Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat tuhan Yang maha esa, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Salawat dan
salam dihaturkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliau kita
dapat menikmati pencerahan iman dan islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini.
Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Epistemologi Burhani dan Relevansinya
Dengan Pendidikan Islam” dalam rangka memenuhi tugas Filsafat Pendidikan Islam.
Makalah ini telah dibuat berdasarkan hasil diskusi kelompok kami. Oleh karena itu,
kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
5
ketikamnegungkapkannnya sehingga didapatkan pengertian yang berbeda, bukan saja
pada redaksinya, melainkan pada substansi persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian
satu konsep, meskipun ciri – ciri yang melekat padanya jug atidak bisa
diabaikan.Lazimnya, pembahasan konsep apapun, selalu diawali dengan
memperkenalkan pengertian secara tekinis, guna menangkap substansi persoalan yang
terkandung dalam konsep tersebut. Hal ini berfungsi mempermudah dan memperjelas
pembahasn konsep selanjutnya.
Demikianpula, pengertian epistemology diharapkan memberikan kepastian
pengalaman terhadap substansinya sehingga memperlancar pembahasan seluk beluk
dengan epistemology itu. Dalam buku filsafat pendidikan islam, M.Arifin merinci
ruang lingkup epitemologi, meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan.
Mudlor Achad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan,
batas, da sasaran pengetahuan. Bahkan A.M. Saifuddin menyebutkan, bahwa
epistemology mencakup pertanyan yang harus dijawab; apakah ilmu itu, darimana
asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat, apa
kebenaran itu, mungkin kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui,
dan sampai dimana batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua
maslah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.1
1.3 TUJUAN
Epistemology atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh
Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemology in menurut Jujun S.Suria
Sumantri berupa “segenap proses yan terlibay dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan”proses untuk memperoleh pengetshusn inilsh ysng menajdi sasaran teori
pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran
itu merupakan suatu tahap pengentara yang harus dilalui dalam mewujudkan
pengetahuan.
Tujuan epistemology bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun
keadaan ini tidak bisa dihindari akan tetapi, yang menjadi pusat perhatian dari tujuan
epistemology adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk
1
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendudikan Islam, (Jakarta: Erlangga,2005), hlm. 2-4
6
memperoleh pengetahuan. Rumusan tujuan epistemology tersebut memiliki makna
strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran
seseorang bahwa jangan sampai dia puas dengan sekadar memperoleh pengetahuan,
tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan
memperoleh pengetahuan melambangkan sifat pasif, sedangkan cara memperoleh
pengetahuan melambangkan sikap dinamis. 2
2
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendudikan Islam, (Jakarta: Erlangga,2005), hlm. 8-9
7
BAB II
PEMBAHASAN
3
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 55
8
Rasio atau akal menurut prinsip filosofis al-Ghazali adalah fitrah instintif
sebagai orisinal yang menjadi sarana manusia dalam memahami realitas segala
sesuatu.
العقل منبع العلم و مطلعه واساسه والعلم يجرى مجرى الثمرة من الشجرة والنور من
“akal adalah sumber, tempat berpancar dan asas ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan timbul darinya, seperti buah timbul dari pohon, cahaya timbul dari
matahari dan pengelihatan timbul dari mata”.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang detail yang terjadi
di dunia tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.
Pengetahuan manusia dalam hal ini mengambil bentuk akibat, sedangkan
pengetahuan tuhan merupakan sebagai sebab bagi wujud perincian tersebut.
Disini akal manusia mempunyai banyak kegiatan akan tetapi , perannya mencoba
menduduki dirinya sebagai perumus kandungan wahyu, dan tidak memiliki posisi
bebas untuk menjadi sumber.mengemukakan prinsip pokok tentang akal, sebagai
berikut:
a. Akal aktif, bersumber dari segala akal manusia yang bersifat universal dan
satu.
b. Aqlun bilquwwah atau receptive intellect, adalah pikiran yang berkuasa
sahari-hari terhadap diri manusia.
c. Monopsychism, akal dan jiwa manusia adalah satu, yang bersifat universal
dan abadi. Jasmani manusia boleh meninggal, tetapi akal dan jiwanya tetap
hidup.
d. Akal manusia ada yang bersifat “fi’li” yaitu pemikiran yang praktis, dan
bersifat “nazary” yaitu pemikiran yang mendalam dan teoritis yang
memandang segala sesuatu dengan ilmu pengetahuan.
9
e. Akal manusia itu adalah “rasio”, harus bebas dan berdiri diatas segal-
galanya, sedangkan agama dan wahyu tuhan adalah penyempurna bagi
akal.
10
Akan tetapi, persoalannya berbeda dengan konsep nalar Yunani yang
berkaitan dengan upaya memahami sebab, yaitu pengetahuan. Dalam
pemikiran arab, pengetahuan bukan usaha untuk menyingkapkan hubungan
antara fenomena alam dengan yang lainnya, akan tetapi untuk membedakan
objek pengetahuan (baik indrawi ataupun sosial) antara yang baik dan yang
buruk.
Sedangkan menurut Al-Jabiri, aspek akhlak atau nilai tidak hanya pada
kata-kata berintikan tetapi juga seluruh kata yang memiliki kedekatan
maknadengannya seperti dzihn, nuha, hija, fikr, dan fuad.Semua kata itu
mengandung aspek nilai dan etis, bukan aspek epistemologis (seperti
mencegah dari kehancuran, dari perbuatan tercela dan dari kesalahan, bukan
mencari sebab). Jika melihat dari al-Quran, akan ditemukan bahwa makna
nilai yang dikaitkan dengan ‘aql dan yang semakna dengannya, umumnya
mengekspresikan perbedaan antara yang baik dan yang buruk, antara hidayah
dankesesatan.
Jadi, ketika sistem pengetahuan burhani yunani yang bersentuhan dengan
pemikiran arab, tidak lagi sepenuhnya bersifat logis-filosofis. Akan
tetapi melalui pemikiran / nalar arab dengan persepektif normatifnya, para
filosofis muslim mengakses wacana filsafat yunani yang bersaifat objektif.
Menurut Marshall G. Hodgson dalam telaah historis-filosofisnya
mengungkapkan hal yang sama bahwa sebagai seorang filosof muslim harus
mempunyai dorongan yang kuat terhadap pencarian diskursus rasional yunani,
tetapi konstelasi intelektual masyarakat yang bercorak islam tetap memberikan
pengaruh. Para filosof muslim terdorong untuk menyajikan bahan-bahan
filosofis rasional dalam sintesa-sintesa yang baru dan independen yang
bercorak islam.
Selain itu para filosof muslim membagi akal menjadi dua macam yaitu
akal praktis, dan akal teoritis. Akal praktis ini berkaitan dengan tindakan
(etika), akan tetapi lebih difokuskan pada akal teoritis. Disini akal dapat
menyempurnakan penerapan pancaindra dan memperbaiki kekeliruan-
kekeliruan karena akal dapat melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh
indra-indra kita (baik lahir ataupun batin) yaitu kemampuan untuk bertanya
11
secara kritis. Misalnya akal dapat bertanya mengenai kapan suatu peristiwa itu
terjadi, dan apa yang menyebabkan peristiwa itu, oleh siapa, dan bagaimana.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi pentingnya akal sebagai sumber
pengetahuan. Adapun kelebihan yang paling istimewa dari akal yaitu terletak
pada kecakapan untuk menangkap “kuiditas” dan “esensi”dari sesuatu yang
diamati atau dipahami. Dengan kemampuan ini, akal manusia dapat
mengetahui konsep universal dari sebuah objek yang diamatinya lewat indra
yang bersifat abstrak dan tidak berhubungan dengan data data-data partikuler.
12
meluas tidak hanya dibidang logika dan filosofis, tetapi juga dibidang empiris
dan matematika.
Metode Burhani, pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran
rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah
pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memperhatikan keabsahan
dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Misalnya dengan
memperhatikan validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam premis-
premis mayor dan minor, serta ada tidaknyamiddle trem yang sah yang
mengantarai kedua premis tersebut. Bentuk formal inilah yang disebut
silogisme yaitu berupa mengambil kesimpulan dari premis mayor dan minor
yang keduanya mengandung unsure yang sama, yang disebut middle trem (al-
hadd al-ausath).
Sebuah silogisme baru dikatakan domonstratif apabila premis-premisnya
didasarkan pada kebenaran yang sudah teruji kebenarannya bukan didasarkan
pada opini, karena hanya pada premis-premis yang benar, kesimpulannya
dapat dipastikan benar. Contohnya klasik silogisme demonstratif : “semua
manusia akan mati (fana). Socrates adalah manusia, maka Socrates akan
mati. Dari pernyataan diatas “semua manusia akan mati” disebut premis
mayor, sedangkan “Socrates adalah manusia, maka akan mati” disebut premis
minor. Kata “manusia” yang muncul dalam kedua premis tersebut
adalahmiddle trem.Jiuka premis mayor dan mayor benar maka dapat
dipastikan bahwa kesimpulan “Socrates akan mati adalah benar.Oleh karena
itu perlu adanya criteria yang ketat tentang kebenaran tersebut melalui adanya
verifikasi dan flasifikasi.4
4
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 60-61
13
singkat (epistles) dan bacaan sederhana. Kedua,menentang rigiditas para
pakar hukum, yang digambarkannya sebagai “kelompok yang
meninggalkan kebenaran”.
Al-kindi bertolak dari ketetapan bahwa tujuan filsafat tiada lain
adalah mencari hakikat – hakikat segala sesuatu dan intinya tentang
kebenaran awal, yakni Allah, saama seperti tujuan agama. Dia memaparka
kalau tidak ada pertentangan antara kebenaran agama dengan kebenaran
rasional, Karena keduanya merupakan penampakan atas suatu
kebenaran.dengan pendekatan aries totelian ia berusaha meyakinkan bila
kebenara filsafat dicapat melalui penalaran akal murni.
Al-kindi meng-counter para fuqaha dan teolog yang menolak ilmu-
ilmu kuno praislam dengan statement afirmatif “selayaknya kita tidak
perlu malu mengakui sebuah kebaikan dan mengambilnya dari manapun
datangnya, sekalipun datang dari orang yang jauh dan berbeda dengan kita,
karena tidak ada yang lebih utama dari mencari kebenaran kecuali
kebenaran itu sendiri”.
Al-kindi menolak untuk menyebut Allah sebagai akal; baginya
Allah adalah Esa dari segala lini; baginya tidak ada kategori, tidak ada
unsur, genus, spesies, jiwa, akal, dan Esa bukan karena disandingkan
dengan yang lain, ia Esa secara independen. Esa secara independen artinya
disisi Allah tidak ada hal lain yang bersifat ketuhanan semacam akal
universal atau akal kesepuluh.
Al-Farabi tampil beberapa dekade kemudian meneruskan cita-cita
al-kindi untuk menyosialisasikan ide-ide demonstrative Aristotelian.Jika
filsafat mengekspresikannya secara langsung, secara demonstrative, maka
agama mengekspresikannya melalui lambang-lambang imanginer dan
replikasi. Filsuf memahaminya dengan akal, yakni melalui proses Burhani
yang hanya dengan cara ini dimungkinkan bisa berhubungan langsung
dengan akal aktif, sedangkan nabi menerima hal itu langsung dari
sumbernya sendiri, melalui imajinasinya.
Al-Farabi ingin melampaui wancana teologis yang bersifat
teologis-sophis dan wancana irfani dengan beralih kepada wacana akal
14
universal, wacana burhani yang tidak menyimpan kekaburan yang
menyebabkan kekeliruan atau kesalahan yang bisa menggelincirkannya.Ia
meyakini dengan metode demonstrative yang terdiri dari premis-premis
yang valid, niscaya, generalitas, primordial yang diyakini oleh manusia
dan diketahui oleh akal secara niscaya, akal universal akan meniscayakan
kekuatan dan kecermatan yang tidak mungkin keliru. Namun Al-Farabi
tidak hanya menggagas wacana filsafat, ia juga membangun pemikiran
tasawuf atau irfani.5
b) Filsuf Muslim Barat
Ketika menyebut nama Ibn Hazm, menurut Al-Jabiri, lazimnya orang
hanya menganggap sebagai seorang ahli hukum zahiri dan seorang
polemikus yang pantang menyerah. Ia mengusung proyek ideologis
sekaligus filosofis dalam melawan konsep genostik syi’ah dan iluminasi
sufi. Dengan meng-counter ideology syi’ah fatimiyah, ia dengan jernih
menyatakan bahwa agama tuhan bersifat eksoteris, rasul tuhan tidak
sedikitpun menyembunyikan makna hukum dan tidak ada rahasia,
semuanya disampaikan kepada umat manusia.
Ibn hazm menolak dan membongkar seluruh prinsip kognitif yang
menjadi dasar pemikiran syi’ah imamiyah dan batiniyah. Tidak hanya itu
dengan logika akal universal adopsi pemikiran aristoteles, ia secara tegas
menyanggah irasionalitas dikalangan asy’ariah dan menentang irfan kaum
sufi.
Ibn Rusyd hendak mengulang kembali Ibn Hazm dengan wacana yang
lebih kaya dan mendalam.Dalam perspektif Abed Aljabiri konstribusi
rasionalisme Ibn Rusyd mencangkung 2 aspek, yakni dalam ranah filsafat
dan ranah syariah.Dalam ranah filsafat Ibn Rusyd menyuarakan pemikiran
rasionalisme dengan melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip
kausalitas. Dalam konteks zaman itu Ibn Rusyd mengcounter 3 tradisi
pemikiran islam yang dominan, namun dalam ketiganya justru absen
pendekatan ilmiah rasionalisme atau burhani. Ketiga tradsi pemikiran
5
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 62-64
15
islam tersebut yang dominan pada masa Ibn Rusyd adalah tradisi kalam
dan filsafat, tradisi fiqih dan ushul fiqih, dan traisi tasawuf teoretik.6
6
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 65-66
16
dan pengalaman ini memiliki sejumlah karakteristik dasar yang tak
bergantung pada latar belakang geografis historis, dan kultural dari
masing-masing mistiskusnya
- Sumber Epistemologi Timur adalah akal sehat, panca indra, intuisi dan
wahyu.
- Didasarkan pada kajian metafisika
- Tokoh filosuf seperti: (Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn
Tarkhan ibn al-Uzalagh al-Faraby: 870 M-950 M,2 Ibnu Sina, al-Kindy
mengembangkan filsafat Islam), (al-Ghazali, al-Juwaini mengembangkan
filsafat dan hukum/fiqh), (Abu al-Hasan al-Asy’ari, Abu Mansur al-
Maturidi mengembangkan ilmu kalam/teologi Islam), (Imam alSyafi’i,
Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal
mengembangkan fiqh, furu’iyah dan derivasinya.
18
Nalar burhani sebagai nalar epistemologis yang rasional dan empiric, sangat
proporsional untuk diaplikasikan dalam managemen pendidikan.Sebab obyek dari
managemen pendidikan adalah persoalan-persoalan yang mayoritas rasionalis
empiric. Maka penting sekali dalam memecahkan persoalan pendidikan melalui
proses silogisme tentulah dengan akurasi premis-premis yang dapat dipertanggung
jawabkan kebenaranya sesuai dengan kritera-kriteria yang sudah dibahas yaitu
diantaranya ada yang berpendapat syarat-syarat dari premis-premis ada 3:
a) Kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik
b) Kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain
dirinya
c) Kepercayaan bahwa keperyaaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Juga tidak
boleh mengabaikan pendapat Al-Farobi yang membagi materi premis-premis
silogisme menjadi empat bentuk:
d) Pengetahuan primer
e) Pengetahuan indera (mahsusat)
f) Opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat)
g) Opini yang diterima (maqbulat).
19
keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga bisa
muncul sekarang ini. Tulisan berikut berupaya menyelidiki proses sejarah tersebut;
dengan diawali perkembangan awal dari pertemuan Islam-Arab dengan budaya
lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan perkembangan lembaga-lembaga
pendidikan dalam Islam serta diakhiri dengan pertentangan dua cara berpikir yang
cukup berpengamh dalam pembentukan dikotomi ilmu dalam sejarah peradaban
Islam. Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah
dulaisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum
yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan.Dulaisme ini, bukan
hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan, dalam
operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama,
sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki kebijakan masing-
masing. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan
pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kaffah
(menyeluruh).7
7
Hafidz, 2015, “Epistemologi Intelektual Dan Problem Dikotomi Keilmuan Pesantren”. Fenomena. Vol. 14 No. 2
. hlm. 239-240
20
bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu
umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif. Akibat faktor ini, umat
dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila dibandingkan dengan umat
dan negara lain.
3. Faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan
upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi,
politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara yang
berpenduduk mayoritas Islam.8
8
Hafidz, 2015, “Epistemologi Intelektual Dan Problem Dikotomi Keilmuan Pesantren”. Fenomena. Vol. 14 No.
2. Hlm. 240-241
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara spesifik pengertian epistemologi burhani,dalam bahasa Arab, berasal
dari kata “al-burhan”yangberarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah).
Dan distinc (al-fashl), dalam bahasa Inggris adalah demonstration, yang mempunyai
akar bahasa latin dari kata demontratio (berarti memberi isyarat, sifat, keterangan, dan
penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani merupakan aktivitas
berfikir untuk menetapkan kebenaran melalui metode penyimpulan (al-istintaj),
dengan menghubungkan presmis tersebut terhadap premis yang lain dan dibenarkan
oleh nalar atau telah terbukti kebenarannya. Sedang dalam pengertian
umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.
Ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhani bermula dari
proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna,
sehingga disinilah ditempatkan kata-kata, dengan redaksi lain, kata-kata adalah
sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir disamping sebagai simbol pernyataan
makna.Secara struktural, proses penalaran sampai munculnya makna terdiri dari tiga
hal, yaitu pertama proses eksperimentasi, kedua proses abstraksi ,ketiga, ekspresi.
Mencari solusi dari setiap permasalahan haruslah bijak, diperlukan pula
metode yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut. Maka perlu adanya kemauan
yang kuat untuk memahami pola pikir khususnya dalam Islam sehingga nantinya
keputusan yang diambil tidak akan menyalahi kita sebagai muslim.
3.2 Saran
Mencari solusi dari setiap permasalahan haruslah bijak, diperlukan pula
metode yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut. Maka perlu adanya kemauan
yang kuat untuk memahami pola pikir khususnya dalam Islam sehingga nantinya
keputusan yang diambil tidak akan menyalahi kita sebagai muslim.
22
23
DAFTAR PUSTAKA
Ariwidodo, Eko. 2013. “Logosentrisme Jacquis Derrida dalam Filsafat Bahasa”.Karsa, Vol.
21 No. 2.
Hafidz. 2015. “Epistemologi, Intelektual, dan Problem Dikotomi Keilmuan pesantren”.
Venomena.Vol. 14 No. 2 Hal. 239-241
Kandiri. 2012.“Epistemologi Pengembangan Pemikiran Islam Menurut Muhammad Abid Al-
Jabiry”. Jurnal Lisan Al-Hal.Volume 4, No. 2 Hal. 288
Mukti Ro’uf, Abdul. 2013. “EPISTEMOLOGI ISLAM (Perspektif para Pemikir Islam
Maghribi)”. Jurnal Khatulistiwa. Vol. 3 No.2 Hal. 133-137
Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam. Erlangga : Jakarta
Suharto, Toto. 2016. Filsafat Pendidikan Islam. Ar-Ruzz Media : Jogjakarta
Zaprulkhan. 2014. Filsafat islam sebuah kajian tematik. Raja Grafindo Persanda : Jakarta
24