Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik

dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat.

Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang

timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan

jenis kelamin melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap

perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut jender.

Perbedaan genetis antara laki-laki dan perempuan perlu dibahas lebih cermat dan

hati-hati, karena kesimpulan yang keliru mengenai hal ini tidak hanya akan

berdampak pada persoalan sains semata, tapi juga mempunyai dampak lebih jauh

kepada persoalan asasi kemanusiaan.

Di Barat, berkembang anggapan bahwa relasi jender sepenuhnya ditentukan oleh

lingkungan budaya. Ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan merupakan

salah satu penindasan. Inilah yang digaungkan oleh kelompok feminisme yang

ingin membebaskan para perempuan di dunia agar memiliki hak dan kewajiban

yang sama dengan laki-laki. Sehingga perempuan-perempuan di seluruh dunia tidak

lagi didominasi dan dinomor duakan oleh lelaki.

Anggapan dan persepsi kaum Feminis tentang kesetaraan hak dan kewajiban

antara laki-laki dan perempuan itu lahir disebabkan oleh keadaan dan budaya

mereka yang memperlakukan para wanita secara tidak wajar. Sehingga wanita barat

menuntut kebebasan layaknya sebagai manusia yang memiliki hak sama seperti

1
laki-laki. Tapi ini akan jauh berbeda dengan apa yang dialami dan di rasakan oleh

perempuan-perempuan Islam( Muslimah).

Semua tuntutan-tuntutan pembebasan hak perempuan yang di teriakkan oleh

kaum feminis tidak cocok untuk wanita-wanita Islam. Karena Islam telah

memberikan dan mengatur semuanya secara sempurna. Sehingga semua perbedaan

jenis kelamin, peran, hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan merupakan

bentuk kesempurnaan dan faktor utama dari terciptanya ketentraman dan

keharmonisan relasi antara laki-laki dan perempuan.

Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis ingin memaparkan apakah para

Muslimah juga harus menyuarakan apa yang dituntut oleh perempuan-perempuan

Barat? Bagaimanakah perasaan para Muslimah tentang Islam dan Hukum Agama

mereka? Dan apakah “Hak hukum yang sama” selalu berarti keadilan bagi wanita?

Dalam tulisan ini, dirujuk sejumlah pembahasan yang bersifat psikologis dan

antropologis. Namun, penulis tidak menerapkan secara khusus metodologinya.

Penulis merasa cukup dengan mengambil hasil-hasil penelitian standar yang telah

dilakukan oleh para ahli di dalam berbagai buku yang membahas dan mengkaji

tentang jender ini.

2
BAB II

PENGERTIAN DAN IDENTITAS JENDER

A. Pengertian Jender

Kata “jender” berasal dari bahasa Inggris, ‘gender’, berarti “ jenis kelamin”. 1

Dalam Webster’s New World Dictionary, jender diartikan sebagai “perbedaan yang

tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.”2

Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu

konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku,

mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang

berkembang dalam masyarakat.3

Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction

mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan

perempuan( cultural expectation for women and men). 4 Pendapat ini sejalan

dengan pendapat umumnya kaum feminis seperti Linda L. Lindsey, yang

menganggap semua ketetapan masyarakat prihal penentuan seseorang sebagai laki-

1
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet XII,
1983, hal. 255. Sebenarnya arti ini kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan
pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin. Persoalannya karena kata jender termasuk kosa
kata baru sehingga pengertiannya belum ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
2
Lihat : Victoria Neufeldt, Webster’s New World Dictionary, New York: Webster’s New
World Clevenland, 1984, hal. 561.
3
Helen Tierney, Women’s studies Encyclopedia, Vol. I, New York: Green Wood Press, hal.
153.
4
Hilary M. Lips, Sex and Gender: An Introduction, London: Mayfield Publishing Company,
1993, hal. 4.

3
laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian jender (What a given society

defines as masculine or feminine is a component of gender).5

H.T. Wilson dalam Sex and Gender , mengartikan jender sebagai suatu dasar

untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan dalam

kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-

laki dan perempuan.6

Meskipun kata gender belum masuk dalam pembendaharaan Kamus Besar

Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di kantor

Menteri Negara Urusan peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Jender diartikannya

sebagai “interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki

dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian

kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”.7

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa jender adalah suatu

konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan

dilihat dari segi sosial-budaya. Jender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan

perempuan dari sudut non-biologis.8

5
Linda L. Lindsey, Gender Roles: a Sociological perspective, New Jersey : Prentice Hall,
1990, hal. 2.
6
Lihat H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, Leiden, New
York, Kobenhavn, Koln: E. J. Brill, 1989, h.2.
7
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III: Pengantar Teknik Analisa
Jender, 1992, h. 3.
8
Nasaruddin umar, Argumen Kesetaraan Jender perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina,
cet I, hal, 35.

4
B. Identitas Jender

Ketika seorang anak dilahirkan, maka pada saat itu anak sudah dapat dikenali,

apakah seorang laki-laki atau perempuan, berdasarkan alat jenis kelamin yang

dimilikinya. Maka pada saat yang sama ia memperoleh tugas dan beban jender

( gender assignment) dari lingkungan budaya masyarakatnya.

Beban jender seseorang tergantung dari nilai-nilai budaya yang berkembang di

dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat petrilineal dan androsentris, sejak awal

beban jender soerang anak laki-laki lebih dominan dibandingkan anak perempuan.

Terciptanya model dan sistem kekerabatan di dalam suatu masyarakat

memerlukan waktu dan proses sejarah yang panjang, dan ada berbagai faktor

kondisi obyektif geografis, seperti ekologi. Dalam masyarakat yang hidup di daerah

padang pasir, dimana populasi dan kerapatan penduduknya jarang( sedikit sekali),

lapangan penghidupan yang begitu sulit, sudah barang tentu melahirkan sistem

sosial-budaya tersendiri.

Dalam masyarakat lintas budaya, pola penentuan beban jender lebih banyak

mengacu kepada faktor biologis atau jenis kelamin. Peninjauan kembali beban

jender yang dinilai ‘kurang adil’ merupakan tugas berat bagi umat manusia.

Identifikasi beban jender lebih dari sekedar pengenalan terhadap alat kelamin, tetapi

menyangkut nilai-nilai fundamental yang telah membudaya di dalam masyarakat.

Menurut Suzanne J. Kessler dan Wendy McKenna, istilah yang lebih tepat dalam

5
masalah tersebut bukan peninjauan kembali beban jender, melainkan peninjauan

kembali beban jender di dalam masyarakat, karena konsepsi beban jender pada

seorang anak lebih banyak sebagai akibat stereotip jender di dalam masyarakat.9

9
Nasaruddin umar, Argumen Kesetaraan Jender…, hal. 37-38.

6
BAB III

KONSEP JENDER FEMINIS BARAT

Dalam dua dekade terakhir kelompok feminis memunculkan beberapa teori yang

secara khusus menyoroti kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat.

Feminis berupaya menggugat kemapanan patriarki dan berbagai bentuk stereotip

jender lainnya yang berkembang luas di dalam masyarakat.

Pandangan feminis terhadap perbedaan peran jender laki-laki dan perempuan

secara umum dapat dikategorikan kepada tiga kelompok seperti berikut.

a. Feminisme Liberal

Tokoh aliran ini antara lain Margaret Fuller (1810-1850), Harriet Martineau

(1802-1876), Anglina Grimke (1792-1873) dan Susan Anthony( 1820-1906).10

Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan,

diciptakan seimbang dan serasi, mestinya tidak terjadi penindasan antara satu

dengan lainnya. Feminism liberal diinspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa

laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususan-kekhususan. Secara

ontologis keduanya sama, hak-hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak

perempuan.

Meskipun dikatakan feminism liberal, kelompok ini tetap menolak persamaan

secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal, terutama

10
Lihat: Velery Bryson, Feminist Political Theory: an Introduction, London: Macmillan,
1992, hal, 37.

7
yang berhubungan dengan fungsi reproduksi, aliran ini masih tetap memandang

perlu adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi

organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekwensi logis di dalam kehidupan

bermasyarakat.

Kelompok ini termasuk paling moderat di antara kelompok feminis. Kelompok

ini membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki. Mereka menghendaki agar

perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua peran, termasuk bekerja di

luar rumah. Dengan demikian tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang

lebih dominan. Kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan

structural secara menyeluruh, tetapi cukup melibatkan perempuan di dalam

berbagai peran, seperti dalam peran sosial, ekonomi dan politik. Organ reproduksi

bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut.11

b. Feminisme Marxis-Sosialis

Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan Rusia dengan menampilkan beberapa

tokohnya, seperti Clara Zetkin ( 1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871- 1919).

Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan

jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis

kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini

menolak anggapan tradisional dan para teolog bahwa status perempuan lebih rendah

dari pada laki-laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah.

11
Lihat: Velery Bryson, Feminist Political Theory…, hal. 10-11.

8
Agak mirip dengan teori konflik, kelompok ini menganggap posisi inferior

perempuan berkaitan dengan struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis.

Feminis sosialis berpendapat bahwa ketimpangan jender di dalam masyarakat

adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja

tanpa upah bagi perempuan di dalam lingkungan rumah tangga. Isteri mempunyai

ketergantungan lebih tinggi pada suami daripada sebaliknya. Perempuan senantiasa

mencemaskan keamanan ekonominya, karenanya mereka memberikan dukungan

kekuasaan kepada suaminya.

Struktur ekonomi atau kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif

terhadap status perempuan, karena itu, untuk mengangkat harkat dan martabat

perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan peninjauan kembali

structural secara mendasar, terutama dengan menghapuskan dikotomi pekerjaan

sektor domestik dan sektor publik.

Bedanya dengan teori konflik dan teori Marx- Engels, teori ini tidak terlalu

menekankan faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka

dasar idiologi sebagaimana halnya dalam teori konflik, tetapi teori ini lebih

menyoroti faktor seksualitas dan jender dalam kerangka dasar idiologinya.

c. Feminisme Radikal

Aliran ini muncul pada permulaan abad ke-19 dengan mengangkat isu besar,

menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti lembaga

9
patriarki yang dinilai merugikan perempuan,, karena term ini jelas-jelas

menguntungkan laki-laki. Lebih dari itu, diantara kaum feminis radikal ada yang

lebih ekstrem, tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki, tetapi juga

persamaan seks, dalam arti kepuasan seksual juga bisa diperoleh dari sesama

perempuan sehingga mentolerir praktek lesbian. 12

Menurut kelompok ini, perempuan tidak harus tergantung kepada laki-laki,

bukan saja dalam hal pemenuhan kebutuhan kebendaan tetapi juga pemenuhan

kebutuhan seksual kepada sesame perempuan. Kepuasan seksual dari laki-laki

adalah masalah psikologis, melalui berbagai latihan dan pembiasaan, kepuasan itu

dapat terpenuhi dari sesama perempuan.

Aliran ini juga mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan

mengungkapkan fakta bahwa laki-laki adalah masalah bagi perempuan. Laki-laki

selalu mengekploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai dalih.

Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan dinilainya sebagai bentuk

penindasan yang teramat panjang di dunia. Penindasan karena ras, perbudakan, dan

warna kulit dapat segera dihentikan dengan resolusi atau peraturan, tetapi

pemerasan secara seksual teramat susah dihentikan, dan untuk itu diperlukan

gerakan yang mendasar.

Aliran ini dapat tantangan luas, bukan saja dari kalangan sosiolog tapi juga dari

kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal yang banyak berfikir realistis tidak

setuju sepenuhnya dengan pendapat ini. Persamaan secara total pada akhirnya

12
Caroline Ramazanoglu, Feminism and Contradiktion, London: Routledge, 1989, hal. 12.

10
merepotkan dan merugikan perempuan itu sendiri. Laki-laki yang tanpa beban

organ reproduksi secara umum akan sulit diimbangi oleh perempuan.

Inti perjuangan semua aliran feminisme tersebut di atas ialah berupaya

memperjuangkan kemerdekaan dan persamaan status dan peran sosial antara laki-

laki dan perempuan sehingga tidak lagi terjadi ketimpangn jender di dalam

masyarakat.

11
BAB IV

JENDER DAN PERUBAHAN SOSIAL

Jender sebagaimna halnya kelompok etnis, dalam banyak masyarakat merupakan

salah satu faktor utama yang menentukan status seseorang. Dapat dimaklumi bahwa

persoalan jender berpotensi untuk menimbulkan konflik dan perubahan sosial,

karena sistem patriarki yang berkembang luas dalam berbagai masyarakat

menempatkan perempuan pada posisi yang tidak diuntungkan secara kultural,

structural dan ekologis (versi barat). Perempuan dipojokkan ke dalam urusan-

urusan reproduksi seperti menjaga rumah dan mengasuh anak.

Sebagai akibat dari pertumbuhan dan mobilisasi penduduk, urbanisasi dan

revolusi industri menimbulkan berbagai perubahan sosial, termasuk dalam

kedudukan sosial bagi laki-laki dan perempuan. Dalam abad ke-19 perempuan

semakin menyadari kenyataan bahwa di luar sektor domestik telah terjadi

perkembangan yang sangat pesat. Pada saat yang sama mereka juga menyadari

norma-norma di sektor domestik membatasi perempuan untuk melakukan peran

ganda, disamping berperan sebagai ibu rumah tangga juga melakukan peran di luar

rumah tangga. Pembatasan-pembatasan ini menjadi basis tumbuhnya keinginan

baru bagi perempuan-perempuan barat untuk ikut serta terlibat di sektor publik.

Mereka menuntut hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki, seperti memperoleh

pengetahuan keterampilan dan pendidikan tinggi, dan lain sebagainya.

12
Untuk pertama kalinya tuntutan persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan

secara yuridis-formal dicetuskan dalam tahun 1920-an, walaupun belum

mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Mungkin dapat dimaklumi bahwa

tuntutan persamaan hak yang dicetuskan di Eropa itu, belum dapat direalisasikan

dengan segera mengingat situasi dunia yang dilanda Perang Dunia I dan II. Setelah

peperangan itu berakhir, maka perempuan mengalami perkembangan dramatis.

Mereka mulai memasuki berbagai sektor yang sebelumnya menjadi wilayah

dominasi laki-laki. Perempuan sudah mulai terjun di dunia pendidikan tinggi, dan

mereka mulai mendefinisikan kembali peran yang diperolehnya dari masyarakat.

Kemudian dari tahun ke tahun organisasi-organisasi nasional dan internasional

yang concern terhadap status dan kedudukan perempuan semakin berkembang.

Sementara itu perkembangan ekonomi secara global semakin membaik. Semuanya

ini memberikan daya dukung terhadap peningkatan taraf hidup dan martabat kaum

perempuan. Secara kuantitatif dan kualitatif perempuan cenderung mengalami

peningkatan.

Data- data menunjukkan begitu pesat perkembangan perempuan yang bekerja di

sektor publik, terutama di Negara-negara maju seperti di Amerika Utara dan Eropa.

Sejak tahun 1967, menurut Chinthia F. Epstein, kekuatan tenaga kerja perempuan

sudah mencapai 35% dari keseluruhan angkatan tenaga kerja. Angka ini cenderung

13
semakin bertambah, meskipun masih banyak hambatan yang dihadapkan kepada

perempuan.13

Menurut Johnson, ada beberapa hal yang dapat menjadi indikator penghambat

perubahan sosial dalam kaitannya dengan tuntutan persamaan hak laki-laki dan

perempuan.14

a. Struktur Sosial

Posisi perempuan masih sering diperhadap-hadapkan dengan posisi laki-laki.

Posisi perempuan selalu dikaitkan dengan lingkungan domestik yang berhubungan

urusan dengan keluarga dan kerumahtanggaan. Sementara posisi laki-laki sering

dikaitkan dengan lingkungan publik, yang berhubungan dengan urusan-urusan di

luar rumah.

Dalam struktur sosial, posisi perempuan yang demikian itu sulit mengimbangi

posisi laki-laki. Perempuan yang ingin berkiprah di lingkungan publik, masih sulit

melepaskan diri dari tanggungjawab di lingkungan domestik. Perempuan dalam hal

ini kurang berdaya untuk menghindar dari beban ganda tersebut karena tugasnya

sebagai pengasuh anak sudah merupakan persepsi budaya secara umum. Kontrol

budaya agaknya lebih ketat kepada perempuan dari pada laki-laki.

13
Chinthia Fuuchs Epstein, Woman’s Place, Bercley, Los Angeles, and London: University
of California Press, 1970, hal. 15.
14
Johnson Allan G., Human Arrangements an Introduction to Sociology, San Diego, New
York,1986, hal. 426-427.

14
Sebagai contoh dapat dikemukakan, meskipun aborsi berada di bawah kekuasaan

seorang ibu yang mengandungnya, ia tetap tidak bebas melakukannya, karena nilai-

nilai budaya dan agama pada umumnya tidak mentolerir perbuatan itu, padahal

mungkin hal ini salah satu upaya dalam mengontrol beban perempuan.

Dalam masyarakat modern-industri yang memberikan kesempatan kepada

perempuan untuk beremansipasi lebih luas ke berbagai bidang, pada kenyataannya

masih sulit menghindari suatu pertanyaan mendasar “ kalau perempuan diizinkan

untuk mengejar karier, siapa yang akan memelihara anak-anaknya?”, karena dalam

masyarakat industri tetap dipisahkan antara urusan keluarga dan produksi. Hal ini

dijadikan alasan oleh sekelompok kaum feminis untuk menyatakan bahwa

masyarakat industri adalah kelanjutan dari masyarakat tradisional yang tetap

melestariakan sistem patriarki, menyudutkan perempuan ke dalam urusan domestik

dan pada akhirnya melestarikan lingkungan sosial yang didominasi laki-laki.15

b. Perempuan sebagai Kelompok Minoritas Unik

Merupakan suatu kenyataan bahwa posisi lemah perempuan di dalam masyarakat

kurang disadari oleh kaum perempuan sendiri. Bahkan tidak jarang kelompok

perempuan merasa senang walaupun kelompok perempuan lainnya prihatin.

Terhadap suatu fenomena, terkadang sekelompok perempuan meresahkannya tetapi

kelompok perempuan lainnya masih menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.

15
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender,….hal, 87.

15
Dalam sejarah, kaum perempuan telah memberikan kontribusi terhadap

perjuangan keadilan sosial, misalnya penghapusan perbudakan pada awal abad ke-

19 dan perjuangan serikat pekerja di akhir abad ke-19, dan perjuangan hak-hak

asasi manusia lainnya, tetapi ada kecenderungan hal-hal itu dilupakan.

Berbeda dengan minoritas dalam soal etnis, ras, dan agama; posisi minoritas

perempuan cenderung kurang dihormati oleh kaum laki-laki sebagai kaum

mayoritas. Di sejumlah Negara, kelompok etnis, ras, dan agama minoritas

diperlukan secara wajar, hak-hak perempuan sebagai salah satu bagian minoritas

dalam masyarakat masih banyak belum diperhatikan.

c. Pengaruh Mitos

Dalam budaya di berbagai tempat, hubungan-hubungan tertentu laki-laki dan

perempuan dikonstruksi oleh mitos. Mulai mitos tulang rusuk asal-usul kejadian

perempuan sampai mitos-mitos di sekitar mentruasi. Mitos-mitos tersebut

cenderung mengesankan perempuan sebagai the second creation dan the second sex.

Pengaruh mitos-mitos tersebut mengendap di alam bawah sadar perempuan sekian

lama sehingga perempuan menerima kenyataan dirinya sebagai subordinasi laki-

laki dan tidak layak sejajar dengannya.

Mitos-mitos disekitar perempuan memang agak rumit dipecahkan karena

bersinggungan dengan persoalan-persoalan agama. Jika suatu mitos dituangkan ke

dalam bahasa agama maka pengaruhnya akan bertambah kuat, karena kitab suci

bagi para pemeluknya adalah bukan mitos tetapi bersumber dari Tuhan Yang Maha

16
Tahu. Sehubungan dengan ini D.L. Carmodi mengungkapkan bahwa sejumlah

mitos tidak dapat ditolak karena sudah menjadi bagian dari kepercayaan berbagai

agama. Pengaruh dari cerita-cerita dalam berbagai kitab suci disebutnya sebagai

unmythological aspects, 16 karena menurutnya mitologi yang disebutkan dalam

sebuah kitab suci meningkat statusnya menjadi sebuah keyakinan.

Posisi perempuan yang lemah di dalam masyarakat merupakan akumulasi dari

berbagai faktor dalam sejarah panjang umat manusia. Boleh saja sebuah teori

menjelaskan latar belakang penyebabnya, tetapi teori-teori lain tidak dengan mudah

dapat disalahkan karena perempuan memang mempunyai persamaan, seperti mitos

perempuan menstruasi, asal-usul kejadian, dan substansi kejadiannya.

Uraian tentang wawasan jender sebagaimana disajikan secara singkat di dalam

bab ini menunjukkan bahwa persoalan jender adalah suatu masalah yang peka dan

senantiasa menjadi aktual, karena menyangkut aspek keseimbangan potensi dua

jenis kelamin di dalam kehidupan masyarakat. Persoalan jender yang sedemikian

rumit, tidak mungkin diselesaikan hanya dengan suatu disiplin ilmu, tetapi

memerlukan pendekatan multi-disiplin, termasuk disiplin ilmu agama seperti yang

menjadi perhatian penulis.

16
Denise Lardner Carmody, Mythological Woman, Contemporary Reflection on Ancient
Relegious Stories, New York: Crossroad, 1992, hal. 154-155.

17
BAB V

OPINI MUSLIMAH TENTANG JENDER

Setelah mengkaji makna jender versi barat dan semua teori-teori kaum feminis

tentang jender, tentunya timbul pertanyaan besar di setiap benak kita selaku

Muslimah, apakah kita patut meneriakkan apa yang digaung-gaungkan oleh barat

mengenai pembebasan perempuan? Dan menuntut persamaan hak laki-laki dan

perempuan? Padahal jauh sebelumnya Islam sudah memberikan hak-hak

perempuan secara professional serta mengatur peran dan fungsi perempuan sebagai

makhluk yang terhormat, dilindungi dan dijaga.

Dalam Islam pria dan wanita memiliki hak hukum yang sama dalam hal

kejahatan dan hukuman, interaksi keuangan dan hal-hal lainnnya dalam undang-

undang kewarganegaraan. Namun, dalam undang-undang keluarga Muslim inilah

wilayah tempat syari’at dikritik paling keras oleh barat sebagai deskriminasi jender,

mereka mengatakan pria dan wanita berbagi hak-hak ‘tabahan’ yang berbeda.

Sebagai contoh, berdasarkan kesepakatan ahli fiqih, bahwa perempuan tidak

mempunyai kewajiban keuangan (memberi nafkah) terhadap keluarga. Dia berhak

menyimpan penghasilan dan kepemilikan barang yang dia perolah atas namanya

sendiri, dan bukan sebagai “harta bersama”. Namun dia dan anak-anaknya memiliki

hak terhadap harta dan penghasilan suaminya. Pria juga bertanggung jawab secara

finansial terhadap biaya pernikahan, rumah, dan mahar.

18
Bahkan andai sangat kaya sekalipun, seorang perempuan tidak pernah harus

bertanggung jawab secara finansial untuk menanggung nafkah siapapun, bahkan

untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, sebagai “penyeimbang” keuntungan

finansialnya ini, warisan yan diterimanya hanya 1: 2 dari hak saudara laki-lakinya.

Alasan terhadap peraturan ini adalah walau wanita diperbolehkan bekerja, dia tidak

boleh “diwajibkan” bekerja. Karena itulah, kerabat laki-laki yang terdekat

bertanggung jawab terhadap kebutuhan finansialnya. Memberikan wanita hak yang

“sama” seperti yang dimiliki oleh pria jelas-jelas akan meniadakan keuntungan

finansial yang telah dinikmati oleh wanita muslim sejak dulu.

Namun, hal inilah yang dianggap tidak adil oleh barat. Perempuan tidak bisa

mengembangkan talenta yang dimilikinya, atau pun karier yang akan membuatnya

maju dan berkembang. Hidup selalu harus bergantung pada lelaki. Inilah yang

membuat wanita-wanita Muslim terus tertinggal. Begitulah orang barat menilai

bahwa prinsip-prinsip hukum Islam terhadap perempuan membuat mereka

tertinggal dalam pantauan mereka.

- Apakah Hak Hukum yang “sama” selalu Berarti Keadilan bagi Wanita?

Berdasarkan fakta, para perempuan Mesir menyetujui bahwa perempuan harus

memilih Negara yang mereka sukai tanpa adanya pengaruh dari orang lain (95%),

19
dan bekerja pada profesi apa pun sesuai kemampuan mereka (88%), antusiasme

mereka terhadap “persamaan hak hukum” relatif lebih rendah ( 69%).17

Pola yang serupa juga ditemukan di kalangan wanita Yordania. Persentase yang

cukup besar (30%), walaupun masih merupakan minoritas, mereka tidak setuju

bahwa pria dan wanita harus memiliki persamaan hak hukum, walaupun mereka

setuju bahwasanya wanita harus memiliki hak dalam pemilihan suara dan di

lapangan kerja.

Menariknya, para wanita “yang tidak menyetujui” pemberian hak hukum yang

“sama” dengan pria, tidak kalah terdidiknya dibandingkan dengan para wanita yang

mendukung dan menyetujui adanya persamaan hak pria dan wanita tersebut.

Mereka bagaimanapun, lebih mendukung syari’at sebagai satu-satunya sumber

hukum.

Jadi, apakah wanita yang mendukung syari’at menentang persamaan jender?

Jawabannya ”Belum tentu”. Sebagian Muslimah percaya bahwa memiliki hak

hukum yang “sama” tidak selalu berarti keadilan bagi wanita karena pria dan wanita

memiliki peranan yang berbeda dalam keluarga. Sesuai dengan perkataan seorang

wanita Mesir yang memberikan ibarat dengan ungkapan berikut: “Memberi

seorang petani dan seorang tukang kayu ‘sebuah palu’ sebagai alat untuk

mereka bekerja, memang memperlakukan mereka secara sama, tetapi tidak adil.”

17
John L. Esposito & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara, Bandung: Mizan, cet I, 2008,
hal. 153.

20
Masalah terbesar yang dialami oleh wanita muslimah di dunia sekarang ini adalah

berkembangnya isu-isu negatif yang selalu menyudutkan syari’at Islam dalam

memperlakukan perempuan. Untuk itu ada baiknya penulis juga menyajikan

bagaimana pendapat para wanita muslim sendiri terhadap hukum agama mereka.

- Para Muslimah Bicara Tentang Islam dan Hukum Agama Mereka.

a. Suara Perempuan Irak

Dewan pemerintahan Irak…pada akhir Desember memerintahkan “pembatalan”


undang-undang keluarga. Hal-hal semacam ini ditempatkan di bawah yurisdiksi
doktrin hukum Islam yang ketat, yang dikenal dengan syari’at.
Pekan ini, perempuan-perempuan Irak yang marah- dari hakim sampai menteri
kabinet- mengutuk keputusan tersebut dengan turun ke jalan serta melalui
konferensi.

The Washington post


15 Januari 2004

Jejak pendapat yang dilakukan di Irak setelah pemilihan Dewan Pemerintah

memperlihatkan kesenjangan antara gambaran tentang perasaan perempuan Muslim

Irak itu dan perasaan sebenarnya yang terukur dari data survey yang representatif.

Artikel Washington Post yang tampaknya bisa dipercaya itu tidak memuat satu pun

opini perempuan yang mendukung penempatan undang-undang keluarga di bawah

aturan syari’at dalam perundang-undangan Irak. Sebenarnya, 58% perempuan Irak

menentang pemisahan agama dari kekuasaan politik, dan 81% berpendapat bahwa

21
otoritas keagamaan seharusnya berperan langsung dalam pembuatan undang-

undang keluarga.18

Apakah para Muslimah yang relatif berpendidikan dan sadar tentang hak-hak

mereka, membeci Islam? Tidak demikian berdasarkan data yang kami peroleh.

Salah satu tema paling tegas yang muncul dari penelitian atas dunia Muslim adalah

pentingnya keimanan dalam kehidupan pribadi umat dan masyarakat pada

umumnya. Mayoritas penduduk Muslim mengatakan, “agama merupakan bagian

yang sangat penting dalam hidup”. Dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya,

aspek yang sering dihubungkan dengan masyarakat Muslim rata-rata adalah

“keterikatan terhadap nilai-nilai spiritual dan moral mereka adalah penting bagi

kemajuan mereka”. Ketika ditanya tentang apa yang paling mereka sukai dari

masyarakat mereka sendiri, jawaban yang paling sering diberikan terhadap

pertanyaan terbuka ini adalah “ keimanan/keikhlasan/keterikatan terhadap

kepercayaan agama/ keterikatan atau penghargaan terhadap ajaran Islam”.19

Tidak ada perbedaan jender dalam jawaban yang diberikan. Seperti kaum pria,

para wanita Muslim dengan bersemangat mengatakan bahwa keimanan mereka

sangat penting dalam kehidupan pribadi mereka dan merupakan asset masyarakat

yang terbesar. Di beberapa Negara, seperti Mesir, Maroko, dan Yordania,

persentase wanita yang mengatakan bahwa keimanan masyarakat merupakan hal

18
John L. Esposito & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara…, hal. 146-147.
19
Hasil Wawancara dan survei yang dilakukan oleh Gallup World Poll, yang menggemparkan
mencakup 1,3 miliar Muslim di seluruh dunia.

22
yang paling mereka banggakan dari dunia Muslim, lebih tinggi dibandingkan

persentase pria.

b. Muslimah Mesir

Buku berjudul” Politic of Piety : The Islamic Revival and Feminist Subject”

membahas Hajjah Samira, seorang wanita pemimpin kelompok kajian agama di

sebuah masjid di sebuah daerah kelas menengah di pinggir Kota Kairo, Samira

mewakili pergerakan wanita yang sedang marak, yang berusaha menghidupkan

kembali apa yang mereka percayai sebagai aset terbesar masyarakat mereka: Islam.

“Pandangan, pakaian, minuman, dan makanan kita haruslah untuk Allah dan karena

cinta kita kepada-Nya,” katanya. “mereka (Barat) akan memberi tahu Anda bahwa

cara hidup seperti ini tidak beradab: jangan dengarkan mereka, karena Anda tahui

peradaban sejati kita, umat Islam, adalah kedekatan kita dengan Allah”.20

Hajjah Faiza, pemimpin lain dalam pergerakan yang sama, menjelaskan

bagaimana dia berusaha membawa Islam kembali masuk ke dalam kehidupan

masyarakat sehari-hari- untuk mengubahnya dari kehidupan ritual belaka menjadi

realitas hidup dalam cara orang-orang berinteraksi:

“Tantangan yang kita hadapi sebagai Muslim pada saat ini adalah bagaimana
agar kita bisa mengerti dan mengikuti contoh yang diberikan Rasulullah,
bagaimana agar sikap kita sejalan dengan al-Qur’an dan hadis dalam kehidupan
sehari-hari. Kita semua mengetahui dasar-dasar agama, seperti shalat, puasa, dan
kegiatan ibadah lainnya. Namun, pertanyaan rumit yang kita hadapi sehari-hari
sebagai seorang Muslim adalah bagaimana menyelaraskan kesseharian kita
dengan agama kita, sementara pada saat yang bersamaan, juga bergerak maju
bersama dunia.”

20
Mahmood, S. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. (New Jersey:
Princeton University Press, 2005) hal. 44-45.

23
Keinginan Faiza untuk melihat Islam sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar

ritual pribadi bukanlah hal yang aneh. Mayoritas perempuan di sebagian Negara

Muslim yang diteliti menyatakan bahwa hendaknya syari’at setidaknya menjadi

salah satu sumber undang-undang. Sebagai tambahan, sebagian besar perempuan

menyatakan bahwa agama memainkan peranan yang penting dalam kehidupan

pribadi mereka. Bersamaan dengan itu, mayoritas perempuan menegaskan hak

mereka untuk ikut menempati kedudukan tertinggi dalam pemerintahan. Para

Muslimah tidak memandang Islam sebagai hambatan terhadap kemajuan mereka:

bahkan, banyak yang melihatnya sebagai bagian penting kemajuan mereka.

c. Muslimah Saudi

Sebagai contoh, ketika panitia khusus yang terdiri atas perwakilan Gubernur

Makkah, Ketua Badan Urusan Dua Masjid Suci, dan Institut Raja Fahd untuk Riset

Haji mengusulkan untuk memindahkan lokasi shalat wanita yang ada sekarang ini,

dari mataf (area tawaf) ke dua lokasi lain di lantai dasar di sisi Utara Masjidil

Haram, para wanita memprotes dengan menggunakan alasan keagamaan. Alasan

resmi yang digunakan adalah penempatan yang baru memungkinkan kaum

perempuan untuk memiliki tempat shalat yang lebih luas, dan mereka aman dari

keadaan berdesak-desakan, juga terhindar dari sorotan kamera televisi.21

21
Ahsan S. (2 September 2006). “Chorus Get Louder: Resentment Grows Against Plan to
Shift Women Praying Area in Grand Mosque” The Saudi Gazette. 8 September 2007 http:
//www.saudigazette.com.sa

24
Para wanita berhasil menentang ususlan ini bukan dengan menggunakan alasan

sekuler atau karena tekanan internasional dari organisasi hak asasi manusia,

melainkan dengan alasan bahwa hal ini bertentangan dengan ajaran Islam.

“Melarang wanita melakukan shalat di selasar Ka’bah tidak pernah dilakukan

sebelumnya dalam sejarah Islam” tulis seorang sejarahwan perempuan Islam dan

seorang pengarang, Hatoon Al-Fassi.22 Kedua jenis kelamin mempunyai hak yang

sama jika berkenaan dengan pelaksanaan kewajiban agama dan dalam hal ganjaran

dan hukuman. Rasululah telah memerintahkan bahwa para wanita tidak boleh

dilarang datang ke mesjid,” debat Al-Fassi. Dia mengakhiri seruannya dengan

mengatakan, “Saya yakin mereka tidak akan menerima usaha tersebut, yang

melanggar semangat dan pesan Islam yang diturunkan untuk seluruh umat manusia

tanpa adanya diskriminasi.”

Suhaila Ahmad, seorang anggota perempuan badan cendikiawan Muslim

sedunia dari Arab Saudi, berpendapat bahwa usulan tersebut bersifat diskriminatif

dan karena itu tidak dapat diterima dari segi Agama. “Laki-laki maupun perempuan

berhak shalat di Baitullah. Laki-laki tidak berhak melarangnya” kata Suhaila.23

22
Al-Iqtissadiya. (29 Agustus 2006). Surat kabar berbahasa Arab.
23
Al-Jazeera & Reuters. (15 September 2006). “Women Face Curbs in Makka Mosque”. Al-
Jazeera.net. http: English.al-jazeera.net

25
d. Tentang Muslimah Pakistan

Asifa Quraishi, seorang professor hukum di Universitas of Wisconsin dan

penganjur hak-hak wanita, berpendapat bahwa cara paling efektif untuk melawan

praktik-praktik yang merugikan wanita yang dilakukan atas nama syari’at adalah

dengan menentang pembuktian kesesuaian praktik tersebut dengan ajaran Islam,

alih-alih menuntut syari’at tidak diberlakukan.

Sebagai contoh, undang-undang tentang perkosaan di Pakistan dapat dimengerti

jika mendapat serangan keras dari organisasi hak asasi manusia. Dalam undang-

undang tersebut tertulis, seorang korban perkosaan membutuhkan empat orang

saksi laki-laki dewasa untuk menuntut penyerangnya. Tidak hanya itu, jika si

korban hamil karena kejadian ini, dia dapat menghadapi tuduhan perzinahan

sementara si pelaku dapat melenggang bebas.

Serangan terhadap hukum semacam ini biasanya berwujud serangan terhadap

syari’at itu sendiri. Pendekatan ini menghasilkan reaksi pembelaan diri dari Negara

yang mayoritas masyarakatnya menginginkan prinsip-prinsip agama Islam menjadi

satu-satunya sumber hukum. Quraishi menantang anggapan bahwa hukum ini

sesuai dengan syari’at. Melalui kritik Islaminya, dengan menggunakan al-Qur’an

dan Sunnah Rasulullah, Quraishi berpendapat bahwa undang-undang ini benar-

benar menodai syari’at dan karena itu harus dicabut. Para penganjur hak asasi

perempuan di Pakistan menggunakan argumen-argumen seperti yang dikemukakan

oleh Quraishi untuk menantang undang-undang tentang perkosaan Pakistan yang

bersifat diskriminatif. Pada November 2006, parlemen Pakistan merevisi undang-

26
undang tentang perkosaan tahun 1979 dengan pasal Undang-Undang Perlindungan

Wanita.

Kasus ini melibatkan prakarsa yang dipimpin oleh para Muslimah. Namun,

terdapat juga contoh keberhasilan advokasi Barat yang peduli dengan cara bekerja

dalam kerangka ajaran Islam dan membawa perubahan positif. Tahun 2000,

Rudiger Nehberg, seorang pria berkebangsaan Jerman, mendirikan TARGET,

sebuah organisasi hak asasi manusia yang didedikasikan untuk melawan mutilasi

alat kelamin wanita ( sunat wanita). Dia menganggap bahwa praktik ini melanggar

prinsip-prinsip Islam, bukan disebabkan oleh ajaran Islam.

Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa praktik tersebut menimpa

100 juta hingga 140 juta gadis dan wanita dalam setahun, baik dalam maupun di

luar Negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Menurut UNICEF, setidaknya

90% wanita di Mesir, Mali, Papua Nugini dan Sudan disunat. Sementara hampir

tidak ada wanita Irak, Iran, dan Arab Saudi disunat. Kemanapun ia pergi Nehberg

mengatakan bahwa, “kebiasaan ini hanya dapat diakhiri dengan kekuatan Islam.”

Pada Desember 2006, sebuah pertemuan yang dihadiri para Ulama papan atas,

dengan tuan rumah Mufti Mesir, Ali Jum’ah, dan Ulama Mesir yang terkenal,

Yusuf Qaradhawi, sepakat bahwa praktik mutilasi alat kelamin wanita tidak dapat

diterima dalam Islam.

Menggunakan alasan syari’at untuk menentang kritik ketidak-adilan bukanlah

sepenuhnya fenomena baru. Sebagai contoh sebuah kejadian yang terkenal pada

awal Islam memperlihatkan bahwa perempuan bahkan mempunyai hak menentang

27
pemimpin politik dan keagamaan yang tertinggi dengan berdasarkan al-Qur’an.

Ketika Umar bin Khatthab, khalifah kedua Islam Sunni, mengajukan batasan

jumlah yang dapat diminta perempuan sebagai mahar yang akan diterimanya pada

saat pernikahan, seorang wanita mengajukan komentar keberatan. Dia mengajukan

pertanyaan secara terbuka kepada Umar, “Bagaimana mungkin Anda membatasi

sesuatu yang tidak dibatasi Allah?” lalu dia membacakan ayat yang menjamin hak

wanita untuk menerima mahar secara secara utuh. Dan Umar pun menyadari

kesalahannya serta membatalkan usulannya.

Begitulah Islam menghargai hak-hak wanita dalam mengutarakan pendapat, juga

dalam menentang sesuatu yang bertentangan dengan syari’at. Dan hak ini diberikan

pada porsi yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Bukankah kisah ini

menunjukkan kemerdekaan hak-hak perempuan Islam yang sudah dirasakan dari

awal datangnya syari’at Islam. Jadi, patutkah para Muslimah latah dan mendukung

keinginan Barat untuk membebaskan perempuan?

28
BAB IV

KESIMPULAN

Perbedaan laki-laki dan perempuan tidak cukup hanya dikaji secara biologis

tetapi memerlukan pengkajian secara non-biologis. Kajian yang terakir inilah

disebut dengan studi jender.

Studi jender ini lah yang terkesan selalu aktual. Apalagi belakangan ini di

berbagai penjuru, perempuan di dunia sedang marak-maraknya menggalakkan

adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan wacana tentang jender ini

masih bersifat kontroversial dikalangan para Ulama dan pemikir Muslim.

Bangkitnya feminis Muslim seperti Fatima Mernissi (Maroko) dan Riffat Hasan

(Pakistan) yang menggugat sejumlah penafsiran, baik al-Qur’an atau hadis, dan

juga aksi feminis Barat yang ingin membebaskan perempuan-perempuan sedunia -

termasuk para Muslimah- dari kungkungan adat, budaya dan doktrin agama yang

membuat perempuan tertinggal dan tidak bebas mengembangkan peran yang

digelutinya.

Tapi ternyata “niat baik” para feminis barat itu ternyata tidak cocok untuk

perempuan Muslim. Karena perempuan Muslim sama sekali tidak pernah merasa

perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebagai suatu ketimpangan. Dan sejak

awal syari’at datang, perempuan Muslim telah merasakan bahwa derajat dan hak-

hak mereka sebagai perempuan sangat dijaga dalam Islam.

29
DAFTAR PUSTAKA

John L. Esposito & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara, Mizan Pustaka,
Bandung, Cet I, 2007.

Muhammad Ali al-Allawi, The Great Women, Pena Pundi Aksara, Jakarta, cet
II, 2006.

Muhammad al-Ghazali, Dilema Wanita di Era Modern, Mustaqim, Jakarta, cet


I, 2003.

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, ParaMadina, Jakarta, cet.I,


1999.

Muhammad Ali al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah, Al-Kausar, Jakarta,


1997.

Asma Muhammad Ziyadah, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam, Al-
Kausar, Jakarta, 2001.

Andek Masnah Andek Kelawa, Kepemimpinan Wanita Dalam Islam;


Kedudukannya Dalam Syari’ah, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi 2001.

Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Gema Insani Press, jld. II,
Jakarta, 1997.

Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah, Dunia Wanita Dalam Islam, Lentera,


cet I, Jakarta, 2000.

30

Anda mungkin juga menyukai