Anda di halaman 1dari 2

Cutaneous Larva Migrans (CLM)

Cutaneous Larva Migrans (CLM) atau creeping eruptions merupakan penyakit


yang spesifik untuk daerah tropis dan merupakan masalah dermatologis yang sering
terjadi pada pelancong di daerah tropis dan subtropis. CLM pada umumnya disebabkan
oleh larva cacing tambang hewan, seperti Ancylostoma braziliense dan A. caninum.
Banyak larva nematoda lainnya yang dapat menyebabkan CLM, seperti genus
Gnathostoma (gnathostomiasis), hookworm, Paragonimus westermani
(paragonimiasis), Spirometra (sparganosis) dan Strongyloides stercoralis
(strongyloidiasis). Cacing tambang hewan dewasa berada di usus kucing atau
anjing dan telurnya dilepaskan ke lingkungan melalui feses. Telur ini matang di tanah.
Tanah dan pasir mempunyai kondisi yang hangat, lembab, dan teduh merupakan
kondisi yang bagus untuk telur tersebut menetas menjadi larva yang dapat
menembus kulit manusia. Berjalan tanpa alas kaki berisiko tinggi karena larva dapat
menembus lapisan kulit epidermis. Penyakit ini sering terjadi pada ekstremitas bawah,
terutama di permukaan dorsal dan plantar kaki, juga pada daerah pantat. Larva akan
bergerak beberapa milimeter setiap hari pada kulit. Kebanyakan larva tidak dapat
menyerang jaringan yang lebih dalam dan mati dalam 2-8 minggu tetapi larva
tertentu dapat menembus mukosa, bergerak lebih dalam ke lemak subkutan
maupun masuk ke sirkulasi, contohnya pada strongyloidiasis. Oleh karena itu
petani, tukang kebun, atau anak-anak rawan terkena penyakit ini secara tidak
sengaja. Penyakit CLM dikelompokkan menjadi beberapa jenis, tergantung spesies,
lesi dan aspek klinisnya. Tipe 1 merupakan cacing tambang hewan yang disebabkan
oleh A. braziliense dan A. caninum. Larva ini bermigrasi 3,5-5 cm per hari. Infeksi
mungkin kronis. Tipe 2 merupakan cacing tambang pada manusia, yaitu A.
duodenale dan Necator americanus menyebabkan pruritus yang hebat. Jenis larva
migrans ini juga dikenal sebagai "ground itch". Larva ini dapat bermigrasi ke paru dan
saluran pencernaan di mana akan berubah menjadi cacing dewasa. Tipe 3 yaitu S.
stercoralis yang pada manusia menyebabkan tipe CLM yang dikenal sebagai "larva
currens". Lesi dimulai dari perineum dan menuju ekstremitas juga pada daerah
lainnya. Tipe 4 yaitu Strongyloides hewan. Lesi mirip dengan infeksi S.stercoralis.
Tipe 5 merupakan Gnathostoma. CLM yang disebabkan oleh Gnathostoma sering
kali hanya terbatas di negara Jepang, Thailand, dan jarang pada negara AsiaTenggara.
Hal ini sebagai akibat dari larva yang tertelan atau kontak langsung pada kulit
akibat terkontaminasi parasit saat mengolah daging hewan. Tipe 6 yaitu larva dari
serangga spesies tertentu dari Gastrophi dan Hypoderma. Spesies ini dapat bermigrasi
dan menyebabkan lesi linier yang sering disebut "myiasis linearis". Larva pada CLM
bisa dengan mudah dilihat dengan cara menekan kulit dan dilihat menggunakan kaca
pembesar. Secara umum gambaran khas penyakit ini berupa papula, urtikaria,
papulovesikel, dan pruritus di tempat penetrasi larva. Pruritus akan menghilang saat
larva masuk ke pembuluh darah dan bermigrasi ke mukosa usus. Namun, beberapa
cacing dapat menyebabkan gejala sistemik sekunder, saat larva memasuki pembuluh
darah dan bermigrasi ke mukosa usus larva tersebut mengeluarkan protease dan
hyaluronidase yang memfasilitasi penetrasi dan migrasi melalui epidermis.
Diagnosis umumnya mudah dilakukan dan didasarkan pada manifestasi klinis pasien
juga riwayat perjalanan. Namun, diagnosis banding juga harus dipertimbangkan karena
terkadang lesi awal tidak khas dan menyerupai urtikaria papulosa. Sindroma Loffler
adalah komplikasi dari penyakit ini. Sindroma Loffler juga dikenal sebagai infiltrasi
paru dengan sindrom eosinofilia, ditandai dengan infiltrat paru yang bermigrasi,
demam transien, batuk dan malaise. Hal ini bisa terjadi karena dua hal, yaitu larva
bermigrasi langsung ke paru atau terkait akibat reaksi hipersensitivitas tipe 1 akibat
larva. Diagnosis banding mencakup gnathostomiasis, myiasis, dermatitis kontak
alergi, dan tinea pedis. Pengobatan dapat dilakukan dengan albendazole,
thiabendazole atau ivermectin yang merupakan terapi efektif untuk komplikasi yang
terkait dengannya. Albendazole oral 2x400 mg/hari selama 3 hari berturut-turut
menjadi salah satu terapi yang paling efektif dan dapat ditolerir dengan baik. Ivermectin
dipakai secara dosis tunggal (200μg/kg). Pemberian thiabendazole secara oral
selama 2 sampai 5 hari. Thiabendazole jarang digunakan secara oral dan topikal
karena berhubungan dengan gangguan gastrointestinal. Untuk mencapai efikasi
terapeutik 80% - 100%, dosis 400-800 mg pada orang dewasa dan 10-15mg/kg pada
anak-anak (maksimum 800 mg/hari) selama 3-5 hari dianjurkan. Albendazole tampak
lebih efektif daripada agen lain untuk mengobati, terkait dengan sindrom Loffler,
namun seringkali memerlukan waktu pengobatan yang lebih lama.

Anda mungkin juga menyukai