Anda di halaman 1dari 11

2.

3 Definisi

Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab terjadinya pembengkakan pada kelenjar


submandibula atau parotis, karena dapat menimbulkan obstruksi pada duktus kelenjar saliva.
Pembentukan batu (calculi) pada sialolithiasis diduga karena penumpukan bahan degeneratif
yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mengalami proses kalsifikasi hingga terbentuk batu.3,4,6
Sebagian besar (80% - 90%) sialolithiasis terjadi di duktus submandibula (warthon’s
duct) karena struktur anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari sekresi kelenjar saliva.
Kedua faktor ini mendukung terjadinya proses kalsifikasi pada duktus submandibula sehingga
muncul sialolithiasis.3,4,6

2.4 Epidemiologi

Sialolitiasis adalah penyakit yang umum pada kelenjar ludah. Penyakit yang
paling sering diketemukan adalah kelenjar sub mandibula pada usia pertengahan. Insiden
adalah 12 per 1000 pada populasi. Pada laki-laki resikonya dua kali di banding
perempuan. Untuk kelenjar kanan dan kiri tidak memiliki tempat yang dominan.
Kelenjar mandibula adalah kelenjar yang sering terkena. Batu lebih sering terdapat pada
intraduktal di bandingkan dengan intragandula. Sialolitiasis secara umum batu lebih dari
3 tempat pada kelenjar saliva kurang dari 3% dari kasus yang ada. 3,4,6

Salah satu penyakit sistemik yang bisa menyebabkan terbentuknya batu adalah
penyakit gout, dengan batu yang terbentuk mengandung asam urat. Kebanyakan, batu
pada kelenjar saliva mengandung kalsium fosfat, sedikit mengandung magnesium,
amonium dan karbonat. Batu kelenjar saliva juga dapat berupa matriks organik, yang
mengandung campuran antara karbohidrat dan asam amino. 3,4,6

2.5 Etiologi dan Patofisiologi


Meskipun penyebab pasti sialolithiasis masih belum jelas, beberapa batu saliva mungkin
berhubungan dengan infeksi kronis (Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans) dari
kelenjar, Sjögren's sindrom dan atau peningkatan kalsium, dehidrasi, yang meningkatkan
viskositas saliva; asupan makanan berkurang, yang menurunkan permintaan untuk saliva, atau
obat yang menurunkan produksi saliva, termasuk anti histamin tertentu, anti hipertensi (diuretic)
dan anti psikotik, tetapi dalam banyak kasus dapat timbul secara idiopatik. 3,4,6
Sialolithiasis mengandung bahan organik pada pusat batunya, dan anorganik di
permukaannya. Bahan organik antara lain glikoprotein, mukopolisakarida, dan debris sel. Bahan
anorganik yang utama adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Sedangkan ion kalsium,
magnesium, dan fosfat sekitar 20-25%. Senyawa kimia yang menyusunnya antara lain
mikrokristalin apetit [Ca5(PO4)OH] atau whitlokit [Ca3(PO4)]. Pengamatan dengan
menggunakan transmisi mikroskop elektron dan
mikroanalisis X – ray. 3,4,6
Pada batu sialolithiasis, didapatkan gambaran menyerupai struktur mitokondria, lisosom,
dan jaringan fibrous. Substansi tersebut diduga sebagai salah satu penyebab proses kalsifikasi
dalam sistem duktus submandibula. Etiologi sialolithiasis belum diketahui secara pasti, beberapa
patogenesis dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya penyakit ini. Pertama, adanya ekresi
dari intracellular microcalculi ke dalam saluran duktus dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua,
dugaan adanya substansi dan bakteri dari rongga mulut yang migrasi ke dalam duktus salivary
dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua hipotesis ini sebagai pemicu nidus organik yang kemudian
berkembang menjadi penumpukan substansi organik dan inorganik. Hipotesis lainnya
mengatakan bahwa terdapat proses biologi terbentuknya batu, yang ditandai menurunnya sekresi
kelenjar, perubahan elektrolit, dan menurunnya sintesis glikoprotein. Hal ini terjadi karena
terjadi pembusukan membran sel akibat proses penuaan. 1,3,4

2.6 Gejala Klinis

Gejala-gejala meliputi yang timbulnya pembengkakan yang mendadak, hilang


timbul, nyerinya unilateral pada daerah submandibula, biasanya timbul dalam waktu
singkat setelah makan. Demam terjadi jika timbulnya infeksi belakang obstruksi. 3,4,6

2.7 Patogenesis
Beberapa patogenesis dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya penyakit ini.
Pertama, adanya ekresi dari intracellular microcalculi ke dalam saluran duktus dan
menjadi nidus kalsifikasi. Kedua, dugaan adanya substansi dan bakteri dari rongga mulut
yang migrasi ke dalam duktus salivary dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua hipotesis ini
sebagai pemicu nidus organik yang kemudian berkembang menjadi penumpukan
substansi organik dan inorganik. Hipotesis lainnya mengatakan bahwa terdapat proses
biologi terbentuknya batu, yang ditandai menurunnya sekresi kelenjar, perubahan
elektrolit, dan menurunnya sintesis glikoprotein. Hal ini terjadi karena terjadi
pembusukan membran sel akibat proses penuaan. 4

2.7 Diagnosis

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan dengan


palpasi secara bimanual di dasar mulut dari arah posterior
ke arah anterior sering didapatkan batu pada duktus, juga
dapat meraba pembesaran duktus dan kelenjar dalam
mengevaluasi fungsi kelenjar air liur.

Batu dapat dideteksi dengan palpasi dan bantuan radiografi (sialography) bisa berbentuk
lonjong atau bulat, kasar atau halus dengan ukuran yang bervariasi. Batu umumnya berwarna
kuning muda yang jika dipotong akan kelihatan
struktur yang homogeny tetapi lebih sering
berlapis-lapis. Beberapa kasus dilaporkan
dibagian sulkus, bibir bawah, palatum dan lidah.
Biasanya merupakan massa kecil yang solid,
keras, dapat digerakkan (dapat berpindah-pindah)
bisa dengan atau simtom.4
Pemeriksaan Penunjang

Radiografi/ Sialografi

Sialografi merupakan pemeriksaan untuk melihat kondisi duktus dengan menggunakan kontras.
Dengan pemeriksaan ini kita dapat mengidentifikasi adanya iregularitas pada dinding duktus,
identifikasi adanya polip, mucous plug atau fibrin, serta area granulomatosa. Selain itu dapat pula
diidentifikasi adanya kemungkinan obstruksi duktus maupun stenosis. Pemeriksaan dimulai
dengan melakukan identifikasi terhadap duktus Stensen dan Wharton. Langkah selanjutnya
adalah dilakukan dilatasi duktus. Saat dilatasi duktus sudah maksimal, maka dapat

dimasukkan kateter sialografi. Pada pemeriksaan sialografi ini digunakan kontras, yang bisa
berupa etiodol atau sinografin.

Sialografi dapat memberikan pemandangan yang jelas pada duktus secara keseluruhan dan dapat
memberikan informasi mengenai area yang tidak dapat dijangkau dengan sialoendoskop,
misalnya pada area di belakang lekukan yang tajam dan striktur. Kekurangan dari pemeriksaan
sialografi adalah paparan radiasi dan hasil positif palsu pada pemeriksaan batu karena adanya air
bubble (gelembung udara). 5,7,8

Tomografi komputer

Pemeriksaan ini merupakan salah satu pilihan untuk


mengevaluasi sistem duktus

dan parenkim pada kelenjar saliva. Identifikasi dapat


dilakukan pada potongan aksial, koronal maupun
sagital. Dengan pemeriksaan ini dapat diidentifikasi
adanya iregularitas pada dinding duktus dengan
melihat adanya penebalan dan penyangatan pada dinding
duktus. Pada obstruksi yang disebabkan karena batu,
kalsifikasi dapat dilihat berupa masa hiperdens tanpa
penyangatan pada pemeriksaan tomografi komputer. Adanya penyangatan dapat merupakan
indikasi adanya obstruksi sialodenitis akut. 3,4,6

Sialografi Tomografi Komputer

Pemeriksaan ini merupakan kombinasi antara


pemeriksaan sialografi dengan
menggunakan kontras dan pemeriksaan
tomografi komputer. Pemeriksaan dilakukan
dengan memasukkan kateter pada
duktus, kemudian mengisinya dengan
kontras, lalu dilakukan pemeriksaan tomografi
komputer. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengevaluasi parenkim secara detail. 3,4,6

Ultrasonografi

Dalam mendiagnosis kelainan pada kelenjar saliva terkadang diperlukan


pemeriksaan ultrasonografi dengan resolusi tinggi. Pemeriksaan dengan ultrasonografi
bermanfaat dalam mengidentifikasi massa dan membedakan konsistensi massa tersebut,
apakah padat atau kistik. Ultrasonografi yang digunakan pada pemeriksaan kelenjar
saliva adalah ultrasonografi dengan transduse beresolusi tinggi, yaitu 7,5-10,0 MHz. Pada
kasus abses atau massa kistik kelenjar saliva terkadang dilakukan aspirasi jarum halus.
Pada kasus ini, ultrasonografi dapat dimanfaatkan untuk menjadi panduan dalam aspirasi.
Pemeriksaan ultrasonografi juga penting dilakukan untuk melihat adanya kelokan atau
cabang-cabang duktus, yang bisa menimbulkan komplikasi pada proses obstruksi. 3,4,6

Kekurangan pada pemeriksaan dengan ultrasonografi adalah, alat ini tidak dapat
memvisualisasi kelenjar saliva secara keseluruhan. Pada penegakan kelainan obstruksi
kelenjar saliva menggunakan ultrasonografi sering sulit untuk menentukan ukuran batu
secara tiga dimensi begitu juga dengan struktur stenosisnya. Selain itu, pemeriksaan
dengan alat ini tidak dapat memberikan informasi yang cukup jelas mengenai diameter
bagian distal obstruksi sehingga sulit memastikan apakah duktusnya cukup lebar dan
lurus sehingga memungkinkan masuknya instrumen pada endoskopi terapeutik. 3,4,6

2.8 Penatalaksanaan

Non Pembedahan

Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaan antibiotik


dan anti inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui caruncula secara spontan.
Pengobatan yang diberikan adalah simptomatik, nyeri diobati dengan NSAID (e.g
ibuprofen, 600 mg setiap 8 jam selama 7 hari) dan infeksi bacteria diobati dengan
antibiotik golongan penicillin dan Cephalosporins, (875mg amoxicillin dan asam
klavulanat 125 mg setiap 8 jam untuk jangka waktu satu minggu ) atau augmentin,
cefzil, ceftin, nafcillin, diet kaya protein dan cairan asam termasuk makanan dan
minuman juga dianjurkan untuk menghindari pembentukan batu lebih lanjut dalam
kelenjar saliva, sialologues (lemon tetes yang merangsang Salivasi), batu dikeluarkan
dengan pijat atau masase pada kelenjar. 3,4,6

Pada beberapa kasus dimana batu berada di wharton papillae, dapat dilakukan
tindakan marsupialization (sialodochoplasty). Sering kali batu masih tersisa terutama bila
berada di bagian posterior Warton’s duct, sehingga pendekatan konservatif sering
diterapkan. 3,4,6

Pembedahan

Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk


mengeluarkan batu pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan pembedahan,
terutama pada kasus dengan diameter batu yang besar (ukuran terbesar sampai 10 mm),
atau lokasi yang sulit.
Bila lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa dilakukan tindakan simple
sphincterotomy dengan anestesia lokal untuk mengeluarkannya. Pada batu yang berada di
tengah-tengah duktus harus dilakukan diseksi pada duktus dengan menghindari injury
pada n. lingualis. Hal ini bisa dilakukan dengan anestesi lokal maupun general, tapi
sering menimbulkan nyeri berat post operative. Harus dilakukan dengan anestesi general,
bila lokasi batu berada pada gland's pelvis. Pada kasus ini harus dilalakukan
submaxilectomy dengan tingkat kesulitan yang tinggi, karena harus menghindari cabang-
cabang dari N. facialis. 3,4,6

Minimal Invasive

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

ESWL merupakan terapi dengan pendekatan non invasive yang cukup efektif
pada sialolithiasis. Setelah berhasil untuk penanganan batu di saluran kencing dan
pankreas, ESWL menjadi alternatif penanganan batu pada saluran saliva, dimulai tahun
1990an. Tujuan ESWL untuk mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yang kecil
sehingga tidak mengganggu aliran saliva dan mengurangi simptom. Diharapkan juga
fragmen calculi bisa keluar spontan mengikuti aliran saliva. 3,4,6

Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam glandula
maupun dalam duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan struktur N. facialis.
Inflamasi akut merupakan kontra indikasi lokal dan inflamasi kronis bukan merupakan
kontra indikasi, sedangkan kelainan pembekuan darah (haemorrhagic diathesis), kelainan
kardiologi, dan pasien dengan pacemaker merupakan kontraindikasi umum ESWL.
Metode ini tidak menimbulkan nyeri dan tidak membutuhkan anestesia, pasien duduk
setengah berbaring (semi-reclining position). Shockwave benar-benar fokus dengan lebar
2,5 mm dan kedalaman 20mm sehingga lesi jaringan sekitarnya sangat minimal. Energi
yang digunakan disesuaikan dengan batu pada kelenjar saliva, yaitu antara 5 – 30 mPa.
Tembakan dilakukan 120 impacts per menit, bisa dikurangi sampai 90 atau 60 impacts
per menit. Setiap sesion sekitar 1500 + / - 500 impacts dan antar sesion terpisah minimal
satu bulan. 3,4,6
Keberhasilan ESWL tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah calculi.
Ketepatan posisi (pinpointing) calculi bisa dipandu dengan ultrasonography, echography
probe 7,5 Mhz. Calculi dengan ukuran > 10 mm sulit dipecah menjadi fragmen. Beberapa
penelitian telah melakukan pengamatan dan follow up atas keberhasilan penggunaan
ESWL, antara lain Escidier et al mengamati 122 kasus dimana 68% pasien terbebas dari
simptom setelah difollow up selama 3 tahun, Cappaccio et al dengan 322 kasus
melaporkan 87,6% pasien terbebas dari simptom setelah diamati 5 tahun sejak
pengobatan menggunakan ESWL. 3,4,6

Sialendoskopi

Sialendoskopi merupakan teknik endoskopi untuk memeriksa duktus kelenjar


saliva. Teknik ini termasuk minimal invasive terbaru yang dapat digunakan untuk
diagnosis sekaligus manajemen terapi pada ductal pathologies seperti obstruksi, striktur,
dan sialolith. Prosedur yang dapat dilakukan dengan Sialendoskopi merupakan complete
exploration ductal system yang meliputi duktus utama, cabang sekunder dan tersier.
Indikasi diagnostik dan intervensi dengan Sialendoskopi adalah semua pembengkakan
intermitten pada kelenjar saliva yang tidak jelas asalnya. Koch et al lebih khusus
menjelaskan indikasinya, antara lain untuk : 3,4,6

deteksi sialolith yang samar,


deteksi dini pemebentukan sialolith (mucous or fibrinous plugs) dan profilaksis pembentukan
batu,
pengobatan stenosis post inflamasi dan obstruksi karena sebab lain,
deteksi dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi,
diagnosis dan pemahaman baru terhadap kelainan autoimun yang melibatkan kelenjar saliva,
sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi.
Tidak ada kontra indikasi khusus, karena merupakan teknik minimal invasive
yang hanya membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan saja, baik pada anak-
anak, dewasa maupun usia lanjut. Teknik Intervensi Sialendoskopi. Sialendoskopi
dilakukan dengan anestesi lokal, papila untuk mencapai kelenjar diinjeksi dengan bahan
anestesi (xylocaine 1% dengan epinephrine 1:200000). Papila dilebarkan bertahap dengan
probe yang bertambah besar sampai sesuai dengan diameter sialendoskop. Kemudian
sialendoskop dimasukkan ke dalam duktus kelenjar saliva diikuti pembilasan dengan
cairan isotonik melalui probe. Pembilasan ini dimaksudkan untuk dilatasi duktus dan
irigasi debris. Duktus kelenjar saliva ini diobservasi mulai dari duktus utama sampai
cabang tersier hingga probe tidak bisa masuk lagi, dengan catatan menghindari trauma
dan perforasi dinding duktus. Bila didapatkan obstruksi, kita bisa menggunakan beberapa
teknik untuk mengatasinya. Untuk pengambilan batu dengan diameter < 4 mm pada
kelenjar submandibula atau < 3 mm pada kelenjar parotis, kita dekatkan sialendoskop ke
sialolith kemudian kita masukkan ke dalam working chanel sebuah forsep penghisap
yang fleksibel dengan diameter 1 mm atau stone extractor (wire basket forcep).
Berikutnya batu dihisap dan sialendoskop ditarik dengan forcep penghisapnya. 3,4,6

Pada kasus dengan batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laser helium ke
dalam working chanel dan batu dipecah menjadi beberapa bagian kecil-kecil. Kemudian
bagian kecil tersebut ambil (removed) dengan teknik yang sama. Sedangkan pada kasus
mucus plug, sekret yang lengket dimobilisasi dengan pembilasan dan penghisapan. 3,4,6

Setelah intervensi Sialendoskopi, dilakukan stenting pada duktus submandibula


menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2 sampai 4 minggu dengan tujuan 1)
menghindari striktur, 2) mencegah obstruksi karena udema sekitar orifisium, dan 3)
sebagai saluran irigasi partikel-partikel batu kecil oleh aliran saliva. Pemberian
hydrocortisone 100 mg injeksi intraductal atau langsung pada daerah striktur juga dapat
mempercepat proses penyembuhan pasca sialoendokopi. 3,4,6

Decision Tree

Pada tindakan minimally invasive terdapat beberapa pilihan diagnostik maupun


terapi untuk managemen sebuah kasus dengan gejala klinis adanya obstruksi pada saluran
kelenjar saliva. pada kasus dengan gejala pembengkakan berulang pada kelenjar saliva
yang berhubungan dengan selera makan, dapat menggunakan sialendoskopi atau MR
sialografi sebagai pilihan modalitas diagnostik. Sialendoskopi merupakan pilihan utama
pada pembengkakan kelenjar unilateral, sedangkan pada kasus kelenjar bilateral
direkomendasikan untuk menggunakan MR silaografi untuk melihat tekstur kelenjar,
jaringan sekitar, dan sistem duktus beberapa kelenjar. 3,4,6
Bila

didapatkan batu ukuran kecil (< 4 mm submandibular atau < 3 mm parotis) maka dapat
diintervensi dengan Wire Basket Extraxion. Pada batu dengan ukuran > 4 mm submandibula atau
> 3 mm parotis, batu harus dipecah menjadi bagian yang lebih kecil menggunakan Laser
Lithotripsy kemudian dikeluarkan dengan Wire Basket Extraxion. Sedangkan stenosis pada
sistem duktus cukup dilakukan dilatasi menggunakan metalic dilator (main duct) atau dengan
balloon catheter bila stenosis terjadi pada cabang duktus. 3,4,6

2.9 Komplikasi

Segala bentuk intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka maupun minimally
invasive dapat menimbulkan komplikasi antara lain:

kerusakan saraf, terutama N. Lingualis dan N. Hipoglosus


perdarahan post operative,
striktur sistem duktal,
pembengkakan kelenjar yang menimbulkan nyeri,
cutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post extracorporeal therapy, dan
residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.
Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebih memungkinkan untuk
5,6
meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.

2.10 Prognosis

Prognosis pada sialolithiasis umumnya baik, dengan penatalaksaan yang tepat.

Anda mungkin juga menyukai