PENDAHULUAN
dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat.
Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang
Perbedaan genetis antara laki-laki dan perempuan perlu dibahas lebih cermat dan
hati-hati, karena kesimpulan yang keliru mengenai hal ini tidak hanya akan
berdampak pada persoalan sains semata, tapi juga mempunyai dampak lebih jauh
salah satu penindasan. Inilah yang digaungkan oleh kelompok feminisme yang
ingin membebaskan para perempuan di dunia agar memiliki hak dan kewajiban
Anggapan dan persepsi kaum Feminis tentang kesetaraan hak dan kewajiban
antara laki-laki dan perempuan itu lahir disebabkan oleh keadaan dan budaya
mereka yang memperlakukan para wanita secara tidak wajar. Sehingga wanita barat
menuntut kebebasan layaknya sebagai manusia yang memiliki hak sama seperti
1
laki-laki. Tapi ini akan jauh berbeda dengan apa yang dialami dan di rasakan oleh
kaum feminis tidak cocok untuk wanita-wanita Islam. Karena Islam telah
jenis kelamin, peran, hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan merupakan
Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis ingin memaparkan apakah para
Barat? Bagaimanakah perasaan para Muslimah tentang Islam dan Hukum Agama
mereka? Dan apakah “Hak hukum yang sama” selalu berarti keadilan bagi wanita?
Dalam tulisan ini, dirujuk sejumlah pembahasan yang bersifat psikologis dan
Penulis merasa cukup dengan mengambil hasil-hasil penelitian standar yang telah
dilakukan oleh para ahli di dalam berbagai buku yang membahas dan mengkaji
2
BAB II
A. Pengertian Jender
Kata “jender” berasal dari bahasa Inggris, ‘gender’, berarti “ jenis kelamin”. 1
Dalam Webster’s New World Dictionary, jender diartikan sebagai “perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.”2
konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku,
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction
perempuan( cultural expectation for women and men). 4 Pendapat ini sejalan
1
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet XII,
1983, hal. 255. Sebenarnya arti ini kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan
pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin. Persoalannya karena kata jender termasuk kosa
kata baru sehingga pengertiannya belum ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
2
Lihat : Victoria Neufeldt, Webster’s New World Dictionary, New York: Webster’s New
World Clevenland, 1984, hal. 561.
3
Helen Tierney, Women’s studies Encyclopedia, Vol. I, New York: Green Wood Press, hal.
153.
4
Hilary M. Lips, Sex and Gender: An Introduction, London: Mayfield Publishing Company,
1993, hal. 4.
3
laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian jender (What a given society
H.T. Wilson dalam Sex and Gender , mengartikan jender sebagai suatu dasar
kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-
Menteri Negara Urusan peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Jender diartikannya
sebagai “interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa jender adalah suatu
dilihat dari segi sosial-budaya. Jender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan
5
Linda L. Lindsey, Gender Roles: a Sociological perspective, New Jersey : Prentice Hall,
1990, hal. 2.
6
Lihat H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, Leiden, New
York, Kobenhavn, Koln: E. J. Brill, 1989, h.2.
7
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III: Pengantar Teknik Analisa
Jender, 1992, h. 3.
8
Nasaruddin umar, Argumen Kesetaraan Jender perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina,
cet I, hal, 35.
4
B. Identitas Jender
Ketika seorang anak dilahirkan, maka pada saat itu anak sudah dapat dikenali,
apakah seorang laki-laki atau perempuan, berdasarkan alat jenis kelamin yang
dimilikinya. Maka pada saat yang sama ia memperoleh tugas dan beban jender
beban jender soerang anak laki-laki lebih dominan dibandingkan anak perempuan.
memerlukan waktu dan proses sejarah yang panjang, dan ada berbagai faktor
kondisi obyektif geografis, seperti ekologi. Dalam masyarakat yang hidup di daerah
padang pasir, dimana populasi dan kerapatan penduduknya jarang( sedikit sekali),
lapangan penghidupan yang begitu sulit, sudah barang tentu melahirkan sistem
sosial-budaya tersendiri.
Dalam masyarakat lintas budaya, pola penentuan beban jender lebih banyak
mengacu kepada faktor biologis atau jenis kelamin. Peninjauan kembali beban
jender yang dinilai ‘kurang adil’ merupakan tugas berat bagi umat manusia.
Identifikasi beban jender lebih dari sekedar pengenalan terhadap alat kelamin, tetapi
Menurut Suzanne J. Kessler dan Wendy McKenna, istilah yang lebih tepat dalam
5
masalah tersebut bukan peninjauan kembali beban jender, melainkan peninjauan
kembali beban jender di dalam masyarakat, karena konsepsi beban jender pada
seorang anak lebih banyak sebagai akibat stereotip jender di dalam masyarakat.9
9
Nasaruddin umar, Argumen Kesetaraan Jender…, hal. 37-38.
6
BAB III
Dalam dua dekade terakhir kelompok feminis memunculkan beberapa teori yang
a. Feminisme Liberal
Tokoh aliran ini antara lain Margaret Fuller (1810-1850), Harriet Martineau
Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan,
diciptakan seimbang dan serasi, mestinya tidak terjadi penindasan antara satu
ontologis keduanya sama, hak-hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak
perempuan.
secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal, terutama
10
Lihat: Velery Bryson, Feminist Political Theory: an Introduction, London: Macmillan,
1992, hal, 37.
7
yang berhubungan dengan fungsi reproduksi, aliran ini masih tetap memandang
perlu adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi
bermasyarakat.
luar rumah. Dengan demikian tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang
lebih dominan. Kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan
berbagai peran, seperti dalam peran sosial, ekonomi dan politik. Organ reproduksi
b. Feminisme Marxis-Sosialis
Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan Rusia dengan menampilkan beberapa
tokohnya, seperti Clara Zetkin ( 1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871- 1919).
jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis
kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini
menolak anggapan tradisional dan para teolog bahwa status perempuan lebih rendah
dari pada laki-laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah.
11
Lihat: Velery Bryson, Feminist Political Theory…, hal. 10-11.
8
Agak mirip dengan teori konflik, kelompok ini menganggap posisi inferior
perempuan berkaitan dengan struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis.
adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja
tanpa upah bagi perempuan di dalam lingkungan rumah tangga. Isteri mempunyai
terhadap status perempuan, karena itu, untuk mengangkat harkat dan martabat
Bedanya dengan teori konflik dan teori Marx- Engels, teori ini tidak terlalu
menekankan faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka
dasar idiologi sebagaimana halnya dalam teori konflik, tetapi teori ini lebih
c. Feminisme Radikal
Aliran ini muncul pada permulaan abad ke-19 dengan mengangkat isu besar,
9
patriarki yang dinilai merugikan perempuan,, karena term ini jelas-jelas
menguntungkan laki-laki. Lebih dari itu, diantara kaum feminis radikal ada yang
lebih ekstrem, tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki, tetapi juga
persamaan seks, dalam arti kepuasan seksual juga bisa diperoleh dari sesama
bukan saja dalam hal pemenuhan kebutuhan kebendaan tetapi juga pemenuhan
adalah masalah psikologis, melalui berbagai latihan dan pembiasaan, kepuasan itu
penindasan yang teramat panjang di dunia. Penindasan karena ras, perbudakan, dan
warna kulit dapat segera dihentikan dengan resolusi atau peraturan, tetapi
pemerasan secara seksual teramat susah dihentikan, dan untuk itu diperlukan
Aliran ini dapat tantangan luas, bukan saja dari kalangan sosiolog tapi juga dari
kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal yang banyak berfikir realistis tidak
setuju sepenuhnya dengan pendapat ini. Persamaan secara total pada akhirnya
12
Caroline Ramazanoglu, Feminism and Contradiktion, London: Routledge, 1989, hal. 12.
10
merepotkan dan merugikan perempuan itu sendiri. Laki-laki yang tanpa beban
memperjuangkan kemerdekaan dan persamaan status dan peran sosial antara laki-
laki dan perempuan sehingga tidak lagi terjadi ketimpangn jender di dalam
masyarakat.
11
BAB IV
salah satu faktor utama yang menentukan status seseorang. Dapat dimaklumi bahwa
kedudukan sosial bagi laki-laki dan perempuan. Dalam abad ke-19 perempuan
perkembangan yang sangat pesat. Pada saat yang sama mereka juga menyadari
ganda, disamping berperan sebagai ibu rumah tangga juga melakukan peran di luar
baru bagi perempuan-perempuan barat untuk ikut serta terlibat di sektor publik.
Mereka menuntut hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki, seperti memperoleh
12
Untuk pertama kalinya tuntutan persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan
tuntutan persamaan hak yang dicetuskan di Eropa itu, belum dapat direalisasikan
dengan segera mengingat situasi dunia yang dilanda Perang Dunia I dan II. Setelah
dominasi laki-laki. Perempuan sudah mulai terjun di dunia pendidikan tinggi, dan
ini memberikan daya dukung terhadap peningkatan taraf hidup dan martabat kaum
peningkatan.
sektor publik, terutama di Negara-negara maju seperti di Amerika Utara dan Eropa.
Sejak tahun 1967, menurut Chinthia F. Epstein, kekuatan tenaga kerja perempuan
sudah mencapai 35% dari keseluruhan angkatan tenaga kerja. Angka ini cenderung
13
semakin bertambah, meskipun masih banyak hambatan yang dihadapkan kepada
perempuan.13
Menurut Johnson, ada beberapa hal yang dapat menjadi indikator penghambat
perubahan sosial dalam kaitannya dengan tuntutan persamaan hak laki-laki dan
perempuan.14
a. Struktur Sosial
luar rumah.
Dalam struktur sosial, posisi perempuan yang demikian itu sulit mengimbangi
posisi laki-laki. Perempuan yang ingin berkiprah di lingkungan publik, masih sulit
ini kurang berdaya untuk menghindar dari beban ganda tersebut karena tugasnya
sebagai pengasuh anak sudah merupakan persepsi budaya secara umum. Kontrol
13
Chinthia Fuuchs Epstein, Woman’s Place, Bercley, Los Angeles, and London: University
of California Press, 1970, hal. 15.
14
Johnson Allan G., Human Arrangements an Introduction to Sociology, San Diego, New
York,1986, hal. 426-427.
14
Sebagai contoh dapat dikemukakan, meskipun aborsi berada di bawah kekuasaan
seorang ibu yang mengandungnya, ia tetap tidak bebas melakukannya, karena nilai-
nilai budaya dan agama pada umumnya tidak mentolerir perbuatan itu, padahal
mungkin hal ini salah satu upaya dalam mengontrol beban perempuan.
untuk mengejar karier, siapa yang akan memelihara anak-anaknya?”, karena dalam
masyarakat industri tetap dipisahkan antara urusan keluarga dan produksi. Hal ini
kurang disadari oleh kaum perempuan sendiri. Bahkan tidak jarang kelompok
15
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender,….hal, 87.
15
Dalam sejarah, kaum perempuan telah memberikan kontribusi terhadap
perjuangan keadilan sosial, misalnya penghapusan perbudakan pada awal abad ke-
19 dan perjuangan serikat pekerja di akhir abad ke-19, dan perjuangan hak-hak
Berbeda dengan minoritas dalam soal etnis, ras, dan agama; posisi minoritas
diperlukan secara wajar, hak-hak perempuan sebagai salah satu bagian minoritas
c. Pengaruh Mitos
perempuan dikonstruksi oleh mitos. Mulai mitos tulang rusuk asal-usul kejadian
cenderung mengesankan perempuan sebagai the second creation dan the second sex.
dalam bahasa agama maka pengaruhnya akan bertambah kuat, karena kitab suci
bagi para pemeluknya adalah bukan mitos tetapi bersumber dari Tuhan Yang Maha
16
Tahu. Sehubungan dengan ini D.L. Carmodi mengungkapkan bahwa sejumlah
mitos tidak dapat ditolak karena sudah menjadi bagian dari kepercayaan berbagai
agama. Pengaruh dari cerita-cerita dalam berbagai kitab suci disebutnya sebagai
berbagai faktor dalam sejarah panjang umat manusia. Boleh saja sebuah teori
menjelaskan latar belakang penyebabnya, tetapi teori-teori lain tidak dengan mudah
bab ini menunjukkan bahwa persoalan jender adalah suatu masalah yang peka dan
rumit, tidak mungkin diselesaikan hanya dengan suatu disiplin ilmu, tetapi
16
Denise Lardner Carmody, Mythological Woman, Contemporary Reflection on Ancient
Relegious Stories, New York: Crossroad, 1992, hal. 154-155.
17
BAB V
Setelah mengkaji makna jender versi barat dan semua teori-teori kaum feminis
tentang jender, tentunya timbul pertanyaan besar di setiap benak kita selaku
Muslimah, apakah kita patut meneriakkan apa yang digaung-gaungkan oleh barat
perempuan secara professional serta mengatur peran dan fungsi perempuan sebagai
Dalam Islam pria dan wanita memiliki hak hukum yang sama dalam hal
kejahatan dan hukuman, interaksi keuangan dan hal-hal lainnnya dalam undang-
wilayah tempat syari’at dikritik paling keras oleh barat sebagai deskriminasi jender,
mereka mengatakan pria dan wanita berbagi hak-hak ‘tabahan’ yang berbeda.
menyimpan penghasilan dan kepemilikan barang yang dia perolah atas namanya
sendiri, dan bukan sebagai “harta bersama”. Namun dia dan anak-anaknya memiliki
hak terhadap harta dan penghasilan suaminya. Pria juga bertanggung jawab secara
18
Bahkan andai sangat kaya sekalipun, seorang perempuan tidak pernah harus
finansialnya ini, warisan yan diterimanya hanya 1: 2 dari hak saudara laki-lakinya.
Alasan terhadap peraturan ini adalah walau wanita diperbolehkan bekerja, dia tidak
“sama” seperti yang dimiliki oleh pria jelas-jelas akan meniadakan keuntungan
Namun, hal inilah yang dianggap tidak adil oleh barat. Perempuan tidak bisa
mengembangkan talenta yang dimilikinya, atau pun karier yang akan membuatnya
maju dan berkembang. Hidup selalu harus bergantung pada lelaki. Inilah yang
- Apakah Hak Hukum yang “sama” selalu Berarti Keadilan bagi Wanita?
memilih Negara yang mereka sukai tanpa adanya pengaruh dari orang lain (95%),
19
dan bekerja pada profesi apa pun sesuai kemampuan mereka (88%), antusiasme
Pola yang serupa juga ditemukan di kalangan wanita Yordania. Persentase yang
cukup besar (30%), walaupun masih merupakan minoritas, mereka tidak setuju
bahwa pria dan wanita harus memiliki persamaan hak hukum, walaupun mereka
setuju bahwasanya wanita harus memiliki hak dalam pemilihan suara dan di
lapangan kerja.
Menariknya, para wanita “yang tidak menyetujui” pemberian hak hukum yang
“sama” dengan pria, tidak kalah terdidiknya dibandingkan dengan para wanita yang
mendukung dan menyetujui adanya persamaan hak pria dan wanita tersebut.
hukum.
hukum yang “sama” tidak selalu berarti keadilan bagi wanita karena pria dan wanita
memiliki peranan yang berbeda dalam keluarga. Sesuai dengan perkataan seorang
seorang petani dan seorang tukang kayu ‘sebuah palu’ sebagai alat untuk
mereka bekerja, memang memperlakukan mereka secara sama, tetapi tidak adil.”
17
John L. Esposito & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara, Bandung: Mizan, cet I, 2008,
hal. 153.
20
Masalah terbesar yang dialami oleh wanita muslimah di dunia sekarang ini adalah
bagaimana pendapat para wanita muslim sendiri terhadap hukum agama mereka.
Irak itu dan perasaan sebenarnya yang terukur dari data survey yang representatif.
Artikel Washington Post yang tampaknya bisa dipercaya itu tidak memuat satu pun
menentang pemisahan agama dari kekuasaan politik, dan 81% berpendapat bahwa
21
otoritas keagamaan seharusnya berperan langsung dalam pembuatan undang-
undang keluarga.18
Apakah para Muslimah yang relatif berpendidikan dan sadar tentang hak-hak
mereka, membeci Islam? Tidak demikian berdasarkan data yang kami peroleh.
Salah satu tema paling tegas yang muncul dari penelitian atas dunia Muslim adalah
yang sangat penting dalam hidup”. Dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
“keterikatan terhadap nilai-nilai spiritual dan moral mereka adalah penting bagi
kemajuan mereka”. Ketika ditanya tentang apa yang paling mereka sukai dari
Tidak ada perbedaan jender dalam jawaban yang diberikan. Seperti kaum pria,
sangat penting dalam kehidupan pribadi mereka dan merupakan asset masyarakat
18
John L. Esposito & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara…, hal. 146-147.
19
Hasil Wawancara dan survei yang dilakukan oleh Gallup World Poll, yang menggemparkan
mencakup 1,3 miliar Muslim di seluruh dunia.
22
yang paling mereka banggakan dari dunia Muslim, lebih tinggi dibandingkan
persentase pria.
b. Muslimah Mesir
Buku berjudul” Politic of Piety : The Islamic Revival and Feminist Subject”
sebuah masjid di sebuah daerah kelas menengah di pinggir Kota Kairo, Samira
kembali apa yang mereka percayai sebagai aset terbesar masyarakat mereka: Islam.
“Pandangan, pakaian, minuman, dan makanan kita haruslah untuk Allah dan karena
cinta kita kepada-Nya,” katanya. “mereka (Barat) akan memberi tahu Anda bahwa
cara hidup seperti ini tidak beradab: jangan dengarkan mereka, karena Anda tahui
peradaban sejati kita, umat Islam, adalah kedekatan kita dengan Allah”.20
“Tantangan yang kita hadapi sebagai Muslim pada saat ini adalah bagaimana
agar kita bisa mengerti dan mengikuti contoh yang diberikan Rasulullah,
bagaimana agar sikap kita sejalan dengan al-Qur’an dan hadis dalam kehidupan
sehari-hari. Kita semua mengetahui dasar-dasar agama, seperti shalat, puasa, dan
kegiatan ibadah lainnya. Namun, pertanyaan rumit yang kita hadapi sehari-hari
sebagai seorang Muslim adalah bagaimana menyelaraskan kesseharian kita
dengan agama kita, sementara pada saat yang bersamaan, juga bergerak maju
bersama dunia.”
20
Mahmood, S. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. (New Jersey:
Princeton University Press, 2005) hal. 44-45.
23
Keinginan Faiza untuk melihat Islam sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar
ritual pribadi bukanlah hal yang aneh. Mayoritas perempuan di sebagian Negara
c. Muslimah Saudi
Sebagai contoh, ketika panitia khusus yang terdiri atas perwakilan Gubernur
Makkah, Ketua Badan Urusan Dua Masjid Suci, dan Institut Raja Fahd untuk Riset
Haji mengusulkan untuk memindahkan lokasi shalat wanita yang ada sekarang ini,
dari mataf (area tawaf) ke dua lokasi lain di lantai dasar di sisi Utara Masjidil
perempuan untuk memiliki tempat shalat yang lebih luas, dan mereka aman dari
21
Ahsan S. (2 September 2006). “Chorus Get Louder: Resentment Grows Against Plan to
Shift Women Praying Area in Grand Mosque” The Saudi Gazette. 8 September 2007 http:
//www.saudigazette.com.sa
24
Para wanita berhasil menentang ususlan ini bukan dengan menggunakan alasan
sekuler atau karena tekanan internasional dari organisasi hak asasi manusia,
melainkan dengan alasan bahwa hal ini bertentangan dengan ajaran Islam.
sebelumnya dalam sejarah Islam” tulis seorang sejarahwan perempuan Islam dan
seorang pengarang, Hatoon Al-Fassi.22 Kedua jenis kelamin mempunyai hak yang
sama jika berkenaan dengan pelaksanaan kewajiban agama dan dalam hal ganjaran
dan hukuman. Rasululah telah memerintahkan bahwa para wanita tidak boleh
mengatakan, “Saya yakin mereka tidak akan menerima usaha tersebut, yang
melanggar semangat dan pesan Islam yang diturunkan untuk seluruh umat manusia
sedunia dari Arab Saudi, berpendapat bahwa usulan tersebut bersifat diskriminatif
dan karena itu tidak dapat diterima dari segi Agama. “Laki-laki maupun perempuan
22
Al-Iqtissadiya. (29 Agustus 2006). Surat kabar berbahasa Arab.
23
Al-Jazeera & Reuters. (15 September 2006). “Women Face Curbs in Makka Mosque”. Al-
Jazeera.net. http: English.al-jazeera.net
25
d. Tentang Muslimah Pakistan
penganjur hak-hak wanita, berpendapat bahwa cara paling efektif untuk melawan
praktik-praktik yang merugikan wanita yang dilakukan atas nama syari’at adalah
jika mendapat serangan keras dari organisasi hak asasi manusia. Dalam undang-
saksi laki-laki dewasa untuk menuntut penyerangnya. Tidak hanya itu, jika si
korban hamil karena kejadian ini, dia dapat menghadapi tuduhan perzinahan
syari’at itu sendiri. Pendekatan ini menghasilkan reaksi pembelaan diri dari Negara
benar menodai syari’at dan karena itu harus dicabut. Para penganjur hak asasi
26
undang tentang perkosaan tahun 1979 dengan pasal Undang-Undang Perlindungan
Wanita.
Kasus ini melibatkan prakarsa yang dipimpin oleh para Muslimah. Namun,
terdapat juga contoh keberhasilan advokasi Barat yang peduli dengan cara bekerja
dalam kerangka ajaran Islam dan membawa perubahan positif. Tahun 2000,
sebuah organisasi hak asasi manusia yang didedikasikan untuk melawan mutilasi
alat kelamin wanita ( sunat wanita). Dia menganggap bahwa praktik ini melanggar
100 juta hingga 140 juta gadis dan wanita dalam setahun, baik dalam maupun di
90% wanita di Mesir, Mali, Papua Nugini dan Sudan disunat. Sementara hampir
tidak ada wanita Irak, Iran, dan Arab Saudi disunat. Kemanapun ia pergi Nehberg
mengatakan bahwa, “kebiasaan ini hanya dapat diakhiri dengan kekuatan Islam.”
Pada Desember 2006, sebuah pertemuan yang dihadiri para Ulama papan atas,
dengan tuan rumah Mufti Mesir, Ali Jum’ah, dan Ulama Mesir yang terkenal,
Yusuf Qaradhawi, sepakat bahwa praktik mutilasi alat kelamin wanita tidak dapat
sepenuhnya fenomena baru. Sebagai contoh sebuah kejadian yang terkenal pada
27
pemimpin politik dan keagamaan yang tertinggi dengan berdasarkan al-Qur’an.
Ketika Umar bin Khatthab, khalifah kedua Islam Sunni, mengajukan batasan
jumlah yang dapat diminta perempuan sebagai mahar yang akan diterimanya pada
sesuatu yang tidak dibatasi Allah?” lalu dia membacakan ayat yang menjamin hak
wanita untuk menerima mahar secara secara utuh. Dan Umar pun menyadari
dalam menentang sesuatu yang bertentangan dengan syari’at. Dan hak ini diberikan
pada porsi yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Bukankah kisah ini
awal datangnya syari’at Islam. Jadi, patutkah para Muslimah latah dan mendukung
28
BAB IV
KESIMPULAN
Perbedaan laki-laki dan perempuan tidak cukup hanya dikaji secara biologis
Studi jender ini lah yang terkesan selalu aktual. Apalagi belakangan ini di
adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan wacana tentang jender ini
Bangkitnya feminis Muslim seperti Fatima Mernissi (Maroko) dan Riffat Hasan
(Pakistan) yang menggugat sejumlah penafsiran, baik al-Qur’an atau hadis, dan
termasuk para Muslimah- dari kungkungan adat, budaya dan doktrin agama yang
digelutinya.
Tapi ternyata “niat baik” para feminis barat itu ternyata tidak cocok untuk
perempuan Muslim. Karena perempuan Muslim sama sekali tidak pernah merasa
perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebagai suatu ketimpangan. Dan sejak
awal syari’at datang, perempuan Muslim telah merasakan bahwa derajat dan hak-
29
DAFTAR PUSTAKA
John L. Esposito & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara, Mizan Pustaka,
Bandung, Cet I, 2007.
Muhammad Ali al-Allawi, The Great Women, Pena Pundi Aksara, Jakarta, cet
II, 2006.
Asma Muhammad Ziyadah, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam, Al-
Kausar, Jakarta, 2001.
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Gema Insani Press, jld. II,
Jakarta, 1997.
30