Anda di halaman 1dari 7

Mahasiswa vs Pengemis

Saat sedang jalan-jalan di Kota Tua, Roni seorang mahasiswa dihampiri bapak-bapak
tua pengemis. Terjadilah perbincangan berikut:

Pengemis: “Mas, bolehkah saya minta sedekahnya?”

Roni: “Ini Pak (menyodorkan uang 10 ribuan). Tapi maaf saya minta kembalian lima ribu
ya, Pak.”

Pengemis: “Baik, Mas. Ini kembaliannya.”

Roni: “Loh, kok 7 ribu, Pak?”

Pengemis: “Nggak apa-apa, Mas. Itung-itung saya sedekah juga buat masnya.”

Baju Paling Mahal

Koni dan Abdul sedang berbincang-bincang membahas dunia politik di warung kopi.

Koni: “Jadi anggota DPR itu enak betul ya. Gaji gede, rumah mewah. Temenku ada yang
jadi anggota DPR bahkan bajunya saja sampai mahal betul.”

Abdul: “Apa benar sampai sebegitunya?”

Koni: “Iya. Temanku itu dapat baju tahanan KPK. Mahal banget bukan baju tersebut
karena harus korupsi milyaran rupiah dulu baru bisa pakai”.

Abdul: “Oalah..”
kesehatan kampung sikor oleh Yewen, stand up comedy

selamat malam Indonesia. Papua itu tidak tertinggal, kami hanya ditinggal, iya kan. Tapi
saya percaya, apapun yang ditinggal itu pasti akan indah dan lebih menarik. Dan teman-
teman saya melihat itu terjadi kesenjangan kesehatan antara orang kaya dengan orang
miskin. Padahal kita sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang lebih baik, di Rumah sakit itu banyak terjadi, orang kaya dan orang miskin itu
sama-sama menangis. Tetapi yang membedakan orang kaya menangis di kamar
mayat, kita orang miskin menangis di loket pembayaran. (dibuat dan dikembangkan
kedalam teks anekdot seperti yang di slide dengan judul si kaya dan si miskin)

Dan teman-teman terus terang di kampung saya dulu itu aksesnya susah. Jalan itu susah,
jadi orang kalau berobat itu harus perjalanan jauh, itu bahkan tidur dijalan iya kan.
Biasanya itu ada tiga orang sakit, sori satu orang sakit kan, satu orang sakit itu biasanya
tiga orang itu yang antar. Antar jalan kaki, begitu sampai rumah sakit itu tiga orangnya
langsung sakit, iya, satu yang tadi sakit ini sudah sembuh. Makanya kami tuh kalau ada
orang sakit bukan kami kasihan tapi bikin kami emosi. Pernah teman saya begitu,
“Yewen, saya sakit ini, antar saya kerumah sakit kah” “Hah, kau ini sakit apa saja”
“muntaber” “haduh, kau sumbatlah bagaimana kau dulu” “aduh saya kalau sumbat ini
saya mati” “mending kau mati kita kubur dekat, saya kalau antar kau ke rumah sakit,
saya yang mati”

Makanya teman-teman kalau disana ada orang yang sakit, itu matanya dalam, badannya
kurus kering tapi betisnya besar, berotot kayak singkong, karena apa? Mau sehat,
berobat harus jalan kaki. Makanya disana itu alternativenya itu mereka cari berobat ke
dukun biar lebih dekat, memang benar, pengobatan dukun itu lebih dekat, lebih dekat
dengan maut.

Tapi itu dulu, sekarang akses sudah mulai bagus, tetapi yang saya sayangkan itu tenaga
medis. Ada, tapi cuman satu dan dia itu bidan. Teman-teman bisa bayangkan saya
bingung kenapa tidak dokter saja begitu. Memangnya orang-orang dikampung saya itu
sakit penyakitnya itu melahirkan? Ia kan? Tidak bisa masuk akal begitu. Dan itu yang
saya bayangkan bahwa kalau hujan di Jakarta berjam-jam itu banjir orang-orangnya
mengungsi, kalau di kampung saya hujan berjam-jam itu dingin orangnya masuk
produksi, itu yang membedakan. Dan begini teman-teman tidak masuk dilogika itu
begini. Satu bidan kalau malam dia tangkap satu kepala bayi tidak apa-apa. Coba kalau
tiga ibu yang melahirkan di waktu bersamaan, ini akan menjadi pekerjaan yang sulit.

“Yo, yo standby yo, siap-siap” “Ibu tarik nafas dorongnya pelan, karena bayi ibu keluar
lewat jalur mandiri”

“Sabar dulu ibu sabar yang ini dulu, ibu tarik nafas tidak perlu dorong karena bayi ibu
keluar lewat jalur orang dalam”
“Ibu tarik nafas, kenapa tidak keluar? Ya ialah ini kan sakit usus buntu”

Dan teman-teman walaupun begini saya ini berasal dari keluarga yang profesinya
kesehatan.

Tete (kakek) saya itu profesinya mantri. Yang uniknya tete saya, dia berobat orang tidak
pake obat minum, dia suntik, 35 tahun mengabdi bersama suntik, secara tidak langsung
sudah profesional ya. Jadi kecepatan tete saya suntik itu melebihi kecepatan cahaya,
cepat sekali, itu kalau ada pasien yang masuk kan, itu celana belum turun suntik sudah
melekat, begitu dia balik bini “Waluh” melekatnya dicelana, celana yang sehat orangnya
tetap sakit.

Ya tapi begitu disana pembangunan sudah merata, dan saya itu orangnya yang
perhatikan adalah kesehatan kulit. Dan kesehatan kulit itu penting, itu karena kita mandi
air kurang sehat, karena saya bandingkan air di Jakarta dengan air di Papua lebih jernih
segar bersih, bahkan air itu seperti tidak berdosa, saya mau menyelam saja itu takut
buat air itu ternoda tercemar. Saya ke Jakarta itu beda, saya tau air di belakang
Indonesiar ini, sungai di belakang ini, saya kalau menyelam itu saya hilang, bukan karena
saya tersangkut sampah, tetapi warna air sama dengan warna kulit saya.
Si anak papua oleh mamat

Selamat malam balai sarbini, terimakasih banyak, terima kasih banyak Kompas TV yang
telah menjadikan saya sebagai anak Papua pertama yang ada di panggung standup
comedy Indonesia, terimakasih banyak.

Dan tema hari ini adalah “Siapa diriku?”. Sebenarnya untuk mengetahui siapa saya
gampang saja, cukup tau nama daerah saya semua sifat saya sudah keluar semua disitu.
Nama daerah saya adalah kota fakfak (lebih terdengar ke konten negatif).
Menggemaskan kan?

Nah ini dia, nama sudah sangar, posisinya di sudut kali, orangnya gelap-gelap, enak
dong.

Dan eu teman-teman saya ini kuliah di Yogyakarta, saya mengambil sebuah jurusan itu
seperti saya uji nyali begitu, karena jurusan yang saya ambil itu adalah jurusan
kedokteran gigi. Ada yang percaya, tadi ada yang bilang percaya, terima kasih banyak
tapi pulang dari sini tolong periksa mata ya.

Maksudnya banyak orang yang bilang begini “Mamat muka kamu tidak cocok dengan
jurusan ini!”

Saya faham, muka saya kayak yang penuh babi ok saya faham itu. Cuman begini, mau
sampai kapan Negara sebesar Indonesia yang masyarakatnya luar biasa seperti kalian
masih menilai kualitas seseorang dari wajah. Justru muka yang hancur kayak saya begini
yang lebih cocok kejurusan dokter gigi. Coba bayangkan kalau dokter keren, putih
rambut lurus, lunglai, ada pasien datang. “Aduh ibu” “Ia bu”. Bagaimana bakteri mau
takut, coba kalau saya yang dokter gigi. Ada bapak-bapak yang datang.

“Selamat sore” “ia selamat sore” “Ada dokternya?” “Saya dokter” “Oh ia Pak dok, saya
ini sakit gigi”

“Duduk, buka mulut” “sakit dok tidak bisa” “Buka!!!”

Baru buka mulut saja sakitnya sudah hilang, giginya juga hilang. Susah ya memang muka
kayak begini, dan teman-teman begini, orang-orang bilang masuk ke dokteran gigi harus
orang kaya, padahal tidak juga. Saya dari papua dimana mayoritas masyarakat Papua
rata-rata itu pasti miskin, rata-rata miskin. Makanya saya heran adalah kenapa kita
miskin sedangkan alam kita saja di Papua itu kaya, bingung kan!! Saya saja bingung.
Maksudnya di Papua itu ada tambang emas besar di dunia, yang saya pernah baca
tambang emas ini menghasilkan 70 triliun per tahun rata-rata keuntungannya. Mau saya
bayangkan 70 triliun pertahun? Saya jelaskan 70 triliun per tahun kalau dibikin bapeda
satu Indonesia ini lengket. Saya itu biasa bayangkan teman-teman, bagaimana kalau
saya, kami dapat bagian dari tambang emas terbesar ini, woi sebagai orang papua kalau
punya banyak uang pasti sombong, sombong.

Saya kalau punya bagian dari freeport tiap malam minggu kalian tahu saya dimana?
Taulah lokalisasi. Tawar,

“mbak berapa?” “500rb mas” “Waduh murah sekali, 50 juta ya?” saya kasih 50 juta, saya
cium keningnya lalu saya pergi. “Mas kok 50 juta cuman segitu?” “Supaya kamu tahu
harga dirimu jauh lebih mahal dari harga apapun”.
Nama di facebook oleh mamat

Selamat malam balai sarbini...

Temen-temen, facebook itu zaman sekarang itu sudah ditinggalkan. Tapi mama mama
di fakfak baru saja main facebook. Sudah begitu facebook ini kayak kembali ke era-era
lama, yang namanya kita susah baca.

Contohnya, macepenina sobat killing me inside penikmat papeda unch unch forever.

Saya tuh resah dengan ini, karena mamah saya ikut-ikutan main facebook. Nama asli
mamah saya adalah muchlisina, kalian tau nama facebooknya apa? Nabila.

Kalian lihat ini, dibawah ini saya belum add, saya belum add, saya malu sumpah.
Maksud saya nama muchlisina ini kan bagus gitu, kenapa mesti diganti nabila. Kalau
memang mamah saya ini tidak percaya diri dengan nama muchlisina yah tinggal di
tambah. Muchlisina koteka lover, atau muchlisina rasta maniya uye....

Tapi ini untung, untung saja mamah saya pasang foto, sampai saya bisa tau kan. Coba
bayangkan dia sudah pakai nama begini, fotonya juga beda, terus add saya. Sebagai
anak Papua wei kita lihat dari nama dulu kawan, muka urusan belakang karena semua
sama.

Ada yang add nama Nabilla saya langsung gass, untung saja saya tidak chat yang aneh-
aneh kan? Kalau saya chat yang aneh-aneh bahaya!! Bahayanya kalau mamah saya juga
mau.

Dan temen-temen sosial media semakin kesini semakin digunakan untuk sarana
menebar kebencian.

Kita tidak usah jauh-jauh, coba ambil di twitter kita lihat twitter saja, dari atas sampai
bawah isinya orang riiiibut saja. Mohon maaf saya dari papua, lihat orang ribu, fasion.
Bahkan sudah jadi kebutuhan hidup, sandang, pangan, papan, keributan.

Makanya saya berpikir, kalau seandainya kemajuan sosial media itu membuat kami di
Papua harus saling membenci, mohon maaf kami lebih memilih tertinggal saja, karena
kalau kita juga ikut-ikutan bahaya.

Saya lagi perang kata-kata dengan orang di twitter, saya di maki-maki, “Woi mamat
hitam”. Saya tidak terima, saya telefon teman-teman, langsung delapan truk turun ke
warnet, bantu saya balas twit itu.

Dan eu,, teman-teman sosial media itu ada untungnya juga, untungnya itu apa?
Untungnya kita banyak teman, walaupun kita hanya tau sebatas nama akunnya sama
foto profilnya. Karena ini saya itu biasa mendapat pertanyaan yang aneh sekali. Contoh
lagi makan, saya pernah disamperin satu orang trus tanya. “Kakak, kakak dari papua?”
“Ia betul”, “Kenal Yosef?” “Tidak kenal, itu siapa?”. “Teman facebook saya” “Oh maaf
saya tidak kenal”, “katanya kakak dari Papua masak tidak kenal!”

Saya dalam hati ini orang mungkin Papua dia pikir Papua sebesar gini yang dalamnya
isinya cuman 10 orang gitu. Karena saya emosi saya tanya balik. “Kamu asalnya
darimana?” “Palembang kakak”

“Kenal Rahman?” “Tidak!” “Masa dari Palembang tidak kenal Rahman!” “Ia kan
Palembang luas kakak”, “Kau pikir Papua juga sempit!!!”

Datang-datang langsung tanya Yosef, Yosef, kau tidak tahu selama ini Yosef itu siapa?
Tidak Tahu!!

“Tidak kakak”

“Kenalkan saya Yosef”

“Kakak Yosef, saya Rahman Kak”

Ibu-ibu zaman sekarang oleh karyn

Pidato politik oleh cak lontong

Anda mungkin juga menyukai