Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat tuhan Yang maha esa, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Salawat dan
salam dihaturkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliau kita
dapat menikmati pencerahan iman dan islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini.
Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Epistemologi Burhani dan Relevansinya
Dengan Pendidikan Islam” dalam rangka memenuhi tugas Filsafat Pendidikan Islam.
Makalah ini telah dibuat berdasarkan hasil diskusi kelompok kami. Oleh karena itu,
kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, 10 April 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 1


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 2
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
1.1 LATAR BELAKANG................................................................................................. 4
1.2 RUANG LINGKUP .................................................................................................... 5
1.3 TUJUAN ..................................................................................................................... 6
BAB II........................................................................................................................................ 8
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 8
2.1 EPISTEMOLOGI BURHANI ......................................................................................... 8
2.1.1 Pengertian Burhani............................................................................................... 8
2.1.2 Epitemologi Burhani dan Persentuhannya dengan Dunia Arab ........................ 10
2.1.3 Metode Burhani ................................................................................................. 12
2.1.4 Aplikasi Burhani ................................................................................................ 13
2.1.5 Perbedaan Filsafat Barat dan Timur .................................................................. 16
2.2 RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM ........................................... 17
BAB III .................................................................................................................................... 22
PENUTUP................................................................................................................................ 22
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 22
3.2 Saran .......................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 24

2
3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Secara etimologis, “epistemology” berasal dari kata Yunani epitesme (yang
mempunyai arti pengetahuan atau ilmu penegtahuan) dan logos (yang juga arti
pengetahuan).Dari pengertian dua kata ini dapat dipahami bahwa epistemology adalah
ilmu pengetahuan tentang pengetahuan, yaitu bermaksud membicarakan dirinya
sendiri, membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri.Sementara itu, ada juga yang
menyebut epistemology sebagai filsafat ilmu.Karena itu, epistemology
berkecenderungan berdiri sendiri, yaitu sebagai cabang filsafat yang berhubungan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan. Sementara itu, Amsal Bakhtiar menyatakan
bahwa epistemology pada hakikatnya berusaha membahas tentang pengetahuannya,
yaitu yang berhubungan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperolehnya.
Hal ini menunjukkan bahwa epistemology berusaha membedah pengetahuan tentang
dirinya sendiri dan berusaha mencari metode dan sumber untuk mendapatkan
pengetahuan itu.
Setiap ilmu pengetahuan, dilihat dari sudut filsfat ilmu, memiliki tiang – tiang
penyangg yang memperkuat eksistensinya.Tiang penyangga ilmu terdiri dari tiga
aspek, yaitu ontology, epistemology, dan aksiologi.Menangapi wilayah filsafat ilmu
penegtahuan ini, Mujamil Qomar menyatakan bahwa ketiganya sering diperlakukan
berbeda, dalam segi penekanannya.Tradisi intelektual Yunani, misalnya, lebih
menekankan pada aspek ontology sehingga wacan – wacan yang muncul dikalagan
filsuf Yunani lebih ditekankan pada diskusi mengenai kebenaran subsitansi dari
segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam kognisi maupun yang ada dalam realitas
indrawi.Tradisi ontologis ini kemudian melahirkan pengetahuan – pengetahuan yang
bersumber pada metode spekulatif, terutama filsafat.Sementara tradisi intelektual
Baratnsecara tajam lebih memfokuskan diri pada wilayah epistemology. Filsafat ilmu
pengetahuan Barat lebih menekankan pada aspek proses, yaitu bagaimana sebuah
kebenaran ilmu dibangun sehingga proses ini melahirkan kebenaran epistemologik.
Adapun ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam lebih menekankan pada aspek
aksiologi sebagai basis dalam mnegonstruksi fakta.Islam tidak menghendaki
4
keterpisahan antara ilmu dan sistem nilai. Dalam islam, ilmu adalah fungsionalisai
wahyu, yang merupakan hasil dialog antar ilmuan realitas ilmiah yang diarahkan oleh
wahyu. Dengan demikian, islam tidak mengenal science for science sebagaimana
didalam tradisi keilmuan barat, tapi islam menghendaki adanya keterlibatan moralitas
dalam pencarian kebenaran ilmu.
Dalam pandangan Islam, ilmu tidak hanya terbatas pada wilayah
eksperimental. Lebih dari itu, ilmu dalam pandangan islam mengacu kepada tiga
aspek. Pertama, metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang
Agung, menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana, da bagaimana. Dengan
menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landaan berpijak dan
memahami akan Tuhannya. Kedua,aspek humaniora dan studi – studi yang berkaitan,
yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan
dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi, dan lain sebagainya. Ketiga,
aspek material yang meliputi kajian tentang alam raya yang diperuntukkan bagi
manusia, yaitu ilmu yang dibangun berdasarkan observasi dan eksperimen, seperti
dengan uji coba di laboratorium. Dengan demikian, epistemology dalam islam tidak
hanya terpusat pada manusia sebgai makhluk mandiri yang menjadi subjek pelaku
kebenaran, tetapi juga berpusat pada Allah sekaligus sebagai sumber pengetahuan dan
kebenaran.
Dengan itu, epistemology Islam kiranya berbeda dengan epistemology dalam
kajian epistemology pada umumya.Kalau dalam tradisi Barat, ilmu pengetahuan lebih
focus pada proses pengembangan ilmu secara epistemologis, yaitu menelaah lebih
jauh mengenai body of knowledge-nya sehingga diketahui sumber dan metodenya.
Dalam islam, ilmu penegtahuan tidak cukup dikaji aspek askiologinya sehingga
pengembangan ilmu pengetahuan bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Pada sisi
lain, ketika ilmu pengetahuan Barat secara epistemologis lebih bersifat antroposentris,
dalam islam pengetahuan itu selain bersifat antroposentris, juga bersifat teosentris.

1.2 RUANG LINGKUP


Sebagai sub system filsafat, epistemology ternyata menyimpan “misteri”
pemaknaan atau pengertian yang tidakmudah dipahami. Pengertian epistemology in
cukup menjadi para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda

5
ketikamnegungkapkannnya sehingga didapatkan pengertian yang berbeda, bukan saja
pada redaksinya, melainkan pada substansi persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian
satu konsep, meskipun ciri – ciri yang melekat padanya jug atidak bisa
diabaikan.Lazimnya, pembahasan konsep apapun, selalu diawali dengan
memperkenalkan pengertian secara tekinis, guna menangkap substansi persoalan yang
terkandung dalam konsep tersebut. Hal ini berfungsi mempermudah dan memperjelas
pembahasn konsep selanjutnya.
Demikianpula, pengertian epistemology diharapkan memberikan kepastian
pengalaman terhadap substansinya sehingga memperlancar pembahasan seluk beluk
dengan epistemology itu. Dalam buku filsafat pendidikan islam, M.Arifin merinci
ruang lingkup epitemologi, meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan.
Mudlor Achad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan,
batas, da sasaran pengetahuan. Bahkan A.M. Saifuddin menyebutkan, bahwa
epistemology mencakup pertanyan yang harus dijawab; apakah ilmu itu, darimana
asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat, apa
kebenaran itu, mungkin kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui,
dan sampai dimana batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua
maslah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.1

1.3 TUJUAN
Epistemology atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh
Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemology in menurut Jujun S.Suria
Sumantri berupa “segenap proses yan terlibay dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan”proses untuk memperoleh pengetshusn inilsh ysng menajdi sasaran teori
pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran
itu merupakan suatu tahap pengentara yang harus dilalui dalam mewujudkan
pengetahuan.
Tujuan epistemology bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun
keadaan ini tidak bisa dihindari akan tetapi, yang menjadi pusat perhatian dari tujuan
epistemology adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk

1
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendudikan Islam, (Jakarta: Erlangga,2005), hlm. 2-4
6
memperoleh pengetahuan. Rumusan tujuan epistemology tersebut memiliki makna
strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran
seseorang bahwa jangan sampai dia puas dengan sekadar memperoleh pengetahuan,
tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan
memperoleh pengetahuan melambangkan sifat pasif, sedangkan cara memperoleh
pengetahuan melambangkan sikap dinamis. 2

2
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendudikan Islam, (Jakarta: Erlangga,2005), hlm. 8-9
7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 EPISTEMOLOGI BURHANI

2.1.1 Pengertian Burhani


Burhan secara bahasa adalah argumentasi yang kuat dan jelas. Dalam
istilah logika, alburhan adalah aktifitas intelektual untuk membuktikan kebenaran
suatu proposisi melalui pendekatan deduksi dengan cara menghubungkan
proposisi yang satu yang telah terbukti secara aksiomatik..Dengan demikian,
burhan merupakan aktifitas intelektual untuk menetapkan suatu proposisi tertentu.
Model berpikir Burhani selalu bersentuhan dengan nalar tau aql. Menurut Abed
al-Jabiri yang mengikuti perspektif Andre Lalande, secara global ada tipologi
nalar yaitu, nalar pembentuk atau aktif (al-Aql al-Mukawwin) dan nalar terbentuk
atau dominan (al-Aql al-Mukawwan). Nalar aktif merupakan naluri dimana
manusia mampu menarik asas-asas umum. Dan berdasarkan pemahamannya
terdapat hubungan antara segala sesuatu. Sedangkan nalar dominan adalah
sejumlah asas kaidah yang dijadikan sebagai kaidah atau pegangan dalam
berargumentasi (istidlal). Jika yang pertrama bersifat universal, maka disebut
dengan akal universal atau al aql al kauni. Dan yang kedua bersifat universal,
karena dijadikan sebagai system kaidah yang dibakukan dan diterima oleh era
tertentu.3 Secara otentik, Aristoteles mengaplikasikan epistemology burhani tanpa
dipengaruhi nalar dominan Arab yang bernuansa burhani dan irfani.
Epistemologi burhani adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya
sesuatu yaitu berdasarkan komponen kemampuaan alamiah manusia berupa
pengalaman dan akar tanpa didasari teks wahyu suci, yang memunculkan
peripatik. Jadi, sumber pengetahuan nalar burhani adalah realitas-empiris, alam,
sosial dan humanities. Maksudnya, ilmu itu dipperoleh dari hasil penelitipan,
percobaan, eksperimen baik dilaboratorium atau di alam nyata, baik yang bersifat
sosial maupun nalar.

3
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 55
8
Rasio atau akal menurut prinsip filosofis al-Ghazali adalah fitrah instintif
sebagai orisinal yang menjadi sarana manusia dalam memahami realitas segala
sesuatu.

Dalam bukunya ihya ‘Ulumi ad-Din, ia mengatakan bahwa :

‫العقل منبع العلم و مطلعه واساسه والعلم يجرى مجرى الثمرة من الشجرة والنور من‬

.‫الشمس والرؤية من العين‬

“akal adalah sumber, tempat berpancar dan asas ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan timbul darinya, seperti buah timbul dari pohon, cahaya timbul dari
matahari dan pengelihatan timbul dari mata”.

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang detail yang terjadi
di dunia tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.
Pengetahuan manusia dalam hal ini mengambil bentuk akibat, sedangkan
pengetahuan tuhan merupakan sebagai sebab bagi wujud perincian tersebut.
Disini akal manusia mempunyai banyak kegiatan akan tetapi , perannya mencoba
menduduki dirinya sebagai perumus kandungan wahyu, dan tidak memiliki posisi
bebas untuk menjadi sumber.mengemukakan prinsip pokok tentang akal, sebagai
berikut:
a. Akal aktif, bersumber dari segala akal manusia yang bersifat universal dan
satu.
b. Aqlun bilquwwah atau receptive intellect, adalah pikiran yang berkuasa
sahari-hari terhadap diri manusia.
c. Monopsychism, akal dan jiwa manusia adalah satu, yang bersifat universal
dan abadi. Jasmani manusia boleh meninggal, tetapi akal dan jiwanya tetap
hidup.
d. Akal manusia ada yang bersifat “fi’li” yaitu pemikiran yang praktis, dan
bersifat “nazary” yaitu pemikiran yang mendalam dan teoritis yang
memandang segala sesuatu dengan ilmu pengetahuan.

9
e. Akal manusia itu adalah “rasio”, harus bebas dan berdiri diatas segal-
galanya, sedangkan agama dan wahyu tuhan adalah penyempurna bagi
akal.

2.1.2 Epitemologi Burhani dan Persentuhannya dengan Dunia Arab


Menurut ahli sejarah filsafat, Heraclitus adalah orang pertama yang
mengemukakan pemikiran tentang logos, atau yang disebut akal universal (al-
‘aql al-kauni). Untuk menjelaskan sistem yang menguasai jalannya kosmos
yang jauh dari mitolog dan mite, filosofis ini menggagas adanya “hukum
universal” (al- qanun al-kulli), yang mengatur realitas dan mengontrol proses
menjadi realist (becoming) yang terjadi secara terus-menerus dan abadi..
Konsep akal universal dikembangkan oleh filosofis yunani,
Aristoteles.Sebelum aristoteles, metode-metode logika dan filsafat diuraikan
secara terpisah, tidak teratur serta tidak ada klarifikasi yang jelas.Jadi
aristoteles lah yang menyusun metode logika tersebut secara sistematis beserta
uraiannya.Logika dijadikan sebagai langkah awal dan pembuka ilmu-ilmu
filsafat.
Dalam sistem filsafat Aristoteles lebih menekankan aspek rsionalitas akal
daripada aspek spiritualitas moral.Dalam pandangan aristoteles, alam semesta
bisa dipahami dengan akal. Demikian itu, karena system yang mendasari alam
dan orang yang memahami tidak lain berarti memahami akal. Dengan kata
lain, dalam konsep yunani aristoteles, akal berarti ‘memahami sebab’. Di atas
fondasi akal universal (logos) yang mencari hubungan sebab akibat atau
hukum universal yang rasionalistik dengan system pengetahuan yunani yang
dibangun. Kemudian, pemikiran yunani yang telah terdokumentasikan,
ditransfer ke dunia arab melalui terjemahan diera Al-Ma’mun dengan tokoh-
tokohnya, sebagai berikut:
a. Abdullah bin Muqoffa
b. Hunain bin Ishaq
c. Abu Bisyr Matta bin Yunus
d. Ishaq bin Hunain dan lainnya.

10
Akan tetapi, persoalannya berbeda dengan konsep nalar Yunani yang
berkaitan dengan upaya memahami sebab, yaitu pengetahuan. Dalam
pemikiran arab, pengetahuan bukan usaha untuk menyingkapkan hubungan
antara fenomena alam dengan yang lainnya, akan tetapi untuk membedakan
objek pengetahuan (baik indrawi ataupun sosial) antara yang baik dan yang
buruk.
Sedangkan menurut Al-Jabiri, aspek akhlak atau nilai tidak hanya pada
kata-kata berintikan tetapi juga seluruh kata yang memiliki kedekatan
maknadengannya seperti dzihn, nuha, hija, fikr, dan fuad.Semua kata itu
mengandung aspek nilai dan etis, bukan aspek epistemologis (seperti
mencegah dari kehancuran, dari perbuatan tercela dan dari kesalahan, bukan
mencari sebab). Jika melihat dari al-Quran, akan ditemukan bahwa makna
nilai yang dikaitkan dengan ‘aql dan yang semakna dengannya, umumnya
mengekspresikan perbedaan antara yang baik dan yang buruk, antara hidayah
dankesesatan.
Jadi, ketika sistem pengetahuan burhani yunani yang bersentuhan dengan
pemikiran arab, tidak lagi sepenuhnya bersifat logis-filosofis. Akan
tetapi melalui pemikiran / nalar arab dengan persepektif normatifnya, para
filosofis muslim mengakses wacana filsafat yunani yang bersaifat objektif.
Menurut Marshall G. Hodgson dalam telaah historis-filosofisnya
mengungkapkan hal yang sama bahwa sebagai seorang filosof muslim harus
mempunyai dorongan yang kuat terhadap pencarian diskursus rasional yunani,
tetapi konstelasi intelektual masyarakat yang bercorak islam tetap memberikan
pengaruh. Para filosof muslim terdorong untuk menyajikan bahan-bahan
filosofis rasional dalam sintesa-sintesa yang baru dan independen yang
bercorak islam.
Selain itu para filosof muslim membagi akal menjadi dua macam yaitu
akal praktis, dan akal teoritis. Akal praktis ini berkaitan dengan tindakan
(etika), akan tetapi lebih difokuskan pada akal teoritis. Disini akal dapat
menyempurnakan penerapan pancaindra dan memperbaiki kekeliruan-
kekeliruan karena akal dapat melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh
indra-indra kita (baik lahir ataupun batin) yaitu kemampuan untuk bertanya

11
secara kritis. Misalnya akal dapat bertanya mengenai kapan suatu peristiwa itu
terjadi, dan apa yang menyebabkan peristiwa itu, oleh siapa, dan bagaimana.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi pentingnya akal sebagai sumber
pengetahuan. Adapun kelebihan yang paling istimewa dari akal yaitu terletak
pada kecakapan untuk menangkap “kuiditas” dan “esensi”dari sesuatu yang
diamati atau dipahami. Dengan kemampuan ini, akal manusia dapat
mengetahui konsep universal dari sebuah objek yang diamatinya lewat indra
yang bersifat abstrak dan tidak berhubungan dengan data data-data partikuler.

2.1.3 Metode Burhani


Sebagai aktivitas kognitif, metode Burhani atau Demonstrasi merupakan
bentuk inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan
konklusi yang bernilai. Metode demonstrativ berasal dari filosof terkenal
yunani yaitu Ariestoteles. Menurut ariestoteles, yang dimaksud dengan metode
demonstrative adalah silogisme ilmiyah yakni silogisme yang apabila
seseorang memilikinya maka ia akan memiliki pengetahuan. Menurutnya,
silogisme adalah seperangkat metode berfikir dimana seseorang dapat
menyimpulkan pengetahuan baru dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya
(kesimpulan dari berbagai premis), terlepas apakah pengetahuan tersebut
benar atau salah dan sesuai dengan realitas atau tidak. Metode demonstrative
adalah suatu metode rasional logis yang digunakan oleh para filosof. Selain itu
empat macam metode rasional lainnya adalah sebagai berikut:
a. Non-demonstratif yaitu dialektif yang berkenaan dengan pertanyaan-
pertanyaan dan jawaban dialektiks.
b. Sofistik yaitu metode yang membicarakan pemikiran analogis yang
mengajarkan lawan dari kebenaran.
c. Retorik yaitu metode yang berhubungan dengan jenis persuasi dan
dampaknya atas pendengar dalam pidato.
d. Poetika adalah metode yang berkaitan dengan pemikiran analogis yang
mengajarkan penciptaan perumpamaan dan kiasan.
Dari metode-metode diatas yang dipandang paling akuarat adalah metode
demonstratif karena digunakan sebagai metode ilmiah dasar yang aplikasinya

12
meluas tidak hanya dibidang logika dan filosofis, tetapi juga dibidang empiris
dan matematika.
Metode Burhani, pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran
rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah
pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memperhatikan keabsahan
dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Misalnya dengan
memperhatikan validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam premis-
premis mayor dan minor, serta ada tidaknyamiddle trem yang sah yang
mengantarai kedua premis tersebut. Bentuk formal inilah yang disebut
silogisme yaitu berupa mengambil kesimpulan dari premis mayor dan minor
yang keduanya mengandung unsure yang sama, yang disebut middle trem (al-
hadd al-ausath).
Sebuah silogisme baru dikatakan domonstratif apabila premis-premisnya
didasarkan pada kebenaran yang sudah teruji kebenarannya bukan didasarkan
pada opini, karena hanya pada premis-premis yang benar, kesimpulannya
dapat dipastikan benar. Contohnya klasik silogisme demonstratif : “semua
manusia akan mati (fana). Socrates adalah manusia, maka Socrates akan
mati. Dari pernyataan diatas “semua manusia akan mati” disebut premis
mayor, sedangkan “Socrates adalah manusia, maka akan mati” disebut premis
minor. Kata “manusia” yang muncul dalam kedua premis tersebut
adalahmiddle trem.Jiuka premis mayor dan mayor benar maka dapat
dipastikan bahwa kesimpulan “Socrates akan mati adalah benar.Oleh karena
itu perlu adanya criteria yang ketat tentang kebenaran tersebut melalui adanya
verifikasi dan flasifikasi.4

2.1.4 Aplikasi Burhani


a) Filsuf muslim Timur
Secara historis, Al-kindi adalah filsuf muslim pertama yang mengakses
diskursus filosofis burhani ariestoteles didunia arab. Saat itu Al-Kindi
terlibat langsung dalam kinflik ideology dan menghadapi dua kelompok
sekaligus. Pertama,melawan kaum gnostic dengan menerbitkan ringkasan
berbagai kuliah dalam ilmu rasional dengan menggunakan bentuk risalah

4
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 60-61
13
singkat (epistles) dan bacaan sederhana. Kedua,menentang rigiditas para
pakar hukum, yang digambarkannya sebagai “kelompok yang
meninggalkan kebenaran”.
Al-kindi bertolak dari ketetapan bahwa tujuan filsafat tiada lain
adalah mencari hakikat – hakikat segala sesuatu dan intinya tentang
kebenaran awal, yakni Allah, saama seperti tujuan agama. Dia memaparka
kalau tidak ada pertentangan antara kebenaran agama dengan kebenaran
rasional, Karena keduanya merupakan penampakan atas suatu
kebenaran.dengan pendekatan aries totelian ia berusaha meyakinkan bila
kebenara filsafat dicapat melalui penalaran akal murni.
Al-kindi meng-counter para fuqaha dan teolog yang menolak ilmu-
ilmu kuno praislam dengan statement afirmatif “selayaknya kita tidak
perlu malu mengakui sebuah kebaikan dan mengambilnya dari manapun
datangnya, sekalipun datang dari orang yang jauh dan berbeda dengan kita,
karena tidak ada yang lebih utama dari mencari kebenaran kecuali
kebenaran itu sendiri”.
Al-kindi menolak untuk menyebut Allah sebagai akal; baginya
Allah adalah Esa dari segala lini; baginya tidak ada kategori, tidak ada
unsur, genus, spesies, jiwa, akal, dan Esa bukan karena disandingkan
dengan yang lain, ia Esa secara independen. Esa secara independen artinya
disisi Allah tidak ada hal lain yang bersifat ketuhanan semacam akal
universal atau akal kesepuluh.
Al-Farabi tampil beberapa dekade kemudian meneruskan cita-cita
al-kindi untuk menyosialisasikan ide-ide demonstrative Aristotelian.Jika
filsafat mengekspresikannya secara langsung, secara demonstrative, maka
agama mengekspresikannya melalui lambang-lambang imanginer dan
replikasi. Filsuf memahaminya dengan akal, yakni melalui proses Burhani
yang hanya dengan cara ini dimungkinkan bisa berhubungan langsung
dengan akal aktif, sedangkan nabi menerima hal itu langsung dari
sumbernya sendiri, melalui imajinasinya.
Al-Farabi ingin melampaui wancana teologis yang bersifat
teologis-sophis dan wancana irfani dengan beralih kepada wacana akal

14
universal, wacana burhani yang tidak menyimpan kekaburan yang
menyebabkan kekeliruan atau kesalahan yang bisa menggelincirkannya.Ia
meyakini dengan metode demonstrative yang terdiri dari premis-premis
yang valid, niscaya, generalitas, primordial yang diyakini oleh manusia
dan diketahui oleh akal secara niscaya, akal universal akan meniscayakan
kekuatan dan kecermatan yang tidak mungkin keliru. Namun Al-Farabi
tidak hanya menggagas wacana filsafat, ia juga membangun pemikiran
tasawuf atau irfani.5
b) Filsuf Muslim Barat
Ketika menyebut nama Ibn Hazm, menurut Al-Jabiri, lazimnya orang
hanya menganggap sebagai seorang ahli hukum zahiri dan seorang
polemikus yang pantang menyerah. Ia mengusung proyek ideologis
sekaligus filosofis dalam melawan konsep genostik syi’ah dan iluminasi
sufi. Dengan meng-counter ideology syi’ah fatimiyah, ia dengan jernih
menyatakan bahwa agama tuhan bersifat eksoteris, rasul tuhan tidak
sedikitpun menyembunyikan makna hukum dan tidak ada rahasia,
semuanya disampaikan kepada umat manusia.
Ibn hazm menolak dan membongkar seluruh prinsip kognitif yang
menjadi dasar pemikiran syi’ah imamiyah dan batiniyah. Tidak hanya itu
dengan logika akal universal adopsi pemikiran aristoteles, ia secara tegas
menyanggah irasionalitas dikalangan asy’ariah dan menentang irfan kaum
sufi.
Ibn Rusyd hendak mengulang kembali Ibn Hazm dengan wacana yang
lebih kaya dan mendalam.Dalam perspektif Abed Aljabiri konstribusi
rasionalisme Ibn Rusyd mencangkung 2 aspek, yakni dalam ranah filsafat
dan ranah syariah.Dalam ranah filsafat Ibn Rusyd menyuarakan pemikiran
rasionalisme dengan melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip
kausalitas. Dalam konteks zaman itu Ibn Rusyd mengcounter 3 tradisi
pemikiran islam yang dominan, namun dalam ketiganya justru absen
pendekatan ilmiah rasionalisme atau burhani. Ketiga tradsi pemikiran

5
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 62-64
15
islam tersebut yang dominan pada masa Ibn Rusyd adalah tradisi kalam
dan filsafat, tradisi fiqih dan ushul fiqih, dan traisi tasawuf teoretik.6

2.1.5 Perbedaan Filsafat Barat dan Timur


a. Filsafat Barat
- Umumnya mengarah kepada aliran positivisme. Pemikiran ini hanya
mendasarkan dan membatasi pengetahuan manusia pada data oleh panca
indra dan akal
- Sumber ilmu pengetahuan pada Epistemologi Barat adalah hanya pada
akal (rasio) dan data/fakta empiris
- Kajiannya didasarkan pada praduga-praduga
- Tokoh-tokoh besar Islam didunia barat, seperti Ibn Rusyd(seorang filsuf
dan pemikir dari Al-Andalus yang menulis dalam bidang disiplin ilmu,
termasuk filsafat, akidah atau teologi Islam, kedokteran, astronomi,
fisika, fikih atau hukum Islam, dan linguistik), Ibn Bajjah(seorang
astronom, filsuf, musisi, dokter, fisikawan, psikolog, botanis, sastrawan,
dan ilmuwan Muslim Andalusia yang dikenal di Barat) , Ibn
Masarrah(seorang seorang filosof muslim Andalusia (Spanyol) dan juga
seorang sufi yang mengambil ajaran-ajaran neo-platonik Yunani dan
sekaligus mengembangkannya, dimana ia memadukan pemikiran filsafat
dan tasawuf), Ibn Arabi(seorang sufi terkenal dalam perkembangan
tasawuf di dunia Islam), Ibn Hazm(ulama fikih yang literalis (zhâhiri) dan
seoarang polemikus yang tangguh), al-Syâthibî, dan sejumlah tokoh
lainnya. Al-Jâbirî mengatakan bahwa para tokoh tersebut telah berhasil
membangun sebuah tradisi nalar kritis yang ditegakkan di atas struktur
berpikir demonstratif (nizhâm al-„Aql al-Burhânî) yakni struktur berfikir
yang kemudian dikenal dengan epistemologi burhânî.
b. Filsafat Timur
- Dasar pengetahuan pada pengalaman mistis tradisi Timur menyarankan
suatu kesejajaran ke dasar ilmu pengetahuan terhadap eksperimen.
- Pandangan dunia Timur adalah pandangan yang didasarkan oleh
pengalaman mistis pada pengalaman nonintelektual langsung atas realitas

6
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 65-66
16
dan pengalaman ini memiliki sejumlah karakteristik dasar yang tak
bergantung pada latar belakang geografis historis, dan kultural dari
masing-masing mistiskusnya
- Sumber Epistemologi Timur adalah akal sehat, panca indra, intuisi dan
wahyu.
- Didasarkan pada kajian metafisika
- Tokoh filosuf seperti: (Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn
Tarkhan ibn al-Uzalagh al-Faraby: 870 M-950 M,2 Ibnu Sina, al-Kindy
mengembangkan filsafat Islam), (al-Ghazali, al-Juwaini mengembangkan
filsafat dan hukum/fiqh), (Abu al-Hasan al-Asy’ari, Abu Mansur al-
Maturidi mengembangkan ilmu kalam/teologi Islam), (Imam alSyafi’i,
Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal
mengembangkan fiqh, furu’iyah dan derivasinya.

2.2 RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM


Epistemologi memang memiliki nilai penting dalam bangunan pengetahuan
manusia, namun demikian, dalam studi filsafat, epistemologi hanya menjadi landasan
sekunder.Artinya, pada hakikatnya filsafat pertama hanya ‘membutuhkan’ prinsip-
prinsip suatu bukti (self evident) yang terkandung dalam logika dan epistemologi.
Karenanya, ia sebagai penggugah kesadaran pada kebenaran yang diperoleh akal
tanpa pembuktian, sehingga keragu-raguan yang menyelimuti manusia menjadi sirna.
Hal ini karena, penolakan terhadap argumentasi rasional atau kemampuan akal tidak
lain merupakan pembuktian kemampuan argumentasi akal itu sendiri. Begitu pula,
baik yang menerima maupun menolak kemampuan akal, yang sadar maupun tidak,
pada dasarnya telah menggunakan prinsip-prinsip akal, logika, atau epistemologi
untuk berargumentasi dan mengembangkan pengetahuannya.Filsafat kemudian
menciptakan kategori-kategori atas berbagai fenomena, mencari kesatuan makna dari
berbagai hal yang beragam (craving for generality), dan melakukan penunggalan atas
kemajemukan (craving for unity). Segala hal yang berbeda dari kategori tersebut
direduksi dan dicari titik-titik kesama-annya sehingga bisa dihasilkan sebuah
metonimi yang padu dan baku. Filsafat dengan melakukan hal ini sebenarnya telah
mereduksi the other dalam economy of the same dan menyeragamkan perbedaan ke
dalam suatu sistem homogen.Seperti diuraikan sebelumnya bahwa filsafat pada
17
dasarnya menyelidiki wujud (eksistensi). Akan tetapi, penyelidikan tersebut tidak
akan bernilai sebelum kita mengukuhkan persepsi dan metode intelektual yang
digunakan filsafat. Artinya sebelum kita membuktikan bahwa akal yang mejadi
prosedur penelitian filsafat bernilai benar dan pasti, maka capaian-capaian filsafat
tentang ontologi akan kehilangan nilainya. Dan epistemologi bertugas membuktikan
kemampuan akal dan kebenaran metode rasional yang digunakan filsafat
tersebut.Oleh karena itu, epistemologi dan filsafat memiliki hubungan erat yang tak
terpisahkan.Karena filsafat membutuhkan prinsip-prinsip swabukti yang terkandung
dalam epistemologi sebagai penggugah kesadaran dan penghapus keraguan.
Begitu pentingya pendidikan bagi seluruh bangsa dan manusia penduduk
dunia pada umumnya wabilkhusus bagi umat islam sehingga munculah berbagai
disiplin ilmu dan diskusi-diskusi pendidikan. Pendidikan selalu dibutuhkan dan
dibicarakan oleh manusia itu sendiri sejak manusia itu sendiri mulai ada dan
diciptakan yakni sejak zaman Adam as.Maka diera moderen munculah Managem
pendidikan yang visi misinya adalah mengatur pendidikan agar mencapai tujuan yang
diharapkan serta brjalan secara maksimal dan komperhensif.
Berikut ini adalah pandangan beberapa ahli teang pendidikan. Bahwa
Pendidikan menjamin kelangsungan hidup suatu bangsa, sebab melalui pendidikanlah
akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki suatu bangsa. Karena itu pendidikan
tidak hanya berfungsi untuk how to know, dan how to do tetapi yang amat penting
adalah how to be, bagaimana supaya how to beterwujud maka diperlukan transfer
budaya dan kultur.
Atau pandangan lainya mengatakan bahwa Education must sift in to the future
tense, artinya pendidikan harus berorientasi pada perubahan masa depan. Hal ini yang
mendasari untuk pengembangan pendidikan yang berbasis masyarakat Indonesia.
Sehingga pendidikan di Indonesia mampu mengikuti perkembangan zaman.
Untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana diungkapkan beberapa pakar
pendidikan di atas maka dibutuhkan managemen yang proporsional.Disamping itu
juga perlu adanya upaya filosofis untuk menginfentarisir persoalan-persoalan
pendidikan, dan menggali solusi dari problem pendidikan tersebut.Yakni melaui
kajian epistemologis, dalam kontek pembahasan makalah ini adalah epistemology
burhani.

18
Nalar burhani sebagai nalar epistemologis yang rasional dan empiric, sangat
proporsional untuk diaplikasikan dalam managemen pendidikan.Sebab obyek dari
managemen pendidikan adalah persoalan-persoalan yang mayoritas rasionalis
empiric. Maka penting sekali dalam memecahkan persoalan pendidikan melalui
proses silogisme tentulah dengan akurasi premis-premis yang dapat dipertanggung
jawabkan kebenaranya sesuai dengan kritera-kriteria yang sudah dibahas yaitu
diantaranya ada yang berpendapat syarat-syarat dari premis-premis ada 3:
a) Kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik
b) Kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain
dirinya
c) Kepercayaan bahwa keperyaaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Juga tidak
boleh mengabaikan pendapat Al-Farobi yang membagi materi premis-premis
silogisme menjadi empat bentuk:
d) Pengetahuan primer
e) Pengetahuan indera (mahsusat)
f) Opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat)
g) Opini yang diterima (maqbulat).

Mengkaji epistemologi dengan Dikotomi Ilmu.Dikotomi adalah pembagian


dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.Adajuga yang mendefinisikan
dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. Secara
terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang
kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti
dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan
dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality) Bagi alFaruqi, dikotomi
adalah dualisme religius dan kultural. Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka
dikotomi pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidikan antara pendidikan
agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu
pengetahuan.Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada
wilayah pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan
menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang
kaffah (menyeluruh). Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun

19
keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga bisa
muncul sekarang ini. Tulisan berikut berupaya menyelidiki proses sejarah tersebut;
dengan diawali perkembangan awal dari pertemuan Islam-Arab dengan budaya
lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan perkembangan lembaga-lembaga
pendidikan dalam Islam serta diakhiri dengan pertentangan dua cara berpikir yang
cukup berpengamh dalam pembentukan dikotomi ilmu dalam sejarah peradaban
Islam. Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah
dulaisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum
yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan.Dulaisme ini, bukan
hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan, dalam
operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama,
sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki kebijakan masing-
masing. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan
pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kaffah
(menyeluruh).7

Faktor Dikotomi ilmu dan pencegahannya :


Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat dari beberapa hal yaitu
sebagai berikut:
1. Faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian
pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak
cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara
ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh. Epistemologi merupakan salah satu
wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy of
knowledge).
2. Faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa stagnan atau
kemunduran sejak Abad Pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang pengaruhnya
bahkan masih terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra hal ini disebabkan
karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini, dominasi fuqaha
dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi kristalisasi anggapan

7
Hafidz, 2015, “Epistemologi Intelektual Dan Problem Dikotomi Keilmuan Pesantren”. Fenomena. Vol. 14 No. 2
. hlm. 239-240
20
bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu
umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif. Akibat faktor ini, umat
dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila dibandingkan dengan umat
dan negara lain.
3. Faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan
upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi,
politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara yang
berpenduduk mayoritas Islam.8

8
Hafidz, 2015, “Epistemologi Intelektual Dan Problem Dikotomi Keilmuan Pesantren”. Fenomena. Vol. 14 No.
2. Hlm. 240-241
21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara spesifik pengertian epistemologi burhani,dalam bahasa Arab, berasal
dari kata “al-burhan”yangberarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah).
Dan distinc (al-fashl), dalam bahasa Inggris adalah demonstration, yang mempunyai
akar bahasa latin dari kata demontratio (berarti memberi isyarat, sifat, keterangan, dan
penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani merupakan aktivitas
berfikir untuk menetapkan kebenaran melalui metode penyimpulan (al-istintaj),
dengan menghubungkan presmis tersebut terhadap premis yang lain dan dibenarkan
oleh nalar atau telah terbukti kebenarannya. Sedang dalam pengertian
umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.

Ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhani bermula dari
proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna,
sehingga disinilah ditempatkan kata-kata, dengan redaksi lain, kata-kata adalah
sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir disamping sebagai simbol pernyataan
makna.Secara struktural, proses penalaran sampai munculnya makna terdiri dari tiga
hal, yaitu pertama proses eksperimentasi, kedua proses abstraksi ,ketiga, ekspresi.
Mencari solusi dari setiap permasalahan haruslah bijak, diperlukan pula
metode yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut. Maka perlu adanya kemauan
yang kuat untuk memahami pola pikir khususnya dalam Islam sehingga nantinya
keputusan yang diambil tidak akan menyalahi kita sebagai muslim.

3.2 Saran
Mencari solusi dari setiap permasalahan haruslah bijak, diperlukan pula
metode yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut. Maka perlu adanya kemauan
yang kuat untuk memahami pola pikir khususnya dalam Islam sehingga nantinya
keputusan yang diambil tidak akan menyalahi kita sebagai muslim.

22
23
DAFTAR PUSTAKA

Ariwidodo, Eko. 2013. “Logosentrisme Jacquis Derrida dalam Filsafat Bahasa”.Karsa, Vol.
21 No. 2.
Hafidz. 2015. “Epistemologi, Intelektual, dan Problem Dikotomi Keilmuan pesantren”.
Venomena.Vol. 14 No. 2 Hal. 239-241
Kandiri. 2012.“Epistemologi Pengembangan Pemikiran Islam Menurut Muhammad Abid Al-
Jabiry”. Jurnal Lisan Al-Hal.Volume 4, No. 2 Hal. 288
Mukti Ro’uf, Abdul. 2013. “EPISTEMOLOGI ISLAM (Perspektif para Pemikir Islam
Maghribi)”. Jurnal Khatulistiwa. Vol. 3 No.2 Hal. 133-137
Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam. Erlangga : Jakarta
Suharto, Toto. 2016. Filsafat Pendidikan Islam. Ar-Ruzz Media : Jogjakarta
Zaprulkhan. 2014. Filsafat islam sebuah kajian tematik. Raja Grafindo Persanda : Jakarta

24

Anda mungkin juga menyukai