0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
3 tayangan2 halaman
Almarhum Prof. Dr. Affan Gafar pernah merisaukan mengenai kemungkinan ketidak pedulian Pemda untuk mengalokasikan anggaran sektor pendidikan di daerah, bisa benar-benar terabaikan. Karena menurut beliau alokasi anggaran mana yang penting dan mana yang tidak penting akan terserah sepenuhnya kepada para pejabat dan para politisi kita di daerah-daerah itu untuk mengaturnya sendiri.
Tetapi yang menjadi masalah kita adalah bahwa kita tidak tahu arah kecenderungan sikap dan apresiasi mereka (baca: le
Almarhum Prof. Dr. Affan Gafar pernah merisaukan mengenai kemungkinan ketidak pedulian Pemda untuk mengalokasikan anggaran sektor pendidikan di daerah, bisa benar-benar terabaikan. Karena menurut beliau alokasi anggaran mana yang penting dan mana yang tidak penting akan terserah sepenuhnya kepada para pejabat dan para politisi kita di daerah-daerah itu untuk mengaturnya sendiri.
Tetapi yang menjadi masalah kita adalah bahwa kita tidak tahu arah kecenderungan sikap dan apresiasi mereka (baca: le
Almarhum Prof. Dr. Affan Gafar pernah merisaukan mengenai kemungkinan ketidak pedulian Pemda untuk mengalokasikan anggaran sektor pendidikan di daerah, bisa benar-benar terabaikan. Karena menurut beliau alokasi anggaran mana yang penting dan mana yang tidak penting akan terserah sepenuhnya kepada para pejabat dan para politisi kita di daerah-daerah itu untuk mengaturnya sendiri.
Tetapi yang menjadi masalah kita adalah bahwa kita tidak tahu arah kecenderungan sikap dan apresiasi mereka (baca: le
Almarhum Prof. Dr. Affan Gafar pernah merisaukan mengenai kemungkinan
ketidak pedulian Pemda untuk mengalokasikan anggaran sektor pendidikan di daerah, bisa benar-benar terabaikan. Karena menurut beliau alokasi anggaran mana yang penting dan mana yang tidak penting akan terserah sepenuhnya kepada para pejabat dan para politisi kita di daerah-daerah itu untuk mengaturnya sendiri. Tetapi yang menjadi masalah kita adalah bahwa kita tidak tahu arah kecenderungan sikap dan apresiasi mereka (baca: legislatif, eksekutif) itu mengenai pentingnya pendidikan. Memang para pejabat itu secara kognitif tahu bahwa pendidikan itu penting, namun ada kekhawatiran bahwa tuntutan-tuntutan mendesak mengenai berbagai sektor yang bersifat fisik dan proyek-proyek yang menyangkut kepentingan jangka pendek jauh lebih menarik dan akan menyita perhatian lebih banyak di kalangan para politisi ‘dadakan’ yang berkuasa di daerah-daerah dewasa ini. Agaknya perjuangan wakil rakyat yang duduk di legislatif sangat diharapkan, mereka inilah yang mempunyai peranan strategis terhadap penetapan besar kecilnya anggaran pendidikan di daerah, tidak malah justru hanya mementingkan pribadi, kelompok atau golongannya sendiri. Pemda Bima tahun 2003 ini baru menyetujui dua orang guru untuk melanjutkan studi pada jenjang S2 dan baru satu yang sanggup dibiayai. Bandingkan dengan daerah Ternate yang walaupun dilanda konflik, tahun ini mengutus 28 orang ke jenjang S2. Sementara dari Aceh untuk tahun 2003 yang mengikuti S2 dan S3 di Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang) sebanyak 42 orang. Untuk biaya pendidikan Pemda Aceh Tengah misalnya memberi rata-rata 75 juta perorang dan diberi kes, sementara Pemda Bima untuk satu tahun baru mampu membiayai sekitar tujuh juta setahun (sebagaimana diungkapkan Iqbal pada penulis). Kalau saja kuliah Magister dapat diselsaikan 2 tahun berarti teman tadi hanya memperoleh biaya 14 juta, bandingkan dengan teman dari Aceh yang kini sedang menjadi Operasi Militer itu. Jimly Asshiddiqie guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Ketua Umum Perhimpunan untuk Masyarakat Gemar Membaca, yang kini Ketua Mahkamah Institusi yang mantan Staf Ahli Mendikbud RI 1993-1998 itu dalam sebuah artikelnya meragukan bahwa anggaran nasional di sektor pendidikan yang akan dibagikan untuk daerah belum tentu akan diprioritaskan oleh daerah untuk bidang pendidikan. Karena itu, perlu dipikirkan sungguh-sungguh bahwa sektor pembangunan pendidikan di daerah-daerah di era otonomi daerah ini tidak menjadi terbengkalai. Pemda harus mempunyai kepedulian yang tinggi untuk sungguh-sungguh memperhatikan dunia pendidikan. Parameter kepedulian itu dapat dilihat dari seberapa persen RAPD untuk pendidikan, pertanyaan lain adalah: berapa kali guru telah melakukan penataran untuk merespon inovasi baru dalam dunia pendidikan seperti KBK dan model pembelajaran yang telah lama dipopulerkan seperti pembelajaran konstruktivistik semacam quantum learning, Contectual Teaching Lerning (CTL), Life Skill, Enverimental Basic Learning (EBL) dan lain-lain. Berapa banyak guru yang ditugas belajarkan pada jenjang S1, S2 maupun S3. kepedulian itu tidak sekedar retorika dalam berbagai pidato dan komentar dimedia massa, tapi perlu diwujudkan dalam bentuk karya nyata (ngahi rawai pahu). Soalnya, bangsa kita telah mencanangkan pelaksanaan program ‘wajib belajar’ dalam pengertian ‘universal education’ 9 tahun. Hal ini tentu saja harus didukung oleh anggaran pemerintah secara memadai. Pendidikan dasar yang mencakup pendidikan tingkat SD dan tingkat SLTP mau tidak mau harus dijamin oleh pemerintah. Meskipun kita menganut kebijakan ‘civil society’ yang mengutamakan prinsip pemberdayaan masyarakat, sukses tidaknya pelaksanaan agenda pendidikan dasar 9 tahun itu tidak bisa diserahkan bulat-bulat kepada masyarakat. Pemerintah harus memahami wajib menyediakan anggaran yang cukup untuk itu sesuai dengan prinsip ‘negara pengurus’ (welfare state) yang menjadi latar belakang pemikiran ketika para pendiri bangsa (funding father)kita merumuskan UUD 1945. Bagaimana mengharapkan apresiasi mengenai pentingnya pendidikan dari para anggota DPRD yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang memadai? Begitu pula dengan para pejabat di daerah-daerah yang tiba-tiba harus menghadapi ulah dan tingkah para politisi kita yang cenderung mabuk demokrasi di daerah-daerah. Bahkan kekuasaan partai-partai politik di daerah bisa menentukan bermacam-macam agenda yang belum tentu ‘klop’ dan menunjang upaya nasional bangsa kita untuk mengunggulkan agenda pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Dengan diundangkannya UU No.22 tentang otonomi daerah dan UU No. 25 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerh, maka ada paradigma baru, bahwa pengembangan pendidikan akan dibina oleh pemerintah daerah setempat. Kondisi tersebut akan lebih memungkinkan adanya peningkatan kemajuan dalam bidang pendidikan di daerah masing-masing, mengingat sumber dana pemerintah daerah dapat dipastikan akan menjadi lebih besar, karena sebagian besar pendapatan pemerintah akan diserahkan kepada daerah. Sebenarnya, ketentuan untuk dunia pendidikan telah diatur secara konstitusional dan ini adalah pilihan yang pas dan strategis jika dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yang menyebutkan: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja nagara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Sementara itu UU No. 20 tentang Sisdiknas tahun 2003 pasal 49 ayat 1 dikatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) pada sektor pendidikan. Bahkan jika kita mau mencontoh negara yang secara ekstrim sangat mengutamakan pendidikan, kita dapat belajar dari Taiwan yang bahkan menentukan porsi anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan itu dalam konstitusinya. Dalam konstitusi kaum Cina Taiwan ini dimuat ketentuan bahwa anggaran pembangunan pendidikan di tingkat pusat sebesar 15 persen dari total anggaran, di tingkat propinsi sebesar 25 persen, dan di tingkat kabupaten sebesar 35 persen dari keseluruhan anggaran pembangunan di masing-masing tingkatan pemerintahan. Dengan begitu, ada jaminan yang pasti dan seragam bahwa di seluruh wilayah Republik Taiwan, program pendidikan dijamin dengan dukungan anggaran yang merata. Karena itu, tingkat pertumbuhan dan pemerataan pembangunan rakyat Taiwan luar biasa berhasil, dan ini dapat dijadikan contoh oleh bangsa kita yang sedang menghadapi tantangan dan bahkan ancaman serius memasuki arena persaingan bebas dan makin terbuka di era globalisasi dan perdagangan bebas tahun-tahun ke depan. Di Taiwan, yang dirumuskan dalam konstitusi juga hanya sektor pendidikan, tidak yang lain. Pencantuman yang bersifat khusus ini tidak perlu dianggap sebagai sikap ‘tidak adil’ terhadap sektor yang lain. Hal ini semata-mata didasarkan atas pertimbangan bahwa masalah pendidikan itu memang paling utama jika kita sungguh-sungguh memahami hakikat pembangunan nasional sebagai pembangunan kualitas manusia Indonesia yang seutuhnya. Begitu pentingnya memperiorotaskan pendidikan itu, maka Amin Rais Ketua MPR RI ketika menyampaikan pidato penutupan pada sidang Umum MPR pada 7 Agustus 2003 mengungkapkan bahwa: “pendidikan adalah kunci pembangunan SDM dan penentu masa depan bangsa. Bahkan pendidikan adalah indikator terpenting dari kekuatan suatu bangsa”. Dan akhirnya beliau mengajak “marilah kita jadikan tugas bersama bagaimana mengatasi kemerosotan dunia pendidikan kita”. Ajak Amin Rais. Pada akhirnya, terserah kepada kita untuk menganggap agenda investasi sumberdaya manusia itu bersifat prinsipil dan strategis atau tidak. Jika kita ingin memacu akselerasi pembangunan sepuluh atau duapuluh tahun kedepan, mulai sekarang harus melakukan investasi terhadap pendidikan. Beranikah untuk melakukan terobosan seperti itu? Jawabannya tergantung tingkat abstraksi dan komitmen kita akan nilai urgensi pendidikan itu sendiri.
*) Penulis Guru dan Dosen, kini sedang mengkuti program S2 pada Univ. Negeri Malang (e-mail: an_beem @ yahoo.com)