Anda di halaman 1dari 13

Pasien Meninggal Akibat Anafilatik Syok dan Kelalaian Dokter

Gabriella Selara Pangarepo


102014085
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna utara no.6 Kebon Jeruk, Jakarta
gabriellaselara@gmail.com

Pendahuluan

Dengan perkembangan zaman, cara berpikir masyarakat berubah. Dimana banyak


dilaporkannya kasus malpraktek hingga disiarkan di media sosial, sehingga masyarakat mulai
kritis terhadap hak-haknya. Mereka tidak begitu saja menerima pendapat dokter tentang
penyakitnya tetapi ingin mengetahui lebih jelas tentang penatalaksanaannya serta mencari
alternatif opini dari dokter lainnya.
Didalam dunia ini tidak jarang ditemukan kasus yang menjadi semakin buruk hingga
kematian didalam bidang kedokteran. Masalah pun sering ditemukan dalam menentukan
apakah perbuatan yang kita lakukan itu baik atau buruk, benar atau salah. Terkadang bila kita
melakukan sesuatu yang dianggap salah oleh masyarakat, seringkali tindakan kita tersebut
dikatakan tidak etis atau tidak sesuai dengan etika dan terkadang masyarakat mengatakan
bahwa yang dilakukan adalah malpraktek. Masyarakat pun harus mengetahui apa saja yang
dapat dianggap sebagai malpraktek, yang akan dibahas dimakalah ini. Di dalam dunia
profesi, tentunya sangat dibutuhkan sebuah etika. Di dalam dunia kedokteran kita mengenal
istilah etika kedokteran, etika yang harus dimiliki oleh seorang dokter ialah kewajiban umum,
atas pasien, atas sesama maupun kepada diri sendiri. Bagi setiap dokter dokter yang sudah
menjalankan sumpahnya harus memiliki sikap etis dan memiliki sikap profesionalitas sebagai
seorang dokter.

1
Isi

TBC

Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium


tuberculosis. Organisme ini disebut pula sebagai basil tahan asam. Penularan terjadi melalui
udara (airborne spreading) dari droplet infeksi. Sumber infeksi adalah penderita TB paru
yang membatukkan dahaknya, dimana pada pemeriksaan hapusan dahaknya umumnya di
temukan BTA positif.1

Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur hidup.


Setelah seorang terinfeksi kuman tuberkulosis, hampir 90% penderita secara klinis tidak
sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif, 10% akan sakit. Penderita yang sakit, bila
tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan
pertahanan tubuh yang baik dan 25% menjadi kronik dan infeksius.

Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium


tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian
akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian TB di seluruh
dunia terjadi pada negara-negara berkembang.

Dalam menegakkan diagnosis penyakit Tuberkulosis dapat dilakukan dengan berbagai


macam pemeriksaan, dengan spesimen yang utama adalah sputum (dahak) pasien.
Tuberkulosis dapat disembuhkan dengan mudah jika pasien menjalankan pengobatan secara
lengkap. Pemeriksaan terhadap penyakit TBC dapat dilakukan dengan

● Pemeriksaan Bakteriologis

Cara yang paling dapat diandalkan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan
dahak dengan menemukan TB pada pemeriksaan dahak pada sediaan langsung. Untuk
pemeriksaan TB paru, semua pasien suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu
2 hari, yaitu : dahak setempat pertama ,dahak pagi hari, dahak setempat kedua : ketika
pasien kembali membawa dahak pagi hari.2

Bila kuman BTA dijumpai 2 kali dari 3 kali pemeriksaan penderita disebut BTA (+)
menular. Jumlah kuman yang ditemukan merupakan informasi yang sangat penting
karena berhubungan dengan derajat penularan penderita maupun dengan beratnya
2
penyakit. Bila ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ atau (3+)
dimana terdapat banyak bakteri tahan asam.3 Pemeriksaan lain juga dapat dilakukan
seperti pemeriksaan biakan (kultur TB), tes resistensi dan sensitivitas obat.

 Pemeriksaan Radiologis

Saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan
lesi tuberkulosis. Dimana diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis
dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. Bila lesi sudah diliputi
jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini
dikenal sebagai tuberkuloma. TB milier memberikan gambaran berupa bercak – bercak
halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Biasanya pada TB
yang sudah lanjut, dalam satu foto dada seringkali didapatkan bermacam – macam
bayangan sekaligus, seperi infiltrat, garis – garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas
(nonsklerotik atau sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.

Pada penyakit TBC ini gejala yang dapat ditimbulkan ialah demam, biasanya subfebril
menyerupai demam influenza, batuk-batuk berdarah yang terjadi karena adanya iritasi pada
bronkhus, sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut yang infiltrasinya
sudah meliputi setengah bagian paru-paru, nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis, dan malaise pada radang menahun
semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. Dengan gejalanya
penyakit biasanya diberikan terapi dengan tujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah
kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain, dan mencegah terjadinya
resistensi OAT. Dengan obat yang diberikan adalah kombinasi antara Isoniazid (INH),
Rifampicin (R), Pirazinamid (Z), Streptomycin (S), dan Etambutol (E).1-4

Sedangkan apabila penyakit ini tidak ditangani dengan baik akan timbul komplikasi
seperti hemoptysis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapet mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas, kolaps dari lobus akibat
retraksi bronkial, bronkiektasis dan fibrosis pada paru, pneumothorak spontan : kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru, penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
persendian, ginjal, dan organ lain hingga insufisiensi Kardio-Pulmonal.1

3
Malpraktek

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai “professional misconduct


or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise
that degree of skill and learning commonly apllied under all the circumtances in the
community by the average prudent reputable member of the profession with the result injury,
loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”. 5

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disenganja (intetional) seperti misconduct
tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu ketidak-kompetenan yang beralasan.

Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk


pelanggaran kententuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum
pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud,
“penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedoktean, aborsi ilegal, euthanasia,
penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok
yang belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, sengaja
melanggar standar, dan lain-lain. Selain itu malpraktek juga dapat terjadi sebagai akibat
kelalaian.

Dengan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesimpulan adanya malpraktek


bukanlah dilihat dari hasil tindakan medis pada pasien melainkan harus ditinjau dari
bagaimana proses tindakan medis tersebut dilaksanakan. 5

Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya diakibatkan oleh
beberapa kemungkinan yaitu:

1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan


tindakan medis yang dilakukan dokter.
2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat
diketahui sebelumnya (unforseeable), atau risiko yang meskipun telah diketahui
sebelumnya tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas.
3. Hasil dari suatu kelalaian medik.
4. Hasil dari suatu kesengajaan. 5

4
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak
sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya.
Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex,” yang berarti hukum tidak
mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian
materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai
kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminil.5

Macam-macam Malpraktek

Malpraktek dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik dan malpraktek yuridis,
ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.6

a. Malpraktek etik

Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah kesalahan profesi karena kelalaian dalam
melaksanakan etika profesi, maka sanksinya adalah sanksi etika yang berupa sanksi
administrasi sesuai dengan tingkat kesalahannya.

Contoh konkrit yang merupakan malpraktek etik ini antara lain:

a. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak


diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena
laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang
mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga
mendapatkan hadiah tersebut.
b. Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji
kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut,
kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan
terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang
sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga
merupakan malpraktek etik.6

5
b. Malpraktek yuridis
a. Malpraktek perdata (civil malpractice)

Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi


perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga
kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad)
sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.

Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:

 Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.


 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melaksanakannya.
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.6

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi
beberapa syarat seperti:

 Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)


 Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
 Ada kerugian
 Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar
hukum dengan kerugian yang diderita.
 Adanya kesalahan (schuld)6

Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian
dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut:

 Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.


 Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
 Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya.
 Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.

6
Namun ada kalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter.
Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah
berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut
sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah
sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus
membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.6

b. Malpraktek pidana (criminal malpractice)

Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau
tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan
upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
Malpraktek medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsure culpa
lata atau kelaalaian berat atau “zware schuld” dan pula adanya akibat fatal atau
serius.

• Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)

Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,


membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat
padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan
surat keterangan dokter yang tidak benar.

• Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)

Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan
standar profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

• Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)

Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter
yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga
tubuh pasien.

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance.
Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak
(unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai
(pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan
7
tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance),
yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah
tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk
kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses) yang telah
diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian
dalam hukum – khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan
kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan
dampak buruk. Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian
terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya
tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang
lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu
diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah
merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang
seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan
kerugian atau cedera bagi orang lain.6

c. Malpraktek administrative (administrative malpractice)

Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran


terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek
dokter tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah
kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

Dua macam pelanggaran administrasi tersebut adalah:

 Pelanggaran hukum administrasi tentang kewenangan praktek kedokteran


 Pelanggaran administrasi mengenai pelayanan medis.6

Upaya Pencegahan Malpraktek

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga dokter, bidan dan
ahli kesehatan lainnya karena adanya mal praktek diharapkan para dokter,bidan dan ahli
kesehatan lainnya dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:

8
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.7

Kejadian yang Tidak Diharapkan

Ketika memberikan pelayanan kepada pasien, terjadilah hubungan yang disebut kontrak
terapeutik. Dalam hubungan tersebut timbul hak, kewajiban dan tanggungjawab yang
mengikat para pihak dengan dilandaskan pada niat baik, kepercayaan dan kesetaraan. Di satu
pihak pasien dengan jujur menjelaskan masalahnya dan mempercayakan pengobatannya
kepada dokter dan di pihak lain dokter akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk
menolong pasien tersebut. Dalam perikatan ini, dokter harus berupaya sebaik mungkin
(inspannings verbintenis) sesuai standar profesi namun tidak dibenarkan untuk menjamin
hasil pengobatannya karena memang bukan perikatan hasil (resultaat verbintenis).7

Sekalipun dokter telah berupaya sebaik mungkin, adakalanya hasil pengobatan tidak
sesuai dengan harapan pasien ataupun dokter, ketidakberhasilan itu dapat berupa antara lain
timbulnya nyeri kronik, kecacatan, koma atau bahkan kematian. Kejadian tidak diharapkan
(KTD) ini disebut dengan adverse event. KTD dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Perjalanan penyakit yang tidak dapat dihentikan misal karena keganasan atau stadium
yang sudah lanjut; atau karena komplikasi penyakit yang terjadi kemudian.
2. Merupakan risiko yang tidak dapat diketahui atau dibayangkan sebelumnya
(unforeseeable risk)
3. Merupakan risiko yang sudah dapat diketahui namun dapat diterima oleh pasien
(foreseeable but accepted)
4. Akibat dari kegagalan dokter melaksanakan pelayanan yang layak (reasonable care)
dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tanpa alasan yang dapat dibenarkan.5
9
Dalam hal nomer 1,2,3 diatas, dokter tidak harus bertanggungjawab selama dokter
tersebut telah melakukan asuhan medis sesuai standar profesi. Bila terjadi yang nomer 4,
dokter dapat dimintai pertangungjawaban karenanya.7
Mengingat adanya risiko pada tindakan pengobatan oleh dokter, maka dipandang perlu
diterbitkan Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang mengatur
praktik kedokteran di Indonesia. Pengaturan Praktik Kedokteran dilaksanakan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai perwujudan otonomi profesi dalam melakukan
pengaturan diri (self regulation) pada profesi kedokteran dan kedokteran gigi.
MKDKI adalah bagian dari KKI yang bersifat otonom dalam melaksanakan tugas
fungsionalnya. Tugas pokok MKDKI adalah menegakkan disiplin profesi kedokteran, yang
meliputi keahlian profesional (professional expertise) dan perilaku profesional (professional
behaviour)8
Pada kelompok nomor 2 yaitu kelompok risiko yang tidak dapat diketahui atau
dibayangkan sebelumnya banyak hal yang dapat terjadi seperti anafilatik syok, pendarahan
pada pasien, alergi obat dan lain-lain.

Anafilatik Syok

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai


oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-
antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok
distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi
tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.

Mekanisme umum terjadinya reaksi anafilaksis dan anafilaktoid adalah berhubungan


dengan degranulasi sel mast dan basophil yang kemudian mengeluarkan mediator kimia yang
selanjutnya bertanggung jawab terhadap symptom. Degranulasi tersebut dapat terjadi melalui
kompleks antigen dan Ig E maupun tanpa kompleks dengan Ig E yaitu melalui pelepasan
histamine secara langsung.

10
Mekanisme lain adalah adanya gangguan metabolisme asam arachidonat yang akan
menghasilkan leukotrien yang berlebihan kemudian menimbulkan keluhan yang secara klinis
tidak dapat dibedakan dengan meknisme diatas. Hal ini dapat terjadi pada penggunaan obat-
obat NSAID atau pemberian gama-globulin intramuscular.

Penatalaksanaan Syok Anafilaksis

Bila kita mencurigai adanya reaksi anafilaksis segera bertindak dan jangan ditunggu-
tunggu. Salah seorang penulis mengatakan “Do not wait until it is fully developed” artinya
“segeralah bertindak”. 8

Apakah yang harus kita lakukan bila berhadapan dengan penderita syok anafilaksis?

1. Posisi: Segera penderita dibaringkan pada posisi yang nyaman /comfortable dengan
posisi kaki ditinggikan (posisi trendelenberg), dengan ventilasi udara yang baik dan
jangan lupa melonggarkan pakaian.
2. Airways : Jaga jalan nafas dan berikan oksigen nasal/mask 5-10 I/menit, dan jika
penderita tak bernafas disiapkan untuk intubasi.
3. Intravena access : Pasang IV line dengan cairan NacL 0,9% / Dextrose 5% 0,5-1
liter/30 menit
4. Drug: Epinefrin / Adrenalin adalah drug of choice pada syok anafilaksis dan diberikan
sesgera mungkin jika mencurigai syok anafilaksis (TD sistolik turin < 90 MmHg).
Namun harus hati-hati dengan penderita yang dalam sehari-hari memang hipotensi. 8

Untuk itu perlunya dilakukan pemeriksaan TD sebelum dilakukan tindakan.

Dosis : 0,3-0,5 ml/cc Adrenalin/Epinefrin 1 : 1000 diberikan IM (untuk anak-anak dosis :


0,01 ml/KgBB/.dose dengan maksimal 0,4 ml/dose). Bila anafilaksis berat atau tidak respon
dengan pemberian dengan cara SK/IM pemberian Epinefrin/adrenalin dapat langsung melalui
intavena atau intratekal (bila pasien sudah dilakukan intubasi melalui ETT) dengan dosis 1-5
ml (Epi 1 : 10.000, dengan cara membuatnya yaitu mengencerkan epinefrin 1 ml1: 1000
dengan 10 ml NaCl). Dapat diulang dalam 5-10 menit. Jika belum ada respons diberikan
adrenalin perdip dengan dosis ug/menit (cara membuat : 1 mg Epinefrin1: 1000 dilarutkan
dalam DX5% 250 cc). 8

11
Selain pemberian Epi/Adrenalin pemberian antihistamin ternyata cukup efektif untuk
mengontrol keluhan yang ditimbulkan pada kulit atau membantu pengobatan hipotensi yang
terjadi. Dapat diberikan antihistamin antagonist H1 yaitu Dipenhidram dengan dosis 25-50
mg IV (untuk anak-anak 2 mg/KgBB) dan bila dikombinasikan dengan antagonis H2 ternyata
lebih superioar yaitu dengan Ranitidin dosis 1 mg/kgbb IV atau dengan Cimetidine 4
mg/kgbb IV pemberian dilakukan secara lambat. 8

Pemberian golongan kortikosteroid dapat diberikan walaupun bukan first line therapy.
Obat ini kurang mempunyai efek untuk jangka pendek, lebih berefek untuk jangka panjang.
Dapat diberikan Hidrokortison 250-500 mg IV atau metal prednisolon50-100 mg IV.

Bila terdapat bronkospasme yang tak respon dengan adrenalin dapat diberikan
aminophylin dengan dosis 6 mg/KgBB dala 50 ml NaCL 0.9% diberikan secara Iv dalam 30
menit. Bila penderita menunjukan tanda-tanda perbaikan harus diobservasi minimal 6 jam
atau dirujuk ke RS bila belum menujukan respons

Kesimpulan

Dalam pelayanan kedokteran terkadang timbul kejadian yang tidak diinginkan yang
dapat berasal dari hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, hasil dari suatu risiko yang
tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforseeable), hasil
dari suatu kelalaian medik dan hasil dari suatu kesengajaan. Malpraktek medik merupakan
kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di bawah standar. Dokter yang kompeten
sudah seharusnya mencegah terjadinya kejadian yang tidak diinginkan, apabila kejadian
tersebut sudah terjadi dokter harus berkompeten juga dalam melaksanakan penanganannya.

12
Daftar Pustaka

1. Santoso M. Masalah pengelolaan tbc paru di indonesia. Jakarta: Departemen Penyakit


Dalam Fakultas Kedokteran Ukrida; 2006. h.1-56.
2. Departemen Penyakit Dalam FKUI. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III Dalam:
Zulkifli A, Asril B, penyunting. Tuberkulosis Paru. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Penyakit Dalam; 2009.p. 2230-8.
3. Staff Pengajar FKUI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Dalam: Robert U, Harul H,
penyunting. Kuman Tahan Asam. Edisi revisi. Jakarta: Bina Rupa Akhsara; 2007.p.228-9.
4. Jawets, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran. Dalam: Retna NE, penyunting.
Mikobakterium. Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2007.p.325-8.
5. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Jakarta: EGC; 2009.h.87-9.
6. McCellan FM. Medical malpractice: law, tactics, and ethics. Philadelphia: Temple University;
2004.p.39.
7. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2004.h.178-180.
8. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2005. h. 128-9.

13

Anda mungkin juga menyukai