BAB IV Stabilitas Antosianin Buah Duwet...
BAB IV Stabilitas Antosianin Buah Duwet...
PENDAHULUAN
warna dan stabilitas warna antosianin buah duwet untuk tujuan penggunaan
sebagai pewarna pangan. Pengaplikasian dilakukan pada model minuman pH 3
yang merupakan kondisi pH minuman berbasis asam. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat melengkapi informasi-informasi dari penelitian sebelumnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan karakterisasi warna dan
stabilitas warna antosianin buah duwet yang dibandingkan dengan antosianin
kubis merah dan pewarna enosianin (pewarna antosianin komersial), sehingga
dapat diketahui potensi penggunaannya sebagai pewarna pangan.
Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan SEAFAST Center
(Gedung PAU), IPB; Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen ITP, FATETA,
IPB; serta Laboratorium Terpadu Mikrobiologi Medik, Fakultas Kedokteran
Hewan, IPB.
Metode Penelitian
Persiapan sampel
Buah duwet matang (warna ungu kehitaman) dan kubis merah disortasi
lalu dicuci dengan air bersih. Selanjutnya kulit buah duwet dikupas menggunakan
pisau baja tahan-karat dan kubis merah dipotong-potong dalam ukuran kecil.
Kulit buah duwet dan kubis merah diblansir uap panas 80oC secara terpisah
selama 3 menit. Kulit buah duwet dan kubis merah dikemas dalam kantong
plastik polietilena (PE) dan disimpan pada suhu -20oC.
Ekstraksi antosianin
Kulit buah duwet dan kubis merah beku di-thawing pada suhu ruang,
selanjutnya setiap sampel dihancurkan dengan menggunakan hand blender
secara terpisah. Ekstraksi antosianin buah duwet dan kubis merah dilakukan
secara maserasi dengan diaduk (stirer). Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi
adalah etanol, pelarut food grade (Francis 1982; Cacace & Mazza 2003).
Perbandingan sampel dan pelarut 1:2 (b/v). Ekstraksi secara maserasi dilakukan
pada suhu ruang selama 60 menit, kemudian disentrifus (3552 g) selama 10
menit untuk memisahkan filtrat dan residu. Ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali
dengan menggunakan pelarut dan cara yang sama. Filtrat digabung dan disaring
dengan menggunakan penyaring vakum, lalu pelarut organik dievaporasi dengan
vakum evaporator putar pada suhu 40oC untuk mendapatkan ekstrak aqueous
antosianin yang berwarna ungu kehitaman, Gambar 4.1. Ekstrak ditempatkan
dalam botol, diembus dengan nitrogen lalu disimpan pada -20oC sampai
digunakan untuk analisa.
Ekstrak dianalisis kandungan total antosianin monomerik dengan metode
perbedaan pH (Giusti & Wrolstad 2001). Ekstrak juga diukur nilai pH dengan pH-
meter dan total padatan menggunakan refraktometer.
dan komposisi antosianin yang terkandung dalam suatu bahan atau ekstrak
berhubungan dengan karakteristik stabilitas dan intensitas warna antosianin.
Antosianin buah duwet semuanya dalam bentuk diglikosida, antosianin kubis
merah merupakan di- dan tri-glikosida yang terasilasi, sedangkan antosianin
pewarna enosianin merupakan monoglikosida. Menurut Francis (1989),
umumnya diketahui asilasi pada antosianin dapat membuat warna antosianin
lebih stabil, tetapi pada konsentrasi yang rendah bersifat tidak stabil.
pH
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
2
0.8 0.8
2
0.6 0.6
0.4 0.4 3 8
7
0.2 8 0.2
3
7
4, 5, 6
0 4, 5, 6 0
350 400 450 500 550 600 650 700 350 400 450 500 550 600 650 700
Enosianin
1.2
1
2
1
0.8 3
4 8
0.6
5 7
6
0.4
0.2
0
350 400 450 500 550 600 650 700
Gambar 4.3 Pola spektrum absorpsi dari antosianin buah duwet, kubis merah,
dan pewarna enosianin pada kisaran nilai pH 1-8 setelah
ekuilibrium selama 1 jam.
Warna antosianin berubah sebagai respon dari pH. Secara umum dapat
dijelaskan, berkurangnya intensitas warna dengan meningkatnya pH disebabkan
terjadi reaksi kesetimbangan antara 4 spesies antosianin: basa kuinonoidal (A),
kation flavilium (AH+), karbinol atau pseudobasa (B), dan kalkon (C). Di dalam
larutan asam, 4 spesies antosianin berada dalam kesetimbangan, Gambar 4.4.
Interkonversi antara 4 struktur antosianin dijelaskan sesuai skema pada Gambar
4.4.
Pada kondisi pH di bawah 2, antosianin berada utamanya dalam bentuk
kation flavilium merah (AH+). Peningkatan pH menyebabkan terjadinya
kehilangan proton secara cepat dari gugus hidroksil C-4’, C-5, atau C-7 kation
flavilium menghasilkan bentuk kuinonoidal biru (A). Lebih lanjut terjadi reaksi
hidrasi oleh nukleofilik molekul air yang menyerang kation flavilium pada posisi
C-2 menghasilkan struktur karbinol tidak berwarna atau pseudobasa (B) yang
akan membentuk kesetimbangan dengan struktur kalkon (C) (Brouillard 1982;
Mazza & Brouillard 1987). MacDougall (2002), juga menjelaskan pada pH rendah
49
(pH 1), warna antosianin adalah merah (AH+), sebagai pH ditingkatkan maka
antosianin mengalami dua kemungkinan pathway: (1) deprotonisasi
menghasilkan senyawa kuinonoidal biru (A) atau (2) hidrasi menghasilkan kalkon
(C).
A AH+
C B
Pada Gambar 4.2 dan 4.3 juga terlihat bahwa antosianin buah duwet
mempunyai intensitas warna merah atau biru yang lebih rendah pada semua pH
yang diujikan dibandingkan dengan antosianin kubis merah dan pewarna
enosianin. Hal ini berhubungan dengan struktur antosianin buah duwet yang
semua struktur glikosilasi adalah 3,5-diglukosida. Menurut Mazza dan Brouillard
(1987), pada nilai pH yang diujikan, antosianin 3-glikosida memiliki karakteristik
lebih berwarna dibandingkan dengan antosianin 3,5-diglikosida dan 5-glikosida.
50
Penelitian yang dilakukan oleh Brouillard dan Delaporte (1977) yang disitasi oleh
Mazza dan Brouillard (1987) menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida
memiliki karakteristik kurang berwarna dibanding malvidin 3-glukosida. Hal ini
terjadi karena nilai pKh untuk kesetimbangan antara bentuk kation flavilium dan
karbinol pseudobasa dari diglukosida satu unit pH lebih rendah dari bentuk
monoglukosida. Eksperimen yang dilakukan pada larutan malvidin 3,5-
diglukosida pada kondisi diatas pH 4 juga menunjukkan perubahan warna larutan
menjadi tidak berwarna. Lebih lanjut dijelaskan oleh Delgado-Vargas dan
Paredes-Lopez (2003), substitusi gula juga berperanan penting pada warna
antosianin. Terjadinya pergeseran hipsokromik disebabkan oleh keberadaan
glikosilasi pada antosianin.
A B C A B C
Tabel 4.1. Karakteristik warna (kromasitas) antosianin buah duwet, kubis merah,
dan pewarna enosianin
Ekstrak/pewarna Parameter warna (CIELAB)
antosianin L* C* H*
Buah duwet 50,94 34,92 353,90
Kubis merah 49,68 43,33 341,97
Enosianin 46,59 30,49 1,57
L*, kecerahan/lightness; C*, kroma/chroma; H*, sudut warna/hue angle.
antosianin buah duwet dan 3,73 jam untuk antosianin enosianin (Tabel 4.2). Dari
nilai retensi warna dan waktu paruh ini belum dapat digunakan untuk
menentukan tingkat stabilitas dari antosianin buah duwet dan enosianin, masih
diperlukan data penunjang lainnya seperti nilai ΔID (perbedaan indeks
degradasi), dan ΔWP (perbedaan warna polimerik), ΔE (perbedaan total warna
kromasitas), yang ditampilkan pada Tabel 4.2.
120
(%)
110
max
100
Retensi warna pada λ
90
80
70
60
50
40
30
0 30 60 90 120
Waktu (menit)
Gambar 4.6 Pengaruh perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98oC pada retensi
warna antosianin (%) dari antosianin buah duwet, kubis merah,
dan pewarna enosianin dalam minuman model bufer sitrat pH 3.
(), buah duwet (80oC); (), buah duwet (98oC); (), kubis merah
(80oC); (), kubis merah (98oC); (), enosianin (80oC); (),
enosianin (98oC).
Tabel 4.2 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model
bufer sitrat pH 3 pada perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98oC
Ekstrak/Pewarna Parameter Perubahan Warna Kinetika Degradasi
Antosianin ΔID ΔWP ΔE KW (%) K t1/2 (jam)
Pemanasan 80oC
Duwet 0,13b 10,03b 5,50b 25,83c 0,0024 4,94a
a a a
Kubis merah 0,08 4,77 2,23 0,00a 0,0005 28,88c
c c c
Enosianin 0,16 13,86 12,62 15,65b 0,0014 8,29b
Pemanasan 98oC
b b
Duwet 0,28 15,24 16,86b 58,92c 0,0073 1,59a
a a a
Kubis merah 0,09 6,86 5,88 4,33a 0,0016 7,33c
c c c
Enosianin 0,31 20,77 18,24 31,95b 0,0031 3,73b
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama (berlaku untuk masing-masing
perlakuan pemanasan) menunjukkan hasil uji berbeda nyata (p<0,05). Perubahan warna dihitung
dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. ΔID, perbedaan indeks degradasi. ΔWP,
perbedaan warna polimerik. ΔE, perbedaan total warna kromasitas (sistem CIELAB). KW,
kehilangan warna (nilai absorbans). k, konstanta laju degradasi antosianin. t1/2, waktu paruh.
Pemanasan selama 120 menit.
Meskipun nilai retensi warna dan waktu paruh dari antosianin enosianin
lebih tinggi daripada antosianin buah duwet, namun dari hasil pengukuran ΔE,
53
ΔID, dan ΔWP dari enosianin menunjukkan nilai lebih tinggi dibandingkan
antosianin buah duwet pada kedua perlakuan suhu. Hal ini menunjukkan bahwa
antosianin enosianin mengalami kerusakan lebih tinggi dibandingkan antosianin
buah duwet. Secara visual, warna antosianin buah duwet pada pemanasan 80oC
masih menunjukkan warna merah pudar dan pada suhu 98oC menunjukkan
warna merah kecoklatan, sedangkan warna antosianin enosianin pada
pemanasan 80 dan 98oC berubah warna menjadi kecoklatan. Warna kecoklatan
dapat digunakan sebagai indikasi terjadinya pembentukan senyawa degradasi
antosianin selama proses pemanasan yang dapat dilihat dari nilai ΔID dan ΔWP
yang tinggi. Nilai indeks degradasi (ID) dan warna polimerik (WP) mengukur
pembentukan senyawa degradasi polimerik berwarna coklat. Selama proses
pemanasan terjadi peningkatan pembentukan warna polimerik yang terjadi
karena monomerik antosianin mengalami polimerisasi. Pembentukan warna
polimerik dan produk-produk degradasi lainnya berwarna coklat paling tinggi
terjadi pada pewarna enosianin. Hasil ini menunjukkan bahwa antosianin buah
duwet memiliki stabilitas warna yang lebih tinggi dibandingkan antosianin dari
pewarna enosianin. Nilai retensi warna dari pewarna enosianin lebih tinggi
dibandingkan buah duwet karena dipengaruhi oleh adanya produk degradasi
antosianin yang berwarna coklat. Warna coklat dalam minuman model dapat
mempengaruhi hasil pengukuran dengan spektrofotometer yang dapat
memberikan nilai absorbans yang tinggi.
Pada Gambar 4.6 juga dapat diperoleh informasi, bahwa antosianin kubis
merah mempunyai stabilitas yang paling tinggi pada kedua suhu pemanasan, 80
dan 98oC. Selama pemanasan pada kedua suhu terjadi peningkatan nilai retensi
warna melebihi nilai 100%. Penurunan nilai retensi warna hingga 95% hanya
terjadi pada pemanasan suhu 98oC pada waktu pemanasan 120 menit. Namun
demikian, kecenderungan grafik menunjukkan terjadi penurunan nilai retensi
warna atau degradasi antosianin yang relatif lambat. Terjadinya peningkatan nilai
retensi warna selama perlakuan pemanasan juga ditemukan pada antosianin ubi
jalar merah (yang juga mengandung gugus asil) pada bufer pH 1 selama proses
pemanasan 98oC sampai pemanasan 60 menit, namun tidak dijumpai pada bufer
pH 3. Antosianin ubi jalar ungu menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi
dibandingkan antosianin wortel ungu, jagung ungu, dan anggur merah selama
proses pemanasan pada suhu 98oC (Cevallos-Casals & Cisneros-Zevallos
2004). Penelitian yang dilakukan oleh Dyrby et al. (2001) juga menunjukkan
54
bahwa antosianin kubis merah juga mempunyai karakteristik stabilitas yang lebih
tinggi dibandingkan blackcurrant, kulit anggur, dan elderberry terhadap perlakuan
pemanasan pada suhu 25-80oC.
Pada Tabel 4.2 juga dapat dilihat nilai ΔID, ΔWP, ΔE, KW (%) dari
antosianin kubis merah lebih kecil pada kedua suhu pemanasan (80 dan 98oC)
yang menunjukkan antosianin kubis merah memiliki karakteristik stabilitas yang
tinggi terhadap panas. Antosianin kubis merah mempunyai waktu paruh (t1/2)
sebesar 28,88 jam pada pemanasan suhu 80oC dan 7,33 jam pada pemanasan
98oC dalam minuman model pH 3. Waktu paruh kubis merah lebih tinggi
dibandingkan waktu paruh dari antosianin buah duwet dan enosianin pada kedua
suhu pemanasan.
Secara umum, antosianin kubis merah memiliki karakteristik stabilitas
lebih tinggi dibandingkan dengan antosianin buah duwet dan enosianin pada
perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98oC, dengan urutan stabilitas: antosianin
kubis merah > buah duwet > enosianin. Hal ini disebabkan struktur antosianin
yang terkandung dalam kubis merah yang merupakan antosianin terasilasi
(kopigmentasi intramolekular). Asilasi pada antosianin dapat memperbaiki
stabilitas melalui penyusunan struktur secara sandwich dari gugus asil pada
cincin pirilium antosianin sehingga dapat menjaga struktur dasar antosianin
terhadap faktor-faktor penyebab degradasi antosianin (Jackman & Smith 1996;
Delgado-Vargas et al. 2000) terutama dengan adanya perlakuan pemanasan.
Penyusunan molekul kopigmen (gugus asil) pada planar polarizable dari
antosianin dapat mencegah serangan nukleofilik air pada posisi C-2 dari cincin
pirilium yang dapat memicu pembentukan hemiasetal yang tidak berwarna dan
kalkon (Dangles 1997 diacu dalam Malien-Aubert et al. 2001).
Antosianin buah duwet memliki karakteristik stabilitas yang lebih tinggi
dari antosianin enosianin karena struktur antosianin buah duwet dalam bentuk
glikosilasi 3,5-diglukosa (diglikosida) sedangkan antosianin enosianin bentuk
glikosilasi adalah 3-glukosida (monoglikosida). Hasil penelitian García-Viguera
dan Bridle (1999) menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida kehilangan
warna lebih lambat dari malvidin 3-glukosida dengan keberadaan atau tanpa
adanya asam askorbat. Lebih lanjut dijelaskan oleh Timberlake dan Bridle (1977)
diacu dalam García-Viguera dan Bridle (1999), antosianin 3,5-diglikosida sedikit
lebih mudah mengalami serangan elektrofilik dibandingan 3-glikosida. Substitusi
glikosil pada C-5 mengurangi serangan dari nukleofilik. Meskipun antosianin
55
110
(%)
100
max
Retensi warna pada λ
90
80
70
60
50
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu (m inggu)
Gambar 4.8 Pengaruh kondisi penyimpanan (suhu refrigerasi dan ruang) pada
retensi warna (%) dari antosianin buah duwet, kubis merah, dan
pewarna enosianin dalam minuman model buffer sitrat pH 3,
kondisi perlakuan tanpa cahaya. (), buah duwet (suhu
refrigerasi); (), buah duwet (suhu ruang); (), kubis merah (suhu
refrigerasi); (), kubis merah (suhu ruang); (), enosianin (suhu
refrigerasi); (), enosianin (suhu ruang).
Tabel 4.3 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model
bufer sitrat pH 3 pada perlakuan penyimpanan suhu refrigerasi dan
ruang
Pewarna Parameter Perubahan Warna Kinetika Degradasi
Antosianin ΔID ΔWP ΔE KW (%) k t1/2 (bulan)
Penyimpanan suhu refrigerasi (5oC)
Duwet 0,04a 2,44a 0,95a 5,36b 0,0069 25,11a
b b a a
Kubis merah 0,08 5,79 0,79 4,30 0,0073 23,73a
c c b ab
Enosianin 0,10 7,49 2,35 5,11 0,0062 27,94a
o
Penyimpanan suhu ruang (27 C)
b b b c a
Duwet 0,18 16,99 10,57 36,02 0,0520 3,36
a a a b b
Kubis merah 0,13 11,16 6,67 28,63 0,0391 4,43
c c c a c
Enosianin 0,32 19,38 20,34 12,92 0,0153 11,37
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama (berlaku untuk masing-masing
perlakuan penyimpanan) menunjukkan hasil uji berbeda nyata (p<0,05). Perubahan warna dihitung
dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. ΔID, perbedaan indeks degradasi. ΔWP,
perbedaan warna polimerik. ΔE, perbedaan warna kromasitas (sistem CIELAB). KW, kehilangan
warna (nilai absorbans). k, konstanta laju degradasi antosianin. t1/2, waktu paruh. Penyimpanan
selama 8 minggu.
120
(%)
110
maks
100
80
70
60
50
40
0 1 2 3 4 5 6 7
Waktu (hari)
Tabel 4.4 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model
bufer sitrat pH 3 pada perlakuan pencahayaan fluoresens
Pewarna Parameter Perubahan Warna Kinetika Degradasi
Antosianin ΔID ΔWP ΔE KW (%) k t1/2 (hari)
Duwet 0,13a 7,31a 4,06a 26,93a 0,0432 16,04c
b b b
Kubis merah 0,20 16,51 10,73 32,10c 0,0626 11,07a
c c c
Enosianin 0,45 20,99 20,08 30,25b 0,0513 13,51b
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda
nyata (p<0,05). Perubahan warna dihitung dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan.
ΔID, perbedaan indeks degradasi. ΔWP, perbedaan warna polimerik. ΔE, perbedaan warna
kromasitas (sistem CIELAB). KW, kehilangan warna (nilai absorbans). k, konstanta laju degradasi
antosianin. t1/2, waktu paruh. Pencahayaan fluoresens selama 7 hari.
antosianin kubis merah. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dyrby et al. (2001) yang mendapatkan hasil bahwa antosianin kubis merah
memiliki sensitivitas yang rendah terhadap fotodegrasi. Perbedaan ini mungkin
disebabkan penggunaan sumber cahaya untuk reaksi fotokimia berbeda. Pada
penelitian ini digunakan lampu fluoresens dengan intensitas 4000 lux sedangkan
penelitian Dyrby et al. (2001) menggunakan cahaya monokromatik dengan
panjang gelombang 313, 366, dan 436 nm (ultraviolet dan visibel). Sedangkan
hasil penelitian dari Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) diperoleh
bahwa antosianin ubi jalar merah (mengandung gugus asil) juga mengalami
degradasi selama pencahayaan dengan lampu fluoresens putih. Profil laju
degradasi antosianin dari kubis merah pada penelitian disertasi ini hampir sama
dengan laju degradasi antosianin pada ubi jalar merah. Setelah pencahayaan
selama 7 hari diperoleh nilai retensi warna antosianin ubi jalar berkisar 45%. Nilai
ini lebih rendah dari nilai retensi warna antosianin buah duwet dan kubis merah
berturut-turut berkisar 73% dan 68% setelah pencahayaan selama 7 hari.
Antosianin memiliki kecenderungan yang kuat mengabsorpsi sinar
tampak dan energi radiasi sinar menyebabkan reaksi fotokimia pada spektrum
tampak yang dapat merusak struktur antosianin sehingga mengakibatkan
perubahan warna yaitu kehilangan warna merah. Furtado et al. (1993)
menjelaskan bahwa reaksi degradasi antosianin oleh cahaya melibatkan eksitasi
dari kation flavilium. Selama degradasi fotokimia, pembentukan produk akhir
degradasi dijumpai sama seperti pada reaksi termal. Degradasi antosianin
secara fotokimia melalui lintasan kinetika berbeda yang melibatkan eksitasi dari
kation flavilium. Mekanisme degradasi secara fotokimia langsung dari kation
hv
flavilium sesuai persamaan: AH+ produk degradasi, pembentukan produk
degradasi melalui eksitasi kation flavilium. Sedangkan Maccarone et al. (1987)
mengusulkan mekanisme yang berbeda, degradasi fotokimia terjadi melalui
pembentukan senyawa tidak berwarna, misalnya dari kation flavilium melalui
karbinol pseudobase menjadi kalkon.
SIMPULAN