Anda di halaman 1dari 2

RETORIKA PENDIDIKAN DI DAERAH

(SEBUAH CATATAN KEPRIHATINAN)

oleh: Anwar MS *)

Almarhum Prof. Dr. Affan Gafar pernah merisaukan mengenai kemungkinan


ketidak pedulian Pemda untuk mengalokasikan anggaran sektor pendidikan di daerah,
bisa benar-benar terabaikan. Karena menurut beliau alokasi anggaran mana yang
penting dan mana yang tidak penting akan terserah sepenuhnya kepada para pejabat
dan para politisi kita di daerah-daerah itu untuk mengaturnya sendiri.
Tetapi yang menjadi masalah kita adalah bahwa kita tidak tahu arah
kecenderungan sikap dan apresiasi mereka (baca: legislatif, eksekutif) itu mengenai
pentingnya pendidikan. Memang para pejabat itu secara kognitif tahu bahwa
pendidikan itu penting, namun ada kekhawatiran bahwa tuntutan-tuntutan mendesak
mengenai berbagai sektor yang bersifat fisik dan proyek-proyek yang menyangkut
kepentingan jangka pendek jauh lebih menarik dan akan menyita perhatian lebih
banyak di kalangan para politisi ‘dadakan’ yang berkuasa di daerah-daerah dewasa
ini.
Agaknya perjuangan wakil rakyat yang duduk di legislatif sangat diharapkan,
mereka inilah yang mempunyai peranan strategis terhadap penetapan besar kecilnya
anggaran pendidikan di daerah, tidak malah justru hanya mementingkan pribadi,
kelompok atau golongannya sendiri.
Pemda Bima tahun 2003 ini baru menyetujui dua orang guru untuk
melanjutkan studi pada jenjang S2 dan baru satu yang sanggup dibiayai. Bandingkan
dengan daerah Ternate yang walaupun dilanda konflik, tahun ini mengutus 28 orang
ke jenjang S2. Sementara dari Aceh untuk tahun 2003 yang mengikuti S2 dan S3 di
Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang) sebanyak 42 orang. Untuk biaya
pendidikan Pemda Aceh Tengah misalnya memberi rata-rata 75 juta perorang dan
diberi kes, sementara Pemda Bima untuk satu tahun baru mampu membiayai sekitar
tujuh juta setahun (sebagaimana diungkapkan Iqbal pada penulis). Kalau saja kuliah
Magister dapat diselsaikan 2 tahun berarti teman tadi hanya memperoleh biaya 14
juta, bandingkan dengan teman dari Aceh yang kini sedang menjadi Operasi Militer
itu.
Jimly Asshiddiqie guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan
Ketua Umum Perhimpunan untuk Masyarakat Gemar Membaca, yang kini Ketua
Mahkamah Institusi yang mantan Staf Ahli Mendikbud RI 1993-1998 itu dalam
sebuah artikelnya meragukan bahwa anggaran nasional di sektor pendidikan yang
akan dibagikan untuk daerah belum tentu akan diprioritaskan oleh daerah untuk
bidang pendidikan. Karena itu, perlu dipikirkan sungguh-sungguh bahwa sektor
pembangunan pendidikan di daerah-daerah di era otonomi daerah ini tidak menjadi
terbengkalai.
Pemda harus mempunyai kepedulian yang tinggi untuk sungguh-sungguh
memperhatikan dunia pendidikan. Parameter kepedulian itu dapat dilihat dari
seberapa persen RAPD untuk pendidikan, pertanyaan lain adalah: berapa kali guru
telah melakukan penataran untuk merespon inovasi baru dalam dunia pendidikan
seperti KBK dan model pembelajaran yang telah lama dipopulerkan seperti
pembelajaran konstruktivistik semacam quantum learning, Contectual Teaching
Lerning (CTL), Life Skill, Enverimental Basic Learning (EBL) dan lain-lain. Berapa
banyak guru yang ditugas belajarkan pada jenjang S1, S2 maupun S3. kepedulian itu
tidak sekedar retorika dalam berbagai pidato dan komentar dimedia massa, tapi perlu
diwujudkan dalam bentuk karya nyata (ngahi rawai pahu).
Soalnya, bangsa kita telah mencanangkan pelaksanaan program ‘wajib
belajar’ dalam pengertian ‘universal education’ 9 tahun. Hal ini tentu saja harus
didukung oleh anggaran pemerintah secara memadai. Pendidikan dasar yang
mencakup pendidikan tingkat SD dan tingkat SLTP mau tidak mau harus dijamin oleh
pemerintah. Meskipun kita menganut kebijakan ‘civil society’ yang mengutamakan
prinsip pemberdayaan masyarakat, sukses tidaknya pelaksanaan agenda pendidikan
dasar 9 tahun itu tidak bisa diserahkan bulat-bulat kepada masyarakat. Pemerintah
harus memahami wajib menyediakan anggaran yang cukup untuk itu sesuai dengan
prinsip ‘negara pengurus’ (welfare state) yang menjadi latar belakang pemikiran
ketika para pendiri bangsa (funding father)kita merumuskan UUD 1945.
Bagaimana mengharapkan apresiasi mengenai pentingnya pendidikan dari
para anggota DPRD yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang
memadai? Begitu pula dengan para pejabat di daerah-daerah yang tiba-tiba harus
menghadapi ulah dan tingkah para politisi kita yang cenderung mabuk demokrasi di
daerah-daerah. Bahkan kekuasaan partai-partai politik di daerah bisa menentukan
bermacam-macam agenda yang belum tentu ‘klop’ dan menunjang upaya nasional
bangsa kita untuk mengunggulkan agenda pengembangan kualitas sumberdaya
manusia.
Dengan diundangkannya UU No.22 tentang otonomi daerah dan UU No. 25
tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerh, maka ada paradigma baru,
bahwa pengembangan pendidikan akan dibina oleh pemerintah daerah setempat.
Kondisi tersebut akan lebih memungkinkan adanya peningkatan kemajuan dalam
bidang pendidikan di daerah masing-masing, mengingat sumber dana pemerintah
daerah dapat dipastikan akan menjadi lebih besar, karena sebagian besar pendapatan
pemerintah akan diserahkan kepada daerah.
Sebenarnya, ketentuan untuk dunia pendidikan telah diatur secara
konstitusional dan ini adalah pilihan yang pas dan strategis jika dalam UUD 1945
pasal 31 ayat 4 yang menyebutkan: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja nagara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional”. Sementara itu UU No. 20 tentang Sisdiknas
tahun 2003 pasal 49 ayat 1 dikatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) pada sektor
pendidikan.
Bahkan jika kita mau mencontoh negara yang secara ekstrim sangat
mengutamakan pendidikan, kita dapat belajar dari Taiwan yang bahkan menentukan
porsi anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan itu dalam konstitusinya. Dalam
konstitusi kaum Cina Taiwan ini dimuat ketentuan bahwa anggaran pembangunan
pendidikan di tingkat pusat sebesar 15 persen dari total anggaran, di tingkat propinsi
sebesar 25 persen, dan di tingkat kabupaten sebesar 35 persen dari keseluruhan
anggaran pembangunan di masing-masing tingkatan pemerintahan. Dengan begitu,
ada jaminan yang pasti dan seragam bahwa di seluruh wilayah Republik Taiwan,
program pendidikan dijamin dengan dukungan anggaran yang merata. Karena itu,
tingkat pertumbuhan dan pemerataan pembangunan rakyat Taiwan luar biasa berhasil,
dan ini dapat dijadikan contoh oleh bangsa kita yang sedang menghadapi tantangan
dan bahkan ancaman serius memasuki arena persaingan bebas dan makin terbuka di
era globalisasi dan perdagangan bebas tahun-tahun ke depan.
Di Taiwan, yang dirumuskan dalam konstitusi juga hanya sektor pendidikan,
tidak yang lain. Pencantuman yang bersifat khusus ini tidak perlu dianggap sebagai
sikap ‘tidak adil’ terhadap sektor yang lain. Hal ini semata-mata didasarkan atas
pertimbangan bahwa masalah pendidikan itu memang paling utama jika kita
sungguh-sungguh memahami hakikat pembangunan nasional sebagai pembangunan
kualitas manusia Indonesia yang seutuhnya.
Begitu pentingnya memperiorotaskan pendidikan itu, maka Amin Rais Ketua
MPR RI ketika menyampaikan pidato penutupan pada sidang Umum MPR pada 7
Agustus 2003 mengungkapkan bahwa: “pendidikan adalah kunci pembangunan SDM
dan penentu masa depan bangsa. Bahkan pendidikan adalah indikator terpenting dari
kekuatan suatu bangsa”. Dan akhirnya beliau mengajak “marilah kita jadikan tugas
bersama bagaimana mengatasi kemerosotan dunia pendidikan kita”. Ajak Amin Rais.
Pada akhirnya, terserah kepada kita untuk menganggap agenda investasi
sumberdaya manusia itu bersifat prinsipil dan strategis atau tidak. Jika kita ingin
memacu akselerasi pembangunan sepuluh atau duapuluh tahun kedepan, mulai
sekarang harus melakukan investasi terhadap pendidikan. Beranikah untuk
melakukan terobosan seperti itu? Jawabannya tergantung tingkat abstraksi dan
komitmen kita akan nilai urgensi pendidikan itu sendiri.

*) Penulis Guru dan Dosen, kini sedang mengkuti program S2 pada Univ. Negeri Malang
(e-mail: an_beem @ yahoo.com)

Anda mungkin juga menyukai