Anda di halaman 1dari 26

INTERPRETASI KONTEKSTUAL

ABDULLAH SAEED:
Sebuah Penyempurnaan Terhadap Gagasan
Tafsir   Fazlur Rahma>n

Lien Iffah Naf’atu Fina


UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Indonesia
lieniffa.n@gmail.com

Abstrak

Artikel ini mengekplorasikan tentang pemikiran Abdullah Saeed


tentang interpretasi kontekstual. Tujuan penulisan artikel ini
adalah untuk menjawab kegelisahan Saeed sendiri maraknya tafsir
tekstual-literal. Sebagai tandingan dari kecenderungan itu, dia
menawarkan tafsir kontekstual yang mengambil banyak inspirasi
dari Rahman. Sedangkan, fokus penafsiran Saeed adalah kepada
ayat-ayat etika hukum. Hasil penelitian ini adalah adanya upaya
yang dilakukan Saeed dalam mengembangkan tafsir kontekstual
ini, meskipun tidak secara eksplisit dinyatakannya sebagai pelanjut
kerja Rahman tapi jejak-jejaknya bisa ditemui dengan jelas pada
pemikirannya. Saeed telah menerjemahkan gagasan Rahman
dalam kerangka kerja yang lebih rigid. Kemudian, melalui hirarki
nilainya, dengan berangkat dari inspirasi pemikiran klasik dan
Rahman, dia telah menyelesaikan persoalan berkaitan dengan
penentuan mana makna yang universal dan yang partikular. Di
sinilah sesungguhnya sumbangan Saeed dalam kancah pemikiran
kontemporer, khususnya di antara kaum kontekstualis.
Kata kunci: interpretasi, kontekstual, implementasional

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 65


Lien Iffah Naf ’atu Fina

Abstract

THE CONTEXTUAL INTERPRETATION OF ABDULLAH


SAEED: AN IMPROVEMENT TO THE IDEA OF FAZLUR
RAH MA N’S TAFSIR. This article expresses about Abdullah Saeed’s
thinking about contextual interpretation. The purpose of writing this
article is to answer his own rampant anxiety of Saeed to literal textual
interpretation. As a counterpoint of this trend, he offers a contextual
interpretation that takes a lot of inspiration from Rahman. Meanwhile,
the focus is interpretation of Saeed to revelations legal ethics. The result
of this research is conducted by Saeed as their efforts in developing this
contextual interpretation, although not explicitly declared as workingof
Rahman but traces of it can be seen clearly in his thoughts. Rahman
Saeed has been translating ideas into a more rigid framework. Then,
through a hierarchy of value, by departing from the classic inspiring
thoughts and Rahman, he has completed the issue which is concerned
with determining the universal dan particular meanings. This is where
the real contribution of Saeed in the area of contemporary thought,
especially among contextualist.
Keyword: interpretation, contextual, implementational, protectional

A. Pendahuluan
Fazlur Rahman (1919-1988) merupakan salah satu tokoh
garda depan dalam penafsiran al-Qur’an modern. Dia adalah salah
seorang yang pertama kali mengkampanyekan gagasan untuk
memperhatikan konteks historis al-Qur’an, ketika menafsirkan al-
Qur’an lewat teori double movement-nya. Pemikiran Rahman ini
mempengaruhi banyak pemikir setelahnya seperti Nurcholis Madjid
dan Amina Wadud.1 Namun demikian, melihat gagasan-gagasan
tafsirnya yang berserak dalam berbagai karyanya, gagasan Rahman
ini tampak sekali tidak dimaksudkan sebagai sebuah aturan rigid
penafsiran, tapi ‘hanya’ sebagai penuntun bagi penafsir.2
Di titik inilah, Abdullah Saeed3 hadir sebagai seorang
pendukung sekaligus menerjemahkan dan menyempurnakan

1
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-
Legal Content of the Qur’an” dalam Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectu-
als and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 39.
2
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman”, hlm. 61.
3
Abdullah Saeed adalah seorang professor Studi Arab dan Islam di Un -

66 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015


Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

gagasan Rahman,4 yakni menjabarkan teori gerakan ganda ke dalam


langkah-langkah rigid penafsiran dan mengulas lebih dalam nilai
dalam al-Qur’an. Kegelisahan Saeed sendiri adalah maraknya tafsir
tekstual-literal.5 Sebagai tandingan dari kecenderungan itu, dia

versitas Melbourne, Australia. Dia adalah keturunan suku bangsa Arab Oman yang
bermukim di pulau Maldives. Pendidikannya ditempa di Arab Saudi kemudian hijrah
ke Australia hingga mengabdi di Universitas tempat dia belajar. Karya Saeed dalam
bentuk buku yang terkait dengan studi al-Qur’an, (1) The Qur’an: An Introduction
diterbitkan London dan New York oleh Routledge tahun 2008, (2) Islamic Thought:
An Introduction diterbitkan di London dan New York oleh Routledge tahun 2006,
(3) Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach diterbitkan di Lon-
don dan New York oleh Routledge tahun 2006, (4) Contemporary Approaches to
Qur’an in Indonesia sebagai editor diterbitkan tahun 2005 di Oxford oleh Ox-
ford University Press. Dia juga memiliki banyak artikel terkait al-Qur’an yang tersebar
dalam beberapa antologi buku, ensiklopedi dan jurnal. Lihat dalam Lien Iffah Naf ’atu
Fina, “Interpretasi Kontekstual: Studi atas Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an Abdullah
Saeed”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009, hlm. 34.
4
Pengakuan ini bisa dilihat misalnya dalam Abdullah Saeed, “Progressive
Interpretation and the Importance of the Socio-historical Context of the Qur’an” da-
lam Islam, Women and the New World Order (Yogyakarta: Center fon Women’s Stud-
ies (PSW), 2006), hlm. 181-180. Saeed, misalnya, juga pernah menulis artikel ten-
tang Rahman. Lihat Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman”, hlm. 37-66. Selain pernyataan
eksplisitnya, jejak-jejak keterpengaruhan Rahman kepada Saeed juga bisa dilihat dari
pemikirannya tentang wahyu dan teori interpretasinya.
5
Saeed mengkategorikan penafsiran berdasar pada tingkat apakah seorang
penafsir (1) hanya bergantung kepada penelusuran linguistik untuk menentukan
makna teks, ataukah (2) di samping itu mempertimbangkan baik konteks sosio-
historis al-Qur’an maupun konteks kontemporer ke dalam tiga golongan. Pertama,
tekstualis. Kelompok ini mengajukan untuk mengikuti teks dengan cara yang sangat
kaku. Pendekatan yang mereka gunakan dalam menafsirkan teks adalah pendekatan
literalistik. Bagi mereka, al-Qur’an lah yang seharusnya menuntun, bukan sebaliknya,
kebutuhan-kebutuhan dunia modern yang menuntut kepada al-Qur’an. Selanjutnya,
mereka meyakini makna teks al-Qur’an telah mapan dan bersifat universal dalam
aplikasinya, dalam pengertian yang sangat literal. Implikasinya, mereka mengabai-
kan adanya hubungan antara al-Qur’an dengan konteks pada masa pewahyuannya.
Tradisionalis dan Salafis didaulat Saeed sebagai mereka yang mewakili kelompok ini.
Kedua, semi-tekstualis. Pada prinsipnya, kelompok ini mengikuti kelompok tekstua-
lis dalam penekanan aspek linguistik dan penafian konteks. Bedanya, mereka mem-
bungkus kandungan al-Qur’an dalam langgam yang kelihatan modern, bahkan sering
terkesan apologetis. Dalam pandangan Saeed, biasanya mereka terlibat dalam gerakan
neo-revivalis modern, seperti Ikhwa>n al-Muslimi>n di Mesir dan Jama’>ah Isla>miyyah
di anak benua India, termasuk segolongan kaum modernis termasuk Abduh. Ketiga,
kontekstualis. Dalam menafsirkan ayat-ayat yang bermuatan ethico-legal, kelompok

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 67


Lien Iffah Naf ’atu Fina

menawarkan tafsir kontekstual yang mengambil banyak inspirasi dari


Rahman. Sedangkan, fokus penafsiran Saeed adalah kepada ayat-ayat
etika  hukum.6

B. Pembahasan
1. Pijakan Awal: Pemikiran Abdullah Saeed tentang Wahyu
Sebelum membangun prinsip-prinsip tafsirnya, Saeed terlebih
dahulu menetapkan sebuah kuda-kuda yang akan menopang gagasan
tafsir kontekstualnya. Mula-mula dia mengemukakan pandangannya
tentang wahyu. Konsep wahyu Saeed sangat kental terpengaruh
oleh konsep Rahman, terutama pada penekanan aspek psikologis
dan historis dari wahyu. Saeed sepenuhnya mengakui bahwa al-
Qur’an adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Muhammad.
Selanjutnya, mengakui bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini
sebagai otentik.7 Namun demikian, Saeed melakukan kritik terhadap
ilmuwan Muslim klasik yang menganggap wahyu sebagai kalam
Tuhan, tanpa memberikan perhatian apalagi anggapan bahwa Nabi,
masyarakat pada waktu itu memiliki peran di dalamnya. Sebaliknya,
Saeed sepakat dengan beberapa pemikir belakangan semisal Fazlur
ini menekankan konteks sosio-historis, politis, budaya dan ekonomi, baik pada masa
pewahyuan, penafsiran maupun pengamalannya. Mereka menganjurkan pentingnya
menentukan mana aspek yang kekal (immutable) dan yang berubah (immutable) da-
lam wilayah ayat-ayat ethico-legal. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah
para pemikir tafsir kontemporer, utamanya yang banyak memanfaatkan hermeneu-
tika dalam metode tafsirnya. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a
Contemporary Approach (London and New York: Routledge, 2006), hlm. 3.
6
Pilihan Saeed terhadap jenis ayat ini karena dia melihat adanya kecen -
erungan yang sudah menjelaga di mana Muslim melihat al-Qur’an sebagai kitab hu-
kum, padahal hanya sedikit ayat yang eksplisit berbicara tentang aspek itu. Pandan-
gan ini semakin berlebihan ketika ayat yang secara jelas mengandung dimensi moral
etis dipandang sebagai ayat hukum, yang tak ayal berakibat pada hilangnya spirit
al-Qur’an, tenggelam di balik penafsiran-penafsiran berorientasi hukum. Abdullah
Saeed, The Qur’an: an Introduction (London and New York: Routledge, 2008), hlm.
13. Sedangkan, yang tercakup ke dalam jenis ayat ini menurutnya adalah ayat-ayat
tentang iman kepada Tuhan, Nabi dan kehidupan setelah kematian; aturan-aturan
dalam pernikahan, perceraian dan warisan; apa yang diperintahkan dan dilarang;
perintah puasa, jihad dan hudu>d; larangan mencuri, hubungan dengan non-Muslim;
perintah yang berhubungan dengan etika, hubungan antaragama dan pemerintahan.
Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 1.
7
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 5.

68 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015


Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

Rahman, Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, Farid Esack dan Ebrahim Moosa
yang memasukkan religious personality Nabi dan komunitasnya dalam
peristiwa pewahyuan.8 Konsep ini bukan berarti hendak mengatakan
bahwa wahyu merupakan kata-kata atau karya Muhammad. Namun,
sebagaimana disampaikan Rahman, hendak menunjukkan bahwa
ada keterkaitan yang erat antara wahyu, Nabi dan misi dakwahnya,
dengan konteks sosio-historis di mana al-Qur’an diwahyukan. Al-
Qur’an diturunkan Allah bukan dalam ruang hampa budaya.9 Al-
Qur’an, pada masa pewahyuannya, benar-benar terlibat aktif dalam
sejarah.10 Saeed sendiri tidak menyepakati pandangan bahwa ada
elemen manusia yang ikut dalam penciptaan al-Qur’an. Al-Qur’an
adalah ciptaan Tuhan. Namun, dalam kapasitas agar ia bisa dipahami
manusia, wahyu harus bersentuhan dengan manusia dan masyarakat
yang menjadi subyek penerimanya.11
Melalui pemahaman wahyu yang demikian, konteks sosio-
historis menjadi elemen wahyu yang penting. Saeed kemudian
menegaskan, pemahaman tentang wahyu yang demikian ini menjadi
dasar bagi argumen-argumennya yang dituangkan dalam pemikiran
tafsirnya (khususnya yang ada dalam buku Interpreting the Qur’an),
bahwa interpretasi harus berangkat dari realitas di mana wahyu itu
diturunkan.12
Selain pijakan dari wahyu, Saeed juga menjelaskan
beberapa tradisi klasik yang dijadikannya sebagai batu loncatan
untuk menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur’an berbasis konteks
bukan hanya sesuatu yang perlu akan tetapi juga ‘dianjurkan’ oleh
pengalaman masa lalu. Pertama, fenomena naskh, yang menunjukkan
8
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 31; Abdullah Saeed,
“Some Reflections on the Contextualist Approach to Ethico-Legal Texts of the
Quran”, Bulletin of School of Oriental and African Studies, 71 (2), 2008, hlm. 228.
9
Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui pikiran Muhammad terhadap situ -
si-situasi sosio-moral dan historis masyarakat Arab abad ke-7. Fazlur Rahman, Islam
dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad (Bandung:
Pustaka, 1985), hlm. 17.
10
Kenneth Gragg, The Event of the Qur’an: Islam and the Scripture (London:
George Allen and Unwin Ltd., 1971), hlm. 17.
11
Abdullah Saeed, Rethinking “Revelation” as a Precondition for Reinte -
preting the Qur>an: A Qur’anic Perspective», Journal of Qur’anic Studies, 1 (1), 1999,
hlm. 110-111.
12
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 41.

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 69


Lien Iffah Naf ’atu Fina

bahwa perubahan situasi dan kondisi memungkinkan perubahan


basis etika hukum.13 Setelah diamati, menurut saeed, yang berubah
dari ayat-ayat tersebut bukan pesan dasarnya, tetapi bunyi teksnya.
Pesan dasarnya selalu sama. Untuk itulah, menurutnya, pesan-pesan
dasar yang selalu tetap tersebut yang menjadi inti ajaran al-Qur’an.
Kedua, fleksibilitas yang lahir dari sab’ah ah}ruf. Berdasarkan
sebuah hadis terkenal, al-Qur’an diwahyukan dalam tujuh huruf
(sab’ah ah}ruf). Para ulama memiliki pandangan yang berbeda tentang
pengertian dari kata itu. Menurut Saeed, pemaknaan yang paling
mungkin terhadap term sab’ah ah}ruf adalah murujuk kepada tujuh
dialek yang ada pada saat al-Qur’an diwahyukan.14 Artinya, kata
tertentu dalam al-Qur’an bisa dibaca menggunakan kata lain yang
merupakan sinonim dari kata itu berdasarkan dialek-dialek yang
ada. Pemahaman ini didasarkan pada hadis-hadis yang bercerita
mengenai perbedaan cara baca pada masa Nabi.15 Hadis-hadis
tersebut menunjukkan bahwa Nabi mengakui adanya perbedaan
dalam cara baca dan masing-masing bacaan tersebut benar dan sesuai
pewahyuan. Inti yang Saeed maksudkan adalah bahwa Nabi telah
memungkinkan fleksibilitas demi menyesuaikan al-Qur’an dengan
kebutuhan umat pada masa itu. Karena itu, fleksibilitas itu bisa juga
exist demi mengakomodir kebutuhan umat pada masa sekarang.16
2. Interpretasi Kontekstual atas Ayat-ayat Etika-Hukum
Selanjutnya, sesuai dengan nama yang dilekatkan kepada
model penafsiran ‘ideal’nya yakni kontekstual, aksentuasi dan
orientasi model interpretasinya adalah perhatian yang serius terhadap
konteks, terutama konteks pada masa pewahyuan dan konteks ketika
al-Qur’an ditafsirkan.17 Penafsirannya ini bergerak dalam upaya untuk
menemukan mana makna yang universal dan mana yang partikular.
13
Ibid., hlm. 85.
14
Mengutip al-Qat}t}a>n, tujuh dialek itu adalah Quraisy, Huz\ail, S|aqi>f, H -
wazin, Kinanah, Tamim dan al-Yaman. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…,
hlm.  70.
15
Untuk contoh hadisnya lihat selengkapnya dalam Abdullah Saeed, Inte -
preting the Qur’an…, hlm. 71-72.
16
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 76.
17
Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud
konteks menurut Abdullah Saeed. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm.
105.

70 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015


Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

Kesemuanya itu dia bangun dalam “hirarki nilai”nya, gagasan yang,


jika penulis boleh mengatakan, merupakan sumbangan Saeed di
tengah belantara kaum kontekstualis lain.
3. Prinsip-prinsip Epistemologis Interpretasi Kontekstual
a. Pengakuan atas Kompleksitas Makna
Di sini, Saeed menolak gagasan kaum tekstualis yang
menunjukkan bahwa makna sebuah kata terhampar dalam obyek
yang dituju.18 Padahal model perujukan makna demikian hanya
relevan pada kata-kata tertentu dan sangat terbatas, semisal nama dan
obyek  fisik.19
Ada beberapa prinsip yang ditegaskan Saeed dalam cakupan
makna ini:
Pertama, pengakuan akan ketidakpastian dan kompleksitas
makna. Sebagaimana dinyatakan di depan, kaum tekstualis meyakini
adanya rujukan makna yang rigid. Gagasan ini menemui masalah
ketika dihadapkan pada fakta bahwa kenyataannya (1) makna
sebuah kata tidak selalu mudah dicari rujukannya20 (2) makna
bukanlah obyek konkret, sebaliknya makna merupakan entitas
mental21 (3) makna berubah mengikuti perkembangan linguistik dan
budaya  komunitas.22
Fakta-fakta di atas mengindikasikan bahwa pandangan kaum
tekstualis bahwa seseorang dapat memproduksi makna yang secara

18
Keterangan lebih lanjut lihat Anthony C. Thiselton, «Meaning», dalam
R.J. Houlden (ed.), Dictionary of Biblical Interpretation (London: SCM Press, 1990),
hlm. 435-438.
19
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 102.
20
Ibid., hlm. 104.
21
Ibid., hlm. 104. Sebuah entitas mental ketika disampaikan kepada orang
lain melalui medium bahasa akan ditangkap hanya ketika beberapa penyesuaian telah
terjadi dalam psikologi dan kemampuan mental penerima. Selain itu, latar kondisi
ucapan menjadikan kata-kata memiliki rujukan tertentu (terbatas pada latar kondisi).
Pengalaman makna adalah sebuah impresi atau imajinasi.
22
Saeed memberikan contoh kata buku. Pada kenyatannya, makna inti yang
dilekatkan pada buku berkembang dan berbeda-beda seiring waktu. Buku dahulu di-
maknai sebagai tulisan yang ada pada daun, tulang, kayu dan seterusnya. Masa beri-
kutnya, buku adalah tulisan di atas kertas. Selanjutnya setelah ada mesin cetak, buku
dikenal sebagai tulisan yang dicetak. Dan terbaru, setelah perkembangan teknologi,
buku bisa berbentuk CD. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 105.

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 71


Lien Iffah Naf ’atu Fina

eksternal bisa diverifikasi dan diobservasi perlu dipertanyakan.


Kenyataannya, banyak kata yang memiliki makna yang sangat sulit
ditentukan, dan karena itu sulit untuk mencakup keseluruhan
maknanya. Kondisi ini mewariskan subyekstivitas bagi pembaca
dalam penentuan makna.
Konsep makna yang ditawarkan oleh kaum kontekstualis
senada dengan gagasan tentang makna “tidak langsung” (indirect
meaning).23 Makna “langsung” (“direct” meaning) sudah bisa dipahami
pada level kata, yakni apa yang tampak dan dapat dicapai melalui
pengertian, seperti buku, pena, dan al-Qur’an. Indirect meaning berada
terutama pada level wacana dan sulit untuk dipahami, akan tetapi ia
sangat berguna dalam proses pemahaman. Direct meaning berasal dari
kata, sedangkan indirect meaning sebagian besar berasal dari konteks.24
Kedua makna ini pada dasarnya sangat berkaitan. Dalam konteks
kitab suci (al-Qur’an), meskipun kata-kata telah tereduksi dalam
tulisan, konteks masih bisa ditelusuri lewat cara dan nada pengucapan,
irama dan kekuatannya, termasuk situasi ketika ujaran diucapkan,
status relatif dan hubungan interlocutor, dan efek yang dimaksudkan
dalam  wacana.25
Bagi kaum kontekstualis, konsep makna tidak langsung ini
mempersulit gagasan tentang makna yang sederhana dan obyektif
yang bisa dicapai dari al-Qur’an sebagaimana gagasan kaum
tekstualis. Prinsipnya, apapun interpretasi yang dilekatkan kepada
teks, interpretasi tersebut tidak mungkin secara utuh mencakup teks.

23
Untuk keterangan lebih lanjut tentang gagasan ini lihat Tzvetan Todorov,
Symbolism and Interpretation (Ithaca: Cornell University Press, 1982), hlm. 97.
24
Konteks merupakan perbincangan yang sangat signifikan dalam indirect
meaning. Konteks ada dua, yakni konteks luas dan konteks sempit. Dalam kasus al-
Qur’an, konteks luas mencakup (1) keseluruhan isi atau kandungan al-Qur’an, (2)
kehidupan Nabi dan komunitas muslim awal, yang keduanya mencakup pandangan
dunia al-Qur’an, nilai-nilai yang ditekankan dan diperjuangkan dan petunjuk yang
ditetapkan. Sedangkan, konteks sempit adalah konteks yang berkaitan dengan kali-
mat atau kata yang mengirimkan gagasan. Perhatian terhadap konteks ini mensyarat-
kan penafsir untuk memperhatikan ayat yang turun sebelum atau sesudah ayat yang
ditafsirkan. Menurut Saeed, karena al-Qur’an diturunkan secara bertahap dengan
waktu dan kondisi yang berbeda-beda, tidak dalam satu buku langsung, maka perha-
tian terhadap konteks menjadi sesuatu yang penting. Jika tidak, maka hasil pemaha-
man tidaklah memuaskan. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 104-105.
25
Ibid., hlm. 105.

72 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015


Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

‘Tidak ada teks apapun, meskipun ia sederhana atau familiar, yang


bisa dirumuskan tanpa sisa: selalu akan ada tambahan signifikansi
yang terlewat atau tereduksi’.26
Kedua, mempertimbangkan ayat-ayat etika-hukum sebagai
diskursus –bahasa yang lahir dalam konteks tertentu. Menurut
Saeed, kaum tekstualis telah memperlakukan al-Qur’an hanya sebagai
bahasa, tidak sebagai diskursus. Beberapa bukti bisa dilihat dari model
penafsiran yang dilakukan mufassir klasik. Penafsiran klasik sangat
berfokus pada pemaknaan kata-perkata dan gramatikal. Memang,
geliat ke arah sana sudah tampak dalam penyuguhan asba>b an-nuzu>l,
tapi masih belum mengena.27
Gagasan yang serupa sebenarnya sudah disampaikan oleh
Abu> Zaid dan Farid Esack. Abu> Zaid membedakan antara al-Qur’an
sebagai korpus tertutup (mus}h}af) dan al-Qur’an sebagai sebuah
fenomena hidup atau diskursus. Dengan bahasa lain, Farid Esack juga
menyayangkan kondisi umum umat Islam yang lebih memandang
al-Qur’an sebagai semata kitab suci dibanding sebagai sebuah resitasi
ataupun diskursus. Padahal, menurutnya, al-Qur’an turun dalam
suasana diskursif selama kurang lebih 23 tahun, di mana kondisi
ini menunjukkan dengan jelas adanya keterkaitan antara al-Qur’an
dengan latar situasi pada saat itu.28 Karena itulah, sebagaimana
disampaikan Saeed, perlu ada pembacan yang seimbang antara al-
Qur’an sebagai bahasa (teks) dan al-Qur’an sebagai diskursus.
Ketiga, pengakuan akan adanya hal-hal yang membatasi makna
teks. Saeed menegaskan, meskipun dia berpandangan bahkan telah
membangun bangunan argumen akan kemustahilan obyektivitas
total dalam penafsiran, tidak berarti dia mengimani subyektivitas dan
relativitas total.29 Menolak obyektivitas total bukan berarti penafsiran
menjadi arena bebas bagi subyektivitas dan relativitas, dalam artian
penafsir bisa mendekati teks sesuka dan sekehendanya. Menurut
Saeed, penafsiran bagaimanapun memiliki aturan yang melahirkan
batasan-batasan dalam menentukan makna. Hal-hal tersebut adalah
(1) Nabi (2) konteks di mana teks lahir (3) peran penafsir (4) hakikat

26
Ibid., hlm. 104.
27
Ibid., hlm. 107.
28
Lihat: Farid Esack, “Qur’anic Hermeneutics…”, hlm. 123-124.
29
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 107-108.

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 73


Lien Iffah Naf ’atu Fina

teks itu sendiri (5) konteks budaya. Makna sebuah teks adalah buah
ketegangan dari aspek-aspek ini.30
Keempat, makna literal sebagai titik berangkat interpretasi.
Saeed sama sekali tidak meninggalkan penelusuran makna literal
teks. Tahap ini memberikan beberapa manfaat, (1) menghindari
lompatan makna seperti yang lazimnya terjadi dalam penafsiran
imajinatif. Bentuk lompatan itu bisa jadi bersifat alegoris atau mistis,
bahkan teologis dan religio-politis, dan (2) membantu membangun
doktrin-doktrin dan sistem-sistem teologis di atas basis yang lebih
kuat, melalui penelusuran terhadap makna sebuah kata dipahami oleh
penerima pertama al-Qur’an.31
b. Perhatian terhadap Konteks Sosio-Historis
Konteks, menurut Saeed merupakan elemen yang penting,
kalau tidak paling penting, dalam penafsiran al-Qur’an. Secara
internal, konteks menjadi basis untuk memahami hubungan antara
instruksi ayat-ayat etika-hukum dan alasan-alasan memperkenalkan
perintah-perintah tersebut pada masyarakat Hijaz abad ke-7.32 Namun
sayangnya, menurut Saeed, perhatian akan konteks ini dipinggirkan
baik dalam tradisi tafsir maupun hukum, akibatnya konteks sosio-
historis kurang memiliki peran yang signifikan dalam menafsirkan al-
Qur’an, terutama pasca pemapanan hukum Islam pada abad ke-3 H.
Pada masa klasik, perhatian akan hal ini ditunjukkan dengan
penelusuran asba>b an-nuzu>l. Namun demikian, asba>b an-nuzu>l tidak
dimanfaatkan dalam kerangka untuk menunjukkan adanya keterkaitan
antara al-Qur’an dan konteks sosio-historis. Dalam tradisi tafsir,
asba>b an-nuzu>l hanya digunakan untuk mencari rujukan peristiwa
ketika sebuah ayat diturunkan mencakup waktu, tempat dan orang
yang dirujuk oleh ayat tersebut. Dalam tradisi fikih, di samping untuk
tujuan yang sama, asba>b an-nuzu>l juga digunakan untuk menentukan

30
Lihat: Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 108-109. P -
mikiran Saeed ini senada dengan pemikiran Gracia, terutama tentang limits of mean-
ing. Menurut Gracia, ada beberapa faktor yang membatasi makna sebuah teks yakni:
pengarang, audien, konteks, masyarakat, bahasa, teks itu sendiri dan fungsi-fungsi
kultural. Lihat Jorge J.E. Gracia, A Theory of Textuality: the Logic and Epistemology
(Albany: State University of New York Press, 1995), hlm. 114-127.
31
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 114.
32
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 116.

74 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015


Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

kronologis ayat-ayat yang terkait dalam satu tema.33 Prinsipnya,


pemahaman terhadap asbab an-nuzu>l belum sampai kepada wilayah
untuk melihat al-Qur’an dalam konteks yang lebih luas. Selain
itu, asba>b an-nuzu>l juga memiliki masalah internal terkait dengan
kontradiksi antar riwayat atau hanya sekedar perkiraan sejarah.
Ada dua prinsip dalam kaitannya dengan perhatian terhadap
konteks ini. Pertama, penelusuran konteks sosio-historis. Pengetahuan
akan konteks sosio-historis pra-Islam dan periode Islam sangat
penting dalam penafsiran al-Qur’an. Menurut Saeed, ia meliputi:
…pengetahuan akan kehidupan Nabi secara mendetail baik di
Makkah maupun Madinah; iklim spiritual, sosial, ekonomi, politik,
dan hukum; norma, hukum, kebiasaan, tatakrama, adat kebiasaan
(institusi), dan nilai-nilai yang berlaku di wilayah tersebut, khususnya
di Hijaz; tempat tinggal, pakaian, makanan; relasi sosial, termasuk di
dalamnya, struktur keluarga, hirarki sosial, larangan (pantangan), dan
upacara-upacara.34

…karakteristik fisik, peristiwa-peristiwa, sikap, orang-orang dan


bagaimana mereka menanggapi seruan Tuhan…35

Saeed juga menganjurkan untuk melihat Hijaz dalam konteks


yang lebih luas; konteks budaya yang membentang di wilayah
Mediterania, mulai dari Yahudi, Kristen, Arab Selatan, Etiopia hingga
Mesir. Kehidupan sosio-kultural Hijaz pada waktu itu sangat beragam
dengan pengaruh dari wilayah-wilayah tersebut. Perhatian dan
pengetahuan akan hal ini, menurut Saeed, sangat membantu mencari
relasi antara al-Qur’an dan lingkungan tempat ia diwahyukan.
Kedua, bahasa budaya. Satu prinsip yang harus selalu
dipegang seorang mufassir adalah bahwa konteks Hijaz merupakan
titik berangkat baik bagi al-Qur’an maupun Nabi. Nabi, sebagaimana
diketahui, pada kenyataannya tidak membasmi seluruh elemen
budaya yang ada di sana. Al-Qur’an telah meminjam simbol, metafor,
istilah dan ekspresi Hijaz untuk menyampaikan pesan-pesannya.36
33
Abdullah Saeed, «Fazlur Rahman…», hlm. 48.
34
Abdulla`Ah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 117.
35
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an…, hlm. 117.
36
Contoh yang baik untuk hal ini adalah gambaran al-Qur’an tentang surga.
Surga digambarkan dengan sungai yang mengalir, buah-buahan, pohon dan taman
yang tak lain adalah imajinasi populer masyarakat Hijaz atas kondisi alam mereka
yang gersang.

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 75


Lien Iffah Naf ’atu Fina

Artinya, masing-masing budaya memiliki cara yang unik untuk


menggambarkan sebuah persoalan, gagasan dan nilai, dan jalan ini
tidak selalu bisa diterjemahkan dan dipahami melalui konteks lain.37
c. Perumusan Hirarki Nilai dalam Ayat-ayat Etika-Hukum: yang
Tetap dan yang Berubah
Upaya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan memper-
timbangkan konteks dan memperhitungkan nilai yang berubah dan
tetap telah dikenal dalam sejarah penafsiran al-Qur’an. Hal itu bisa
dilihat misalnya melalui penafsiran para ‘proto-contextualist’ pada
awal periode Islam38, beberapa aspek dari tradisi maqa>s}id39, dan
pendekatan berbasis-nilainya Rahman sebagai penerus dari generasi
proto-contextualist.40
Namun demikian, menurut Saeed, meskipun upaya ke arah
penafsiran yang memperhatikan mana aspek yang tetap dan mana
aspek yang berubah dari teks telah digagas sebagaimana di muka,
tetap ada kebuntuan yang perlu dipecahkan. Kebuntuan itu adalah:
Pertama, kekurangan dalam maqa>si} d.41 Menurutnya, ini belum
cukup dijadikan sebagai basis metodologi alternatif bagi masalah
literalisme hukum dan tafsir. Apa yang disampaikan al-Gazali> dan asy-
Sya>t}ibi, sebagai dua orang yang disebut sebagai pioneer dalam hal ini,
dianggap Saeed belum cukup sebagai basis tafsir terutama untuk jaman

37
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 122.
38
Generasi pertama umat Islam telah menikmati kebebasan dalam derajat
yang signifikan dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini terjadi di samping karena bangu-
nan metodologi dan prinsip-prinsip serta prosedur dalam menafsirkan al-Qur’an be-
lum ada sebagaimana periode berikutnya, para sahabat juga sebagai person yang ter-
libat langsung dalam pewahyuan. Keterlibatan ini menjadikan al-Qur>an telah berakar
dalam hati mereka. ini pula yang mungkin memungkinkan mereka, ketika bertemu
dengan masalah baru, menggunakan intuisi mereka, yang tak lain adalah semangat
al-Qur’an yang menubuh, untuk menghadapi dan menyelesaikannya. Contoh mu-
dah untuk hal ini adalah Umar bin al-Khat}t}a>b. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the
Qur’an, hlm. 127.
39
Sebagai disampaikan Saeed, kemunculan gagasan ini pada dasarnya me -
upakan respon terhadap literalisme yang mendominasi interpretasi al-Qur’an teru-
tama pada periode post-formatif hukum Islam (setelah abad ke-1 dan ke-2 H). Lihat
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 128.
40
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 128.
41
Ibid., hlm. 127.

76 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015


Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

kontemporer. Sebenarnya, menurut Saeed, gagasan at}-T{u>fi dengan


mas}lah}ahnya lebih radikal dan telah melampaui kedua yang disebut
di atas, tapi sayangnya, gagasan at}-Tu>fi tidak sepopuler  mereka.
Kedua, kekurangan dalam gagasan Rahman. Menurut Saeed,
meskipun Rahman telah mempertanyakan hirarki nilai dalam kaitan
dengan ayat-ayat etika-hukum dan penafsirannya (yang disebut
sebagai general principles42 misalnya keadilan), dia tidak menyatakan
secara eksplisit bahwa sebuah hirarki sangat penting bagi sebuah
metodologi alternatif interpretasi.43 Selanjutnya, Rahman juga tidak
menyediakan sebuah kerangka terperinci untuk membangun hirarki
nilai moral selain pernyataannya bahwa pertama kali seseorang harus
memperoleh prinsip-prinsip umum dari aturan-aturan spesifik baik
dalam al-Qur’an maupun sunah dengan memberikan perhatian
terhadap kondisi sosio-historis44 –yang diperoleh lewat gerak pertama
dalam double movement theory-nya.45
Saeed mengakui, mengidentifikasi dan membangun sebuah
hirarki nilai bukanlah pekerjaan yang mudah, karena saking luasnya
dan sifat dasarnya yang tidak tetap. Namun, dengan melakukan
penelusuran yang teliti, Saeed mengaku telah berhasil membangun
lengkap dengan rasionalisasinya sehingga tidak perlu mengganggu
atau membahayakan keimanan umat Islam.46
Saeed mempertimbangkan banyak hal untuk merumuskan
proyeknya ini. Seperti yang disebutkan berikut:
Dalam membangun hirarki nilai, saya memperhatikan hal-
hal berikut: keyakinan yang sifatnya dasar dalam Islam, rukun

42 
Ada beberapa istilah yang identik dengan pemikiran Rahman: prinsip-
prinsip (principles), nilai-nilai (values), tujuan-tujuan moral (moral objectives), ratio-
legis, prinsip-prinsip umum (general principles) dan sebagainya. Namun demikian,
sebagaimana diakui Taufik Adnan Amal, prinsip ini belum ditata secara hirarkis guna
membentuk etika al-Qur’an. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas:
Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 159.
43 
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 128.
44 
Abdullah Saeed, «Fazlur Rahman», hlm. 54.
45 
Langkah ini merupakan langkah penting untuk menemukan prinsip-
prinsip umum yang dijadikan sebagai landasan untuk memformulasikan hukum
dalam kasus-kasus partikular di dunia modern dalam gerak kedua. Lihat Abdullah
Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 128.
46 
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 130.

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 77


Lien Iffah Naf ’atu Fina

iman, rukun Islam, apa yang secara jelas diperintahkan dan dilarang
dalam al-Qur’an… Dalam membangun kategori-kategori, saya juga
mempertimbangkan apa yang secara umum diterima dalam tradisi
umat Islam. Sebagian besar merupakan pemikiran-pemikiran yang
dibangun dalam us}ul> fiqih termasuk pembagian lima tindakan mukallaf
(wajib, makruh, sunnah, haram dan mubah).47
Penelusuran akan hirarki ini berguna untuk menafsirkan ayat-
ayat etika-hukum. Dengan adanya hirarki nilai ini dimungkinkan
mengetahui derajat urgensi, kompleksitas dan ambiguitas dari masing-
masing nilai, untuk selanjutnya diberikan perlakuan yang berbeda
terhadap masing-masingnya. Tentu pengetahuan akan hal ini akan
sangat bermanfaat untuk memahami sekaligus mengaplikasikan nilai
yang termaktub dalam al-Qur’an, terutama dalam konteks kekinian.
Dengan pemikirannya tentang perumusan hirarki nilai, Saeed
secara tidak langsung juga telah mampu menjawab kritik Wael B. Hallaq
terhadap Rahman bahwa problem-problem yang diungkapkannya
belum merepresentasikan seluruh spketrum kasus dalam hukum dan
karenanya Hallaq menyatakan bahwa apa yang dilakukan Rahman
belum bisa dikatakan sebagai sebuah metodologi hukum yang tepat
akan tetapi sekedar sebagai cara pandang terhadap wahyu.48 Karenanya
perumusan hirarki nilai ini merupakan sumbangan yang berarti bagi
hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman.
d. Nilai-nilai yang Bersifat Kewajiban (obligatory values)
Kategori pertama adalah nilai-nilai yang bersifat kewajiban.
Nilai-nilai yang sifatnya dasar sangat ditekankan dalam al-Qur’an.
Nilai-nilai ini membentang baik dalam periode Makkah maupun
Madinah dan tidak bergantung kepada budaya. Kebanyakan umat
Islam mengakui bagian ini sebagai bagian yang sangat penting dalam
Islam.
Pertama, nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem
kepercayaan, yakni nilai-nilai yang secara tradisional dikenal sebagai
(rukun) iman. Kedua, nilai-nilai yang berhubungan dengan praktik
ibadah yang ditekankan dalam al-Qur’an (shalat, puasa, haji, dan

Ibid., hlm. 130.


47 

Hallaq, Wael B., «Law and the Qur>an», dalam Jane D. McAuliffe (ed.),
48 

Encyclopaedia of the Qur’an, Leiden: E.J. Brill, 2003, Vol. 3, hlm. 171.

78 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015


Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

mengingat Allah). Nilai-nilai ini ditekankan berulangkali dalam al-


Qur’an dan tidak berubah mengikuti perubahan kondisi. Karena
itulah, mereka berlaku universal. Ketiga, sesuatu yang halal dan haram
yang disebutkan secara tegas dan jelas dalam al-Qur’an49, dan tidak
menghiraukan perubahan kondisi.50 Menurut Saeed, kategori yang
semacam ini sangat sedikit dalam al-Qur’an dan secara prinsipil
mereka berlaku universal.51
Nilai-nilai di atas bisa dianggap sebagai doktrin agama yang
abadi. Upaya untuk menyesuaikan dengan konteks sepertinya tidak
berhasil pada kategori ini. Selanjutnya, menurut Saeed, terutama
untuk bagian ketiga, nilai-nilai yang diperluas dari bagian ini (melalui
ijma>’ atau qiya>s) tidak bisa dimasukkan dalam kategori ini. Yang
diperhatikan adalah sesuatu yang secara spesifik disebutkan dalam al-
Qur’an.
e. Nilai-nilai Fundamental (Fundamental Values)
Saeed memberikan batasan pada nilai-nilai fundamental ini
sebagai berikut:
… adalah nilai-nilai yang ditekankan berulang-ulang dalam al-Qur’an
yang mana ada bukti teks yang kuat yang mengindikasikan bahwa
mereka adalah termasuk dasar-dasar ajaran al-Qur’an.52

Dia manambahkan, penyelidikan terhadap al-Qur’an


mengindikasikan bahwa nilai-nilai fundamental ini ditekankan
sebagai nilai-nilai kemanusiaan dasar.53
Pada dasarnya, ulama awal, terutama dalam tradisi us}u>l, telah
sadar akan adanya nilai-nilai ini. Misalnya, apa yang disebut al-Gazali
dengan kulliya>t (universal atau ‘lima nilai universal’), maqa>s}id asy-
49 
Disebut demikian karena pilihan kata yang digunakan lugas seperti uh}
illa, uh}illat, ah}alla atau ah}lalna> (QS. al-Ma>’idah: 96; al-Baqarah: 187; al-Ma>’idah: 5;
al-Ma>’idah: 1) untuk menunjukkan sesuatu yang dihalalkan. Dan, misalnya kalimat
h}arramna> (QS. al-Baqarah: 173; al-Baqarah: 275; an-Nisa>’ : 23; al-Baqarah: 228; al-
Baqarah: 229; an-Nisa>’: 19) untuk menunjukkan sesuatu yang diharamkan.
50 
Allah melarang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan dan sebaliknya
(QS. an-Nah}l: 116; Yu>nus: 59; al-Ma>’idah: 90). Allah juga menegur Nabi ketika Nabi
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan-Nya (QS. at-Tah}ri>m: 1).
51 
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 165-166.
52 
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 133.
53
Ibid.. hlm. 132.

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 79


Lien Iffah Naf ’atu Fina

syari>’ah oleh asy-Syat}ibi (w. 766/1388)54, dan mas}lah}ah oleh at}-T{u>fi


(w. 716/1316).55 Lima nilai universal tersebut adalah perlindungan
hidup, hak milik, kehormatan, keturunan dan agama. Di kalangan
ulama us}u>l, nilai universal ini dianggap sebagai tujuan utama syari’ah
(maqa>s}id asy-syari>’ah) sebagaimana dinyatakan oleh asy-Sya>t}ibi>.56
Pencapaian nilai-nilai di atas melalui sebuah metode yang diakui
sebagai metode induktif (inductive corroboration) dari sumber-sumber
adekuat Islam.
Dengan metode yang sama, Saeed berpendapat bahwa nilai
tersebut bisa dikembangkan, tidak hanya terbatas lima, mengikuti
kebutuhan dan perkembangan zaman, senyampang memang diramu
dari sumber yang adekuat. Pada saat ini misalnya, perlindungan dari
kerusakan, perlindungan kebebasan beragama, perlindungan hak asasi
manusia perlu ditambahkan kepada lima nilai yang telah ada.57
Pada prinsipnya, menurut Saeed, apa yang disebut sebagai
nilai fundamental adalah nilai-nilai yang sifatnya universal, dan
perlu ditekankan bahwa wilayah ini bisa diperluas atau dipersempit
berdasarkan kebutuhan masing-masing generasi, persoalan-persoalan
yang dihadapi, titik perhatian masing-masing generasi.
Tampaknya nilai ini sama dengan prinsip umumnya Rahman,
semisal keadilan. Nilai ini menurut Rahman ditemukan melalui gerak
pertama dari gerak gandanya. Nilai inilah yang dijadikan prinsip
umum dalam menafsirkan dan mengaplikasikan al-Qur’an dalam
konteks kekinian.
f. Nilai-nilai Proteksional (Protectional Values)
Nilai proteksional ini merupakan undang-undang bagi nilai
fundamental. Fungsinya adalah untuk memelihara keberlangsungan
nilai fundamental.58 Misalnya, salah satu nilai fundamental adalah

54
Ibid., hlm. 145.
55
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 146. Pemikiran mereka
merupakan lompatan yang melampaui paradigma pada waktu itu (pasca-Syafi’i),
sehingga pengaruh mereka sangat sedikit pada masa berikutnya. Namun demikian,
metodologi dan kerangka kerja mereka pada dasarnya ,asih relevan hingga saat ini.
56
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 133.
57
Ibid.. 133.
58
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 166; Abdullah Saeed,
Interpreting the Qur’an, hlm. 133.

80 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015


Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

perlindungan hak milik, maka, larangan mencuri dan riba merupakan


nilai proteksional dari nilai fundamental ini.
Berbeda dengan nilai fundamental, nilai proteksional
digantungkan ‘hanya’ kepada satu atau beberapa bukti-bukti tekstual.
Namun, kenyataan ini tidak mengurangi urgensi nilai ini dalam al-
Qur’an karena kekuatan nilai ini di samping berasal dari bukti teks,
juga berasal dari nilai fundamental. Karena nilai ini merupakan
pemeliharaan dari nilai fundamental, universalitas juga berlaku
di  sini.59
g. Nilai-nilai Implementasional (Implementational Values)
Nilai implementasional merupakan tindakan atau ukuran
spesifik yang dilakukan atau digunakan untuk melaksanakan nilai
proteksional.60 Misalnya larangan mencuri harus ditegakkan dalam
masyarakat melalui tindakan-tindakan spesifik untuk menindaklanjuti
mereka yang melanggarnya. Dalam al-Qur’an misalnya, disebutkan
bahwa hukuman bagi tindak pencurian adalah dipotong tangannya61.
Dalam pandangan Saeed, nilai implementasional yang terekam
dalam al-Qur’an tidaklah bersifat universal. Berdasarkan penyelidikan
sejarah, tindakan spesifik memotong tangan di atas, sebagai misal,
merupakan pilihan yang paling tepat untuk kondisi saat itu.
Ada beberapa fakta yang mendukung pandangan Saeed ini.
Pertama, kondisi obyektif al-Qur’an.62 Banyak redaksi dalam al-
Qur’an yang menunjukkan ‘pengecualian’ bagi pemberlakuan nilai
implementasional, yakni bagi mereka yang bertaubat. Redaksi ini
sering ditulis mengikuti redaksi tindakan spesifik yang direkam al-
Qur’an. Beberapa ayat yang mengikuti pola demikian adalah, setelah
ayat yang secara spesifik menuliskan hukuman potong tangan,63

59
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 134.
60
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 167; Abdullah Saeed,
Interpreting the Qur’an, hlm. 134.
61
QS. al-Ma>>idah: 41.
62
Lihat: Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 134-135.
63
QS. al-Ma>>idah: 42.

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 81


Lien Iffah Naf ’atu Fina

hukuman pembunuhan,64 hukuman cambuk bagi pelaku zina,65 dan


hukuman rajam bagi pelaku zina66.
Kondisi obyektif di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya
yang menjadi peran utama dari al-Qur’an bukanlah redaksi literal
darinya. Jika demikian yang terjadi, tentu al-Qur’an tidak memberikan
alternatif lain seperti bentuk pengecualian di atas. Dengan demikian,
yang menjadi tujuan utama al-Qur’an adalah pencegahan dari
tindakan yang dilarang.
Kedua, fakta sejarah. Yang dimaksud dengan fakta sejarah di
sini adalah pilihan sikap sahabat Nabi atau ulama terdahulu dalam
mengamalkan ayat-ayat implementasional di atas. Ketika menghadapi
kasus seseorang yang telah mencuri tiga kali, sahabat Nabi, ‘Umar
yang saat itu menjadi khalifah mengajukan hukuman potong tangan
untuknya. Ali yang saat itu menjadi penasihat Umar memberikan
usulan yang berbeda. Menurutnya, hukuman cambuk dan kurungan
adalah hukuman yang tepat. ‘Ali menyatakan “saya malu melihat Tuhan
jika meninggalkannya tanpa tangan yang darinya dia bisa makan dan
bersuci untuk shalat…”. ‘Ali, sebagai sahabat yang dikenal memahami
al-Qur’an melakukan pilihan yang demikian. Ini menunjukkan bahwa
potong tangan bukan nilai yang multak harus diterapkan.67
Dalam tradisi fikih, ulama klasik telah menyadari adanya
akibat negatif, sebagaimana direnungkan oleh ‘Ali di atas, dari
pemberlakuan hukuman yang sifatnya keras. Kesadaran terhadap hal
ini menuntun mereka merumuskan syarat-syarat bagi berlakunya
nilai implementasional berdasarkan bunyi literal teks. Sebagaimana
dikutip Saeed dari al-Asymawi “Hukuman yang ada dalam al-Qur’an
dikelilingi oleh syarat-syarat yang mungkin menjadikannya tidak
berlaku… Misalnya untuk kasus pencurian, … pencuri tidak sedang
dalam kondisi terdesak dan benar-benar membutuhkan sesuatu
yang  dicuri…”.68

64
QS. al-Baqarah: 178.
65
QS. an-Nu>r: 5.
66
QS. an-Nisa>’: 16.
67
Lihat: Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 136.
68
Ibid., hlm. 136.

82 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015


Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

h. Nilai-nilai Instruksional (Intructional Values)


Nilai intruksional adalah ukuran atau tindakan yang terdapat
dalam al-Qur’an tentang sebuah persoalan yang (berlaku) khusus
pada masa pewahyuan.69 Tidak ada tekanan dalam al-Qur’an berkaitan
dengan nilai ini. Bahkan tidak ada dukungan dari kategori sebelumnya
bahwa nilai ini bersifat universal. Meskipun demikian, yang menjadi
persoalan di mata Saeed, nilai ini diterima begitu saja (normatif)
bahkan sampai sekarang, terutama oleh muslim tradisional.70
Saeed memandang, dibanding nilai-nilai sebelumnya, nilai
intruksional ini adalah yang paling banyak, paling sulit, paling beragam
dan berbeda-beda. Karena itu bentuk kategorisasi adalah perkara
yang sulit, dan karenanya Saeed lebih memilih menampilkannya
begitu  saja.
Sebagian besar nilai al-Qur’an adalah intruksional. Ayat-ayat
yang termasuk dalam kategori ini memiliki tampilan linguistik yang
beragam: perintah (amr) atau larangan (la>), pernyataan sederhana
tentang ‘amal s}a>lih}, perumpamaan, atau bisa juga kisah.71 Secara
lebih terperinci misalnya instruksi untuk menikahi lebih dari satu
perempuan dalam kondisi tertentu,72 bahwa laki-laki ‘memelihara’
perempuan,73 untuk berbuat baik kepada orang-orang tertentu
misalnya orang tua,74 untuk tidak menjadikan kaum kafir sebagai
teman,75 dan untuk mengucapkan salam76.
Menurut Saeed, ada pertanyaan yang perlu dijawab menyikapi
keberadaan nilai-nilai intruksional ini karena seperti yang diketahui
nilai-nilai tersebut sangat erat dengan kondisi saat itu. Pertanyaan
yang bisa digariskan yakni: Apakah nilai ini melampaui kekhususan
budaya sehingga harus dipatuhi dalam segala kondisi, tempat dan
waktu? Atau sebaliknya, apakah harus diciptakan kondisi yang
69
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 169; Abdullah Saeed,
Interpreting the Qur’an, hlm. 137.
70
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 138.
71
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 169.
72
QS. an-Nisa>’ : 2-3.
73
QS. an-Nisa>’ : 34-35.
74
QS. an-Nisa>’: 36.
75
QS. an-Nisa>’: 89-90.
76
QS. an-Nisa>’: 86.

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 83


Lien Iffah Naf ’atu Fina

sama agar dapat diterapkan? Bagaimana seharusnya seorang muslim


menanggapi nilai ini?
Menjawab persoalan itu, Saeed menawarkan sebuah rumusan
untuk mengukur apakah nilai tertentu bersifat universal ataukah tidak
termasuk derajat sifatnya. Takaran itu adalah persoalan frekuensi,
penekanan, dan relevansi. Pertama, frekuensi.77 Frekuensi berkaitan
dengan seberapa sering nilai tertentu disebutkan dalam al-Qur’an
melalui penelusuran tema-tema yang terkait dengan nilai tersebut.
Misalnya ‘menolong kaum miskin’ disampaikan al-Qur’an melalui
beberapa konsep misalnya ‘menolong mereka yang membutuhkan’,
memberi makan kepada fakir miskin’, dan ‘merawat anak yatim’.
Prinsipnya, semakin sering tema tersebut diulang-ulang dalam al-
Qur’an, semakin penting nilai tersebut. Meskipun, kesimpulan
dari penelusuran ini harus diakui hanya mampu mencapai derajat
perkiraan karena keterbatasan menelusuri keseluruhannya dalam
al- Qur’an.
Kedua, penekanan.78 Takaran ini mempertanyakan apakah nilai
ini betul-betul ditekankan dalam dakwah Nabi. Prinsip yang dipegang
adalah, semakin besar penekanan nilai tertentu dalam dakwah
Nabi maka nilai tersebut semakin signifikan. Misalnya, nilai yang
ditekankan Nabi dalam dakwahnya selama periode Makkah sampai
Madinah adalah membantu mereka yang terzalimi. Namun, jika
nilai tertentu disebutkan kemudian ditinggalkan, atau jika nilai-nilai
yang bertentangan dengannya didukung dan disebarluaskan, maka
bisa diasumsikan nilai tersebut tidak lagi relevan dalam al- Qur’an.
Penelusuran terhadap takaran ini memerlukan pengetahuan sejarah,
karakteristik stilistik atau linguistik teks dan konteks pada saat itu.
Pengetahuan akan hal di atas tidak bermakna untuk mengetahui
waktu dan kondisi persis seperti yang terjadi pada masa itu, tapi
lebih digunakan untuk melakukan pendasaran apakah nilai tersebut
ditekankan pada periode tertentu.
Ketiga, relevansi (hubungan/pertalian/persangkutpautan).79
Yang perlu ditegaskan sebelumnya, kata relevansi yang dimaksud
Saeed di sini bukan berarti bahwa seluruh nilai yang ada dalam al-
77
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 139.
78
Ibid., hlm. 139-140.
79
Ibid, Interpreting the Qur’an, hlm. 140-141.

84 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015


Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

Qur’an spesifik. Saeed membagi relevan kepada dua macam; (1)


relevansi terhadap budaya tertentu yang dibatasi waktu, tempat dan
kondisi, (2) relevansi universal tanpa memperhatikan waktu, tempat
dan kondisi. Yang dimaksud Saeed dengan term relevansi di sini
adalah yang kedua.
Karena Nabi diturunkan dalam masyarakat Hijaz, ada
hubungan penting antara misi Nabi dan budaya masyarakat waktu
itu. Seperti diketahui, tidak semua ajaran, nilai, dan praktik dalam
masyarakat pra-Islam yang dibuang oleh Nabi. Sehingga rasional
jika dikatakan bahwa apa yang dilakukan dan dikatakan Nabi sesuai
dengan kondisi saat itu. Karena itu, wawasan akan konteks budaya
masa pewahyuan sangat penting untuk menentukan relevansi
nilai  tertentu.
Tahap pertama adalah melakukan observasi. Tahap
selanjutnya adalah membandingkan dengan kondisi kekinian. Untuk
membandingkannya, bisa dilakukan analisis terhadap aspek-aspek
yang tetap dan berubah. Langkah selanjutnya, dilakukan perenungan
apakah nilai tertentu tersebut berlaku obyektif ataukah ia ada melulu
menunjukkan dan memperjuangkan terpeliharanya nilai fundamental.
Jika hasil analisis menunjukkan bahwa nilai tersebut hanya bersifat
spesifik pada waktu itu, maka penerapan nilai yang sama dalam situasi
yang lain bukanlah yang dimaksud oleh teks, dan sebaliknya.
4. Kerangka Kerja
Saeed kemudian beranjak dari dunia gagasan kepada sebuah
model interpretasi, sebuah panduan praktis yang menyajikan langkah
demi langkah dalam menafsirkan ayat-ayat yang bermuatan ethico-
legal. Menurut Saeed, makna bersifat interaktif. Pembaca (baca:
penafsir) bukanlah penerima pasif yang begitu saja ‘menerima’ makna.
Pembaca merupakan peserta aktif dalam memproduksi makna teks.80
Ada empat tahap yang harus dilampaui dalam model interpretasi ini.
Berikut peta model interpretasi yang ditawarkan Saeed:81

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 149.


80

Ibid., hlm. 150. Untuk perincian lebih lanjut dari peta di atas, bisa dirujuk
81

langsung dalam buku ini.

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 85


Lien Iffah Naf ’atu Fina

Model of Interpretation Text


Stage I: Encounter with the world of text
Stage II: Critical Analysis
Linguistic
Literary context
Literary form
Parallel texts
Precedents
Stage III: Meaning for the first recipients
Socio-historical context
Worldview
Nature of the massage: legal, theological, ethical
Message: contextual versus universal
Relationship of the message to the overall message of the Qur’an
Stage IV: Meaning for the present
Analysis of present context
Present context versus socio historical context
Meaning from first recipients to the present
Message: contextual versus universal
Application today

Menurut Saeed, penafsiran klasik telah dengan baik mencakup


stage I dan stage II dan beberapa bagian dari stage III. Kebanyakan
stage III dan stage IV tidak dipandang sebagai pertimbangan yang
penting dan relevan bagi tujuan interpretasi ayat-ayat yang bermuatan
ethico- legal.

C. Simpulan
Upaya yang dilakukan Saeed ini, meskipun tidak secara eksplisit
dinyatakannya sebagai pelanjut kerja Rahman tapi jejak-jejaknya bisa
ditemui dengan jelas pada pemikirannya. Saeed telah menerjemahkan
gagasan Rahman dalam kerangka kerja yang lebih rigid. Kemudian,
melalui hirarki nilainya, dengan berangkat dari inspirasi pemikiran
klasik dan Rahman, dia telah menyelesaikan persoalan berkaitan
dengan penentuan mana makna yang universal dan yang partikular.
Di sinilah sesungguhnya sumbangan Saeed dalam kancah pemikiran
kontemporer, khususnya di antara kaum  kontekstualis.

86 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015


Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

DAFTAR PUSTAKA

Abu> Zaid, Nas}r H{a>mid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum


al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2003.
______, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam,
terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Yogyakarta:
Samha dan PSW UIN Sunan Kalijaga, 2003.
_____, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics,
Amsterdam: Humanistics University Press, 2004.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas
Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1994.
Baljon, J.M.S., Modern Muslim Koran Interpretation, Leiden: E.J. Brill,
1961.
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya
al-Jumanatul ‘Ali. Bandung: J-Art, 2004.
Esack, Farid, “Qur’anic Hermeneutics: Problems and Prospects”,
dalam The Muslim World, Vol. LXXXIII, No. 2, April 1993.
Gracia, Jorge J.E., A Theory of Textuality: the Logic and Epistemology,
Albany: State University of New York Press, 1995.
Hallaq, Wael B., “Law and the Qur’an”, dalam Jane D. McAuliffe (ed.),
Encyclopaedia of the Qur’an, Leiden: E.J. Brill, 2003, Vol. 3.
Ichwan, Mochammad Nur, “Hermeneutika al-Qur’an: Analisis Peta
Perkembangan Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer”,
Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, tidak
diterbitkan, 1995.
_____, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika
Nasr Abu Zayd, Bandung: Teraju, 2003.
Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam
Penafsiran, Yogyakarta: LKiS, 2003.
Naf ’atu Fina, Lien Iffah, “Interpretasi Kontekstual: Studi atas
Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an Abdullah Saeed”, Skripsi,
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009.

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 87


Lien Iffah Naf ’atu Fina

Rahman, Fazlur, “Islamic Modernism: Its Scope, Method and


Alternatives”, International Journal of Middle East Studies,
Vol.1, No.4, 1970.
______, Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual, terj.
Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985.
Rahman, Wahidur, “Modernists’ Approach to the Qur’an”, Islam and
the Modern Age, Mei 1991.
Rippin, Andrew, “Foreword” dalam Abdullah Saeed, Interpreting the
Qur’an: Towards a Contemporary Approach, London and New
York: Routledge, 2006.
Saeed, Abdullah, “Rethinking “Revelation” as a Precondition for
Reinterpreting the Qur’an: A Qur’anic Perspective”, Journal of
Qur’anic Studies, 1 (1), 1999.
_____, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-
Legal Content of the Qur’an” dalam Suha Taji-Farouki (ed.),
Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, Oxford: Oxford
University Press, 2004.
_____, “Introduction: the Qur’an, Interpretation and the Indonesian
Context”, Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia.
Oxford: Oxford University Press, 2005.
_____, “Progressive Interpretation and the Importance of the Socio-
Historical Context of the Qur’an”, dalam Islam, Woman and
New World Order: an International Conference Proceedings,
Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2006.
_____, Islamic Thought: an Introduction, London and New York:
Routledge, 2006.
_____, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach,
London and New York: Routledge, 2006.
_____, “Contextualizing” dalam Andrew Rippin (ed) The Blackwell
Companion to the Qur’an, Oxford: Blackwell Publishing,
2006.
_____, “Trends in Contemporary Islam: A Preliminary Attempt at a
Classification”, The Muslim World, Vol. 97, 2007.
______, The Qur’an: an Introduction, London and New York:
Routledge, 2008.

88 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015


Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed

_____, “Some Reflections on the Contextualist Approach to Ethico-


Legal Texts of the Quran”, Bulletin of School of Oriental and
African Studies, 71 (2), 2008.
Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembebasan Hasan Hanafi:
Metodologi Tafsir al-Qur’an menurut Hasan Hanafi, Bandung:
Mizan, 2002.
Shihab, Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an Vol. 2, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-
Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Syamsuddin, Sahiron, “Tipologi dan Proyeksi Pemikiran Tafsir
Kontemporer: Studi atas Ide Dasar Hermeneutika al-
Qur’an”, makalah disampaikan dalam diskusi ilmiah dosen
tetap UIN Sunan Kalijaga, tanggal 29 Agustus 2008, tidak
dipublikasikan
Taji-Farouki, Suha (ed.), Modern Muslim Intellectuals & the Qur’an.
Oxford: Oxford University Press, 2004.
Wadud, Amina, Qur’an menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab
Suci dengan Semangat Keadilan, terj. Abdullah Ali, Jakarta:
Serambi, 2013.
http://www.abdullahsaeed.org, akses tanggal 19 Desember 2013.
http://www.abdullahsaeed.org/documents/CV-Saeed.pdf, akses
tanggal 19 Desember 2013.
http://www.asiainstitute.unimelb.edu.au/people/staff/saeed.html,
akses tanggal 19 Desember 2013.
http://www.findanexpert.unimelb.edu.au/researcher/person13483.
html, akses tanggal 19 Desember 2013.
http://en.wikipedia.org/wiki/Maldives, akses tanggal 23 Januari
20013.

Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015 89


Lien Iffah Naf ’atu Fina

halaman ini bukan sengaja dikosongkan

90 Hermeneutik, Vol. 9, No.1, Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai