tabarru' dan
peserta asuransi bertindak sebagai shahibul maal(pemegang polis). Premi yang berasal dari
jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investainya dibagikan kepada peserta
asuransi. Akad Mudharabah dalam asuransi syariah dapat direlakan bagi hasilnya oleh pihak
peserta asuransi apabila ada hal-hal yang membuat peserta asuransi melepaskan haknya
dengan sukarela.34 Wadiah berarti meninggalkan atau menjaga. Akad wadiah yang digunakan
31
Muhammad Syakir Sula, Ibid, h.42
32
Ibid, h.43
33
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.10/2010, pasal 1 angka 9.
34
Neneng Nurhasanah. Ibid., h. 166.
dalam asuransi Islam ini adalah wadiah yad dhamanah, dimana pihak yang dititipkan dana
(dalam hal ini asuransi syariah) berhak untuk memanfaatkan dana tersebut. Penitipan
dilakukan dalam rekening giro, dana yang terkumpul dari nasabah yaitu premi akan
dititipkan kepada perusahaan asuransi Islam untuk kemudian dana tersebut dikelola oleh
perusahaan asuransi Islam. Musyarakah berarti perjanjian antara dua pihak atau lebih dalam
melaksanakan suatu usaha tertentu. Konsep asuransi Islam pada dasarnya merupakan konsep
musyarakah dimana terdapat perusahaan asuransi yang memiliki tenaga dan juga keahlian,
serta peserta asuransi Islam yang memiliki dana dan juga modal.35 Syirkah termasuk dalam
jenis-jenis akad musyarakah. Para ulama fiqh membagi syirkah kedalam dua bentuk, yaitu
35
Nurul Huda, Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis danPraktis. (Jakarta:
Kencana,2010) h. 184.
36
Fathurrahman Djamil. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syariah. (Jakarta: Sinar Grafika Offset 2012) h. 166.
M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional: Teori, Sistem, Aplikasi &
Pemasaran. (Jakarta: Kholam Publishing, 2006).
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem
Oprasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004)
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010)
Wirdyaningsih, Kanaen P, Gemala Dewi, Yeni S. Berlianti, Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005)
Abdullah Amrin, Meraih Berkah melalui Asuransi Syariah ( Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2011)
AM. Hasan Ali, Masail Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthsar Indonesia Edisi Ketiga ( Jakarta :
Balai Pustaka. 2005)
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, ( Jakarta : Sinar Grafika,
1995)
Akad.BukuII,https://infoislamicbanking.wordpress.com/2012/01/22/ebook-kompilasi-hukum-
ekonomi-syariah/ diakses tanggal 18 November 2017, 23:00 WIB.
Nurul Huda, Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis danPraktis.
(Jakarta: Kencana,2010)