Anda di halaman 1dari 14

Evaluasi Implementasi Clinical Pathway Pada Penanganan Pasien Anak

dengan Pneumonia Ringan di Rumah Sakit Hermina Bekasi Tahun 2018

Evaluation of Clinical Pathway Implementation on Pediatric Patient with Simple


Pneumonia at Hermina Bekasi Hospital 2018

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi dan pengembangan clinical pathway pneumonia ringan.
Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dan kualitatif dengan metode telaah data, telaah dokumen dan
wawancara mendalam. Analisis data kuantitatif menggunakan Tools Pengembangan Pra Clinical Pathway dan
Evaluasi Clinical Pathway versi beta 2.3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada variabel input tidak
memiliki kendala, staf sudah siap untuk melakukan implementasi clinical pathway. Tim pengembangan clinical
pathway masih terbatas pada satu golongan tenaga medis saja. Masih terdapatnya variasi yang tinggi pada
pemakaian obat-obatan. Rata-rata lama hari rawat sudah sesuai yaitu 4,19 hari dengan pasien terbanyak pulang
pada hari rawat keempat. Sebanyak 14 pasien dari total 67 pasien dirujuk ke Rumah Sakit lain pada hari rawat
pertama. Beberapa hal yang dapat Rumah Sakit lakukan yaitu libatkan lebih banyak staf dari berbagai disiplin
ilmu dalam proses pengembangan clinical pathway, lakukan berbagai cara untuk sosialisasi clinical pathway,
lakukan evaluasi rutin terkait kepatuhan terhadap clinical pathway dan evaluasi formulir clinical pathway
berdasarkan dengan variasi pada penelitian ini.

Kata kunci: Clinical Pathway, Pneumonia ringan, implementasi

Abstract
This study aims to determine the implementation and development of clinical pathway of simple
pneumonia. The type of research used quantitative and qualitative study with data analysis, document
review and in-depth interviews methods. Quantitative data analysis using Pre Clinical Pathway
Development Tools and Clinical Pathway Evaluation beta 2.3. The results showed that in the input
variables have no constraints, the staff is ready to implement the clinical pathway. Clinical pathway
development team is still limited to one class of medical personnel only. There is still a high variation
in the use of drugs. The average length of stay was 4,19 days with most patients discharge from the
hospital on the fourth day of treatment, 14 patients from 67 patients were referred to another hospital
on the first day of treatment. Some things the Hospital can do include involving more staff from
various disciplines in the clinical pathway development process, doing various ways to socialize
clinical pathways, conducting routine evaluations about clinical pathway compliance and clinical
pathway form evaluation based on variations in this study.

Key words: Clinical Pathway, Simple Pneumonia, Implementation


Pendahuluan

Pneumonia menjadi satu penyakit yang menempati peringkat ketiga penyebab


kematian baik pada usia anak hingga dewasa dari seluruh penyakit infeksi dengan angka yang
mencapai hampir 3,5 juta orang per tahun (World Health Organization, 2014). Pneumonia
merupakan radang akut yang dapat menyerang jaringan paru-paru dan sekitarnya, serta
Pneumonia merupakan sebuah manifestasi dari infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang
paling berat karena dapat menyebabkan kematian (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016).
Pada tahun 2015 menurut UNICEF terdapat kurang lebih 147.000 anak dengan usia dibawah
5 tahun meninggal dengan sebanyak 14% dari angka tersebut disebabkan oleh pneumonia
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016). Prevalensi pneumonia di Indonesia sendiri menempati
posisi 10 besar dari seluruh kasus penyakit rawat inap di berbagai rumah sakit di Indonesia
dengan crude fatality rate (CFR) yang paling tinggi diantara penyakit lainnya yakni sebesar
7,6% (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014).
Selain pelayanan kesehatan tersebut harus efektif dan efisien tentunya layanan
tersebut harus memiliki kendali mutu dan kendali biaya secara jelas. Kendali mutu dan
kendali biaya tersebut digunakan sebagai salah satu upaya pengembangan pelayanan
kesehatan yang sudah tertuang dalam Pasal 24 ayat 3 Undang-Undang no.40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN No.40 Tahun 2004).
Dalam Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Kedokteran yang diterbitkan oleh
Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI, bahwa dalam pelaksanaannya Panduan Praktik
Klinis (PPK) mempunyai berbagai macam tools yaitu clinical pathway, algoritme, protokol,
prosedur dan standing orders. Clinical pathway juga memberikan suatu pendekatan di
lingkungan rumah sakit dengan mengurangi variasi dalam proses klinis dan memperbaiki
kualitas perawatan dengan tetap mempertahankan lama rawat inap di rumah sakit yang
minimum (Cheah, 2000). Dalam periode Januari sampai dengan Maret 2018 pneumonia
merupakan penyakit rawat inap dengan jumlah kasus tertinggi dengan jumlah 132 kasus di
RS Hermina Bekasi.
Selain menempati peringkat tertinggi berdasarkan jumlah kasus, dalam tagihan biaya
pasien pun masih ditemukan selisih antara tarif rumah sakit dengan tarif BPJS yang dapat
disimpulkan Rumah Sakit Hermina Bekasi mengalami kerugian sebesar Rp 84.225.912,-.
Kedua hal tersebut dapat menjadi dasar pengembangan sebuah clinical pathway sebagai tools
kendali khususnya bagi kasus pneumonia. Menurut Davis (2005), prioritas pemilihan clinical
pathway yang akan dikembangkan harus berdasarkan pada kasus dengan high volume, high
cost, high risk, mempunyai variasi layanan yang cukup besar serta adanya keluhan terhadap
layanan yang diberikan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, clinical pathway menjadi alat
kendali mutu sekaligus alat kendali biaya. Adanya clinical pathway dipastikan menjadi hal
yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan, maka dari itu evaluasi dari implementasi
clinical pathway sangatlah dibutuhkan. Pada penelitian ini, peneliti terdorong ingin
mengetahui bagaimana gambaran variasi output pada implementasi clinical pathway
pneumonia ringan. Selain mengetahui variasi output, peneliti juga ingin mengetahui
bagaimana input, proses serta kendala yang dihadapi pada saat implementasi clinical pathway
pneumonia ringan di Rumah Sakit Hermina Bekasi.
Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan pendekatan mix
method yaitu dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif
berupa data karakteristik pasien, data medik pasien dan juga data rincian layanan pasien yang
diambil dari Unit Casemix berupa karakteristik pasien, lama hari rawat, pemantauan medis,
pemeriksaan penunjang, pemberian obat, tatalaksana medis, konsultasi dan tagihan pasien.
Data kualitatif diambil dengan wawancara mendalam dan telaah dokumen untuk mengetahui
lebih lanjut mengenai implementasi clinical pathway khususnya Pneumonia ringan. Kriteria
Inklusi untuk sample yang digunakan pada metode kuantitatif yaitu Rekam medik pasien
anak yang terdiagnosis Pneumonia ringan rawat inap pada bulan Januari 2018 - Maret 2018,
Pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Pasien tanpa penyakit penyerta dan Pasien rawat
inap. Diperoleh jumlah sampel sebanyak 67 pasien anak dengan pneumonia ringan yang
memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel selama 3 bulan tersebut dikarenakan Clinical
Pathway untuk pneumonia ringan baru dilaksanakan pada Bulan Januari 2018.
Pengambilan sampel kualitatif dilakukan secara purposive (Tabel 1), dengan tujuan
kriteria sampel yang diperoleh merupakan sumber kunci informasi sesuai dengan tujuan
penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif atau informan adalah orang yang benar-benar
tahu dan menguasai masalah serta terlibat langsung dalam implementasi clinical pathway
pneumonia ringan.

Tabel 1. Karakteristik Informan Sampel Kualitatif

No Jabatan Informan Pendidikan Terakhir


1 Ketua Tim Clinical Pathway S – 2 (Spesialis Anak)
2 Ketua Komite Medis S – 2 (Spesialis Penyakit Dalam)
3 Dokter Penanggung Jawab Pasien S – 2 (Spesialis Anak)
4 Kepala Instalasi Farmasi S – 1 (Apoteker)
5 Kepala Instalasi Laboratorium S – 1 (Dokter Umum)
6 Perawat Ruang Rawat Inap S – 1 (Keperawatan)

Data kuantitatif diperoleh dari penelusuran data rekam medis pasien khususnya pasien
dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang terekam dalam sistem di Unit Casemix RS
Hermina Bekasi, yaitu berupa: lama hari rawat, pemantauan medis, pemeriksaan penunjang,
tatalaksana medis, pemberian obat, konsultasi dan tagihan pasien. Data kualitatif diperoleh
dari hasil wawancara mendalam dengan informan yang terkait dalam implementasi clinical
pathway Pneumonia ringan di RS Hermina Bekasi.
Data kuantitatif yang telah diolah pada tahap sebelumnya kemudian dilakukan analisa
univariat dengan menggunakan “Tools Pengembangan Pra Clinical Pathway (CP) dan
Evaluasi Clinical Pathway versi beta 2.3”. Kemudian hasil analisis dari data kuantitatif ini
dijadikan pedoman untuk pengambilan dan analisis data kualitatif yang diperoleh dari
wawancara mendalam dan telaah dokumen. Data kualitatif yang diperoleh dan sudah diolah
kemudian dilakukan analisa melalui matriks yang sudah dibuat pada tahap sebelumnya.
Hasil Penelitian

Cara Pulang

23%
Rujuk
Sembuh
77%

Gambar 1. Cara Pulang Pasien Anak dengan Pneumonia Ringan


di RS Hermina Bekasi pada bulan Januari-Maret 2018

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 21% pasien (yaitu sebanyak 14 orang),
keluar dari rumah sakit dalam keadaan dirujuk. Alasan pasien dirujuk disebabkan karena
ketidaktersediaan kamar rawat setelah observasi lebih dari 6 jam dan ketidaktersediaan
ruangan PICU karena pasien tersebut merupakan pasien pro-PICU. Pasien yang harus dirujuk
tersebut memiliki diagnosa penyerta lainnya yang menjadi kriteria eksklusi dari sampel
penelitian. Karena sampel penelitian tidak boleh memiliki diagnosa penyerta, maka dalam
penelitian ini jumlah pasien yang akan dianalisis adalah sebanyak 53 orang (pasien sembuh).

Tabel 2. Karakteristik Pasien Anak dengan Pneumonia Ringan


di RS Hermina Bekasi pada bulan Januari-Maret 2018

Kode ICD- Jumlah Pasien Umur (tahun)


Diagnosis utama
X (orang) Min Max Rata-rata
Bronchopneumonia,
J18.0 53 1 10 2,32
unspecified

Terdapat 53 pasien anak dengan diagnosis utama adalah pneumonia ringan yang dirawat inap
RS Hermina Bekasi pada bulan Januari hingga Maret 2018. Dengan rincian umur yang paling
muda adalah 1 tahun dan umur paling tua adalah 10 tahun serta rata-rata umur pasien adalah
2,32 tahun (Tabel 2).
Jenis Kelamin Kelas Rawat Inap

25% 26% Kelas I


36% Laki-laki
Kelas II
Perempuan
64% Kelas III

49%

Gambar 2. Jenis Kelamin dan Kelas Rawat Inap Pasien Anak Pnemonia Ringan

Jumlah pasien anak laki-laki sejumlah 34 orang (64%) dan jumlah pasien anak
perempuan adalah 19 orang (36%). Kamar rawat kelas II memiliki jumlah pasien yang
dirawat paling banyak yaitu sejumlah 26 pasien (49%), kemudian sebanyak 13 pasien (25%)
dirawat di kamar rawat kelas III dan sisanya sebanyak 14 pasien (26%) dirawat di kamar
rawat kelas I (Gambar 2).

Dari hasil wawancara mendalam yang diperoleh sebagian besar informan


menyebutkan hanya dokter, dokter spesialis, unit pelayanan medis yang memiliki peran pada
saat mengembangkan Clinical Pathway dan pada saat implementasi melibatkan perawat
ruangan, farmasi, gizi, laboratorium. Mengenai kesiapan SDM yang diperoleh dari
wawancara dengan informan di RS Hermina Bekasi diperoleh informasi bahwa sebagian
besar informan menyebutkan bahwa SDM belum sepenuhnya siap baik untuk implementasi
dan pengembangan.
Yang terlibat ya.... seperti kaper ruangan, ka.ins terus ada DPJP, itu dalam
pengembangan kalau pelaksanaan sih pastinya perawat, farmasi terus ada gizi
juga... ada lab juga kan mba... (informan 1)

Setahu saya sih ya mba belum semua dilibatkan.... pembuatan itu ada dokter,
dokter spesialis terutama kemudian yanmed.... baru implementasi itu ada kaper,
ka.ins sama perawat ruangan.... (informan 2)

Kesiapan belum semua siap kayaknya mba... misalnya aja kalau pengisian form
CP itu harus diingatkan terus, sering banyak yang belum diisi mba, jadi harus
diingetin lagi.... (informan 6)

Berdasarkan hasil wawancara mendalam, semua informan mengungkapkan bahwa


terdapat dana khusus untuk proses pengembangan CP yang didalamnya terdapat rapat-rapat
persiapan. Berdasarkan hasil telaah dokumen yang dilakukan, diperoleh informasi mengenai
dokumen yang mendukung pelaksanaan CP, antara lain Panduan Praktik Klinik (PPK)
Pneumonia yang dibuat oleh RS Hermina Bekasi pada tahun 2017 dan Formulir Clinical
Pathway Pneumonia yang dibuat oleh RS Hermina Bekasi.
Ada buat rapat-rapat persiapan pembuatan CP... itu udah ada mba khusus CP...
(informan 1)

Kalau dana biasanya ada dana untuk CP setahu saya mba... (informan 2)

Tabel 3. Daftar Obat-Obat dalam Panduan Praktik Klinik (PPK)


dan clinical pathway Pneumonia di RS Hermina Bekasi

Jenis Obat CP PPK


Antibiotika Golongan Ceftriaxon
Sefalosporin Cefotaxime
Antibiotika Golongan Penicillins Ampicillin Ampicillin 1g
Antibiotika Golongan
Chloramphenicol Chloramphenicol 75mg
Chloramphenicol
Analgesics dan Antipyretics Paracetamol
Salbutamol,
Inhalasi
Bronchodilator

Berdasarkan hasil wawancara mendalam, diperoleh informasi bahwa obat dan alkes selalu
tersedia untuk mendukung terlaksananya CP. Sarana dan prasarana yang mendukung antara
lain fasilitas yang berada di kamar rawat, tersedianya oksigen di setiap bed pasien,
tersedianya berbagai alat medis untuk pemeriksaan penunjang di laboratorium dan radiologi.
Tabel 3 menunjukkan daftar obat-obat dalam PPK dan clinical pathway. Namun terdapat
beberapa informan yang menyebutkan bahwa IT belum sepenuhnnya siap untuk mendukung
terlaksananya CP.

Obat selalu tersedia kok mba... cukup baik untuk obat sama alkes... saya rasa ga
pernah kehabisan stok disini... (informan 3)

Ketersediaan obat sama alkes tersedia terus... sejauh ini perhitungan sudah
sesuai... kami tidak pernah stock out jadi selama ini aman terus untuk obat mba...
(informan 4)

Sudah lengkap mba... hampir selalu ada dan mendukung buat pelayanan... misalnya e-
pres kan disini ada... sudah cukup baik... tapi kadang ada beberapa obat yang harus
diketik manual... baiknya IT lebih siap terus dilengkapi lagi untuk list obat nya, karena
jadinya kan belum mendukung banget IT nya... kelengkapan farmasi... kerjasama dengan
farmasi... hanya e-medical record yang belum ada untuk mendukung CP... (informan 2)

Menurut informasi yang diperoleh dari informan, bahwa ketua tim pengembangan clinical
pathway dan anggota tim-nya ditunjuk langsung oleh direktur. Clinical pathway yang akan
dikembangkan biasanya diperoleh dari kasus-kasus yang high risk, high volume dan high
costserta merupakan kasus yang sederhana. Terkait dengan literartur yang digunakan, semua
informan menyatakan bahwa, menggunakan literature dari FK-UI yang diadaptasi dengan
sumber literatur lainnya misalnya PPK dari organisasi profesi (IDAI, POGI, IDI, dll).
...kasus-kasus untuk CP kan yang high risk, high volume dan high cost... dari situ
CP apa yang harus dibuat... untuk literatur biasanya kita dari FK UI mba...
mengacu kesitu tapi kita sesuaikan sama apa yang ada disini... ga sama juga...
(informan 2)

Pedoman PPK dari organisasi profesi... IDAI, POGI, IDI... organisasi profesi
kedokteran... literatur iya itu kaya gini mba... itu kan organisasi profesi... ada
dari UI juga kita pakai... jadi di kombinasi... adaptasi... ga cuma satu literatur...
(informan 1)

Untuk melihat keberlangsungan dari pelayanan yang sesuai dengan clinical pathway
diperlukan adanya evaluasi clinial pathway. Berdasarkan informasi yang diperoleh, sebagian
besar informan mengatakan bahwa belum ada evaluasi rutin terkait dengan clinical pathway.
Hanya satu informan yang mengatakan bahwa ada evaluasi namun belum mencakup evaluasi
clinical pathway secara menyeluruh.

Evaluasi CP ya... kayaknya belum ada mba yang rutin... mungkin dokter-dokter
sama yanmed bisa mengevaluasi CP tapi kayaknya bukan sesuatu yang rutin
yang bahas isi CP nya sesuai apa nggak... (informan 4)

Belum mba... yang rutin belum ada... penting sih ya evaluasi rutin itu... tapi disini
kayaknya belum rutin... mungkin evaluasi itu sama dokter... kalau ke kita belum
ada informasi mengenai evaluasi... kita tahu nya biasanya kalau CP udah jadi...
CP lama diganti yang baru... tahu nya hanya seperti itu mba... yaa ada baiknya
memang kalau evaluasi diadakan rutin... terus bisa kan mba evaluasi CP ini
pakai sistem komputer biar keliatan sesuai atau tidak sesuainya... kita juga isinya
nanti gampang... ga nulis-nulis lagi... jadi bisa fokus sama pelayanan... (informan
6)
Tabel 4. Lama Hari Rawat Pasien Anak dengan Pneumonia Ringan

di RS Hermina Bekasi bulan Januari-Maret 2018

Data Januari-Maret 2018


PPK Clinical Pathway
Min Max Rata-rata
Tidak
5 hari 2 8 4,19
tercantum

Lama Hari Rawat Pasien


20
18
16 18
14 16
Jumlah Pasien

12
10
8 Total
6
4 6
5
2 4
2 2
0
2 3 4 5 6 7 8
Lama Hari Rawat

Gambar 3. Lama Hari Rawat Pasien Anak Pasien Pnemonia Ringan

Lama hari rawat paling singkat adalah 2 hari dan paling lama adalah 8 hari, dengan rata-rata
lama hari rawat adalah 4,19 hari. Rencana lama hari rawat pada Panduan Praktik Klinis
(PPK) tidak tersedia sementara itu rencana lama hari rawat yang tertera dalam clinical
pathway Pneumonia adalah 5 hari. Jumlah lama hari rawat 2 hari adalah sebanyak 4 pasien
(8%), lama hari rawat 3 hari sebanyak 16 pasien (30%), lama hari rawat 4 hari sebanyak 18
pasien (34%), lama hari rawat 5 hari adalah sebanyak 5 pasien (9%). Sebanyak 10 pasien
lainnya memiliki hari rawat diantara 6 sampai 8 hari rawat (19%) (Gambar 3).

Dalam clinical pathway Pneumonia terdapat pemeriksaan penunjang medik yaitu


pemeriksaan darah lengkap, Analisa Gas Darah (AGD) dan rontgen thorax. Berdasarkan
hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat diketahui bahwa pemeriksaan laboratoriun yang
dilakukan sesuai dengan yang tertulis pada clinical pathway yaitu pemeriksaan darah lengkap
dengan rata-rata utilisasi 1,11 yang memiliki arti bahwa selama rata-rata hari rawat 4,19 hari
terdapat 1,11 kali pemeriksaan darah lengkap. Utilisasi pada hari pertama sebesar 0,64 yang
memiliki arti bahwa dari 53 pasien pada hari pertama rawat hanya sebanyak 34 orang yang
mendapatkan pemeriksaan darah lengkap.
Pemeriksaan Astrup (analisa gas darah) didapatkan hasil rata-rata utilisasi sebesar 0,42 yang
berarti dalam rata-rata hari rawat selama 4,19 hari dilakukan 0,42 kali pemeriksaan AGD
(tidak semua pasien mendapatkan pemeriksaan ini). Hari rawat pertama menunjukkan
utilisasi sebesar 0,23 yang berarti bahwa dari 53 pasien yang dirawat pada hari pertama
sebanyak 12 pasien mendapatkan pemeriksaan Astrup (analisa gas darah).

Tabel 5. Utilisasi obat sesuai clinical pathway Pneumonia

Nama Obat Utilisasi Generik/ Paten


Antibiotika
Ampicillin 1,36 Generik
Chloramphenicol 0,04 Paten
Analgetik dan
Antipiretik
Paracetamol 1,21 Paten
Inhalasi
Salbutamol, Bronchodilator 10,06 Paten

Berdasarkan tabel di atas, obat yang paling sering diberikan adalah obat untuk inhalasi yaitu
salbutamol, bronchodilator dengan rata-rata utilisasi sebesar 10,06 yang berarti selama rata-
rata hasri rawat 4,19 hari terdapat pemberian obat inhalasi sebanyak 10,06 kali. Antibiotika
golongan ampicillin memiliki rata-rata utilisasi sebesar 1,36 yang berarti selama rata-rata hari
rawat 4,19 hari terdapat pemberian antibitotika golongan ampiillin sebanyak 1,36 kali.
Paracetamol sebagai obat analgetik dan antipiretik memiliki rata-rata utilisasi sebesar 1,21 ,
sedangkan untuk antibiotika golongan chloramphenicol dengan angka utilisasi sebesar 0,04.
Masih banyak pemberian obat yang tidak sesuai dengan clinical pathway, antara lain
pemakaian antibiotika diluar ampicillin dan chloramphenicol. Selain itu, adanya pemakaian
obat-obat dari golongan Anaesthetic, Anticonvulsants, Nonsteroidal Anti-Inflammatory dan
Corticosteroid.

Visite DPJP memiliki rata-rata utilisasi sebesar 1,13 yang berarti selama rata-rata hari rawat
4,19 hari terdapat 1,13 kali visite. Utilisasi hari pertama sebesar 0,85, yang memiliki arti
bahwa dari 53 pasien pada hari rawat yang pertama terdapat 45 pasien yang mendapatkan
visite oleh DPJP.

Berdasarkan yang tertera di dalam clinical pathway terdapat terapi yang harus diberikan
kepada pasien yaitu Nebulizer. rata-rata utilisasi untuk Nebulizer adalah 6,92 yang artinya
pada rata-rata lama hari rawat terdapat 6,92 kali terapi nebulizer. Dengan utilisasi pada hari
pertama sebesar 0,64 memiliki arti bahwa dari 53 pasien dirawat terdapat 34 pasien
mendapatkan terapi nebulizer. Tindakan terapi tersebut sudah sesuai dengan yang tertera
dalam clinical pathway, untuk terapi wicara dengan utilisasi sebesar 0,04 tidak terdapat dalam
rincian terapi di dalam clinical pathway. Berdasarkan formulir clinical pathway pneumonia,
di dalamnya tidak tertera untuk pelaksanaan tindakan medis apa pun selama proses perawatan
tetapi sesuai hasil yang diperoleh terdapat uitilisasi dari tindakan oleh spesialis anestesi
sebesar 0,02. Angka tersebut menunjukkan bahwa selama rata-rata hari rawat 4,19 hari
terdapat pemberian tindakan oleh spesialis anestesi.

Tabel 6. Jumlah pasien sesuai dengan outcome klinis


berdasarkan lama hari rawat (LOS)

LOS Sembuh Rujuk


1 14
2 4
3 16
4 18
5 5
6 6
7 2
8 2
Jumlah 53 14

Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan melalui wawancara mendalam dengan
informan menunjukkan belum adanya kesepahaman mengenai siapa saja SDM yang harus
terlibat dalam proses pengembangan clinical pathway. Staf lainnya seperti perawat ruangan,
petugas farmasi, petugas gizi dan petugas laboratorium disebutkan hanya terlibat pada saat
implementasi. Tetapi, pada saat proses pengembangan clinical pathway yang terlibat hanya
tenaga dokter. Clinical pathway harus dibangun dan dibuat dengan tim yang terdiri dari
multidisiplin ilmu (Davis, 2005), hal tersebut masih belum sejalan dengan hasil wawancara
pada informan di RS Hermina Bekasi. Hanya untuk implementasi clinical pathway yang
melibatkan multidisiplin ilmu.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam didapatkan bahwa terdapat dana khusus yang
disediakan untuk proses pengembangan clinical pathway. Dana tersebut digunakan selama
masa persiapan pembentukan clinical pathway hingga proses pengembangannya dan dapat
diiplemementasikan. Tetapi dalam dana tersebut tidak terdapat dana untuk pemberian
rewards (insentif) untuk tenaga kesehatan yang dapat mematuhi clinical pathway.
Terlalu banyak varians yang terdapat dalam sebuah implementasi clinical pathway
dapat mempengaruhi ketepatan clinical pathway yang diimplementasikan dan mempengaruhi
mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien. Menurut S.Thomas dalam Developing an
integrated care pathway in Norfolk bahwa clinical pathway merupakan alat yang digunakan
salah satunya untuk menurunkan variasi dari layanan yang diberikan. Ketersediaan obat
tersebut dapat dilihat dari pemakaian obat yang sesuai dengan clinical pathway dan panduan
praktik klinis pneumonia salah satunya adalah pemakaian antibiotika golongan penicillin
yang memiliki utilisasi tinggi berdasarkan hasil penelitian. Golongan obat tersebut selalu
tersedia di farmasi rumah sakit sehingga dapat mendukung proses layanan yang sesuai
dengan clinical pathway. Variabel obat-obatan harus mengacu kepada standar pelayanan
medis dan standar prosedur operasional (Midleton et al, 2000)
Semua kelompok staf yang terlibat dalam pemberian layanan pada pasien harus
diidentifikasi dan setiap perwakilan kelompok staf tersebut harus menjadi anggota tim
pembuatan atau pengembangan suatu clinical pathway. Tim bisa saja terdiri dari dokter,
perawat dan tenaga kesehatan, dengan masukan dari staf administrasi dan manajerial jika
diperlukan (Great Ormond Street Hospital for Children, NHS Trust, 2010).
Clinical pathway yang dikembangkan di RS Hermina Bekasi berdasarkan dari data
penyakit terbanyak, jadi tentunya pemilihan penyakit yang akan dikembangkan clinical
pathway nya sudah berdasarkan bukti. Salah satu karakteristik dari clinical pathway adalah
sebuah praktik klinis dengan dukungan berbasis bukti (Kinsman et al, 2010). Selain itu,
pemilihan clinical pathway yang akan dikembangkan di RS Hermina Bekasi dapat
disimpulkan sudah baik karena memilih penyakit-penyakit yang high risk, high cost dan high
volume. Kriteria penentuan clinical pathway yang akan dikembangkan haruslah berdasarkan
tingginya jumlah kasus, mahalnya biaya diagnosis dan tingginya resiko kasus tersebut (Davis,
2005).
Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dikatakan bahwa RS Hermina Bekasi
belum melibatkan pasien dan atau keluarga pasien dalam proses pengembangan sebuah
clinical pathway. Keterlibatan pasien dan atau keluarga pasien tersebut dapat berupa
tanggapan mengenai pelayanan non-medis yang diberikan misalnya terkait diet yang
diberikan oleh rumah sakit apakah dapat memuaskan atau tidak dan juga dapat terkait dengan
penjelasan atau komunikasi dari tenaga keperawatan yang diberikan sudah dapat dimengerti
atau belum. Clinical pathway seharusnya dapat menjadi tools yang membantu komunikasi
tenaga medis dengan pihak pasien dengan memberikan rangkuman perawatan yang jelas
(Kinsman et al, 2010).
Proses uji coba untuk penerapan clinical pathway yang baru tidak pernah dilakukan
selama ini di RS Hermina Bekasi. Hal tersebut diperoleh dari pernyataan para informan pada
saat wawancara mendalam. Uji coba tersebut juga bisa menjadi proses yang penting karena
dapat menemukan varians pelayanan pada saat uji coba. Varians tersebut kemudian bisa
dianalisis untuk mengevaluasi penggunaan clinical pathway. Analisis varians digunakan
untuk mengukur apa yang terjadi pada pasien di pathway, apakah mereka menyimpang dari
jalur yang diharapkan dan jika demikian, untuk alasan apa (GOSH NHS Trust, 2010).
Selama implementasi clinical pathway dilakukan, penting adanya sebuah review
keberlangsungan clinical pathway. Review implementasi didalamnya terdapat evaluasi
clinical pathway yang dapat menunjukkan varians pelayanan dan juga dapat
mempertimbangkan berbagai pelaporan terkait dengan kualitas pelayanan yang sesuai dengan
clinical pathway (GOSH NHS Trust, 2010). Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh
bahwa selama ini belum ada evaluasi rutin yang dilakukan untuk clinical pathway.
Sementara itu, clinical pathway merupakan sebuah tools yang harus dipantau dan diperbaiki
berkali-kali sesuai dengan perkembangan yang ada dan juga untuk memberikan akibat positif
terhadap pemberian layanan pada pasien. Sehingga disini evaluasi rutin menjadi hal yang
sangat penting untuk mempertahankan clinical pathway sebagai tools kendali mutu dan
kendali biaya yang dapat berperan secara optimal.
Salah satu tujuan dari clinical pathway adalah adanya standar untuk lama hari rawat
(LOS) yang diharapkan pada penyakit tertentu yang tetap bertujuan untuk meminimalkan hari
rawat (Cheah, 2000). Berdasarkan hasil penelitian untuk lama hari rawat pasien anak dengan
pneumonia ringan di RS Hermina Bekasi menunjukkan bahwa lama hari rawat minimal
adalah 2 hari dan maksimal 8 hari dengan rata-rata lama hari rawat 4,19 hari. Sementara
dalam clinical pathway pneumonia terdapat discharge planning yaitu 5 hari dan masih ada
sebanyak 10 pasien (19%) yang memiliki hari rawat lebih dari standar discharge planning
yang ditentukan dalam clinical pathway. Penngobatan pasien anak dengan pneumonia harus
dilakukan selama 4 sampai 5 hari perawatan hingga anak terbebas dari panas (FK UI, 2007).
Masih terdapatnya 13 jenis pemeriksaan laboratorium dan 1 jenis pemeriksaan
radiologi diluar dari clinical pathway dapat menunjukkan bahwa masih ditemukannya banyak
variasi pada pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang pun merupakan salah satu
pemeriksaan yang dapat mendukung penegakkan diagnosa dan keberlangsungan proses
pengobatan. Pemeriksaan penunjang memang dapat diberikan sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan pasien pada saat itu, namun dengan adanya varians yang banyak hal itu dapat
menyebabkan penambahan beban tagihan untuk pasien. Selain itu, banyaknya variasi pada
pemeriksaan penunjang bisa menjadi bahan evaluasi dengan mempertimbangkan keefektifan
pemeriksaan penunjang yang sudah ada.
Sesuai dengan yang tertera pada clinical pathway Pneumonia bahwa obat-obatan yang
harus digunakan adalah ampicillin, chloramphenicol, paracetamol dan obat-obatan untuk
inhalasi (salbutamol, bronchodilator). Dalam pelaksanaannya berdasarkan hasil penelitian
terdapat pemakaian obat yang sudah sesuai dengan clinical pathway yaitu untuk ampicillin
(antibiotik golongan penicillin), pemberian obat golongan chloramphenicol, serta pemberian
obat untuk inhalasi (salbutamol, bronchodilator). Untuk pengobatan pneumonia, penicillin
diberikan 50.000 U/kgbb/hari dan ditambah dengan chloramphenicol 50-75 mg/kgbb/hari
atau diberikan antibiotika yang mempunyai spektrum luas seperti ampicillin (FKUI, 2007).
Kesimpulan
Pada variabel input, sumber daya manusia sudah siap untuk implementasi clinical pathway,
namun belum sepenuhnya siap untuk mengembangkan clinical pathway karena
pengembangan clinical pathway masih dianggap sebagai kewajiban salah satu golongan
tenaga medis saja. Pada variabel proses, proses pembentukan tim dan ketua tim
pengembangan clinical pathway masih dilakukan oleh Direktur RS Hermina Bekasi dengan
anggota tim clinical pathway yang terdiri dari tenaga dokter. Penentuan clinical pathway
suatu penyakit yang akan dikembangkan selalu didasari dengan data dasar yang ada dengan
syarat penyakit yang high risk, high volume dan high cost. Selama penyelenggaraan
pengembangan clinical pathway yang sudah dilakukan tidak dilakukan uji coba pada clinical
pathway yang baru dikembangkan dan belum ada evaluasi rutin untuk clinical pathway.
Sebanyak 43 pasien (81%) memiliki lama rawat sesuai dengan clinical pathway. Sebanyak 10
pasien lainnya memiliki hari rawat diantara 6 sampai 8 hari rawat (19%). Masih
ditemukannya variasi pemeriksaan penunjang sebanyak 13 jenis pemeriksaan laboratorium
dan 1 jenis pemeriksaan radiologi. Variasi pemberian obat masih sangat besar. Terdapat
tindakan yang dilakukan oleh spesialis anestesi yang diluar clinical pathway. Pasien sembuh
yang didapatkan dalam penelitian ini sebanyak 53 pasien (79%) dan pasien yang dirujuk
sebanyak 14 pasien (21%). Pasien yang dirujuk ke RS Kelas C merupakan pasien yang sudah
diobservasi lebih dari 6 jam, namun tidak tersedianya kamar yang sesuai dengan kelas
rawatnya di RS Hermina Bekasi. Pasien yang dirujuk ke RS Kelas A selain pasien yang tidak
mendapatkan kamar rawat, terdapat pula pasien yang membutuhkan perawatan di PICU
dengan riwayat penyakit selain pneumonia ringan. Biaya yang sesuai dengan clinical pathway
berdasarkan output pada penelitian sebesar Rp 1.968.200,- per pasien yang dihitung sesuai
dengan tarif RS, sementara itu biaya rata-rata berdasarkan riil kasus dari penelitian ini adalah
Rp 2.748.831,- per pasien. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat selisih biaya
sebesar Rp 780.631,-.
Saran

Lakukan update pada komponen di clinical pathway yang sudah ada dengan mengacu pada
teknologi medis yang sedang berkembang dengan menjadikan jurnal-jurnal penelitian
mengenai evaluasi ekonomi (Cost Effective Analysis) sebagai literatur tambahan. Untuk
mendukung terlaksananya evaluasi rutin, rumah sakit dapat menggunakan “Tools
Pengembangan Pra Clinical Pathway dan Evaluasi Clinical Pathway versi beta 2.3” dan dapat
menjadikan hasil penelitian ini sebagai evaluasi triwulan pertama di tahun 2018. Evaluasi
clinical pathway dilakukan hingga mengevaluasi komponen biaya, sehingga dapat terlihat
efektifitasnya sebagai tools kendali mutu dan kendali biaya.
Referensi:
Adisasmito, Wiku. (2008). Sistem Kesehatan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
American Lung Association. (2015). Lung Disease, Pneumonia. Diunduh dari www.lung.org pada tanggal 23
Maret 2018 pukul 21.00 WIB.
Azwar Azrul. (2010). Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga. Binarupa Aksara Publisher. Jakarta
Cheah, Jason. (2000). Development and implementation of a clinical pathway programme in an acute care
general hospital in Singapore. Singapura : National Healthcare Group.

Davis, Nicola. (2005). Integrated care pathway, A guide to good practice. National Leadership Innovation And
Health, Wales UK.

Djasri, H. (2006). Modul 4 Clinical Pathways. Divisi Manajemen Mutu,Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
(PMPK) FK-UGM.

Feuth, S dan Claes L. (2008). Introducing clinical pathway as a strategy for iproving care. Journal of Integrated
are Pathways.

Firmanda, Dody. (2005). Pedoman Penyusunan Clinical Pathway dalam rangka implementasi system DRGs
Casemix di Rumah Sakit. Jakarta : RS Fatmawati.

Great Ormond Street Hospital for Children, NHS Trust. (2010). How to produce and evaluate an integrated
care pathway (ICP): information for staff.

Griffin, Ricky W. dan Moorhead, Georgy. (2009). Organizational Behaviour : Managing people and
Organizational. Mason : Cengage Learning.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2016). Memperingati Hari Pneumonia Dunia. Diunduh dari
www.idai.or.id pada tanggal 23 Maret 2018 pukul 19.00 WIB.
Kinsman et al. (2010). What is a clinical pathway? Development of a definition to inform the debate. BMC
Medicine.

Midleton, Sue dan Roberts, Adrian. (2000). Integration Clinical Pathways : A Practical Approach To
Implementation. USA : McGraw-Hill.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2014). Pneumonia Komunitas. 2nd ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.

_________. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1438/Menkes/PER/IX/2010 tentang


Standar Pelayanan Dokter. Jakarta.

________, (2004). Undang-Undang Republik Indonesia No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Jakarta.

________, Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Kedokteran. Konsorsium Upaya Kesehatan Direktorat
Jendral Bina Upoaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

________, (2004). Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

________, Effective Intervention Unit : Developing and Implenting Intregated Care Pathways. Substance
Misuse Division, Scottish Executive Health Department 2010.
________, S.Thomas, C.Peel, P.Worth. Developing an integrated care pathway in Norfolk: Process, application
and transferability.

Anda mungkin juga menyukai