ABDULLAH SAEED:
Sebuah Penyempurnaan Terhadap Gagasan
Tafsir Fazlur Rahma>n
Abstrak
Abstract
A. Pendahuluan
Fazlur Rahman (1919-1988) merupakan salah satu tokoh
garda depan dalam penafsiran al-Qur’an modern. Dia adalah salah
seorang yang pertama kali mengkampanyekan gagasan untuk
memperhatikan konteks historis al-Qur’an, ketika menafsirkan al-
Qur’an lewat teori double movement-nya. Pemikiran Rahman ini
mempengaruhi banyak pemikir setelahnya seperti Nurcholis Madjid
dan Amina Wadud.1 Namun demikian, melihat gagasan-gagasan
tafsirnya yang berserak dalam berbagai karyanya, gagasan Rahman
ini tampak sekali tidak dimaksudkan sebagai sebuah aturan rigid
penafsiran, tapi ‘hanya’ sebagai penuntun bagi penafsir.2
Di titik inilah, Abdullah Saeed3 hadir sebagai seorang
pendukung sekaligus menerjemahkan dan menyempurnakan
1
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-
Legal Content of the Qur’an” dalam Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectu-
als and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 39.
2
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman”, hlm. 61.
3
Abdullah Saeed adalah seorang professor Studi Arab dan Islam di Un -
versitas Melbourne, Australia. Dia adalah keturunan suku bangsa Arab Oman yang
bermukim di pulau Maldives. Pendidikannya ditempa di Arab Saudi kemudian hijrah
ke Australia hingga mengabdi di Universitas tempat dia belajar. Karya Saeed dalam
bentuk buku yang terkait dengan studi al-Qur’an, (1) The Qur’an: An Introduction
diterbitkan London dan New York oleh Routledge tahun 2008, (2) Islamic Thought:
An Introduction diterbitkan di London dan New York oleh Routledge tahun 2006,
(3) Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach diterbitkan di Lon-
don dan New York oleh Routledge tahun 2006, (4) Contemporary Approaches to
Qur’an in Indonesia sebagai editor diterbitkan tahun 2005 di Oxford oleh Ox-
ford University Press. Dia juga memiliki banyak artikel terkait al-Qur’an yang tersebar
dalam beberapa antologi buku, ensiklopedi dan jurnal. Lihat dalam Lien Iffah Naf ’atu
Fina, “Interpretasi Kontekstual: Studi atas Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an Abdullah
Saeed”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009, hlm. 34.
4
Pengakuan ini bisa dilihat misalnya dalam Abdullah Saeed, “Progressive
Interpretation and the Importance of the Socio-historical Context of the Qur’an” da-
lam Islam, Women and the New World Order (Yogyakarta: Center fon Women’s Stud-
ies (PSW), 2006), hlm. 181-180. Saeed, misalnya, juga pernah menulis artikel ten-
tang Rahman. Lihat Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman”, hlm. 37-66. Selain pernyataan
eksplisitnya, jejak-jejak keterpengaruhan Rahman kepada Saeed juga bisa dilihat dari
pemikirannya tentang wahyu dan teori interpretasinya.
5
Saeed mengkategorikan penafsiran berdasar pada tingkat apakah seorang
penafsir (1) hanya bergantung kepada penelusuran linguistik untuk menentukan
makna teks, ataukah (2) di samping itu mempertimbangkan baik konteks sosio-
historis al-Qur’an maupun konteks kontemporer ke dalam tiga golongan. Pertama,
tekstualis. Kelompok ini mengajukan untuk mengikuti teks dengan cara yang sangat
kaku. Pendekatan yang mereka gunakan dalam menafsirkan teks adalah pendekatan
literalistik. Bagi mereka, al-Qur’an lah yang seharusnya menuntun, bukan sebaliknya,
kebutuhan-kebutuhan dunia modern yang menuntut kepada al-Qur’an. Selanjutnya,
mereka meyakini makna teks al-Qur’an telah mapan dan bersifat universal dalam
aplikasinya, dalam pengertian yang sangat literal. Implikasinya, mereka mengabai-
kan adanya hubungan antara al-Qur’an dengan konteks pada masa pewahyuannya.
Tradisionalis dan Salafis didaulat Saeed sebagai mereka yang mewakili kelompok ini.
Kedua, semi-tekstualis. Pada prinsipnya, kelompok ini mengikuti kelompok tekstua-
lis dalam penekanan aspek linguistik dan penafian konteks. Bedanya, mereka mem-
bungkus kandungan al-Qur’an dalam langgam yang kelihatan modern, bahkan sering
terkesan apologetis. Dalam pandangan Saeed, biasanya mereka terlibat dalam gerakan
neo-revivalis modern, seperti Ikhwa>n al-Muslimi>n di Mesir dan Jama’>ah Isla>miyyah
di anak benua India, termasuk segolongan kaum modernis termasuk Abduh. Ketiga,
kontekstualis. Dalam menafsirkan ayat-ayat yang bermuatan ethico-legal, kelompok
B. Pembahasan
1. Pijakan Awal: Pemikiran Abdullah Saeed tentang Wahyu
Sebelum membangun prinsip-prinsip tafsirnya, Saeed terlebih
dahulu menetapkan sebuah kuda-kuda yang akan menopang gagasan
tafsir kontekstualnya. Mula-mula dia mengemukakan pandangannya
tentang wahyu. Konsep wahyu Saeed sangat kental terpengaruh
oleh konsep Rahman, terutama pada penekanan aspek psikologis
dan historis dari wahyu. Saeed sepenuhnya mengakui bahwa al-
Qur’an adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Muhammad.
Selanjutnya, mengakui bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini
sebagai otentik.7 Namun demikian, Saeed melakukan kritik terhadap
ilmuwan Muslim klasik yang menganggap wahyu sebagai kalam
Tuhan, tanpa memberikan perhatian apalagi anggapan bahwa Nabi,
masyarakat pada waktu itu memiliki peran di dalamnya. Sebaliknya,
Saeed sepakat dengan beberapa pemikir belakangan semisal Fazlur
ini menekankan konteks sosio-historis, politis, budaya dan ekonomi, baik pada masa
pewahyuan, penafsiran maupun pengamalannya. Mereka menganjurkan pentingnya
menentukan mana aspek yang kekal (immutable) dan yang berubah (immutable) da-
lam wilayah ayat-ayat ethico-legal. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah
para pemikir tafsir kontemporer, utamanya yang banyak memanfaatkan hermeneu-
tika dalam metode tafsirnya. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a
Contemporary Approach (London and New York: Routledge, 2006), hlm. 3.
6
Pilihan Saeed terhadap jenis ayat ini karena dia melihat adanya kecen -
erungan yang sudah menjelaga di mana Muslim melihat al-Qur’an sebagai kitab hu-
kum, padahal hanya sedikit ayat yang eksplisit berbicara tentang aspek itu. Pandan-
gan ini semakin berlebihan ketika ayat yang secara jelas mengandung dimensi moral
etis dipandang sebagai ayat hukum, yang tak ayal berakibat pada hilangnya spirit
al-Qur’an, tenggelam di balik penafsiran-penafsiran berorientasi hukum. Abdullah
Saeed, The Qur’an: an Introduction (London and New York: Routledge, 2008), hlm.
13. Sedangkan, yang tercakup ke dalam jenis ayat ini menurutnya adalah ayat-ayat
tentang iman kepada Tuhan, Nabi dan kehidupan setelah kematian; aturan-aturan
dalam pernikahan, perceraian dan warisan; apa yang diperintahkan dan dilarang;
perintah puasa, jihad dan hudu>d; larangan mencuri, hubungan dengan non-Muslim;
perintah yang berhubungan dengan etika, hubungan antaragama dan pemerintahan.
Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 1.
7
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 5.
Rahman, Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, Farid Esack dan Ebrahim Moosa
yang memasukkan religious personality Nabi dan komunitasnya dalam
peristiwa pewahyuan.8 Konsep ini bukan berarti hendak mengatakan
bahwa wahyu merupakan kata-kata atau karya Muhammad. Namun,
sebagaimana disampaikan Rahman, hendak menunjukkan bahwa
ada keterkaitan yang erat antara wahyu, Nabi dan misi dakwahnya,
dengan konteks sosio-historis di mana al-Qur’an diwahyukan. Al-
Qur’an diturunkan Allah bukan dalam ruang hampa budaya.9 Al-
Qur’an, pada masa pewahyuannya, benar-benar terlibat aktif dalam
sejarah.10 Saeed sendiri tidak menyepakati pandangan bahwa ada
elemen manusia yang ikut dalam penciptaan al-Qur’an. Al-Qur’an
adalah ciptaan Tuhan. Namun, dalam kapasitas agar ia bisa dipahami
manusia, wahyu harus bersentuhan dengan manusia dan masyarakat
yang menjadi subyek penerimanya.11
Melalui pemahaman wahyu yang demikian, konteks sosio-
historis menjadi elemen wahyu yang penting. Saeed kemudian
menegaskan, pemahaman tentang wahyu yang demikian ini menjadi
dasar bagi argumen-argumennya yang dituangkan dalam pemikiran
tafsirnya (khususnya yang ada dalam buku Interpreting the Qur’an),
bahwa interpretasi harus berangkat dari realitas di mana wahyu itu
diturunkan.12
Selain pijakan dari wahyu, Saeed juga menjelaskan
beberapa tradisi klasik yang dijadikannya sebagai batu loncatan
untuk menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur’an berbasis konteks
bukan hanya sesuatu yang perlu akan tetapi juga ‘dianjurkan’ oleh
pengalaman masa lalu. Pertama, fenomena naskh, yang menunjukkan
8
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 31; Abdullah Saeed,
“Some Reflections on the Contextualist Approach to Ethico-Legal Texts of the
Quran”, Bulletin of School of Oriental and African Studies, 71 (2), 2008, hlm. 228.
9
Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui pikiran Muhammad terhadap situ -
si-situasi sosio-moral dan historis masyarakat Arab abad ke-7. Fazlur Rahman, Islam
dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad (Bandung:
Pustaka, 1985), hlm. 17.
10
Kenneth Gragg, The Event of the Qur’an: Islam and the Scripture (London:
George Allen and Unwin Ltd., 1971), hlm. 17.
11
Abdullah Saeed, Rethinking “Revelation” as a Precondition for Reinte -
preting the Qur>an: A Qur’anic Perspective», Journal of Qur’anic Studies, 1 (1), 1999,
hlm. 110-111.
12
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 41.
18
Keterangan lebih lanjut lihat Anthony C. Thiselton, «Meaning», dalam
R.J. Houlden (ed.), Dictionary of Biblical Interpretation (London: SCM Press, 1990),
hlm. 435-438.
19
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 102.
20
Ibid., hlm. 104.
21
Ibid., hlm. 104. Sebuah entitas mental ketika disampaikan kepada orang
lain melalui medium bahasa akan ditangkap hanya ketika beberapa penyesuaian telah
terjadi dalam psikologi dan kemampuan mental penerima. Selain itu, latar kondisi
ucapan menjadikan kata-kata memiliki rujukan tertentu (terbatas pada latar kondisi).
Pengalaman makna adalah sebuah impresi atau imajinasi.
22
Saeed memberikan contoh kata buku. Pada kenyatannya, makna inti yang
dilekatkan pada buku berkembang dan berbeda-beda seiring waktu. Buku dahulu di-
maknai sebagai tulisan yang ada pada daun, tulang, kayu dan seterusnya. Masa beri-
kutnya, buku adalah tulisan di atas kertas. Selanjutnya setelah ada mesin cetak, buku
dikenal sebagai tulisan yang dicetak. Dan terbaru, setelah perkembangan teknologi,
buku bisa berbentuk CD. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 105.
23
Untuk keterangan lebih lanjut tentang gagasan ini lihat Tzvetan Todorov,
Symbolism and Interpretation (Ithaca: Cornell University Press, 1982), hlm. 97.
24
Konteks merupakan perbincangan yang sangat signifikan dalam indirect
meaning. Konteks ada dua, yakni konteks luas dan konteks sempit. Dalam kasus al-
Qur’an, konteks luas mencakup (1) keseluruhan isi atau kandungan al-Qur’an, (2)
kehidupan Nabi dan komunitas muslim awal, yang keduanya mencakup pandangan
dunia al-Qur’an, nilai-nilai yang ditekankan dan diperjuangkan dan petunjuk yang
ditetapkan. Sedangkan, konteks sempit adalah konteks yang berkaitan dengan kali-
mat atau kata yang mengirimkan gagasan. Perhatian terhadap konteks ini mensyarat-
kan penafsir untuk memperhatikan ayat yang turun sebelum atau sesudah ayat yang
ditafsirkan. Menurut Saeed, karena al-Qur’an diturunkan secara bertahap dengan
waktu dan kondisi yang berbeda-beda, tidak dalam satu buku langsung, maka perha-
tian terhadap konteks menjadi sesuatu yang penting. Jika tidak, maka hasil pemaha-
man tidaklah memuaskan. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 104-105.
25
Ibid., hlm. 105.
26
Ibid., hlm. 104.
27
Ibid., hlm. 107.
28
Lihat: Farid Esack, “Qur’anic Hermeneutics…”, hlm. 123-124.
29
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 107-108.
teks itu sendiri (5) konteks budaya. Makna sebuah teks adalah buah
ketegangan dari aspek-aspek ini.30
Keempat, makna literal sebagai titik berangkat interpretasi.
Saeed sama sekali tidak meninggalkan penelusuran makna literal
teks. Tahap ini memberikan beberapa manfaat, (1) menghindari
lompatan makna seperti yang lazimnya terjadi dalam penafsiran
imajinatif. Bentuk lompatan itu bisa jadi bersifat alegoris atau mistis,
bahkan teologis dan religio-politis, dan (2) membantu membangun
doktrin-doktrin dan sistem-sistem teologis di atas basis yang lebih
kuat, melalui penelusuran terhadap makna sebuah kata dipahami oleh
penerima pertama al-Qur’an.31
b. Perhatian terhadap Konteks Sosio-Historis
Konteks, menurut Saeed merupakan elemen yang penting,
kalau tidak paling penting, dalam penafsiran al-Qur’an. Secara
internal, konteks menjadi basis untuk memahami hubungan antara
instruksi ayat-ayat etika-hukum dan alasan-alasan memperkenalkan
perintah-perintah tersebut pada masyarakat Hijaz abad ke-7.32 Namun
sayangnya, menurut Saeed, perhatian akan konteks ini dipinggirkan
baik dalam tradisi tafsir maupun hukum, akibatnya konteks sosio-
historis kurang memiliki peran yang signifikan dalam menafsirkan al-
Qur’an, terutama pasca pemapanan hukum Islam pada abad ke-3 H.
Pada masa klasik, perhatian akan hal ini ditunjukkan dengan
penelusuran asba>b an-nuzu>l. Namun demikian, asba>b an-nuzu>l tidak
dimanfaatkan dalam kerangka untuk menunjukkan adanya keterkaitan
antara al-Qur’an dan konteks sosio-historis. Dalam tradisi tafsir,
asba>b an-nuzu>l hanya digunakan untuk mencari rujukan peristiwa
ketika sebuah ayat diturunkan mencakup waktu, tempat dan orang
yang dirujuk oleh ayat tersebut. Dalam tradisi fikih, di samping untuk
tujuan yang sama, asba>b an-nuzu>l juga digunakan untuk menentukan
30
Lihat: Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 108-109. P -
mikiran Saeed ini senada dengan pemikiran Gracia, terutama tentang limits of mean-
ing. Menurut Gracia, ada beberapa faktor yang membatasi makna sebuah teks yakni:
pengarang, audien, konteks, masyarakat, bahasa, teks itu sendiri dan fungsi-fungsi
kultural. Lihat Jorge J.E. Gracia, A Theory of Textuality: the Logic and Epistemology
(Albany: State University of New York Press, 1995), hlm. 114-127.
31
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 114.
32
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 116.
37
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 122.
38
Generasi pertama umat Islam telah menikmati kebebasan dalam derajat
yang signifikan dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini terjadi di samping karena bangu-
nan metodologi dan prinsip-prinsip serta prosedur dalam menafsirkan al-Qur’an be-
lum ada sebagaimana periode berikutnya, para sahabat juga sebagai person yang ter-
libat langsung dalam pewahyuan. Keterlibatan ini menjadikan al-Qur>an telah berakar
dalam hati mereka. ini pula yang mungkin memungkinkan mereka, ketika bertemu
dengan masalah baru, menggunakan intuisi mereka, yang tak lain adalah semangat
al-Qur’an yang menubuh, untuk menghadapi dan menyelesaikannya. Contoh mu-
dah untuk hal ini adalah Umar bin al-Khat}t}a>b. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the
Qur’an, hlm. 127.
39
Sebagai disampaikan Saeed, kemunculan gagasan ini pada dasarnya me -
upakan respon terhadap literalisme yang mendominasi interpretasi al-Qur’an teru-
tama pada periode post-formatif hukum Islam (setelah abad ke-1 dan ke-2 H). Lihat
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 128.
40
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 128.
41
Ibid., hlm. 127.
42
Ada beberapa istilah yang identik dengan pemikiran Rahman: prinsip-
prinsip (principles), nilai-nilai (values), tujuan-tujuan moral (moral objectives), ratio-
legis, prinsip-prinsip umum (general principles) dan sebagainya. Namun demikian,
sebagaimana diakui Taufik Adnan Amal, prinsip ini belum ditata secara hirarkis guna
membentuk etika al-Qur’an. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas:
Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 159.
43
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 128.
44
Abdullah Saeed, «Fazlur Rahman», hlm. 54.
45
Langkah ini merupakan langkah penting untuk menemukan prinsip-
prinsip umum yang dijadikan sebagai landasan untuk memformulasikan hukum
dalam kasus-kasus partikular di dunia modern dalam gerak kedua. Lihat Abdullah
Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 128.
46
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 130.
iman, rukun Islam, apa yang secara jelas diperintahkan dan dilarang
dalam al-Qur’an… Dalam membangun kategori-kategori, saya juga
mempertimbangkan apa yang secara umum diterima dalam tradisi
umat Islam. Sebagian besar merupakan pemikiran-pemikiran yang
dibangun dalam us}ul> fiqih termasuk pembagian lima tindakan mukallaf
(wajib, makruh, sunnah, haram dan mubah).47
Penelusuran akan hirarki ini berguna untuk menafsirkan ayat-
ayat etika-hukum. Dengan adanya hirarki nilai ini dimungkinkan
mengetahui derajat urgensi, kompleksitas dan ambiguitas dari masing-
masing nilai, untuk selanjutnya diberikan perlakuan yang berbeda
terhadap masing-masingnya. Tentu pengetahuan akan hal ini akan
sangat bermanfaat untuk memahami sekaligus mengaplikasikan nilai
yang termaktub dalam al-Qur’an, terutama dalam konteks kekinian.
Dengan pemikirannya tentang perumusan hirarki nilai, Saeed
secara tidak langsung juga telah mampu menjawab kritik Wael B. Hallaq
terhadap Rahman bahwa problem-problem yang diungkapkannya
belum merepresentasikan seluruh spketrum kasus dalam hukum dan
karenanya Hallaq menyatakan bahwa apa yang dilakukan Rahman
belum bisa dikatakan sebagai sebuah metodologi hukum yang tepat
akan tetapi sekedar sebagai cara pandang terhadap wahyu.48 Karenanya
perumusan hirarki nilai ini merupakan sumbangan yang berarti bagi
hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman.
d. Nilai-nilai yang Bersifat Kewajiban (obligatory values)
Kategori pertama adalah nilai-nilai yang bersifat kewajiban.
Nilai-nilai yang sifatnya dasar sangat ditekankan dalam al-Qur’an.
Nilai-nilai ini membentang baik dalam periode Makkah maupun
Madinah dan tidak bergantung kepada budaya. Kebanyakan umat
Islam mengakui bagian ini sebagai bagian yang sangat penting dalam
Islam.
Pertama, nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem
kepercayaan, yakni nilai-nilai yang secara tradisional dikenal sebagai
(rukun) iman. Kedua, nilai-nilai yang berhubungan dengan praktik
ibadah yang ditekankan dalam al-Qur’an (shalat, puasa, haji, dan
Hallaq, Wael B., «Law and the Qur>an», dalam Jane D. McAuliffe (ed.),
48
Encyclopaedia of the Qur’an, Leiden: E.J. Brill, 2003, Vol. 3, hlm. 171.
54
Ibid., hlm. 145.
55
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 146. Pemikiran mereka
merupakan lompatan yang melampaui paradigma pada waktu itu (pasca-Syafi’i),
sehingga pengaruh mereka sangat sedikit pada masa berikutnya. Namun demikian,
metodologi dan kerangka kerja mereka pada dasarnya ,asih relevan hingga saat ini.
56
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 133.
57
Ibid.. 133.
58
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 166; Abdullah Saeed,
Interpreting the Qur’an, hlm. 133.
59
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 134.
60
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 167; Abdullah Saeed,
Interpreting the Qur’an, hlm. 134.
61
QS. al-Ma>>idah: 41.
62
Lihat: Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 134-135.
63
QS. al-Ma>>idah: 42.
64
QS. al-Baqarah: 178.
65
QS. an-Nu>r: 5.
66
QS. an-Nisa>’: 16.
67
Lihat: Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 136.
68
Ibid., hlm. 136.
Ibid., hlm. 150. Untuk perincian lebih lanjut dari peta di atas, bisa dirujuk
81
C. Simpulan
Upaya yang dilakukan Saeed ini, meskipun tidak secara eksplisit
dinyatakannya sebagai pelanjut kerja Rahman tapi jejak-jejaknya bisa
ditemui dengan jelas pada pemikirannya. Saeed telah menerjemahkan
gagasan Rahman dalam kerangka kerja yang lebih rigid. Kemudian,
melalui hirarki nilainya, dengan berangkat dari inspirasi pemikiran
klasik dan Rahman, dia telah menyelesaikan persoalan berkaitan
dengan penentuan mana makna yang universal dan yang partikular.
Di sinilah sesungguhnya sumbangan Saeed dalam kancah pemikiran
kontemporer, khususnya di antara kaum kontekstualis.
DAFTAR PUSTAKA