Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN PUSTAKA

Upaya Pengendalian Vektor DBD

Gabby Agustine, Gabriella Selara Pangarepo, Julio Ludji Pau

Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 1510

Abstrak

Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada


tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya
meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit
ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Desain penelitian yang digunakan cross
sectional dengan kerangka sampel blok sensus dari Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) bulan Februari 2015 dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Populasi adalah rumah tangga di Indonesia di seluruh provinsi dan kabupaten/kota
(34 Provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota). Adapun jumlah sampel yang
dibutuhkan adalah 300.000 rumah tangga yang diperoleh dari 30.000 blok survei
(masing-masing blok survei terdiri dari 10 rumah tangga). Pada tahun 2017 di
didapatkan, terhitung sejak Januari hingga Mei tercatat sebanyak 17.877 kasus,
dengan 115 kematian. Angka kesakitan atau Incidence Rate (IR) di 34 provinsi di
2015 mencapai 50.75 per 100 ribu penduduk, dan IR di 2016 mencapai 78.85 per
100 ribu penduduk. Dari prospektif ini dapatkan dilihat terjadinya peningkatan
yang memang belum signifikan namun mengalami kemajuan di beberapa tahun
terakhir. Pengendalian vector DBD ini memang membutuhkan waktu yang lama
kita mencapai angka bebas jentik yang diharapkan. Oleh karena itu di butuhkan
peran aktif masyarakat untuk menyelesaikan masalah ini. Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah
penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan
kepadatan penduduk. Maka dari itu perlu dilakukan upaya pengendalian vektor
sehingga meningkatkan kesehatan lingkungan di masyarakat. Pada tinjauan
TINJAUAN PUSTAKA

pustaka ini kami akan menjelaskan upaya – upaya pengendalian vektor Demam
Berdarah Dengue.

Kata Kunci : DBD, Vektor, kesehatan lingkungan

Abstract

In Indonesia Dengue Fever was first discovered in the city of Surabaya in 1968,
where as many as 58 people were infected and 24 of them died (Mortality Rate
(AK): 41.3%). And since then, this disease has spread throughout Indonesia. The
study design was used cross sectional with a census block sample frame from the
February 2015 National Socio-Economic Survey (Susenas) from the Central
Bureau of Statistics (BPS). The population is households in Indonesia in all
provinces and districts / cities (34 provinces, 416 districts and 98 cities). The
number of samples needed is 300,000 households obtained from 30,000 survey
blocks (each survey block consists of 10 households). In 2017, from January to
May there were 17,877 cases, with 115 deaths. Incidence Rate (IR) in 34
provinces in 2015 reached 50.75 per 100 thousand residents, and IR in 2016
reached 78.85 per 100 thousand residents. From this prospect, it can be seen that
there has been an increase that has not been significant but has progressed in
recent years. Vector control of dengue does indeed require a long time we reach
the expected free wiggle number. Therefore, the active role of the community is
needed to solve this problem. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is still one of
the main public health problems in Indonesia. The number of patients and the
area of the spread is increasing along with the increase in mobility and
population density. Therefore it is necessary to carry out vector control efforts so
as to improve environmental health in the community. In this literature review we
will explain the efforts to control Dengue Hemorrhagic Fever vector.

Key Words : DHF, Vector, Enviroment health

2
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu


masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan
luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
mobilitas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali
ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang
terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) :
41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.1 Di
tahun 2017, terhitung sejak Januari hingga Mei tercatat sebanyak 17.877 kasus,
dengan 115 kematian. Angka kesakitan atau Incidence Rate (IR) di 34 provinsi di
2015 mencapai 50.75 per 100 ribu penduduk, dan IR di 2016 mencapai 78.85 per
100 ribu penduduk. Angka ini masih lebih tinggi dari target IR nasional yaitu 49
per 100 ribu penduduk.2 Nyamuk Aedes aegypti. merupakan vektor utama
penyakit demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD). Vektor
sekunder penyakit ini adalah nyamuk Aedes albopictus. Demam dengue dan
demam berdarah dengue disebabkan oleh virus Dengue (genus Flavivirus, family
Flaviviridae). Penyebaran virus dengue terjadi ketika nyamuk Aedes aegypti
betina menggigit penderita, sehingga virus dengue akan berpindah ke liur
nyamuk. Ketika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus akan berpindah ke
yang lain. Penderita penyakit ini sering kali terjadi pendarahan, syok, dan
menyebabkan kematian.3 Salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam
pengendalian penyakit menular adalah dengan pengendalian vector (serangga
penular penyakit) untuk memutuskan rantai penularan penyakit. Faktor yang
penting dalam pengendalian vektor adalah mengetahui bionomik vektor, yaitu
tempat perkembangbiakan, tempat istirahat, serta tempat kontak vektor dan
manusia. Upaya pengendalian vektor dengan menggunakan bahan kimia ternyata
tidak cukup aman, karena walaupun dapat menurunkan populasi vektor dengan
segera, penggunaan bahan kimia yang berlebihan juga mempunyai dampak yang
merugikan terhadap lingkungan, yaitu menurunnya kualitas lingkungan. Saat ini,
metode pengendalian vektor dan mengurangi kontak antara vector manusia
merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah timbulnya demam berdarah
TINJAUAN PUSTAKA

berserta implikasinya. Hingga sekarang, tidak ada pengobatan yang spesifik untuk
demam dengue sementara vaksin untuk dengue pun belum tersedia.4,5

Definisi

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang


disebabkan oleh satu dari 4 virus dengue berbeda dan ditularkan melalui nyamuk
terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang ditemukan di daerah tropis dan
subtropis diantaranya kepulauan di Indonesia hingga bagian utara Australia.
Nyamuk ini tersebar luas di rumah-rumah, sekolah dan tempat-tempat umum
lainnya seperti tempat ibadah, restoran, kantor, balai desa dan lain-lain sehingga
setiap keluarga dan masyarakat mengandung risiko untuk ketularan penyakit
DBD. Penularan penyakit DBD pada dasarnya terjadi karena adanya penderita
maupun pembawa virus dengue, nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor dan
masyarakat sebagai sasarannya.6,7

Vektor
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DEN 1, DEN 2,
DEN 3, dan DEN 4. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne
viruses (arboviruses). Keempat type virus tersebut telah ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia. Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus
dengue dengan tipe 1 dan 3. Virus dengue merupakan virus RNA rantai tunggal,
genus flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
Struktur antigen ke-4 serotipe ini sangat mirip satu dengan yang lain, namun
antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling memberikan
perlindungan silang. Variasi genetik yang berbeda pada ke-4 serotipe ini tidak
hanya menyangkut antar serotipe, tetapi juga di dalam serotipe itu sendiri
tergantung waktu dan daerah penyebarannya. 8,9

Di Indonesia, vektor penyakit Demam Berdarah Dengue adalah nyamuk


Aedes sp. terutama adalah Aedes aegypti walaupun Aedes albopictus dan Aedes
scutellaris dapat juga menjadi vektornya.

2
TINJAUAN PUSTAKA

Breeding Place (Tempat Perindukan) : Aedes sp. termasuk nyamuk yang aktif
pada siang hari dan biasanya akan berbiak dan meletakkan telurnya pada tempat–
tempat penampungan air bersih atau genangan air hujan misalnya bak mandi,
tangki penampungan air, vas bunga (baik di lingkungan dalam rumah, sekolah,
perkantoran maupun pekuburan), kaleng bekas, kantung plastik bekas, di atas
lantai gedung terbuka, talang rumah, pagar bambo, kulit buah (rambutan,
tempurung kelapa), ban bekas ataupun semua bentuk kontainer yang dapat
menampung air bersih. Aedes aegypti dewasa terutama hidup dan mencari mangsa
di dalam lingkungan rumah atau bangunan sedangkan Aedes albopictus lebih
menyukai hidup dan mencari mangsa di luar lingkungan rumah atau bangunan
yaitu di kebun yang rimbun dengan pepohonan. Jarak terbang maksimum antara
breding place dengan sumber makanan pada Aedes sp. antara 50 sampai 100 mil.
Umumnya nyamuk tertarik oleh cahaya terang, pakaian berwarna gelap dan oleh
adanya manusia atau hewan. Daya penarik jarak jauh disebabkan karena
perangsangan bau dari zat–zat yang dikeluarkan dari hewan ataupun manusia,
CO2 dan beberapa Asam Amino serta lokasi yang dekat dengan temperature
hangat serta lembab.9-11

Patogenesis

Nyamuk Aedes sp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus
dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh
darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian
menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini,
dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan
bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur
virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi
ini menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi
tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya.

3
TINJAUAN PUSTAKA

Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi


biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-
mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari
antobodi netralisasi atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik
yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non netralising serotype yang
mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan
dalam pathogenesis DBD dan DSS.
Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah
peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke
dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan
penurunan tekanan darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari
20%, hal ini didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemi. Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus
dengue berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti
dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul respon
imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin
dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM,
pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder
kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat. Antibodi terhadap virus dengue
dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu
pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar
IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi
IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer
antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder
antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi
primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibody IgM setelah hari sakit
kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya
peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat.12,13

4
TINJAUAN PUSTAKA

Gejala klinis : Berdasarkan gejalanya DBD dikelompokkan menjadi 4 tingkatan


yaitu :13

DD/DBD Derajat Tanda dan gejala Laboratorium


DD Demam disertai minimal  Leukopenia (jumlah
dengan 2 gejala : leukosit ≤4000
 Nyeri Kepala sel/mm3)
 Nyeri retro-orbita  Trombositopenia
 Nyeri Otot (jumlah trombosit
 Nyeri sendi/ tulang <100.000 sel/mm3)
 Ruam kulit makulopapular  Peningkatan
 Manisfestasi perdarahan hematokrit (5%-
 Tidak ada tanda 10%)
perembesan plasma  Tidak ada bukti
perembesan plasma

DBD I Demam dan manifestasi Trombositopenia


perdarahan (uji bendung <100.000 sel/mm3;
positif) dan tanda perembesan peningkatan hematokrit
plasma ≥20%

5
TINJAUAN PUSTAKA

DBD II Seperti derajat I ditambah Trombositopenia


perdarahan spontan <100.000 sel/mm3;
peningkatan hematokrit
≥20%
DBD* III Seperti derajat I atau II Trombositopenia
ditambah kegagalan sirkulasi <100.000 sel/mm3;
(nadi lemah, tekanan nadi ≤ peningkatan hematokrit
20 mmHg, hipotensi, gelisah, ≥20%
diuresis menurun
DBD* IV Syok hebat dengan tekanan Trombositopenia
darah dan nadi yang tidak <100.000 sel/mm3;
terdeteksi peningkatan hematokrit
≥20%

Diagnosis infeksi dengue: Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi,


dikonfirmasi dengan deteksi antigen virus dengue (NS-1) atau dan uji serologi
anti dengue positif (IgM anti dengue atau IgM/IgG anti dengue positif)

Epidemiologi
Pada tahun 2016 terdapat 10 provinsi dengan angka kesakitan kurang dari 49 per
100.000 penduduk. Provinsi dengan angka kesakitan DBD tertinggi yaitu Bali
sebesar 515,90 per 100.000 penduduk, Kalimantan Timur sebesar 305,95 per
100.000 penduduk, dan DKI Jakarta sebesar 198,71 per 100.000 penduduk.
Angka kesakitan pada provinsi Bali dan Kalimantan Timur meningkat hampir dua
kali lipat jika dibandingkan dengan angka kesakitan tahun 2015, dimana Bali
sebesar 257,75 per 100.000 penduduk dan Kalimantan Timur sebesar 188,46 per
100.000 penduduk. Kenaikan drastis juga terjadi di DKI Jakarta yaitu pada tahun
2015 angka kesakitan DBD hanya 48,55 per 100.000 penduduk menjadi 198,71
per 100.000 pada tahun 2016. Kenaikan angka kesakitan tersebut perlu mendapat
perhatian khusus. Kematian CFR akibat DBD lebih dari 1% dikategorikan tinggi.
Pada tahun 2016 terdapat 11 provinsi yang memiliki CFR tinggi dimana 3
provinsi dengan CFR tertinggi adalah Maluku (5,79%), Maluku Utara (2,69%),
dan Gorontalo (2,68%). Pada provinsi-provinsi dengan CFR tinggi masih
diperlukan upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan
pengetahuan masyarakat untuk segera memeriksakan diri ke sarana kesehatan jika

6
TINJAUAN PUSTAKA

ada gejala DBD sehingga tidak terlambat ditangani dan bahkan menyebabkan
kematian. CFR menurut provinsi.14

Pengendalian Vektor DBD

Upaya pencegahan penularan DBD dilakukan dengan pemutusan rantai


penularan DBD berupa pencegahan terhadap gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Pengendalian vektor nyamuk Aedes aegypti ini bertujuan untuk menurunkan
angka kesakitan dan kematian penyakit demam berdarah dengue hingga ketingkat
yang bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat lagi. Kegiatan yang
optimal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) dengan cara “3 M” Plus selain itu juga dapat dilakukan dengan
larvasidasi dan pengasapan (fogging). Berikut akan dijelaskan kegiatan yang dapat
dilakukan untuk mengedalikan vektor DBD :

1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M Plus

Kegiatan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M plus meliputi:

7
TINJAUAN PUSTAKA

a. Menguras tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi/WC, drum


dan sebagainya sekurang-kurangnya seminggu sekali. Hal ini karena
dengan pertimbangan nyamuk harus dibunuh sebelum menjadi nyamuk
dewasa, karena periode pertumbuhan telur, jentik, dan kepompong
selama 8-12 hari, sehingga sebelum 8 hari harus sudah dikuras supaya
mati sebelum menjadi nyamuk dewasa.
b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air seperti gentong
air/tempayan dan lain sebagainya. Namun apabila tetap ditemukan jentik,
maka air harus dikuras dan dapat diisi kembali kemudian ditutup rapat.
c. Menyingkirkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat
menampung air seperti botol plastik, kaleng, ban bekas, dll. Banyak
barang-barang bekas yang dapat digunakan kembali dan bernilai
ekonomis, dengan cara mengolah kembali bahan-bahan media
penampungan air menjadi produk atau barang-barang yang telah
diperbaharui bernilai ekonomis.15-17

Selain itu ditambah dengan cara lainnya (plus) yaitu:

a. Mengganti air vas bunga, minuman burung, dan tempat lainnya seminggu
sekali.
b. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak.
c. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu, pohon, dan lain-lain
dengan tanah.
d. Membersihkan/mengeringkan tempat-tempat yang dapat menampung air
seperti pelepah pisang atau tanaman lainnya.
e. Mengeringkan tempat-tempat lain yang dapat menampung air hujan di
pekarangan, kebun, pemakaman, rumah-rumah kosong, dan lain
sebagainya.
f. Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk. Beberapa ikan pemakan jentik
yaitu ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang, ikan mujair, dan ikan
nila.

8
TINJAUAN PUSTAKA

g. Memasang kawat kasa (kasa) pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di
rumah serta menggunakan kelambu juga merupakan upaya pencegahan
gigitan nyamuk demam berdarah.
h. Tidak menggantung pakaian di dalam rumah, nyamuk Aedes aegypti
menggigit pada siang hari di tempat yang agak gelap. Pada malam hari,
nyamuk ini bersembunyi di sela-sela pakaian yang tergantung di dalam
kamar yang gelap dan lembab.
i. Tidur menggunakan kelambu.
j. Mengatur pencahayaan dan ventilasi yang memadai.
k. Menggunakan obat anti nyamuk untuk mencegah gigitan nyamuk.
l. Selain itu nyamuk semprot, bakar, elektrik, serta obat oles anti nyamuk
masuk dalam kategori perlindungan diri. Produk insektisida rumah
tangga seperti obat nyamuk semprot/aerosol, bakar dan elektrik, saat ini
banyak digunakan sebagai alat pelindung diri terhadap gigitan nyamuk.
m. Melakukan larvasidasi yaitu membubuhkan larvasida misalnya temephos
di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air.15-17

2. Larvasida
Larvasidasi adalah pengendalian larva (jentik) nyamuk dengan
pemberian insektisida yang bertujuan untuk membunuh larva tersebut.
Pemberian larvasida ini dapat menelan kepadatan populasi untuk jangka
waktu 2 bulan. Jenis larvasida ada bermacam-macam, diantaranya adalah
temephos, piriproksifen, metopren, dan Bacillus thuringensis.
a. Temephos
Temephos 1% berwarna kecoklatan, terbuat dari pasir yang dilapisi
dengan zat kimia yang dapat membunuh jentik nyamuk. Dalam jumlah
sesuai dengan yang dianjurkan aman bagi manusia dan tidak
menimbulkan keracunan. Jika dimasukkan dalam air, maka sedikit demi
sedikit zat kimia itu akan larut secara merata dan membunuh semua
jentik nyamuk yang ada dalam tempat penampungan air tersebut. Dosis
penggunaan temephos adalah 10 gram untuk 100 liter air. Bila tidak ada

9
TINJAUAN PUSTAKA

alat untuk menakar, gunakan sendok makan peres (yang diratakan


atasnya). Pemberian temephos ini sebaiknya diulang penggunaannya
setiap 2 bulan.
b. Altosid
Bahan aktif altosid adalah metopren 1,3%. Altosid 1,3 G berbentuk
butiran seperti gula pasir berwarna hitam arang. Dalam takaran yang
dianjurkan, aman bagi manusia dan tidak menimbulkan keracunan.
Altosid tersebut tidak menimbulkan bau dan merubah warna air dan
dapat bertahan sampai 3 bulan. Zat kimia ini akan
menghambat/membunuh jentik, sehingga tidak menjadi nyamuk. Dosis
penggunaan adalah 2,5 gram untuk 100 liter air. Penggunaan altosid 1,3
G diulangi setiap 3 bulan.
c. Piriproksifen 0,5%
Piriproksifen ini berbentuk butiran berwarna coklat kekuningan. Dalam
takaran yang dianjurkan, aman bagi manusia, hewan, dan lingkungan,
serta tidak menimbulkan keracunan. Air yang ditaburi piriproksifen tidak
menjadi bau, tidak berubah warna, dan tidak korosif terhadap tempat
penampungan air yang terbuat dari besi, seng, dan lain-lain. Piriproksifen
larut dalam air kemudian akan menempel pada dinding tempat
penampungan air dan bertahan sampai 3 bulan. Zat kimia ini akan
menghambat pertumbuhan jentik, sehingga tidak menjadi nyamuk. Dosis
penggunaan piriproksifen adalah 0,25 gram untuk 100 liter air. Apabila
tidak ada takaran khusus yang tersedia bisa menggunakan sendok kecil
ukuran kurang lebih 0,5 gram.15-17

3. Fogging (pengasapan)
Nyamuk dewasa dapat diberantas dengan pengasapan menggunakan
insektisida (racun serangga). Melakukan pengasapan saja tidak cukup,
karena dengan pengasapan itu yang mati hanya nyamuk dewasa saja. Jentik
nyamuk tidak mati dengan pengasapan. Selama jentik tidak dibasmi, setiap

10
TINJAUAN PUSTAKA

hari akan muncul nyamuk yang baru menetas dari tempat perkembang
biakannya.15-17

4. Pemantauan Jentik
Kegiatan pemantauan jentik merupakan bagian penting dalam PSN,
hal ini untuk mengetahui keberadaan jentik. Pengamatan jentik dapat
dilakukan sebagai berikut:
a. Mencari semua tempat perkembangbiakan jentik nyamuk yang ada di
dalam maupun di lingkungan rumah.
b. Memeriksa bak mandi/WC, tempayan, drum, dan tempat-tempat
penampungan air lainnya.
c. Jika tidak tampak, ditunggu sampai ± 0,5-1 menit, jika ada jentik pasti
akan muncul ke permukaan air untuk bernafas.
d. Jika tidak tampak karena wadah air tersebut terlalu dalam dan gelap,
maka menggunakan senter.
e. Memeriksa juga tempat-tempat berpotensi menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk misalnya vas bunga, tempat minum burung,
kaleng-kaleng bekas, botol plastik, ban bekas, tatakan pot bunga, tatakan
dispenser, dan lain-lain.
f. Tempat lain di sekitar rumah yaitu talang/saluran air yang terbuka/tidak
lancar, lubang-lubang pada potongan bambu, atau pohon lainnya.
g. Mencatat ada tidaknya jentik dan jenis kontainer yang diperiksa pada
“Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan” di rumah/tempat tinggal.

Tempat perkembang biakan nyamuk di dalam rumah, misalnya tatakan pot


bunga, tatakan dispenser, tatakan kulkas, bak mandi/WC, vas bunga, tempat
minum burung, dan lain-lain. Tempat perkembangbiakan nyamuk di luar
rumah, misalnya tempayan, drum, talang air, tempat penampungan air
hujan/air AC, kaleng bekas, botol plastik, ban bekas, pelepah tales, pelepah
pisang, potongan bambu, plastik, dan lain-lain. Jentik yang ditemukan di
tempat-tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah (bak
mandi/WC, tempayan, sampah/barang bekas dan lain-lain) dapat dipastikan

11
TINJAUAN PUSTAKA

bahwa jentik tersebut adalah jentik nyamuk Aedes aegypti penular demam
berdarah. Sebaliknya jentik yang banyak terdapat di saluran
air/selokan/comberan bukan jentik nyamuk Aedes aegypti.15-17

5. Perencanaan 3M di lingkungan sekitar


Pembuangan air berupa gorong-gorong sulit untuk dilihat apakah
tempat tersebut menjadi habitat vektor DBD dan juga sulit untuk
melakukan pembersihan gorong-gorong tempat habitat nyamuk serta tidak
adanya program 3M di lingkungan, sehingga fokus utama dalam
mencegah Demam Berdarah Dengue di lingkungan antara lain:

1. Memberikan edukasi tentang apa itu DBD, bahayanya DBD serta


cara pencegahan DBD di lingkungan sekitar dengan semakin
banyaknya warga sekitar yang sadar akan pentingnya pencegahan
DBD sehingga dapat menurunkan insidensi DBD di lingkungan
sekitar.
2. Menghimbau warga sekitar untu menutup serta membersihkan
tempat penampungan air untuk mengurangi kemungkinan tempat
penampungan air tersebut menjadi habitat nyamuk vektor DBD.
3. Menghimbau masyarakat untuk menyingkirkan barang barang yang
dapat menampung air seperti botol, kaleng bekas, ban bekas dll.
4. Mengadakan gotong royong dalam membersihkan lingkungan
komplek miniman 2 minggu sekali.
5. Memantau jentik nyamuk jika terdapat di lingkungan sekitar.
6. Lakukan fogging minimal 3 bulan sekali dalam rangka pencegahan
demam berdarah dengue.15-17

Kesimpulan

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
satu dari 4 virus dengue berbeda dan ditularkan melalui nyamuk terutama Aedes
aegypti. Penyakit DBD ini disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DEN 1,

12
TINJAUAN PUSTAKA

DEN 2, DEN 3, dan DEN 4. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod
borne viruses (arboviruses). Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah
virus dengue dengan tipe 1 dan 3. Virus dengue merupakan virus RNA rantai
tunggal, genus flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4. Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah
peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke
dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan
penurunan tekanan darah.

Berdasarkan data di tahun 2017, terhitung sejak Januari hingga Mei tercatat
sebanyak 17.877 kasus, dengan 115 kematian akibat penyakit demam berdarah
dengue. Dimana nyamuk Aedes aegypti. merupakan vektor utama penyakit
demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD). Sedangkan untuk virus
yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe 1 dan 3.
Untuk upaya pencegahan penularan DBD dilakukan dengan pemutusan rantai
penularan DBD berupa pencegahan terhadap gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Kegiatan yang optimal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara “3 M” Plus seperti menguras
tempat-tempat penampungan air, selain itu juga dapat dilakukan dengan
larvasidasi yaitu pengendalian larva (jentik) nyamuk dengan pemberian
insektisida yang bertujuan untuk membunuh larva tersebut, melakukan
pengasapan (fogging) dimana nyamuk dewasa dapat diberantas dengan
pengasapan menggunakan insektisida (racun serangga), dan dengan kegiatan
pemantauan jentik yaitu mencari semua tempat perkembangbiakan jentik nyamuk
yang ada di dalam maupun di lingkungan rumah. Dan dari semua upaya
pengendalian vektor yang paling efektif adalah dengan pemantauan jentik yang
mana merupakan bagian penting dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN).

13
Upaya Pengendalian Vektor DBD

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan RI. Manajemen Demam Berdarah Berbasis Wilayah. Departemen


Kesehatan RI, Jakarta. Profis Kesehatan Indonesia. 2010
2. Ditjen P2PL, Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. 2011. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
3. Sumekar WD, Nurmaulina W. Upaya Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue,
Aedes aegypti L. Menggunakan Bioinsektisida. Universitas Lampung. 2016; 131-135.
4. Irnaini. Upaya Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia ;
Keunggulan dan Kendala. Bagian IKK/IKM Unsyiah. 2011; 356-366.
5. WHO. Dengue haemorrhagic fever : diagnosis, treatment, prevention and control, World
Health Organization, 2nd edition, Geneva, Switzerland. 2010.
6. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin; Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. Jakarta.
2016; 1-9.
7. Departemen Kesehatan RI. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Departemen Kesehatan RI, .Profis kesehatan Indonesia. 2017
8. Zulkoni, A. Parasitologi. Nuda Medika, Yogyakarta. 2010; 28-35
9. World Health Organization and the Special Programme for Research and Training in
Tropical Diseases. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
New edition. 2010
10. Sembel D.T. Entomologi Kedokteran. Yogyakarta: ANDI. 2009 ; 49-53
11. Soedarto. Parasitologi Klinik. Airlangga University Press Surabaya. 2008 ; 53-57
12. Candra, A. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis dan Faktor
Risiko Penularan. Aspirator. 2(2):110-119. Diunduh dari
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/aspirator/article/download
/2951/. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2018.
13. Natadisastra, D dan Agoes, R. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang. EGC. Jakarta. 2009

14
Upaya Pengendalian Vektor DBD

14. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN DBD) oleh Juru Pemantau Jentik (Jumantik), Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta. 2012
15. Departemen Kesehatan RI. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Profis kesehatan Indonesia. 2016.
16. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Jumantik-PSN Anak Sekolah. Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta. 2014
17. Rini, AS, Ferry Efendi, dan Eka Misbahatul M Ha. 2012. Hubungan Pemberdayaan Ibu
Pemantau Jentik (Bumantik) dengan Indikator Keberhasilan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) di Kelurahan Wonokromo Surabaya, Indonesian Journal of Community
Health Nursing, Vol. 1, No. 1, 2012-10.

15

Anda mungkin juga menyukai