Anda di halaman 1dari 16

ADAMANTIADES-BEHÇET DISEASE

PENDAHULUAN

Behçet Disease (BD) merupakan suatu kelainan kronis, dan berulang yang melibatkan
suatu proses peradangan vaskuler yang terjadi secara sistemik dengan etiologi yang belum
diketahui, dan ditandai dengan adanya inflamasi intraokuler, ulkus oral dan mukosa, serta lesi
di kulit.1
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh seorang peneliti dan dermatologis asal Turki
yang bernama dr. Hulusi Behçet pada tahun 1937, dimana beliau mendiskripsikan adanya 3
gejala pada penyakit ini, yaitu berulangnya iritis-hipopion, ulkus oral dan ulkus genital. 1
Kelainan ini juga disebut sebagai Adamantiades Syndrome, hal ini karena adanya
seorang oftalmologis asal Perancis (Benediktos Adamantiades), memperkenalkan penyakit
yang sama pada tahun 1934, sehingga terkadang dikenal juga dengan sebutan Adamantiades-
Behçet Disease (ABD).1,2,3
Berdasarkan penyebaran penyakitnya, karena penyakit ini sering ditemukan di
sepanjang rute jalan sutra (Itali, Turki, Yunani, Israel, Arab Saudi, Iran, China, Korea, dan
Jepang), maka disebut juga sebagai Silk Road Disease.3

EPIDEMIOLOGI

Gejala dari penyakit ini telah ditemukan sejak 2500 tahun yang lalu, namun penyakit
ini baru secara lengkap diketahui dan dikenal sejak abad ke-20. Penyakit ini tersebar hampir
di seluruh dunia, namun seperti telah disebutkan diatas bahwa pasien dengan ABD umumnya
ditemukan di daerah sekitar Mediterania hingga Jepang (sesuai dengan rute jalan sutra).4
Prevalensi ABD sangat bervariasi di Turki 80-300 kasus /100.000 penduduk, Jepang
8-10 kasus / 100.000 penduduk, Amerika Serikat 0,4 kasus/100.000 penduduk. 4
Manifestasi okuler terjadi 70% dari penderita ABD dan biasanya lebih dari 70% nya
bilateral. Pada 10 sampai 35% kelainan di mata menjadi gejala pertama sebelum timbul
kelainan di tempat lain dan biasanya kejadian ini berulang dengan gambaran inflamasi hebat
di intraokuler.1
ABD biasanya mengenai dewasa muda, dengan usia rata-rata adalah 25-35 tahun. Pria
lebih sering terkena dibandingkan wanita, dengan perbandingan 2,3:1 terutama BD tipe
komplit, sedangkan pada tipe inkomplit angka kejadian pria sama dengan wanita. Dewasa ini
kejadian uveitis mulai ditemukan pada anak-anak dengan 31% nya terdiagnosis menderita
ABD, sementara anak dengan manifestasi berupa ulkus oral sebesar 55%.5

1
Pivetti-Pezzi melaporkan bahwa uveitis dengan atau tanpa gejala mayor lainnya
merupakan gejala yang sering terlihat pada anak-anak dan dewasa muda, dan hal ini bila
terjadi pada awal onset menunjukkan prognosis yang buruk terutama pada okuler.5
Penelitian mengenai epidemiologi, menjelaskan bahwa 56% pasien ABD mengalami
gejala di mata pada usia kurang lebih 30 tahun. Gejala okuli merupakan manifestasi pertama
pada 8,6% pasien. Behçet pada okuli jarang melibatkan saraf optik. Diantara pasien dengan
manifestasi di mata ditemukan kejadian optik tampak atrofi dan pucat dengan frekuensi
masing-masing 17,9% dan 7,4%. Gambaran fundukopi lainnya adalah vascular sheating
(23,7%), retinal haemorrhage (9%), makula edem (11,3%), oklusi cabang vena retina (5,8%)
dan edema retina (6,6%). Penyebab utama gangguan menetap dari penglihatan adalah optik
atrofi pada 54% pasien.2

ETIOPATOGENESIS

Etiologi dari ABD adalah multifaktorial dan belum diketahui. Diduga adanya
beberapa faktor yang turut berperan di dalamnya seperti agen infeksius, mekanisme
imunologi dan faktor genetik (HLA-B51) yang dianggap sangat berperan dalam patogenesis
penyakit. 5

Agen infeksius

Virus (herpes simplex virus, parvovirus B19, hepatitis A, B, C dan E), dan bakteri
(Streptococcus sp, Helicobacter pylori, Mycoplasma fermentas) diduga sebagai pencetus
dalam patogensis ABD. Akan tetapi, agen infeksius ini tidak terdapat pada lesi. Yang
ditemukan pada penelitian dari ulkus genital dan oral adalah badan inklusi dari virus. Selain
itu ditemukan pula adanya HSV-1 DNA pada saliva, limfosit perifer, ulkus intestinal, dan
biopsi. Komplek imun yang mengandung HSV-1 antigen juga ditemukan pada pasien ABD.5
Dari isolasi mukosa mulut dam daerah infeksi mulut yang kronis ditemukan adanya
bakteri Streptococcus sanguis dan oralis, ditemukan pula adanya antigen streptococcal dan
antibodi antistreptococcal pada mukosa mulut dan serum pasien ABD.5
Kolonisasi Mycoplasma sp dapat ditemukan pada epitel dari traktus respirasi dan
genital. Sebagian besar dari bakteri ini dapat menstimulasi aktivasi makrofag sehingga dapat
terdeteksi dalam serum. Isolasi lipoprotein dari Mycoplasma fermentas (MALP-404) juga
terdeteksi pada 32% serum pasien ABD.5
Heat Shock Protein (HSP) yang dihasilkan sel yang stress akibat terlalu panas atau
hipoksia juga banyak dibentuk oleh sejumlah protein, HSP bukan suatu imunogenik tetapi
dapat mengaktivasi sistem imun bila berikatan dengan antigen peptida tertentu. HSP yang

2
berikatan dengan bakteri tersebut diatas menghasilkan protein yang mirip dengan protein
retina atau mitokondria manusia sehingga dapat memicu timbulnya respon autoinflamasi
melalui mimikri molekuler yang mengikuti suatu proses infeksi.5

Faktor Genetik

Penelitian mengenai antigen histokompatibiliti menduga bahwa gen HLA-B yang


terletak pada kromosom 6 berhubungan dengan kejadian ABD, dengan HLA-B51 sebagai gen
penyebab. Akan tetapi belum diketahui apa yang menjadikan gen B-51 menjadi patogenik
karena gen tersebut juga terdapat pada populasi normal.5
Pada penelitian lain ditemukan pula adanya HLA-B51 yang disertai tidak adanya
HLA-B35 berisiko terjadi tombosis vena, peningkatan HLA-B29 dan turunnya HLA-BW6
berisiko terhadap kelainan di mata, dan penurunan HLA-CW7 berikatan dengan kejadian
ulkus genital.5
Ditemukan pula adanya gen kompleks NK dan gen dari reseptor TNF pada pasien
ABD, sehingga diduga gen tersebut juga berperan dalam patogenesis ABD.5

Mekanisme Imunologi

Gambaran ABD ditandai dengan adanya gangguan pada sistem imun inate maupun
adaptif. Beberapa penelitian menyatakan bahwa netrofil pada pasien ABD sangat hiperaktif,
sehingga kemampuan kemotaksis, fagositosis, pembentukan superoxide, dan kadar
myeloperoksidase juga meningkat. Abnormalitas reseptor dari NK sel juga dicurigai berperan
pada patogenesis ABD, namun belum diketahui mekanismenya.5
Terdeteksinya peningkatan TNF-α juga diduga berperan dalam pembentukan sitokin
inflamasi seperti IL-1 dan IL-6, peningkatan migrasi leukosit, aktivasi makrofag dan
eosinofil, proliferasi fibroblas, dan pembentukan prostaglandin. Peningkatan kadar serum IL-
8, IL-12, IL-2R solubel juga terdeteksi dan diduga berhubungan dengan aktivitas penyakit.5
Kompleks imun di sirkulasi, peningkatan kadar fibropeptida juga terdapat pada
stadium aktif ABD. Antibodi antikardiolipin dan antiendotelial sel juga ditemukan dalam
sirkulasi.5
Abnormalitas dari sel T yang diaktivasi oleh sistem imun juga dapat berperan sebagai
penyebab ABD, hal ini ditandai dengan penurunan ratio CD4+/CD8+. Sedangkan sel B pada
pasien ABD masih dalam batas normal. Tetapi, sel tersebut biasanya teraktivasi oleh antibodi
HSP 65-kDa dan menyebabkan peningkatan jumlah IgG dan IgA dibandingkan indivdu
normal.5
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa imunopatogenesis ABD masih belum
diketahui. Meskipun ada dugaan faktor lingkungan, faktor infeksius namun tidak satupun

3
mikroorganisme yang tampak dari isolasi lesi pasien ABD. Berdasarkan penelitian juga
dikatakan bahwa gambaran penyakitnya tidak menyerupai penyakit autoimun lainnya.
Ditemukannya HLA yang berhubungan dengan ABD tetap hanya memiliki nilai yang kecil
dalam diagnosis ABD. Secara histologis, lesi ABD tampak seperti delayed type
hipersensitivity pada awal stadium, namun pada akhir stadium tampak seperti reaksi dari
respon kompleks imun. 4

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi Okuler

Manifestasi pada mata terjadi pada hampir 70% pasien ABD dan biasanya disertai
dengan gejala yang serius karena kejadian yang sering berulang dan kambuh sehingga
menyebabkan kerusakan okuli yang permanen bahkan ireversibel. 25% pasien ABD
mengalami kehilangan penglihatan berat 4
Pada kebanyakan kasus, kejadian uveitis mengikuti onset dari ulkus mulut yang
berulang setelah 3-4 tahun. Sedangkan gejala di okuli sebagai manifestasi awal (biasanya
unilateral lalu menjadi bilateral pada 2/3 kasus) hanya terjadi pada 20% kasus.3
Keluhan mata yang sering timbul adalah penurunan visus akibat adanya peradangan
di COA (iridosiklitis) dengan (25% kasus) atau tanpa hipopion. Biasanya hipopion dapat
berpindah tempat sesuai dengan gerakan kepala pasien, dan hanya dapat dilihat dengan
gonioskopi. Nyeri, merah, dan atau tanpa fotofobia juga dapat dikeluhkan. Sinekia anterior
dapat terjadi seiring dengan peradangan di COA. Tekanan intraokuler dapat normal atau
rendah. 3,4

Gambar 1.Segmen Anterior.

4
A.Iridosiklitis dengan hipopion. B. Iridosiklitis tanpa hipopion dan subkonjungtiva
bleeding. C. Iris atrofi dan sinekia posterior. D. Episkelritis

Karakteristik peradangan intraokuler pada ABD adalah non-granulomatosa, nekrotika,


vaskulitis obliteratif yang dapat mengenai seluruh traktus uvea. Meskipun peradangan pada
segmen anterior berat, peradangan dapat secara spontan hilang (tanpa terapi). Dengan flow-
cytometry analisis untuk mendeteksi sel yang dominan berperan dalam suatu peradangan,
jumlah NK T-sel di COA pada pasien ABD lebih meningkat daripada kelompok uveitis
lainnya3,4,5
Kelainan pada segmen posterior dapat mengancam penglihatan. Manifestasi di retina
yang penting dan sering adalah obliteratif, vaskulitis retina nekrotizing yang dapat mengenai
arteri maupun vena di fundus. Manisfestasi lainnya dapat berupa oklusi cabang vena dan
arteri (baik secara terpisah atau kombinasi),vascular sheathing dengan vitritis, dan dapat
berhubungan dengan kejadian CME. 4

Gambar 2. Retina Vaskulitis

Iskemik retina dapat memicu munculnya neovaskularisasi (baik neovaskularisasi


glaukoma ataupun iris). Retina haemorrhage, pembuluh darah tampak hilang, dengan atau
tanpa adanya hiperemi disk, dan adanya infiltrat putih kekuningan yang tersebar di lapisan
retina dalam. Fundus dapat terlihat normal selama episode peradangan di anterior, sebaliknya
peradangan di posterior dapat juga terjadi tanpa adanya sel-sel radang di COA.3,4

5
Gambar3. Fundus Pada Fase Akut ABD Okuler
A. Kekeruhan Vitreus Disertai Vaskulitis Dengan Hilangnya Pembuluh di Retina
dan Perdarahan Retina di Daerah Posterior. B. Vaskular Sheating dengan Perdarahan Retina.
C. Exudat Putih Kekuningan di Lapisan Dalam Retina. D. Oklusi Vena Sentralis Retina
Pada serangan yang telah berulang atau kronis, dapat muncul komplikasi di segmen
anterior berupa neovasularisasi iris, sinekia posterior, iris bombe, glaukoma sudut tertutup
(akibat sinekia anterior dan posterior), katarak (akibat peradangan atau pemakaian steroid),
episkleritis, skleritis, ulkus konjungtiva, dan corneal immune ring opacities. Sedangkan di
segmen posterior akibat oklusi dan vaskulitis retina dapat menyebabkan pembuluh darah
retina menjadi putih dan sklerosis, sehingga dinamakan chalky white retinitis. Gambaran
iskemik ini perlu dibedakan dengan gambaran pada sindroma retina nekrosis akut atau
kelainan herpetik nekrotise lainnnya. Vitreus haemorrhagedapat juga terjadi. Saraf optik
terlibat pada 25% pasien ABD, papilitis optik dapat terjadi, namun atrofi optik yang progresif
dapat terjadi akibat vaskulitis pada arteriol yang mensuplai darah ke saraf optik. 1,4

Gambar 4. ABD Okuler Fase Kronis


Atrofi Optik, Sklerosis Pembuluh Darah, Makular Pigmentasi Degenerasi

6
Gambar 5.
Akut Retina Vaskulitis Dengan Perdarahan Retina dan Cotton Wol Spot Serta
Neovaskularisasi Optik Disk

Manifestasi Sistemik

Ulkus Oral

Ulkus mukosa oral yang berulang merupakan temuan klinis yang paling sering
dijumpai dan biasanya menjadi gejala awal pada ABD (97,7%). Lesi dapat timbul di mulut
bagian mana saja (bibir, mukosa bukal, gusi, lidah, palatum durum, uvula, atau faring). Lesi
sangat nyeri, tetapi sembuh spontan dalam 10 hari, dan tanpaadanya jaringan parut, kecuali
lesi sangat besar. Bentuk lesi bulat dengan eritem disekelilingnya dan tertutup
pseudomembran.3

Gambar 6. Ulkus Oral

Kulit

Lesi di kulit merupakan manifestasi sistemik tersering yang kedua pada ABD
(90,4%). Lesi kulit biasanya terjadi setelah onset dari ulkus oral yang sudah terjadi berulang
kali (>5x/tahun, setiap kejadian terdapat >6 lesi), dan biasanya muncul bersamaan dengan
uveitis dan ulkus genital.3,6

7
Manisfestasi kulit yang sering timbul berupa eritema nodosum (paling sering),
subkutan tromboplebitis, lesi akneiform, dan folikuler rash. Bentuk dari eritema nodosum
adalah adanya penonjolan berupa nodul kemerahan dengan indurasi di subkutan dan
permukaannya rata, biasa ditemukan permukaan anterior kaki, wajah, lengan atas, dan pantat.
Lesi ini cenderung berinvolusi dalan 10-14 hari tanpa jaringan parut mesipun terkadang
tampak lebih hipergigmentasi. 3

Ulkus Genital

Adanya lesi di genital biasanya muncul pada pertengahan proses penyakit, dan
bersamaan dengan manifestasi di okuler dan kulit. Ulkus ini dapat melibatkan jaringan yang
lebih dalam jika dbandingkan dengan ulkus di mulut, nyeri, dan meningalkan jaringan parut
setelah penyembuhan. Lesi dapat timbul di skrotum atau vulva, dapat juga di penis, perianal,
atau mukosa vagina.3

Saluran Pencernaan

Gejala dapat berupa nyeri abdominal, mual, diare baik dengan atau tanpa adanya
darah, dan sering terjadi di daerah katup ileosaekal. Keluhan yang dirasakan pasien adalah
perut terasa penuh, bengkak, rasa tidak nyaman yang menyerupai irritabel bowel syndrome.2

Jantung

Manisfestasi paling sering adalah perikarditis.2

Saluran Pernafasan

Hemoptisis, pleuritis, batuk atau demam, dan ruptur aneurisma dari arteri pulmonalis,
sehingga terjadi kolaps pembuluh darah dan dapat menyebabkan kematian akibat perdarahan
di paru-paru dapat terjadi pada pasien dengan ABD. Selain itu, nodul, konsolidasi, kaviti, dan
lesi seperti jam pasir sering juga tampak pada keterlibatan paru-paru. Trombosis pada
a.pulmonalis juga dapat terjadi.2

Sistem Muskuloskeletal

Atralgia seringtampak pada sebagian pasien ABD, dan atralgia ini biasanya berupa
non-erosif poli atau oligoartritis, dan biasanya mengenai persendian yang besar dari
ekstremitas bawah.2

8
Sistem Vaskuler

Vaskulitis dapat terjadipada pembuluh darah besar maupun kecil. Aneurisma yang
terjadi pada arteri pulmonal dapat berakibat fatal, dan juga dapat menyebabkan trombosis
pada jantung, sehingga tampak gejala batuk, hemoptisis, nyeri dada, atau sesak.6
Kelainan di vena lebih sering terjadi biasanya berupa tromboplebitis superfisial yang
berupa adanya garis diatas eritema mirip seperti eritema nodosum. Bila terdapat sumbatan di
vena cava inferior hingga vena hepatik, dapat menyebabkan Sindroma Budd-Chiari.6

Sistem Saraf

Manifestasi yang mengenai sistem saraf adalah meningoensefalitis kronis. Lesi dapat
berada di batang otak, ganglion basal, deep hemisphere white matter, dan juga di medula
spinalis.2
Gejala pada saraf yang ditimbulkan oleh meningitis aseptik atau trombosis vaskuler
(trombosis sinus dural) dapat berupa pusing, kejang, dan hilang ingatan. Gejala ini biasa
timbul pada akhir stadium penyakit, sehingga prognosis nya buruk.2
Lesi dapat melibatkan sistem sensorik maupun motorik yang dapat berdampak pada
10% penderita. Gejala dan tanda dapat berupa sakit kepala, meningismus, nistagmus, tremor,
ataxia, gangguan berbicara, perubahan perilaku, dementia, dan gangguan daya ingat.3

DIAGNOSIS

Kriteria Diagnosis

Untuk mendiagnosis suatu ABD harus berdasarkan dari gambaran klinis baik sistemik
maupun okuler, pemeriksaan laboratorium hanya digunakan sebagai pendukung dan juga
dapat untuk mendukung evaluasi pasien.3
Secara luas ada 2 kriteria untuk mendiagnosis ABD. Pertama, dikenal pada tahun
1972 dari Behçet‘s Disease Research Committee of the Japanese Ministry of Health and
Welfare. 4

9
Kedua, dikenal tahun 1990 dari International Study Group for Behçet Disease. 4

Pada kriteria yang kedua diagnosis tidak hanya melibatkan kriteria klinis namun juga
dengan pemeriksaan pathergy test. Hasil positif dari pemeriksaan pathergytest / prick test
/Behçetine test / skin prick menunjukkan adanya reaksi inflamasi yang nonspesifik terhadap
penyuntikan cairan salin intradermal, biasanya dapat dilihat adanya papul > 2mm yang
muncul 24-48jam setelah prick test dilakukan. Pemeriksaan ini positif pada 23,8-78,9%
pasien, dan menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas pada kulit yang mengganmbarkan
karakteristik dari ABD. Selain dengan pemeriksaan ini, untuk menentukan adanya reaksi
hipersensitivitas pada kulit dapat diketahui dengan anamnesis yang seksama, yaitu dengan
menanyakan adanya riwayat peradangan papul atau pustul 24-28jam setelah adanya trauma di
kulit.2,3

Laboratorium

10
Selama episode inflamasi akut, pasien memilki peningkatan dari nilai erythrocite
sedimentation rate (ESR), C-reaktif protein, leukosit perifer, komponen komplemen, dan akut
fase reaktan. Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal memperlihatkan peningkatan kadar
protein dengan atau tanpa pleositosis. 2,3,6
Kadar dari IgA, IgG, α2 globulin, IgM, dan kompleks imun juga dapat meningkat.
Autoantibodi yang ada di sirkulasi seperti antinuclear antibodi dapat juga terdeteksi. Namun
peningkatan kadar tersebut tidak satupun yang spesifik untuk mendiagnosis ABD, tetapi
dapat menguatkan gejala klinis yang ditemukan untuk membuat suatu diagnosis.6
Dengan pemeriksaan histopatologi, dapat ditemukan adanya gambaran
leukositoklastik dan monocytic occlusive vasculitis.1

Gambar 7.
Peradangan Hebat di Sekitar Pembuluh Darah Retina

Pencitraan Angiografi

Pencitraan ini dilakukan untuk mengidentifikasi adanya trombosis sinus vena dural
yang dapat sebagai penyebab dari peningkatan tekanan intrakranial dan atrofi saraf optik.
Dengan mengunakan Magnetic Resonance Venogram dapat terlihat adanya oklusi di daerah
kiri dari sinus sigmoid dan sinus transversa. Selain itu, foto X-ray dada, CT dada, dan MRI
kepala dengan kontras juga dapat menunjang diagnosis.2,4

Gambar 8. Oklusi di Sinus Sigmoid dan Sinus Transversa

Pemeriksaan Fundus
11
Fundus fluorescein angiografi akan menunjukkan adanya dilatasi dengan atau tanpa oklusi
dari pembuluh darah retina. Daerah pembuluh darah di retina atau saraf optik yang terkena
akan menunjukkan adanya kebocoran fluorescein selama fase awal dan dinding pembuluh
tadi akan terwarnai pada fase akhir. Kebocoran ini dapat ditemui meskipun belum adanya
vaskulitis.Dengan fluorescein angiografi juga dapat menilai adanya cystoid macular edema
dengan atau tanpa makular iskemik. 3

Gambar 9. (dari Kiri-Kanan).


Vaskulitis Akut Dengan Oklusi Vena, Kebocoran Pada Lokal Vaskulitis Dengan
Edema Makula, Pewarnaan Dinding Pembuluh Darah Pada Fase Akhir.

Optical Coherence Tomography (OCT)

Menunjukkan hilangnya persarafan, perimetri menunjuukan hilangnya lapang


pandang. 2

Indocyanin Green Angiografi (ICG)

Dengan Indocyanin Green Angiografi (ICG) segmen posterior akan tampak lesi hipo
dan atau hiperfluorescein, juga tampak ada kebocoran dari pembuluh besar di koroid,
pengisian ireguler pada koriokapiler, dan defek pengisian koroidal.5

Haplotipe

Adanya HLA-B51 dapat menunjang diagnosis namun bukan untuk pegangan utama
diagnosis.1

DIAGNOSIS DIFERENSIAL

Diagnosis diferensial dari Behçet Disease, antara lain: 1,4

 Sarcoidosis (biasanya hanya terdapat ulkus oral)

12
 HLA-B27 Associated Uveitis (terdapat gejala fibrinous uveitis, ulkus oral tidak terlalu
nyeri dan berat)
 Acute Renal Necrosis (ditemukannya alur putih di retina bagian perifer, dan gejala
lainnya lebih nyeri daripada ABD)
 Wegener ranulomatosis (sering ditandai dengan nefritis, inflamasi orbita, inflamasi
sinus dan pulmo)
 Sifilis
 Systemic Lupus Erythematosusdan penyakit vaskuler kolagen lainnya
 Polyarteritis Nodosa (PAN)
 Reactive Arthritis Syndrome
 Necrotizing HerpeticRetinitis
 Inflammatory Bowel Disease

TATALAKSANA

Tujuan terapi dibagi menjadi 2, yaitu jangka panjang dan jangka pendek. Terapi
jangka pendek bertujuan untuk menekan peradangan yang aktif, sedangkan terapi jangka
panjangadalah untuk menurunkan frekuensi dan beratnya serangan ulang, meminimalisasi
keterlibatan retina dan saraf optik, serta mencegah terjadinya komplikasi. Sehingga pada
keadaan akut biasanya digunakan sistemik kortikosteroid, sedangkan pada inflamasi kronis
digunakan imunosupresan terapi.3,4
Terapi harus diberikan sedini mungkin agar efektif untuk menekan penyakit.
Pemilihan obat harus berdasarkan gejala klinis, lokasi peradangan intraokuler, dan beratnya
peradangan. Oleh karena ABD melibatkan berbagai sistem organ, pendekatan multidisilplin
sangat perlu dilakukan.3

Kolkisin

Berasal dari tumbuhan dan bersifat alkaloid, bekerja dengan mengikat tubulin dan
mencegah pembelahan sel. Dosis yang diberikan adalah 0,5 – 1,5 mg/hr per oral. Efek
sampingnya dapat berupa penurunan kesuburan dan azoospermia.3

Kortikosteroid

Efektif sebagai terapi pada peradangan akut, obat ini bekerja dengan efek mensupresi
sistem imun, sehingga netrofil dan makrofag tidak dapat bermigrasi dan mensupresi aktivitas
limfosit. Kortikosteroid juga dapat menurunkan frekuensi rekuransi dan menjaga fungsi
penglihatan. Sediaan topikal dipakai untuk peradangan segmen anterior. 3
Untuk peradangan di segmen posterior, dapat menggunakan injeksi periokuler dengan
triamcinolone 20-40mg dengan atau tanpa sistemik kortikosteroid; prednisolon 30-80mg/hr

13
(1-1,5mg/kg) kemudian di tapering off perlahan, biasanya dalam setahun dengan disertai
kombinasi sitotoksik agen yang awalnya diberikan dalam dosis rendah, lalu dinaikkan sesuai
dengan diturunkannya dosis prednison (biasanya dalam 3-6 minggu). Pada kasus kronis,
dapat diberikan dosis pemeliharaan prednison 15-30mg/hari dan disertai kombinasi obat
imunosupresif.3,4
Bila ditemukan adanya retina vaskulitis dengan atau tanpa perdarahan yangmana
dapat berbahaya pada makula atau saraf optik, maka perlu dilakukan penanganan secara
agresif yaitu dengan metilprednisolon 1-2g diinfuskan selama 1-2 jam dilakukan 3 hari.4
Efek samping pemakaian kortikosteroid berupa hipertensi, DM, gangguan elektrolit,
osteoporosis, dan menurunkan ketahanan terhadap infeksi.3

Immunophilin Ligands

Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah ciclosporin dan tacrolimus (FK506)
merupakan suatu ligand yang menempel pada reseptor sitoplasma sel T, sehinggga
menghambat secara selektif aktivitas sel T. 3
Dosis ciclosporin adalah 5mg/kg/hr, dianggap efektif untuk menurunkan frekuensi
serangan peradangan okuli hingga 70%. Dosis awal adalah 3-5 mg/kg/hr untuk ciclosporin
dan 0,05-2 mg/kg/hr untuk tacrolimus. Efek samping dari imunophilin ligand adalah
disfungsi renal, gangguan neurologis, gangguan GIT, dan hirsutism (khusus untuk
ciclosporin).3

Agen Sitotoksik

Baik sitotoksik yang bersifat antimetabolik (azathioprin, MTX) atau alkylating agent
(cyclophosphamide, clorambucil) dapat digunakan pada kasus berat yang mengenai mata.
Dengan dosis clorambucil 0,1mg/kg/hr. Sedangkan dosis azathioprine 2,5mg/kg/hr oral.
Kombinasi dari kortikosteroid, ciclosporin dan azathioprine dilaporan dapat menginduksi
remisi yang baik pada beberapa pasien. Efek samping obat ini adalah supresi sumsum tulang,
hepatotoksik, malignansi sekunder, dan penurunan kesuburan.3,4

Agen Biologik

Interferon-α2a menunjukkan efektifitasnya untuk okuler ABD, begitu pula dengan


TNF-α infliximab dapat menekan munculnya serangan radang yang baru, tetapi efek samping
yang ditimbulkan adalah disfungsi sistem saraf pusat sehingga dapat mengancam terjadinya
infeksi oportunistik dan tromboembolitik.3

14
Laser dan Pembedahan

Scatter laser fotokoagulasi dapat digunakan sebagai terapi daerah retina yang kurang
perfusi akibat munculnya neovaskularisasi di retina dan atau saraf optik. 3
Terapi pembedahan diindikasikan bila terdapat perbaikan visus yang dapat dicapai
dan mata bebas peradangan selama minimal 3 bulan. Pembedahan pada katarak atau vitreus
dapat dilakukan pada pasien tertentu untuk mengontrol peradangan meskipun setelah operasi
masih diperlukan terapi yang agresif.3,4

PROGNOSIS

Prognosis Behçet disease sangat sulit diprediksi. Prognosis visus tergantung dari
terlibatnya segmen posterior, waktu mulai terapi, dan control peradangan. Usia muda, visus
yang buruk, kelainan pada segmen posterior, peradangan menetap, sinekia posterior,
peningkatan tekanan intraokuler, dan hipotoni merupakan indicator buruknya prognosis.
Dengan terapi yang tepat dan agresif, diharapkan komplikasi dan gangguan penglihatan dapat
diperkecil. Hilangnya penglihatan <20/200 terjadi pada 20-30% pasien dalam 5 tahun setelah
onset penyakit.1,2

DAFTAR PUSTAKA

1. Sen, H. Nida., 2016., Behçet Disease., In: Color Atlas & Synopsis of Clinical
Ophtalmology., Philadelphia: Lippincot Williams & Wilins., 2nd Edition., Chapter 7.

15
2. NN.,2016., Behçet’s Disease., http://www.en.wikipedia.org/wiki/Beh%C3%A7et
%27s_disease., 30.08.2016
3. Okada, Annabelle A., 2009., Behçet’s Disease., In: Yanoff & Duker Ophthalmology.,
3rd Edition., China: Elsevier., Chapter 7.16
4. Zorab, A. Richard., dkk., 2011., Behçet Disease., In: Intraocular Inflamation and
Uveitis: Noninfectious (Autoimmune) Ocular Inflamatory Disease., San Fransisco.,
American Academy of Ophtalmology, page 190-196.
5. Foster, C. Stephen, Klisovic, Dino D., 2008., Adamantiades-Behçet’s Disease., In:
Principle and Practice of Ophtalmology: Sympathetic Ophtalmia., North America:
Saunders Elsevier, chapter 328.
6. NN., 2016., Behçet’s Disease., http://www.mayoclinic.com/health/Behçets-
disease/DS00822., 13.07.2016

16

Anda mungkin juga menyukai