Anda di halaman 1dari 13

1.

4 Uraian Materi
A. Konstitusionalisme dan konstitusi
Pemaknaan terhadap konstitusionalisme dan konstitusi muncul seiring
dengan berkembangnya diskursus terhadap negara-negara modern yang
membutuhkan adanya dokumen yang bisa dirujuk sebagai hukum tertinggi dalam
penyelenggaraan negara. Pada praktek negara-negara modern paham
konstitusionalisme dan kehadiran konsititusi dianggap sebagai sebuah
keniscayaan (Jimly, 2010, hlm 20).

1. Defenisi konstitusionalisme dan konstitusi


Paham konstitusionalisme sendiri bukanlah gagasan yang baru meskipun
sampai saat sekarang konstitusionalisme dan konstitusi masih menjadi
pembicaraan pokok dalam penyelenggaraan negara modern. Secara etimologis,
sebagaimana dijelaskan oleh Jimly, konsep konsititusi dapat dilihat dalam
perkataan politeia dalam Bahasa Yunani kuno dan costitutio dalam bahasa Latin.
Menurut Jimly kedua perkataan politeia dan constitutio itulah awal mula gagasan
konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia beserta hubungan diantara
kedua istilah tersebut dalam sejarah” (Jimly, 2010: hlm 1)
Pengertian konstitusionalisme dan konstitusi tidak sama. Secara singkat
konstitusionalisme dapat diartikan sebagai paham yang menghendaki
dipergunakannya konstitusi sebagai hukum dalam penyelenggaraan negara
(Pimpinan MPR RI dan Tim Kerja Sosialisasi MPR RI Periode 2009-2014,
Cetakan ke 6, 2016: hlm 119). Konstitusi sendiri merupakan wujud dari
pemahaman konstitualisme itu baik tertulis maupun tidak tertulis.
Konsepsi ini jika dicontohkan ke dalam keadaan Indonesia, kehendak
untuk memiliki sebuah konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam penyelenggaraan
negara Republik Indonesia sebagai paham konstitualisme, sedangkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 adalah

5
konstitusi yang lahir dari pemahaman konstitusionalisme itu yang menegaskan
UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi dalam penyelenggaran negara Republik
Indonesia.
Beberapa ahli juga membedakan Undang-Undang Dasar dengan konstitusi
karena karakter tertulis dan tidak tertulisnya konstitusi itu, meskipun pada
prakteknya hampir semua negara memiliki konstitusi tertulis. Van Apeldoorn
membedakan dengan tegas antara Gronwet (Undang-Undang Dasar) adalah
bagian tertulis dari sebuah konstitusi, dengan constitution (konstitusi) memuat
peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis (dalam Johannes, 2010: hlm 258-
259). Inggris dan Israel dikenal tidak memiliki Undang-Undang Dasar dalam
bentuk naskah tertulis, tapi konstitusinya tumbuh dalam pengalaman praktik
ketatanegaraan (dalam Jimly, 2010: hlm 16-17). Pada konteks Indonesia,
UUDNRI Tahun 1945 adalah konstitusi tertulis meskipun beberapa kebiasaan
ketatanegaraan (konvensi) juga diakui sebagai sumber hukum ketatanegaraan.
Konstitusi dalam bentuk dokumen tertulis disebut juga sebagai konstitusi dalam
arti yang sempit sedangkan keseluruhan aturan-aturan dasar baik tertulis maupun
tidak tertulis disebut juga sebagai konstitusi dalam arti yang luas.
Berikut beberapa definisi ahli terkait konstitusionalisme:
a) Walton H. Hamilton menyebutkan “Constitionalism is the of name given to
trust wich men repose in the power of words engrossed on parchament to
keep a government in order” (dalam Jimly, 2010: hlm 19);
b) C.J Friedrich menyebutkan “Constitutionalism is an institutionalized system
of effective, regularized restraints upon governmental action” (dalam Jimly,
2010: hlm 20);
c) Charles Howard mengemukakan bahwa “...constitutionalism has one
essential quality: it is a legal limitation on government; it is the antithesis of
arbitrary rule; its opposite is despotic government, the government of will
instead of law” (dalam Bactiar, 2016: hlm 123)
Berikut beberapa definisi ahli terkait konstitusi:
a) Briand Thompson menyebutkan “… a constitution is a document wich
contains the rules for the operation of an organization”. (dalam Jimly, 2010:
hlm 16)

6
b) C.F. Strong menyatakan yang dimaksud dengan konstitusi merupakan
“kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak
pihak yang diperintah (rakyat), dan hubungan di antara keduanya” (dalam
Bactiar, 2016: hlm 126)
c) K.C Wheare mengemukakan bahwa konsititusi adalah “kumpulan hukum,
institusi, dan adat kebiasaan, yang ditarik dari prinsip-prinsip rasio tertentu
yang membentuk system umum, dengan mana masyarakat setuju untukn
diperintah” (dalam Johannes, 2010: hlm 259).

2. Kedudukan dan Fungsi konstitusi dalam sistem hukum negara


Mariam Budiarjo (2008) menyatakan bahwa konstitusi mempunyai fungsi
khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi
yang mengikat dan harus ditaati oleh semua warga negara dan lembaga negara
tanpa kecuali (dalam Bactiar, 2016: 128). Dengan demikian pada konstruksi
hukum negara, konstitusi merupakan hukum tertinggi.
Kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi ini merupakan ciri khas
negara berdasarkan hukum atau demokrasi konstitusional. Mariam Budiarjo
menyatakan:
“ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa
pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas
kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang
terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan
pemerintah tercantum dalam konstitusi, sehingga sering disebut
pemerintah berdasarkan konstitusi” (dalam Bactiar, 2016: hlm 132)

Mengacu kepada pendapat Mariam Budiarjo tersebut di atas, terlihat


bahwa sebagai hukum tertinggi dalam sebuah negara, konstitusi menitikberatkan
kepada pembatasan kekuasaan pemerintah sehingga tidak sewenang-wenang
terhadap warga negaranya. M. Laika Marzuki juga menyatakan bahwa,
Constitutionalism atau Konstitusionalisme mengemban the
limited state, agar penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak
sewenang-wenang dan hal dimaksud dinyatakan serta diatur secara
tegas dalam pasal-pasal konstitusi (2010:hlm 3)

7
Lebih lanjut, Jimly merinci sepuluh fungsi konstitusi sebagai berikut
(Jimly, 2010: hlm 27-28):
1. fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara;
2. fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara;
3. fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan dengan warga ngara;
4. fungsi memberi atau sumber legitamasi terhadap keuasaan negara ataupun
kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara;
5. fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber-sumber kekuasaan
yang asli (dalam system demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara;
6. fungsi simbolik sebagai pemersatu (syimbol of unity);
7. fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan
(identity of nation);
8. fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony);
9. fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik
dalam arti sempit hanya di bidang politik maupun dalam arti luas
mencakup bidang sosial dan ekonomi;
10. fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat (social
engineering atau social reform), baik dalam arti sempit maupun dalam arti
luas.
Guna memperkuat penguasaan terkait konsep konstitualisme dan
konstitusi, dapat dilihat pada beberapa sumber bacaan berikut:
1. buku yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie berjudul “Konstitusi dan
Konstitusionalisme di Indonesia, terutama halaman 1 sampai dengan
halaman 29;
2. jurnal yang ditulis oleh Johannes Suhardja berjudul “Supremasi Konstitusi
Adalah Tujuan Negara. Tulisan ini dimuat di Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 10 No. 3 September 2010 dan dapat diunduh di
http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/viewFile/96/
46;
3. jurnal yang ditulis oleh Bactiar berjudul “Esensi Paham Konsep
Konstitualisme Dalam Konteks Penyelenggaraan Sistem Ketatanegaraan.
Tulisan ini dimuat di Jurnal Surya Kencana; Dinamika Hukum dan

8
Keadilan Vol. 6 No. 1, Maret 2016 dan dapat diunduh di
http://openjournal.unpam.ac.id/index.php/sks/article/download/342/268
4. Gambaran visual singkat terkait konsep konstitusi Indonesia bisa dilihat di
channel https://www.youtube.com/watch?v=6Yg1XU_x1iA

B. Sejarah Singkat Pembentukan UUD 1945


Proses pembentukan UUD 1945 tidak terlepas dari proses perumusan dasar-
dasar pembentukan negara Indonesia merdeka. Pada saat kemerdekaan Indonesia
diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, UUD 1945 belum disahkan. UUD 1945
baru disahkan pada keesokan harinya, yakni pada 18 Agustus 1945 bersamaan
dengan diresmikannya Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi Presiden dan
wakil Presiden pertama untuk Indonesia merdeka.
Meski baru disahkan pada 18 Agustus 1945, proses perumusan UUD 1945
telah dimulai sejak bekerjanya Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BUPKI
dibentuk oleh Balantentara Jepang dan dilantik pada 28 Mei 1945. Tugas BPUPKI
adalah melakukan usaha-usaha untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia
sebagai mana telah dijanjikan oleh Jepang untuk memberikan kemerdekaan
kepada Bangsa Indonesia. Pada usaha-usaha persiapan kemerdekaan inilah
BPUPKI juga sekaligus mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar sebagai
dasar mendirikan negara Indonesia merdeka.
BPUPKI bersidang sebanyak dua kali masa persidangan yakni masa
sidang pertama dari 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945 dan masa sidang
kedua sejak dari 10 Juli 1945 sampai dengan 17 Juli 1945. Pada masa sidang
pertama yang dibicarakan adalah philosofische grondslag, dasar falsafah
Indonesia merdeka sedangkan hal lainnya yang terkait dengan bentuk negara dan
pemerintahan dilakukan pada masa sidang kedua. Pada masa sidang kedua inilah
naskah Undang-Undang Dasar dibicarakan.
BPUPKI pada masa sidang kedua membentuk Panitia Hukum Dasar
dengan tugas membuat rancangan Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir.
Soekarno dengan anggota sebanyak 19 orang. Panitia Hukum Dasar kemudian
membentuk lagi Panitia Kecil dengan tugas membuat rumusan rancangan

9
Undang-Undang Dasar. Panitia Kecil ini terdiri dari 7 orang anggota yakni, Prof.
Dr. Supomo sebagai ketua merangkap anggota dan Mr. Wongsonegoro, R.
Sukardjo, Mr. A. Maramis, Mr. R. Pandji Singgih, H. Agus Salim, dan Dr.
Sukiman. Pada 13 Juli 1945, Panitia Kecil menyelesaikan tugasnya dan
melaporkan rancangan undang-undang dasar kepada Panitia Hukum Dasar.
BPUPKI pada 17 Juli 1945 menerima dan menyetujui rumusan tersebut sebagai
Rancangan Undang-Undang Dasar.
Selanjutnya tugas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia sebagaimana
dijanjikan balatentara Jepang dilaksanakan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang beranggotan 21 orang dengan ketua Ir. Soekarno dan wakil
ketua Drs. Mohammad Hatta. PPKI mulai bertugas sejak 9 Agustus 1945 untuk
sesegera mungkin menyelesaikan segala permasalahan yang terkait kemerdekaan
termasuk soal UUD sebagai persiapan untuk kemerdekaan Indonesia yang akan
disahkan kemerdekaannya oleh Pemerintah Jepang di Tokyo pada 24 Agustus
1945.
Peristiwa dijatuhkannya bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada
tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 dan menyerahnya Jepang kepada Sekutu membuat
janji Jepang untuk kemerdekaan Indonesia tidak mungkin lagi dapat dilaksanakan.
Atas desakan golongan muda, pada 17 Agustus 1945 Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya sehingga dengan sendirinya kemerdekaan
tidak lagi atas pemberian Jepang melainkan inisiatif bangsa Indonesia sendiri.
Begitu juga dengan pembentukan undang-undang dasar yang tadinya dibawah
persetujuan Jepang kemudian menjadi inisiatif sendiri dari PPKI yang ditandai
dengan ditambahnya anggota PPKI dari semula 21 orang menjadi 27 orang dan
persidangan PPKI menjadi tanggung jawab bangsa Indonesia sendiri.
PPKI kemudian melaksanakan persidangan pada 18 Agustus 1945, sehari
setelah Proklamasi dibacakan. Pada persidangan ini rancangan Undang-Undang
Dasar yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI setelah mengalami beberapa
perubahan dan penambahan disahkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
Sebagai catatan tambahan, sejarah perumusan UUD 1945 ini disarikan dari
buku Konstitusi dan Konstitusionalisme yang dituliskan oleh Jimly Assiddiqie

10
dan Materi Sosialisasi Empat Pilar RI yang disusun oleh Pimpinan MPR dan Tim
Kerja Sosialisasi MPR RI Periode 2009-2014.

C. Perkembangan Konsitusi di Indonesia


Perkembangan konstitusi di Indonesia akan dijabarkan berdasarkan urutan
waktu untuk menandai tahapan-tahapan perkembangan yang ada, yakni, periode
1945-1949, Periode 1949-1950, Periode 1950-1959, Periode 1959-1999 dan
Periode 1999-sekarang.

a. Periode 1945-1949
Periode ini adalah periode diberlakunya UUD 1945 yang disahkan pada 18
Agustus 1945 sampai disahkannya Konstitusi RIS. Periode ini berlangsung pada
kurun waktu 18 Agustus 1945-27 Desember 1945
UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 ini terdiri dari
Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Pembukaan terdiri dari empat alinea.
Batang tubuh terdiri dari 16 BAB, 37 Pasal, 4 Pasal Aturan Peralihan dan 2 Pasal
Aturan Tambahan. Meskipun telah disahkan, tapi pada dasarnya UUD 1945
bersifat sementara yang ditandai dengan adanya perintah kepada Majelis
Permusyawatan Rakyat (MPR) untuk menetapkan Undang-Undang Dasar enam
bulan sejak MPR pertama kali dibentuk (Pasal (2) Aturan Peralihan). Ni’Matul
Huda (2012: hlm 147) menyatakan bahwa dari aspek historis sejak dari semula
pada dasarnya UUD 1945 bersifat sementara sebagai mana dinyatakan dalam
pidato Ir. Soekarno sebagai ketua PPKI pada 18 Agustus 1945 sebagai berikut:
“…Tuan-tuan semua tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar
yang kita buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara.
Kalau boleh saya memakai perkataan “ini adalah Undang-Undang
Dasar Kilat”, nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yang
lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang
dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih
sempurna…”

Pada periode ini, UUD 1945 juga belum bisa dilaksanakan secara
konsisten karena terjadinya berbagai gejolak politik di dalam negeri dan masih
adanya usaha Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Penyelenggaraan
negara pada periode ini lebih banyak menggunakan konvensi ketatanegaraan yang
11
berdasarkan kepada Pasal IV Aturan Peralihan yang memberikan kekuasaan
penyelenggaraan negara kepada Presiden dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Diantara peristiwa yang memberikan pengaruh signifikan kepada UUD
1945 adalah keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang memberikan
kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional Pusat dan ikut sertanya Komite
Nasional Pusat untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara (Ni’Matul
Huda, 2012: hlm 123). Selain itu pada 14 Nopember 1945 juga dikeluarkan
Maklumat Pemerintah yang berisi perubahan kabinet dari sistem persidensiil ke
sistem parlementer (Jimly, 2010: hlm 36). Dengan demikian, kabinet yang semula
bertanggung jawab kepada Presiden berubah menjadi bertanggung jawab kepada
Perdana Menteri. Keadaan demikian terus berlangsung sampai dibentuknya
Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949 (Jimly, 2010: hlm 36)

b. Periode 1949-1950
Periode ini adalah masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(RIS) di Indonesia. Periode berlangsung dalam kurun waktu 27 Desember 1949
sampai dengan 17 Agustus 1950.
Perubahan UUD 1945 menjadi Konstitusi RIS mengikuti perubahan
bentuk negara sebagai konsekuensi dari perjanjian yang dihasilkan dari
Konferensi Meja Bundar (Round Table Conference) di Den Haag pada 23
Agustus 1949. Konferensi Meja Bundar menyepakati didirikannya Negara
Republik Indonesia Serikat. Pada Konferensi tersebut juga disusun Rancangan
UUD yang disepakati Pihak Indonesia dan Pihak Belanda sebagai UUD RIS yang
kemudian dikenal dengan Konstitusi RIS. Konstitusi RIS mendapat persetujuan
Komite Nasional Pusat pada 14 Desember 1949 dan mulai berlaku sejak 27
Desember 1949 (Jimly, 2010: hlm 37)
Diberlakukannya Konstitusi RIS ini, Indonesia kemudian terbagi 16
negara bagian, diantaranya Negara Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur,
negara Sumatera Selatan, negara Pasundan, dan Negara Indosia Timur (Ni’Matul
Huda, 2012: hlm 134). Bagi negara Republik Indonesia tetap berlaku UUD 1945
sedangkan bagi negara bagian yang lain berlaku Konstitusi RIS. Dengan
demikian, sebenarnya bagi wilayah Republik Indonesia UUD 1945 tetap berlaku

12
sampai 27 Agustus 1950 ketika UUDS 1950 resmi diberlakukan (Jimly, 2010:
38).
Konstitusi RIS terdiri dari Mukadimah (empat alinea) dan batang tubuh
yang terdiri dari 6 BAB dan 197 Pasal. Konstitusi RIS ini juga bersifat sementara
sebagaimana ditegaskan pada Pasal 186 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang
Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya
menentapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat” (Majda, 2005: hlm 75)

c. Periode 1950-1959
Periode ini adalah periode berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) 1950. Periode ini berlangsung dalam kurun waktu 17 Agustus 1950
sampai dengan 5 Juli 1959.
Negara Indonesia Serikat ternyata tidak bertahan lama. Bentuk negara
federal ternyata menciptakan disharmoni di kalangan masyarakat dan tak jarang
menciptakan revolusi fisik di beberapa wilayah Indonesia (Majda, 2005: hlm 76).
Beberapa negara bagian kemudian menyatakan mengabungkan diri menjadi satu
dengan wilayah Republik Indonesia sehingga akhirnya negara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia Serikat sepakat untuk
kembali bersatu dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang di
proklamasikan pada 17 Agustus 1945. Kesepakatan ini dalam naskah persetujuan
bersama pada 19 Mei 1950 (Jiml, 2010: hlm 39).
Untuk persiapan ke arah persatuan, dibentuk panitia bersama untuk
menyiapkan naskah Undang-Undang Dasar yang kemudian disahkan oleh Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat pada 12 Agustus 1950 dan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada 14 Agustus 1950. Selanjutnya
UUD baru ini disahkan pada 17 Agustus 1950 melalui penetapan dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1950 Tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat Mendjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia.
UUDS 1950 juga bersifat sementara untuk menggantikan Konstitusi RIS
yang tidak relevan dengan bentuk negara kesatuan. UUDS 1950 ini terdiri dari
Mukadimah (empat alinea), enam Bab dan 146 Pasal. UU Nomor 7 Tahun 1950

13
sendiri terdiri dari dua pasal yang pada intinya pernyataan merubah Konstitusi
RIS menjadi UUDS 1950 dan pernyataan berlakunya UUDS 1950.
Pada 10 November 1956 terbentuk Majelis Konstituante hasil pemilu
tahun 1955 yang kemudian bertugas untuk menyusun konstitusi baru untuk
menggatikan UUDS 1950. Namun sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5
Juli 1959, Majelis Konstituante belum berhasil menyapakati konstitusi baru yang
bersifat tetap.

d. Periode 1959-1999
Periode ini adalah periode diberlakukannya kembali UUD 1945 yang
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan Amandemen UUDNRI
Tahun 1945 pasca reformasi. Periode ini berlangsung dalam kurun waktu 5 Juli
1959 sampai dengan tahun 1999.
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang
menyatakan, pertama, pembubaran Konstituante; kedua, memberlakukan kembali
UUD 1945; dan ketiga, penarikan kembali UUDS 1950 dan, dalam waktu
sesingkat-singkatnya mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan
UUD 1945 (Adnan Buyung Nasution, dalam Majda, 2005: hlm 82) dengan
keluarnya Dekrit Presiden ini, UUDS 1950 tidak berlaku lagi dan konstitusi
Indonesia kembali kepada UUD 1945 yang telah disepakati pada 18 Agustus
1950.
Tidak terjadi perubahan terhadap UUD 1945 sampai dengan tahun 1999
setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru yang ditandai dengan menggundurkan
dirinya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 dan masuknya era reformasi.
Sepanjang era Orde baru, sebagaimana diungkapkan Jilmy terjadi sakralisasi
terhadap UUD 1945 dengan diterapkannya UUD 1945 secara murni dan
konsekuen sehingga tidak diizinkan adanya ide perubahan terhadap UUD 1945
(Jimly, 2010: 41).

e. Periode 1999-sekarang
Periode inilah periode Amandemen UUDNRI Tahun 1945 pasca reformasi
1998. Periode ini berlangsung dalam kurun waktu tahun 1999 sampai sekarang.

14
Setelah mundurnya presiden Suharto pada tahun 1998, keinginan untuk
melakukan amandemen terhadap menjadi salah satu amanat reformasi. Sepanjang
kurun waktu 1999-2002 terjadi empat kali amandemen terhadap UUD 1945,
yakni:
1. Perubahan pertama pada Sidang Umum MPR 1999, 14-21 Oktober
1999. Sidang menghasilkan Amandemen Pertama yang ditetapkan pada
19 Oktober 1999.
2. Perubahan kedua Sidang pada Tahunan MPR 2000, 7-18 Agustus 2000.
Sidang menghasilkan Amandemen Kedua yang ditetapkan pada 18
Agustus 2000.
3. Perubahan ketiga Sidang pada Tahunan MPR 2001, 1-9 November
2001. Sidang menghasilkan Amandemen Ketiga yang ditetapkan pada 9
November 2001.
4. Perubahan keempat Sidang pada Tahunan MPR 2002, 1-11 Agustus
2002. Sidang menghasilkan Amandemen Keempat yang ditetapkan
pada 10 Agustus 2010.
Meski terjadi perubahan yang signifikan pada empat kali amandemen
UUD NRI 1945 tersebut, tapi panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP
MPR) yang ditugaskan untuk menyiapkan rancangan perubahan UUDNRI 1945
melalui TAP MPR No. IX/MPR/1999 (Majda, 2005: hlm 87) menyusun 5 butir
kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUDNRI 1945, yaitu (Ni’Matul
Huda, 2012: hlm 152):
1. tidak mengubah pembukaan UUD 1945;
2. tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
4. penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam
Penjelasan dimasukan ke dalam pasal-pasal;
5. perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Dengan adanya perubahan UUD NRI tahun 1945 melalui amandemen I
sampai dengan IV, anatomi UUD NRI Tahun 1945 berubah menjadi Pembukaan
yang terdiri dari 4 alinea dan Pasal-Pasal (sebagai ganti istilah Batang Tubuh)

15
yang mencakup 21 BAB, 73 pasal dan 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan dan 2
Pasal Aturan Tambahan, sedangkan Penjelasan ditiadakan.
Guna memperkuat penguasaan terkait perkembangan konstitusi di
Indonesia bacalah jurnal berjudul Perkembangan Konstitusi di Indonesia yang
ditulis oleh M. Agus Santoso pada link berikut
https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/download/101 68/9070. sumber audiovisual
terkait perkembangan konstitusi di Indonesia dapat dilihat pada channel yuotube,
https://www.youtube.com/watch?v=SmEpCP6g_eI

1.5 Rangkuman
Uraian di atas dapat dirangkum sebagai berikut.
1. Konstitusi secara etimologi berasal dari kata Politea dalam bahasa Yunani
dan Constitutio dalam bahasa latin. Konstitusionalisme dapat diartikan
sebagai paham yang menghendaki dipergunakannya konstitusi sebagai
hukum dalam penyelenggaraan negara sedangkan konstitusi merupakan
wujud dari paham konstitusionalisme baik tertulis maupun tidak tertulis.
2. Konstitusi berkedudukan sebagai hukum dasar tertinggi pada
penyelenggaraan negara yang berfungsi untuk mengatur hubungan antar
organ-orang negara dan pada pokoknya berisi tentang pembatasan kekuasaan
pemerintah menurut konstitusi. Konstitusi merupakan salah satu ciri khas
negara demokrasi. UUDNRI Tahun 1945 adalah konstitusi Negara Republik
Indonesia yang berkedudukan sebagai hukum dasar tertinggi dalam sistem
hukum Indonesia. Sebagai hukum dasar tertinggi, segala bentuk peraturan
yang berada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan UUDNRI Tahun
1945.
3. Sejarah pembentukan UUD 1945 di mulai sejak dibentuknya BPUPKI yang
dilaksanakan oleh Panitia Kecil yang dibentuk oleh Panitia Hukum Dasar
BPUPKI. Rancangan UUD 1945 mulai dibicarakan pada sidang ke dua
BPUPKI dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 17 Juli 1945. Pada 18
Agustus 1945 PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara
Republik Indonesia.

16
4. Perkembangan konstitusi di Indonesia dapat dilihat pada perioderisasi sebagai
berikut:
1) periode 1945-1949, yakni periode berlakunya UUD 1945 sampai
disahkan Konstitusi RIS;
2) Periode 1949-1950, yakni periode berlakunya Konstitusi RIS sampai
berlakunya UUDS 1950;
3) Periode 1950-1959, yakni periode berlakunya UUDS 1950 sampai
keluarnya Dekrit Presiden pada tahun 1959 yang menggembalikan
konstitusi Indonesia ke UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945;
4) Periode 1959-1999, yakni periode diberlakukannya kembali UUD 1945
sampai dimulainya proses amandemen UUDNRI Tahun 1945 pada tahun
1999;
5) Periode 1999-sekarang, yakni periode amandemen terhadap UUDNRI
Tahun 1945 yang dimulai sejak tahun 1999 dan sampai saat ini telah
mengalami empat kali amandemen.

17

Anda mungkin juga menyukai