Anda di halaman 1dari 94

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis yang selanjutnya disingkat TB adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh Mycobacterium Tuberkulosis, yang dapat menyerang paru dan

organ lainnya (Kemenkes RI, 2016).

Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta

kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5

juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB

tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang

(140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan

kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta kasus TB

Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun.

Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,

diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan

100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus

TB dengan HIV positif 25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case

Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129 per 100.000

penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya 314.965 adalah kasus

baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB diperkirakan

sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal
2

dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB

dengan pengobatan ulang (Kemenkes RI, 2016).

Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah berhasil menurunkan

angka kesakitan dan kematian akibat TB di tahun 2015 jika dibandingkan dengan

tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000

penduduk, pada tahun 2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari semua

indikator MDG’s untuk TB di Indonesia saat ini baru target penurunan angka

insidens yang sudah tercapai. Untuk itu perlu upaya yang lebih besar dan

terintegrasi supaya Indonesia bisa mencapai target SDG’s pada tahun 2030 yang

akan datang (SDGs Kesehatan, 2016).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013), tingginya

jumlah penderita TB paru di Provinsi Jawa Barat (0,7%), menduduki peringkat

pertama terbesar di Indonesia. Berdasarkan Laporan Tahunan Dinas Kesehatan

Provinsi Jawa Barat 2015, hasil data dan informasi diperoleh jumlah penderita TB

paru pada tahun 2015 sebesar 52.875 kasus dengan BTA positif dengan jumlah

kasus baru BTA positif sebanyak 26.117 kasus. Dalam laporan tersebut terdapat 26

Kabupaten/Kota di Jawa Barat dengan kejadian prevalensi dan insidensi TB BTA

positif di setiap tahunnya (Pemprov Jawa Barat, 2016).

Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten dengan Penderita

Tuberkulosis (TB) cukup tinggi dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Data

yang dirilis Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tercatat pada tahun 2014

ditemukan kasus TB sebanyak 2.994 kasus. Dengan rincian kasus Bakteri Tahan

Asam (BTA) positif baru sebanyak 1.785 kasus atau baru mencapai 73 % dari
3

perkiraan kasus BTS positif baru (2.457 kasus). Sedangkan pada tahun 2013 dari

1.928 kasus BTA positif baru yang dinyatakan sembuh sebanyak 1.593 kasus atau

83 % dan angka Drop Out (DO) sebanyak 77 kasus atau (4 %) dan meninggal 29

orang (cirebontrust.com, 2015).

Puskesmas Gempol kabupaten Cirebon tahun 2015 tercatat 23 kasus TB

Paru BTA Positif dengan tidak ada kasus meninggal dan TB MDR. Pada tahun 2016

walau kasus TB Paru menurun yaitu menjadi 16 kasus TB Paru BTA Positif namun

jumlah tersangka TB Paru meningkat menjadi 32 orang dan terdapat Multi Drugs

Resisten (MDR) sebanyak 2 orang (Puskesmas Gempol, 2017). Multi Drug

Resistant Tuberkulosis (MDR-TB) atau TB MDR adalah TB resistan Obat terhadap

minimal 2 (dua) obat anti TB yang paling poten yaitu INH dan Rifampisin secara

bersama sama atau disertai resisten terhadap obat anti TB lini pertama lainnya

seperti etambutol, streptomisin dan pirazinamid (Kemenkes, 2013).

Penderita TB MDR ini jelas sangat berbahaya karena dapat menimbulkan

kematian bila tidak ditangani dengan adekuat, serta penularan yang aktif terhadap

orang lain sehingga bisa menimbulkan Kejadian Luar Biasa

(puskesmascisaga.blogspot.co.id, 2014).

Faktor utama penyebab terjadinya resistansi kuman terhadap OAT adalah

ulah manusia sebagai akibat tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak

dilaksanakan dengan baik. Penatalaksanaan pasien TB yang tidak adekuat tersebut

dapat ditinjau dari sisi: (1) Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena: (a)

Diagnosis tidak tepat, (b) Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat, (c)

Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat, dan (d)
4

Penyuluhan kepada pasien yang tidak adekuat; (2) Pasien, yaitu karena: (a) Tidak

mematuhi anjuran dokter/petugas kesehatan, (b) Tidak teratur menelan paduan

OAT, (c) Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya dan (d)

Gangguan penyerapan obat; (3) Program Pengendalian TB , yaitu karena: (a)

Persediaan OAT yang kurang dan (b) Kualitas OAT yang disediakan rendah

(Pharmaco-vigillance) (Kemenkes RI, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Linda (2012) yang dilakukan di Puskesmas

Jagakarsa tentang hubungan karakteristik tuberkulosis dengan pengetahuan tentang

MDR TB menunjukkan kebanyakan responden memiliki pengetahuan rendah

tentang MDR TB (59,7%). Promosi kesehatan terkait TB dan MDR TB perlu

ditingkatkan dalam pelayanan keperawatan komunitas. Pendidikan kesehatan

pada klien TB disarankan diberikan secara efektif. Lebih lanjut Manurang

(2015) di RSUP H. Adam Malik Medan terdapat pengaruh pengetahuan penderita

TB Paru, faktor penyuluhan kesehatan dan pengawas menelan obat terhadap tingkat

kepatuhan berobat.

Pelayanan keperawatan komunitas atau yang lebih dikenal dengan

keperawatan kesehatan masyarakat (perkesmas) adalah salah satu komponen

cakupan TB Paru dan penyebab MDR TB, Yuliati (2012), kinerja perawat dalam

pelaksanaan perkesmas terdapat 80 % kegiatan perkesmas tidak berjalan dengan

baik.

Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) adalah suatu bidang

dalam Keperawatan Kesehatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan

kesehatan masyarakat dengan dukungan peran serta aktif masyarakat, serta


5

mengutamakan pelayanan promotif, preventif secara berkesinambungan (Depkes,

2006). Perlu adanya pendekatan keluarga di dalam penanggulangan kasus TB Paru

di Puskesmas Gempol untuk mencegah timbulnya MDR baru.

Berdasarkan uraian tersebut diatas peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul "Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap

Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat

(Perkesmas) di Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon".

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah:

"Bagaimana Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian

Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di

Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon?".

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap

Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat

(Perkesmas) di Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui bagaimana Penyuluhan Kesehatan TB Paru di di

Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon.


6

1.3.2.2 Untuk mengetahui Kemandirian Keluarga TB Paru dalam Program

Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di Puskesmas Gempol

kecamatan Gempol kabupaten Cirebon.

1.3.2.3 Untuk mengetahui Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap

Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat

(Perkesmas) di Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Puskesmas Gempol

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi

dalam meningkatkan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat terutama

tentang peningkatan penyuluhan kesehatan terhadap penderita TB Paru.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat di gunakan sebagai bahan komunikasi

informasi edukasi (KIE) di program Keperawatan Kesehatan Masyarakat

(Perkesmas) untuk mencapai kemandirian keluarga pada pasien TB Paru.

1.4.3 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat di gunakan sebagai bahan masukan bagi

institusi pelayanan kesehatan tentang Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB

Paru Terhadap Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan

Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di Puskesmas Gempol kecamatan

Gempol kabupaten Cirebon.


7

1.4.4 Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan tentang

Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian Keluarga

dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di

Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon.

1.4.5 Bagi Peneliti selanjutnya

Hasil Penelitian ini juga dapat digunakan peneliti selanjutnya sebagai

bahan perbandingan dan referensi tambahan terkait dengan Hubungan

Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian Keluarga dalam

Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di Puskesmas

Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian dengan judul Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap

Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat

(Perkesmas) di Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon belum

pernah dilakukan sebelumnya, adapun penelitian yang berhubungan dengan judul

penelitian ini diantaranya adalah :

Tabel 1.1 Penelitian sebelumnya

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tahun Perbedaan


1 Manurung, Pengaruh Pengetahuan 2015 Variabel bebas yang
Chandra Meilyn, Penderita TB Paru, Faktor dibahas adalah
Fakultas Penyuluhan Kesehatan, dan Faktor Penyuluhan
Kedokteran Pengawas Menelan Obat Kesehatan, dan
USU. (PMO) Terhadap Tingkat Pengawas Menelan Obat
Kepatuhan Berobat di RSUP (PMO) Terhadap
8

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tahun Perbedaan


H. Adam Malik Medan pada Tingkat Kepatuhan
Tahun 2015 (Skripsi). Berobat
Sedangkan skripsi ini
adalah tentang
Hubungan penyuluhan
TB Paru

2 Linda, Oje 2012 Variabel terikat yang


Dorothea, Hubungan Karakteristik Klien dibahas faktor
Universitas Tuberkulosis Dengan karakteristik klien
Indonesia: Pengetahuan Tentang Multi tentang TB terhadap
Fakultas Ilmu Drugs Resisten Tuberkulosis pengetahuan tentang
Keperawatan (MDR TB) di Poli Paru MDR TB sedangkan
Program Sarjana Puskesmas Kecamatan skripsi ini tentang
Reguler Ilmu Jagakarsa (skripsi). hubungan penyuluhan
Keperawatan TB Paru, penulis
mengangkat ini dalam
keaslian penelitian
karena untuk
mengetahui sampai
sejauhmana hubungan
penyuluhan TB Paru
terhadap kemandirian
keluarga

3 Yuliati 2012 Variabel bebas yang


Amperaningsih, Kinerja Perawat Dalam dibahas adalah
Dwi Agustanti,. Pelaksanaan Perkesmas 2012 Kinerja perawat dalam
Fakultas (skripsi) program perkesmas
Keperawatan Sedangkan skripsi ini
Politeknik adalah kemandirian
Kesehatan keluarga dalam
Kemenkes perkesmas, penulis
Tanjungkarang. mengangkat ini dalam
keaslian penelitian
karena kinerja perawat
dalam program
Perkesmas erat
kaitannya dengan
kemandirian keluarga
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 TB Paru

2.1.1.1 Defenisi TB Paru

Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit radang parenkim paru karena

infeksi bakteri Mycobaterium tuberculosis. Penyebaran bakteri ini dapat terjadi

melalu udara secara droplet. Tuberkulosis paru termasuk pneumonia yang

disebabkan oleh M tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari

keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya

merupakan tuberkulosis ektrapulmonal (di luar paru). Diperkiran sepertiga

penduduk dunia pernah terinfeksi bakteri M tuberculosis (Djojodibroto, 2007).

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies

Mycobacterium, antara lain: M.tuberculosis, africanum, M. bovis, M. Leprae

dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri

Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan

gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT Mycobacterium Other

Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan

pengobatan TB (Kemenkes RI, 2016).


10

2.1.1.2 Mycobacterium tuberculosis

M tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1982 pada

isolasi patogen dari lesi. Morfologi dari bakteri ini adalah berbentuk batang

yang tahan asam, ramping, lebar 0,4gm, panjang 3-4gm, tidak berspora, dan

tidak bergerak. Bakteri ini dapat diwarnai dengan menggunakan metode khusus

(Ziehl-Nelsen, Kinyoun, fluorescence) (Kayser, 2005).

Bakteri ini menunjukan peningkatan pertumbuhan pada keadaan

dengan kadar CO2 10% dan pH berkisar antara 6,5 sampai 6,8 (Plorde, 2004).

Pembelahan bakteri ini membutuhkan waktu 12-18 jam sehingga kultur bakteri

ini harus diinkubasi selama tiga sampai delapan minggu pada suhu 37°C hingga

proliferasi terlihat secara makroskopis (Kayser, 2005).

Bakteri-bakteri mycobacterium kaya akan lipid. Termasuk di dalamnya

adalah asam mycolic (asam lemak rantai panjang, C78—C90), waxes, dan

phosphatides. Di dalam sel, sebagian besar lipid berikatan dengan protein dan

polisakarida. Kompleks Muramyl dip (dari peptidoglikan) dengan asam

mycolic dapat menyebabkan pembentukan granuloma; phospholipids memicu

nekrosis kaseous. Lipid berperan dalam ketahanan bakteri ini terhadap asam.

Penghilangannya dengan menggunakan asam yang kuat dapat menghancurkan

sifat tahan asam . Sifat tahan asam juga dapat hilang setelah dilakukan sonikasi

pada sel mycobacterium (Kayser, 2005)


11

Gambar 2.1 Pewarnaan M tuberculosis dengan Metode Ziehl-Nelsen (merah)


Sumber : Color Atlas of Medical Microbiology (Kayser, 2005)

Secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain

adalah sebagai berikut:

1. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.

2. Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl Neelsen,

berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop.

3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,

Ogawa.

4. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka

waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.

5. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet.

Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan mati

dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada suhu antara 30-37°C akan

mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.


12

6. Kuman dapat bersifat dorman.

(Kemenkes RI, 2016).

2.1.1.3 Patogenesis TB Paru

1. Tuberkulosis Primer

Tuberkulosis paru terjadi karena bakteri M. tuberculosis dibatukkan

atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.

Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam,

tergantung pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan

kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap bakteri dapat tahan berhari-hari

sampai berbulan-bulan (Amin & Asril, 2009). Partikel bakteri yang berada

dalam udara bebas berbentuk aerosol dengan ukuran 1-5gm. Jika kita

menghirupnya maka aerosol akan menetap di bagian distal saluran pernapasan

melewati bronkiolus terminal (Mason & Summer, 2010).

Individu yang terinfeksi M.tuberculosis pertama kalinya, pada mulanya

hanya memberikan reaksi seperti ada Benda asing dalam saluran

pernapasannya. Hal ini disebabkan karena tubuh tidak mempunyai pengalaman

dengan bakteri ini (Djojojdibroto, 2007). Kemudian bakteri akan

bermultiplikasi dan difagosit oleh makrofag. Bakteri ini bisa melanjutkan

multiplikasinya di dalam makrofag atau menjadi dorman untuk beberapa tahun.

Beberapa bakteri terbawa ke bagian hilus dan nodus limfe mediastinum serta

ke organ lainnya, termasuk hati, limpa, selaput otak, dan ginjal (Mason &

Summer, 2010). Setelah 3-10 minggu, M.tuberculosis akan mendapat

perlawanan yang berarti dari mekanisme sistem pertahanan tubuh. Proses


13

pembentukan pertahanan imunitas seluler akan lengkap setelah 10 minggu

(Djojodibroto, 2007).

Setelah minggu ketiga, bakteri yang difagosit akan dicerna oleh

makrofag dan umumnya akan mati. Namun, M.tuberculosis yang virulen akan

bertahan hidup. Bakteri yang tidak virulen juga akan tetap hidup jika makrofag

dan pertahanan tubuh lemah. Orang yang terinfeksi tidak mengetahui bahwa ia

terinfeksi karena tidak ada gejala atau tanda-tanda yang terlihat. Jika dilakukan

tes mantoux (setelah 3 minggu terinfeksi), akan terbukti bahwa ia telah

terinfeksi M.tuberculosis karena hasil tes mantoux menunjukkan hasil positif

(Djojodibroto, 2007).

M.tuberculosis akan membelah diri secara lambat di alveolus. Tempat

bakteri membelah ini kemudian menjadi lesi inisial (Initial lung lesion) tempat

pembentukan granuloma yang kemudian mengalami nekrosis dan perkijuan

(kaseasi) di tengahnya. Infeksi ini biasanya berhasil dibatasi agar tidak

menyebar dengan cara terbentuknya fibrosis yang mengelilingi granuloma.

Nodus limfa yang menampung aliran cairan limfa yang berasal dari lesi inisial

juga terinfeksi sehingga juga meradang. Lesi inisial ketika meradang disebut

fokus inisial atau sarang primer (Ghon). Fokus inisial dikelilingi oleh sel

epiteloid, histiosit, dan sel datia Langhans, sel limfoid, dan jaringan fibrosa.

Fokus inisial yang meradang bersama kelenjar limfa yang meradang disebut

kompleks primer (Ranke) (Djojodibroto, 2007).

Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:

a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
14

b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas garis-garis fibrotik, kalsifikasi

di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan

± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivitasi lagi karena bakteri yang

dorman

c. Berkomplikasi dan menyebar secara: a) per kontinuitatum, yakni menyebar

ke sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun

paru sebelahnya. Bakteri juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga

menyebar ke usus, c) secara limfogen ke organ-organ tubuh lain, dan d)

secara hematogen ke organ tubuh lain.

2. Tuberkulosis Pasca Primer

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian

tuberkulosis pasca primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis pasca

primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk

dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk

tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena

dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis pasca primer dimulai dengan

sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior

maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang

pneumonik kecil (PDPI, 2006).

Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai

berikut (PDPI, 2006):

a. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat.

b. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
15

dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri

menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk

perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,

membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju

dibatukkan keluar.

c. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).

Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti

awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti

sklerotik). Nasib kaviti ini :

1) Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.

Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang

disebutkan diatas .

2) Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi

mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.

3) Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open

healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri,

akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang

terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate

shaped).
16

Bagan 2.1 Perkembangan Sarang Tuberculosis Post Primer


Sumber: Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB) (PDPI, 2006)

2.1.1.4 Gejala Klinis TB Paru

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu

atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur

darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat

badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam

meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula

pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma,

kanker paru, dan lain-lain Mengingat prevalensi TB di Indonesia mat ini masih

tinggi, maka setiap orang yang datang ke sarana pelayanan kesehatan dengan

gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB

dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung

(Kemenkes RI, 2009).

1. Demam biasanya subfebril walaupun terkadang dapat mencapai 40-41°C.

Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat


17

timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam sehingga

pasien merasa ridak pernah terbebas dari serangan demam ini. Keadaan ini

sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi

bakteri tuberkulosis yang masuk.

2. Batuk atau batuk berdahak merupakan gejala yang banyak ditemukan.

Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari

batuk kering (non-produktif) kemudian sering timbul peradangan menjadi

produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk

darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.

3. Sesak napas belum dirasakan mat awal perjalanan penyakit. Sesak napas

akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah

meliputi setengah bagian paru-paru.

4. Nyeri dada agak jarang ditemukan. Terjadi jika infiltrasi radang sudah

sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua

pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya.

5. Malaise sering ditemukan berupa anoreksia, badan semakin kurus (BB

turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise

ini semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur

(Amin & Asril, 2009).

2.1.1.5 Patogenesis dan Penularan TB Paru

Sumber penularan adalah pasien TB terutama pasien yang mengandung

kuman TB dalam dahaknya. Pada waktu batuk atau bersin, pasien

menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei /


18

percik renik). Infeksi akan terjadi apabila seseorang menghirup udara yang

mengandung percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk dapat menghasilkan

sekitar 3000 percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3500

M.tuberculosis. Sedangkan kalau bersin dapat mengeluarkan sebanyak 4500-

1.000.000 M.tuberculosis.

Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit.Tahapan tersebut

meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia, sebagai

berikut:

1. Paparan

Peluang peningkatan paparan terkait dengan:

a. Jumlah kasus menular di masyarakat.

b. Peluang kontak dengan kasus menular.

c. Tingkat daya tular dahak sumber penularan.

d. Intensitas batuk sumber penularan.

e. Kedekatan kontak dengan sumber penularan.

f. Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.

2. Infeksi

Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah

infeksi. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup

dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali tergantung

dari daya tahun tubuh manusia.

Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi

sebelum penyembuhan lesi.


19

3. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari:

a. Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup

b. Lamanya waktu sejak terinfeksi

c. Usia seseorang yang terinfeksi

d. Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya tahan

tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV AIDS dan malnutrisi (gizi

buruk) akan memudahkan berkembangnya TB Aktif (sakit TB).

e. Infeksi HIV. Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10% diantaranya akan

menjadi sakit TB. Namun pada seorang dengan HIV positif akan

meningkatkan kejadian TB. Orang dengan HIV berisiko 20-37 kali

untuk sakit TB dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV,

dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

4. Meninggal dunia

Faktor risiko kematian karena TB:

a. Akibat dari keterlambatan diagnosis

b. Pengobatan tidak adekuat.

c. Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta.

d. Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50% diantaranya akan meninggal

dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV positif. Begitu pula

pada ODHA, 25% kematian disebabkan oleh TB.

(Kemenkes RI, 2016).


20

2.1.1.6 Diagnosis TB Paru

Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,

pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang

lainnya.

1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi:

Keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci berdasar keluhan

pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang meliputi:

a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau

lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur

darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat

badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,

demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif,

batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala

batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.

b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain

TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.

Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap

orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap

sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak

secara mikroskopis langsung.

c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang

dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di

daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang


21

yang bekerja dengan bahan kimia yang berrisiko menimbulkan paparan

infeksi paru.

2. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan Bakteriologi

1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung Pemeriksaan dahak selain

berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga untuk menentukan

potensi penularan dan menilai keberhasilan pengobatan.

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan

mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak

Sewaktu-Pagi (SP):

a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.

b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur.

Dapat dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap

bilamana pasien menjalani rawat inap.

2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB

Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF.

TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak

dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.

3) Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat

(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth

Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis

(M.tb).
22

Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana laboratorium yang

terpantau mutunya. Dalam menjamin hasil pemeriksaan

laboratorium, diperlukan contoh uji dahak yang berkualitas. Pada

faskes yang tidak memiliki akses langsung terhadap pemeriksaan

TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem transportasi

contoh uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau pasien yang

membutuhkan akses terhadap pemeriksaan tersebut serta

mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian langsung ke

laboratorium.

b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya

1) Pemeriksaan foto toraks

2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu.

c. Pemeriksaan uji kepekaan obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi

M.tb terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di

laboratorium yang telah lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance

(QA), dan mendapatkan sertifikat nasional maupun internasional.

d. Pemeriksaan serologis

Sampai saat ini belum direkomendasikan.


23

Bagan 2.2 Skema Alur diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia


Sumber: PMK RI Pedoman Penanggulangan TB Paru, 2016
24

2.1.1.7 Diagnosis TB Paru Resisten (TB RO)

Seperti juga pada diagnosis TB maka diagnosis TB-RO juga diawali

dengan penemuan pasien terduga TB-RO

1. Terduga TB-RO

Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap

OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu

atau lebih di bawah ini:

a. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2.

b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan

pengobatan.

c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar

serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling sedikit

selama 1 bulan.

d. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan

pengobatan.

f. Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori 1

dan kategori 2.

g. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default).

h. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB-

RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di Lapas/Rutan,

hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.


25

i. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis

maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan diagnosis

awal tidak menggunakan TCM TB).

2. Pasien dengan risiko rendah TB RO

Selain 9 kriteria di atas, kasus TB RO dapat juga dijumpai pada kasus TB

baru, sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan penegakan diagnosis

dengan TCM TB jika fasilitas memungkinkan. Pada kelompok ini, jika hasil

pemeriksaan tes cepat memberikan hasil TB RR, maka pemeriksaan TCM

TB perlu dilakukan sekali lagi untuk memastikan diagnosisnya.

Diagnosis TB-RO ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan

M.Tuberculosis menggunakan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu

metode tes cepat molekuler TB dan metode konvensional. Saat ini metode tes

cepat yang dapat digunakan adalah pemeriksaan molecular dengan Tes cepat

molekuler TB (TCM) dan Line Probe Assay (LPA). Sedangkan metode

konvensional yang digunakan adalah Lowenstein Jensen (LJ) dan MGIT.

2.1.1.8 Pengobatan TB Paru

Definisi kasus TB orang dewasa yang dimaksud disini adalah kasus TB

yang belum ada resistensi OAT. Pengobatan TB bertujuan untuk

menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,

memutus rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap

Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Secara spesifik tujuan Pengobatan TB adalah:

(1) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup,

(2) Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk


26

selanjutnya, (3) Mencegah terjadinya kekambuhan TB, (4) Menurunkan risiko

penularan TB dan (5) Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.

1. Prinsip Pengobatan TB:

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam

pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien

untuk mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB. Pengobatan yang

adekuat harus memenuhi prinsip:

a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat

mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya

resistensi.

b. Diberikan dalam dosis yang tepat.

c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas

Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam

dua (2) tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan

yang adekuat untuk mencegah kekambuhan.

2. Tahapan Pengobatan TB:

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap

lanjutan dengan maksud:

a. Tahap Awal:

Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini

adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman

yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian
27

kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien

mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien

baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan

secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat

menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.

b. Tahap Lanjutan:

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang

masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien

dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan

3. Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 2.1 OAT Lini Pertama


28

Tabel 2.2 Pengelompokan OAT Lini Kedua


29

Sumber: PMK RI Pedoman Penanggulangan TB Paru, 2016

Keterangan:
*Tidak disediakan oleh program
**Tidak termasuk obat suntik lini kedua, tetapi dapat diberikan pada kondisi
tertentu dan tidak disediakan oleh program

4. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan yang digunakan adalah ;

a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).

b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau

(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.

c. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.

d. Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2

yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,

Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid

dan obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and

etambutol.
30

Catatan:

Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di

Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten

(diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada dosis terapi yang telah

direkomendasikan (Tabel 3 Dosis rekomendasi OAT Lini Pertama untuk

pasien Dewasa). Penyediaan OAT dengan dosis harian saat ini sedang

dalam proses pengadaan oleh Program TB Nasional.

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk

paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri

dari kombinasi 2 dan 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan

dengan berat badan pasien.

Paduan ini dikemas dalam 1 (satu) paket untuk 1 (satu) pasien untuk

1 (satu) masa pengobatan. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang

terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol

(E) yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program

untuk pasien yang tidak bisa menggunakan paduan OAT KDT.

Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat

kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari

kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat

badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien

untuksatu (1) masa pengobatan. Paduan OAT disediakan dalam bentuk

paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin


31

kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk

satu (1) pasien untuk satu (1) masa pengobatan.

(Kemenkes RI, 2016).

2.1.1.9 Pengawas Minum Obat (PMO)

Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan

menyembuhkan sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya

kuman resistan obat. Agar hal hal tersebut tercapai, sangat penting memastikan

bahwa pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran, dengan

pengawasan langsung oleh seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) untuk

mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat pemberian pengobatan

sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat memberikan kenyamanan.

Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat dengan kediaman pasien atau

PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada faktor penyulit,

pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.

1. Persyaratan PMO

a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas

kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh

pasien.

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama sama dengan

pasien.
32

2. Siapa yang bisa jadi PMO?

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,

Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada

petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader

kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau

anggota keluarga.

3. Tugas seorang PMO

a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan.

b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah

ditentukan.

d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang

mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera

memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien

mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan. Pada saat pasie mengambil

obat, diupayakan bahwa dosis hari itu ditelan di depan petugas keseheatan.

Pada pengobatan TB RO, pengawasan menelan obat dilakukan oleh petugas

kesehatan di fasyankes. Pada beberapa kondisi tertentu, pemberian OAT MDR

dilakukan di rumah pasien, maka pengawasan menelan obat dapat dilakukan

oleh petugas kesehatan/kader yang ditunjuk, atau oleh keluarga pasien dengan

sebelumnya sudah disepakati oleh petugas kesehatan dan pasien.


33

4. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada

pasien dan keluarganya:

a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.

b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara

pencegahannya.

d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).

e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secarateratur.

2.1.1 Penyuluhan Kesehatan

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan yang dilakukan

dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak

saja sadar, tahu, dan mengerti, tetapi juga mau dan dapat melakukan anjuran yang

berhubungan dengan kesehatan. Penyuluhan kesehatan dalam promosi kesehatan

diperlukan sebagai upaya dalam meningkatkan pengetahuan dan kesadaran,

disamping pengetahuan, sikap, dan tindakan (Maulana, 2007).

Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru berkaitan

dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah

untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan pesan serta masyarakat dalam

penanggulangan TB Paru (Depkes RI, 2011).

Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan

penting sacara langsung ataupun menggunakan media. Dalam program


34

penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung per orangan sangat penting

artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini

ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani

pengobatan sacara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat

menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari

penularan TB Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media

massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk

mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru dari "suatu penyakit yang tidak

dapat disembuhkan dan memalukan" menjadi "suatu penyakit yang berbahaya tapi

bisa disembuhkan".

Penyuluhan langsung perorangan dapat dianggap berhasil bila penderita

bisa menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan sebelumnya, penderita

datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan, anggota keluarga

penderita dapat menjaga dan melindungi kesehatannya.

Menurut Sumantri (2006), program penyuluhan harus merumuskan lima

komponen utama penyuluhan agar penyuluhan mencapai sasaran seperti yang

diharapkan. Kelima komponen tersebut adalah sebagai berikut:

2.1.2 Tujuan Penyuluhan

Tujuan penyuluhan harus ditetapkan terlebih dahulu, secara tegas

spesifik, realistis, cukup menantang, dapat diukur, jelas batas waktunya.

Dirumuskan dengan kalimat singkat dan sederhana bahasanya agar mudah

dicerna dan mudah ditangkap maknanya. Dengan demikian seluruh kegiatan

kelihatan selalu akan terarah pada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya
35

2.1.3 Peserta Penyuluhan

Peserta penyuluhan dipilih yang sesuai dengan tujuan penyuluhan, tidak

terlalu heterogen baik dalam hal usia, pendidikan, maupun pengalaman belajar.

Sasaran penyuluhan kesehatan mencakup individu, keluarga, kelompok

dan masyarakat dalam penyuluhan kesehatan masyarakat, dikenal 2 jenis

sasaran yakni:

1. Kelompok umum : masyarakat umum, baik di pedesaan maupun di

perkotaan

2. Kelompok khusus : masyarakat yang rentang terhadap masalah kesehatan

tertentu, misalnya ibu hamil, ibu menyusui, golongan renga, manula,

masyarakat yang berada diberbagai institusi atau forum, baik pemerintah

maupun swasta, misalnya Rumah Sakit, Puskesmas, Sekolah, Posyandu

dan sebagainya.

Sasaran Hasil Penyuluhan

Terjadinya perubahan sikap dan perilaku dari individu, keluarga,

kelompok khusus dan masyarakat untuk dapat menanamkan prinsip-prinsip

hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai derajat kesehatan

yang optimal (Effendy, 2003)

2.1.4 Penyuluh (Fasilitator)

Penyuluh (fasilitator) yang dipilih adalah mereka yang sudah

berpengalaman dan memiliki keterampilan dalam memberikan penyuluhan,

dalam arti kata para pelatih mampu menggunakan metode yang ada dan
36

menguasai materi penyuluhan dengan baik, serta mampu menjaga situasi

penyuluhan agar tetap dalam keadaan yang menunjang pencapaian tujuan

penyuluhan.

2.1.5 Materi Penyuluhan

Materi penyuluhan, sesuai dengan tujuan penyuluhan. Bahan bacaan

disusun dengan bahasa yang sederhana agar mudah dimengerti dan mudah

dicerna oleh peserta penyuluhan. Materi penyuluhan dapat dituangkan ke

dalam media penyuluhan sebagai alat bantu penyuluhan.

Yang dimaksud dengan alat bantu penyuluhan adalah alat-alat yang

digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran,

berfungsi untuk membantu dan memperagakan sesuatu didalam peroses

pendidikan/ pengajaran (Notoatmodjo 2012).

Media sebagai alat bantu untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan

agar lebih mudah untuk diterima atau dipahami oleh masyarakat, untuk itu

media yang bisa digunakan sangat bervariasi antara lain:

1. Leaflet

adalah bentuk penyampaian informasi kesehatan melalui lembar yang

dilipat. Keuntungan menggunakan media ini antara lain : sasaran dapat

menyesuaikan dan belajar mandiri serta praktis karena mengurangi

kebutuhan mencatat, sasaran dapat melihat isinya disaat santai dan sangat

ekonomis.

Kelemahan dari leafleat adalah: tidak cocok untuk sasaran individu per

individu, tidak tahan lama dan mudah hilang, dan akan menjadi percuma
37

jika sasaran tidak diikutsertakan secara aktif, serta perlu proses

penggandaan yang baik.

2. Flirt Chart (lembar balik)

Media penyampaian pesan atau informasi kesehatan dalam bentuk buku

dimana setiap lembar berisi gambar peragaan dan lembar baliknya

berisikan kalimat sebagai pesan kesehatan yang berkaitan dengan gambar.

Keunggulan dari penyuluhan dengan menggunakan media ini antara lain

mudah dibawa, dapat dilipat maupun digulung, murah dan efesien, dan

tidak perlu peralatan yang rumit.

Kelemahannya yaitu terlalu kecil untuk sasaran yang berjumlah relatif

besar serta mudah sobek dan tercabik.

3. Film dan Video

Keunggulan media ini antara lain dapat memberikan realita yang

memungkinkan sulit direkam kembali oleh mata dan pikiran sasaran, dapat

memicu diskusi mengenai sikap dan perilaku, dan dapat merepleksikan

kepada diri mereka tentang keadaan yang benar-benar terjadi.

Kelemahan media ini antara lain, memerlukan sambungan listrik,

peralatannya beresiko untuk rusak, dan perlu adanya kesesuaian antara

kaset dengan alat pemutar, membutuhkan ahli profesional agar gambar

mempunyai makna dalam sisi artistik maupun materi, serta membutuhkan

banyak biaya karena menggunkan alat-alat yang canggih.


38

4. Slide

Keunggulan media ini antara lain dapat memberikan realita walaupun

terbatas, cocok untuk sasaran yang jumlahnya relatif besar dan

pembuatannya relatif murah, serta peralatannya cukup ringkas dan mudah

digunakan.

Kelemahan media ini antara lain memerlukan sambungan listrik,

peralatannya beresiko mudah rusak, serta memerlukan sumber daya

manusia yang terampil dan memerlukan ruangan sedikit lebih gelap.

5. Transparan OHP

Keunggulan media ini antara lain dapat dipakai untuk mencatat point-point

penting mat diskusi sedang berjalan, murah dan efesien karena alatnya

mudah didapat dan digunakan untuk sasaran yang relatif kecil maupun

besar, peralatannya mudah digunakan dan dipelihara.

Kelemahan media ini antara lain memerlukan aliran listrik, sukar

memperkenalkan gerakan dalam bentuk visual, lensa OHP dapat

menghalangi pandangan kelompok sasaran apabila pengaturan tempat

duduk komunikan yang tidak baik.

6. Papan Tulis

Keunggulan media ini antara lain murah dan efesien, baik untuk

menjelaskan sesuatu, mudah dibersihkan dan digunakan kembali.

Kelemahan media ini antara lain terlalu kecil untuk sasaran dalam jumlah

relatif besar, tidak efektif karena penyuluh harus membelakangi kelompok


39

sasaran saat sedang menulis sesuatu, terkesan kotor apabila tidak

dibersihkan dengan baik.

2.1.6 Metode Penyuluhan

Metode penyuluhan, dipilih metode yang paling cocok untuk

menyampaikan materi kepada para peserta latihan oleh tim penyuluh yang

bersangkutan. Penggunaan metode yang paling cocok akan mempermudah

peserta latihan menerima materi yang diberikan.

Menurut Notoatmojdo (2012), menguraikan ada beberapa metode

pendidikan yang bisa digunakan untuk penyuluhan sesuai dengan kebutuhan

yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :

1. Ceramah

Cara ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi. Cara ini

menerangkan dan menjelaskan suatu ide, pengertian atau pesan secara

lisan kepada sekelompok sasaran sehingga memperoleh informasi

tentang kesehatan.

2. Metode Diskusi Kelompok

Cara yang dipersiapkan untuk 5-20 peserta (sasaran) yang akan

membahas suatu topik yang telah disiapkan dengan seorang pemimpin

diskusi yang telah ditunjuk.

3. Metode Curah Pendapat

Cara yang memungkinkan setiap anggota mengusulkan semua

kemungkinan dalam pemecahan masalah yang terpikir oleh masing-


40

masing peserta dan evaluasi atas pendapat-pendapat yang telah

dikemukakan.

4. Metode Panel

Cara yangdirencanakan didepan pengunjung atau peserta tentang sebuah

topik, diperlukan 3 orang atau lebih panelis dengan seorang pemimpin.

5. Metode Bermain Peran

Cara yang dilakukan dengan memerankan sebuah situasi dalam

kehidupan manusia dengan tanpa diadakan latihan, dilakukan oleh dua

orang atau lebih untuk dipakai sebagai bahan pemikiran oleh kelompok.

6. Metode Demonstrasi

Cara untuk menunjukkan pengertian, ide dan prosedur tentang sesuatu

hal yang telah dipersiapkan dengan teliti untuk memperlihatkan

bagaimana cara melaksanakan suatu tindakan, adegan dengan

menggunakan alat peraga. Metode ini digunakan terhadap kelompok

yang tidak terlalu besar jumlahnya.

7. Metode Simposium

Cara yang dilakukan dengan ceramah yang diberikan oleh 2 sampai 5

orang dengan topik yang berlebihan tetapi saling berhubungan erat.


41

2.1.3 Penyuluhan/Promosi Kesehatan TB Paru

Promosi kesehatan dalam penanggulangan TB diselenggarakan dengan

strategi pemberdayaan masyarakat, advokasi dan kemitraan.

2.1.7 Pemberdayaan masyarakat

Proses pemberian informasi tentang TB secara terus menerus serta

berkesinambungan untuk menciptakan kesadaran, kemauan dan kemampuan

pasien TB, keluarga dan kelompok masyarakat. Metode yang dilakukan adalah

melalui komunikasi efektif, demontrasi (praktek), konseling dan bimbingan

yang dilakukan baik di dalam layanan kesehatan ataupun saat kunjungan rumah

dengan memanfaatkan media komunikasi seperti lembar balik, leaflet, poster

atau media lainnya.

2.1.8 Advokasi

Advokasi adalah upaya atau proses terencana untuk memperoleh

komitmen dan dukungan dari pemangku kebijakan yang dilakukan secara

persuasif, dengan menggunakan informasi yang akurat dan tepat. Advokasi

Program Penanggulangan TB adalah suatu perangkat kegiatan yang terencana,

terkoordinasi dengan tujuan:

2.1.8.1 Menempatkan TB sebagai hal/perhatian utama dalam agenda politik

2.1.8.2 mendorong komitmen politik dari pemangku kebijakan yang ditandai

adanya peraturan atau produk hukum untuk program penanggulangan

TB
42

2.1.8.3 meningkatkan dan mempertahankan kesinambungan pembiayaan dan

sumber daya lainnya untuk TB Advokasi akan lebih efektif bila

dilaksanakan dengan prinsip kemitraan melalui forum kerjasama.

2.1.9 Kemitraan

Kemitraan merupakan kerjasama antara program penanggulangan TB

dengan institusi pemerintah terkait, pemangku kepentingan, penyedia layanan,

organisasi kemasyarakatan yang berdasar atas 3 prinsip yaitu kesetaraan,

keterbukaan dan saling menguntungkan. (Kemenkes, 2016).

2.2 Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas)

Pedoman Keperawatan Kesehatan Masyarakat atau perkesmas tertuang

dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

279/MENKES/SK/IV/2006 tanggal 21 April 2006 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Upaya Keperawatan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas.

2.2.1 Defenisi

Keperawatan kesehatan masyarakat, merupakan salah satu kegiatan

pokok Puskesmas yang sudah ada sejak konsep Puskesmas di perkenalkan.

Perawatan Kesehatan Masyarakat sering disebut dengan PHN (Public Health

Nursing) namun pada akhir-akhir ini lebih tepat disebut CHN (Community

Health Nursing). Perubahan istilah public menjadi community, terjadi di

banyak negara karena istilah “public” sering kali di hubungkan dengan

bantuan dana pemerintah (government subsidy atau public funding), sementara

keperawatan kesehatan masyarakat dapat dikembangkan tidak hanya oleh


43

pemerintah tetapi juga oleh masyarakat atau swasta, khususnya pada sasaran

individu (UKP), contohnya perawatan kesehatan individu di rumah (home

health nursing).

Keperawatan kesehatan masyarakat (Perkesmas) pada dasarnya adalah

pelayanan keperawatan profesional yang merupakan perpaduan antara konsep

kesehatan masyarakat dan konsep keperawatan yang ditujukan pada seluruh

masyarakat dengan penekanan pada kelompok resiko tinggi. Dalam upaya

pencapaian derajat kesehatan yang optimal dilakukan melalui peningkatan

kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) di semua tingkat

pencegahan (levels of prevention) dengan menjamin keterjangkauan pelayanan

kesehatan yang dibutuhkan dan melibatkan klien sebagai mitra kerja dalam

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pelayanan keperawatan.

Tujuan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat adalah

meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah keperawatan

kesehatan masyarakat yang optimal. Pelayanan keperawatan diberikan secara

langsung kepada seluruh masyarakat dalam rentang sehat–sakit dengan

mempertimbangkan seberapa jauh masalah kesehatan masyarakat

mempengaruhi individu, keluarga, dan kelompok maupun masyarakat.

Sasaran keperawatan kesehatan masyarakat adalah seluruh masyarakat

termasuk individu, keluarga, kelompok beresiko tinggi termasuk kelompok/

masyarakat penduduk di daerah kumuh, terisolasi, berkonflik, dan daerah yang

tidak terjangkau pelayanan kesehatan


44

2.2.2 Tujuan Perkesmas

Secara umum adalah meningkatnya kemandirian masyarakat untuk

mengatasi masalah kesehatan khususnya masalah keperawatan kesehatan

untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal. sedangkam tujuan

khusus: (1) meningkatnya pengetahuan, sikap dan perilaku individu, keluarga,

kelompok dan masyarakat tentang kesehatan; (2) meningkatnya penemuan

dini kasus-kasus prioritas; (3) meningkatnya penanganan keperawatan kasus

prioritas di puskesmas; (4) meningkatnya penanganan kasus prioritas yang

mendapatkan tindak lanjut keperawatan di rumah; (5) meningkatnya akses

keluarga miskin mendapat pelayanan kesehatan/keperawatan kesehatan

masyarakat, (6) meningkatnya pembinaan keperawatan kelompok khusus dan

(7) memperluas daerah binaan keperawatan di masyarakat.

Lingkup pelayanan perkesmas yang diberikan kepada masyarakat

meliputi upaya kesehatan perorangan (UKP) maupun upaya kesehatan

masyarakat (UKM). Pelayanan kesehatan yang diberikan lebih difokuskan

pada promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Upaya

preventif meliputi pencegahan tingkat pertama (primary prevention),

pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) maupun pencegahan tingkat

ketiga (tertiary prevention)

2.2.3 Sasaran Perkesmas

Sasaran keperawatan kesehatan masyarakat adalah individu, keluarga,

kelompok, masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan akibat factor

ketidak tahuan, ketidak mauan maupun ketidakmampuan dalam menyelesaikan


45

masalah kesehatannya. Prioritas sasaran adalah yang mempunyai masalah

kesehatan terkait dengan masalah kesehatan prioritas daerah, terutama: (a)

Belum kontak dengan sarana pelayanan kesehatan (Puskesmas serta

jaringannya) dan (b) Sudah memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan tetapi

memerlukan tindak lanjut keperawatan di rumah.

Sasaran terdiri dari :

2.2.3.1 Sasaran individu

Sasaran priotitas individu adalah balita gizi buruk, ibu hamil risiko

tinggi, usia lanjut, penderita penyakit menular (antara lain TB Paru, Kusta,

Malaria, Demam Berdarah, Diare, ISPA/Pneumonia), penderita penyakit

degeneratif.

2.2.3.2 Sasaran keluarga

Sasaran keluarga adalah keluarga yang termasuk rentan terhadap

masalah kesehatan (vulnerable group) atau risiko tinggi (high risk group),

dengan prioritas :

1. Keluarga miskin belum kontak dengan sarana pelayanan kesehatan

(Puskesmas dan jaringannya) dan belum mempunyai kartu sehat.

2. Keluarga miskin sudah memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan

mempunyai masalah kesehatan terkait dengan pertumbuhan dan

perkembangan balita, kesehatan reproduksi, penyakit menular.

3. Keluarga tidak termasuk miskin yang mempunyai masalah kesehatan

prioritas serta belum memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan


46

2.2.3.3 Sasaran kelompok

Sasaran kelompok adalah kelompok masyarakat khusus yang rentan

terhadap timbulnya masalah kesehatan baik yang terikat maupun tidak terikat

dalam suatu institusi.

1. Kelompok masyarakat khusus tidak terikat dalam suatu institusi antara lain

Posyandu, Kelompok Balita, Kelompok ibu hamil, Kelompok Usia Lanjut,

Kelompok penderita penyakit tertentu, kelompok pekerja informal.

2. Kelompok masyarakat khusus terikat dalam suatu institusi, antara lain

sekolah, pesantren, panti asuhan, panti usia lanjut, rumah tahanan (rutan),

lembaga pemasyarakatan (lapas).

2.2.3.4 Sasaran masyarakat

Sasaran masyarakat adalah masyarakat yang rentan atau mempunyai

risiko tinggi terhadap timbulnya masalah kesehatan, diprioritaskan pada

1. Masyarakat di suatu wilayah (RT, RW, Kelurahan/Desa) yang mempunyai:

(a) Jumlah bayi meninggal lebih tinggi di bandingkan daerah lain; (b)

Jumlah penderita penyakit tertentu lebih tinggi dibandingkan daerah lain

dan (c) Cakupan pelayanan kesehatan lebih rendah dari daerah lain

2. Masyarakat di daerah endemis penyakit menular (malaria, diare, demam

berdarah, dll).

3. Masyarakat di lokasi/barak pengungsian, akibat bencana atau akibat lainnya

4. Masyarakat di daerah dengan kondisi geografi sulit antara lain daerah

terpencil, daerah perbatasan.


47

5. Masyarakat di daerah pemukiman baru dengan transportasi sulit seperti

daerah transmigrasi.

2.2.4 Strategi Penyelenggaraan Perkesmas

Fokus utama kegiatan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat

adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keperawatan,

membimbing dan mendidik individu, keluarga, kelompok, masyarakat untuk

menanamkan pengertian, kebiasaan dan perilaku hidup sehat sehingga mampu

memelihara dan meningkatkan derajad kesehatannya.

Keperawatan kesehatan masyarakat berorientasi pada proses pemecahan

masalah yang dikenal dengan “proses Keperawatan” (nursing process) yaitu

metoda ilmiah dalam keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai

cara terbaik dalam memberikan pelayanan keperawatan yang sesuai respon

manusia dalam menghadapi masalah kesehatan. Langkah langkah proses

keperawatan kesehatan masyarakat adalah pengakajian, perencanaan,

pelaksanaan, dan penilaian. Dalam penerapan proses keperawatan, terjadi

proses alih peran dari tenaga keperawatan kepada klien (sasaran) secara

bertahap dan berkelanjutan untuk mencapai kemandirian sasaran dalam

menyelesaikan masalah kesehatannya.


48

Proses alih peran tersebut digambarkan sebagai lingkaran dinamis proses


keperawatan, berikut :

Keterangan

Peran Perawat

Peran Klien

Gambar 2.2 Lingkaran Dinamis Proses Keperawatan

Berdasarkan uraian diatas, pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat

mempunyai ciri sebagai berikut :

1. Merupakan perpaduan pelayanan keperawatan dan kesehatan masyarakat

2. Adanya kesinambungan pelayanan kesehatan (continuity of care)

3. Fokus pelayanan pada upaya peningkatan kesehatan (promotif) dan

pencegahan penyakit (preventif) baik pada pencegahan tingkat pertama,

kedua maupun ketiga

4. Terjadi proses alih peran dari perawat kesehatan masyarakat kepada klien

(individu, keluarga, kelompok, masyarakat) sehingga terjadi kemandirian


49

5. Ada kemitraan perawat kesehatan masyarakat dengan masyarakat dalam

upaya kemandirian klien.

6. Memerlukan kerjasama dengan tenaga kesehatan lain serta masyarakat

Upaya Perkesmas dilaksanakan secara terpadu baik dalam upaya

kesehatan perorangan maupun kesehatan masyarakat dalam 6 (enam) upaya

kesehatan wajib Puskesmas (Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan,

KIA/KB, P2M, Gizi dan Pengobatan) maupun upaya pengembangan yang

wajib dilaksanakan di daerah tertentu. Keterpaduan tersebut dalam sasaran,

kegiatan, tenaga, biaya atau sumber daya lainnya. Dengan terintegrasinya

upaya Perkesmas ke dalam upaya kesehatan wajib maupun pengembangan,

diharapkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat lebih bermutu karena

diberikan secara utuh (holistik), komprehensif, terpadu, dan

berkesinambungan. Sasaran prioritas Perkesmas adalah sasaran yang sesuai

kesepakatan daerah dan ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Fokus utama pada keluarga rawan kesehatan yaitu keluarga miskin/rentan

(vulnerable group) dan keluarga yang termasuk risiko tinggi (high risk group).

Keterpaduan Perkesmas dengan upaya kesehatan Puskesmas sekaligus

bertujuan mendukung pencapaian target pembangunan kesehatan

Kabupaten/Kota yang diukur berdasarkan indikator Standar Pelayanan

Minimal (SPM). Keterpaduan Perkesmas dengan upaya kesehatan Puskesmas,

digambarkan sebagai berikut :


50

Promkes KIA & Gizi P2M Kesling Pengobatan


KB

Upaya Upaya
Kes Kes
Pengem Keperawatan Kesehatan Pengem
bangan
Masyarakat bangan

Indikator Pelayanan Kesehatan


(Standar Pelayanan Minimal)

Bagan 2.3 Keterpaduan Keperawatan Kesehatan Masyarakat Dalam Upaya


Kesehatan Puskesmas

Bila di wilayah kerja Puskesmas, terdapat masalah kesehatan yang

spesifik dan memerlukan asuhan keperawatan secara terprogram, maka

Perkesmas dapat dilaksanakan sebagai upaya kesehatan pengembangan. Upaya

Perkesmas, dimulai dengan melakukan pengkajian terhadap masyarakat yang

mempunyai masalah spesifik (misalnya tingginya Angka Kematian Bayi,

Angka Kematian Ibu, penderita TB Paru, DBD, Malaria, dll) untuk dapat

dirumuskan masalah keperawatannya dan penyebabnya, sehingga dapat

direncanakan intervensi yang akan dilakukan baik terhadap masyarakat,

kelompok khusus, keluarga maupun individu di daerah tersebut.


51

2.2.5 Pokok Kegiatan Perkesmas

Kegiatan Keperawatan Kesehatan Masyarakat, meliputi kegiatan di

dalam maupun di luar gedung Puskesmas baik upaya kesehatan perorangan

(UKP) dan atau upaya kesehatan masyarakat (UKM).

2.2.5.1 Kegiatan dalam gedung Puskesmas

Merupakan kegiatan keperawatan kesehatan masyarakat yang dilakukan

di poli asuhan keperawatan, poliklinik pengobatan, maupun ruang rawat inap

Puskesmas, meliputi:

1. Asuhan keperawatan terhadap pasien rawat jalan dan rawat inap

2. Penemuan kasus baru (deteksi dini) pada pasien rawat jalan.

3. Penyuluhan/pendidikan kesehatan.

4. Pemantauan keteraturan berobat .

5. Rujukan kasus/masalah kesehatan kepada tenaga kesehatan lain di

Puskesmas.

6. Pemberian nasehat (konseling) keperawatan.

7. Kegiatan yang merupakan tugas limpah sesuai pelimpahan kewenangan

yang diberikan dan atau prodesure yang telah ditetapkan (contoh

pengobatan, penanggulangan kasus gawat darurat, dll).

8. Menciptakan lingkungan terapeutik dalam pelayanan kesehatan di

gedung Puskesmas (kenyamanan, keamanan, dlll).

9. Dokumentasi keperawatan.
52

2.2.5.2 Kegiatan di luar gedung Puskesmas

Melakukan kunjungan ke keluarga/kelompok/masyarakat untuk

melakukan asuhan keperawatan di keluarga/kelompok/masyarakat :

1. Asuhan keperawatan kasus yang memerlukan tindak lanjut di rumah

(individu dalam konteks keluarga)

Merupakan asuhan keperawatan individu di rumah dengan melibatkan

peran serta aktif keluarga. Kegiatan yang dilakukan antara lain :

a. Penemuan suspek/kasus kontak serumah.

b. Penyuluhan/Pendidikan kesehatan pada individu dan keluarganya.

c. Pemantauan keteraturan berobat sesuai program pengobatan.

d. Kunjungan rumah (home visit/home health nursing) sesuai rencana.

e. Pelayanan keperawatan dasar langsung (direct care) maupun tidak

langsung (indirect care).

f. Pemberian nasehat (konseling) kesehatan/keperawatan.

g. Dokumentasi keperawatan.

2. Asuhan keperawatan keluarga

Merupakan asuhan keperawatan yang ditujukan pada keluarga rawan

kesehatan/keluarga miskin yang mempunyai masalah kesehatan yang di

temukan di masyarakat dan dilakukan di rumah keluarga. Kegiatannya

meliputi, antara lain:

a. Identifikasi keluarga rawan kesehatan/keluarga miskin dengan

masalah kesehatan di masyarakat.

b. Penemuan dini suspek/kasus kontak serumah.


53

c. Pendidikan/penyuluhan kesehatan terhadap keluarga (lingkup

keluarga).

d. Kunjungan rumah (home visit/home health nursing) sesuai rencana.

e. Pelayanan keperawatan dasar langsung (direct care) maupun tidak

langsung (indirect care).

f. Pelayanan kesehatan sesuai rencana, misalnya memantau keteraturan

berobat pasien dengan pengobatan jangka panjang.

g. Pemberian nasehat (konseling) kesehatan/keperawatan di rumah.

h. Dokumentasi keperawatan.

3. Asuhan keperawatan kelompok khusus.

Merupakan asuhan keperawatan pada kelompok masyarakat rawan

kesehatan yang memerlukan perhatian khusus, baik dalam suatu institusi

maupun non institusi. Kegiatannya meliputi antara lain:

a. Identifikasi faktor-faktor resiko terjadinya masalah kesehatan di

kelompok.

b. Pendidikan/penyuluhan kesehatan sesuai kebutuhan.

c. Pelayanan keperawatan langsung (direct care) pada penghuni yang

memerlukan keperawatan.

d. Memotivasi pembentukan, membimbing, dan memantau kader-kader

kesehatan sesuai jenis kelompoknya.

e. Dokumentasi keperawatan.
54

4. Asuhan Keperawatan masyarakat di daerah binaan.

Merupakan asuhan keperawatan yang ditujukan pada masyarakat yang

rentan atau mempunyai risiko tinggi terhadap timbulnya masalah

kesehatan. Kegiatannya meliputi kegiatan kunjungan ke daerah binaan

untuk:

a. Identifikasi masalah kesehatan yang terjadi di suatu daerah dengan

masalah kesehatan spesifik.

b. Meningkatkan partisipasi masyarakat melalui kegiatan memotivasi

masyarakat untuk membentuk upaya kesehatan berbasis masyarakat.

c. Pendidikan/penyuluhan kesehatan masyarakat.

d. Memotivasi pembentukan,mengembangkan dan memantau kader-

kader kesehatan di masyarakat.

e. Ikut serta melaksanakan dan memonitor kegiatan PHBS.

f. Dokumentasi keperawatan.

2.2.6 Pelaksana Perkesmas

Pelaksana utama kegiatan keperawatan kesehatan masyarakat adalah

semua perawat fungsional keperawatan di Puskesmas. Sebagai pelaksana

keperawatan kesehatan masyarakat di Puskesmas, perawat minimal

mempunyai enam peran dan fungsi, yaitu (1) sebagai penemu kasus (case

finder); (2) sebagai pemberi pelayanan (care giver); (3) sebagai

pendidik/penyuluh kesehatan (health teacher/educater); (4) sebagai

koordinator dan kolaborator; (5) pemberi nasehat ( counseling); (6) sebagai

panutan (role model).


55

Dalam penyelenggaraan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat

perawat bekerja sama dengan petugas kesehatan lain serta masyarakat.

Kerjasama dengan petugas kesehatan lain, terkait dengan kegiatan yang

memerlukan kemampuan teknis tertentu yang bukan kewenangan perawat.

Kerja sama dengan kader/masyarakat terutama dalam melaksanakan kegiatan

yang dapat dilimpahkan kepada masyarakat.

2.2.7 Pengelolaan Upaya Keperawatan Kesehatan Masyarakat di

Puskesmas

Agar upaya keperawatan kesehatan masyarakat di Puskesmas dapat

terlaksana secara efisen dan efektif, diperlukan pengelolaan upaya tersebut

dengan baik. Pengelolaan upaya Perkesmas merupakan rangkaian kegiatan

perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian, serta pengawasan dan

pertanggungjawaban yang terintegrasi dengan upaya kesehatan Puskesmas

sehingga upaya keperawatan kesehatan masyarakat dapat terlaksana secara

efisien dan efektif.

2.2.7.1 Perencanaan

Perencanaan upaya keperawatan kesehatan masyarakat dilaksanakan

terintegrasi dengan perencanan upaya puskesmas lainnya baik upaya

kesehatan wajib maupun pengembangan.

Langkah-langkah perencanaan yang harus dilakukan adalah:

1. Menyusun usulan kegiatan:

Usulan kegiatan disusun sesuai prioritas sasaran dan kegiatan prioritas

Puskesmas, dengan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan promotif dan


56

preventif (tingkat pertama, kedua, dan ketiga) yang akan melengkapi

kegiatan upaya kesehatan prioritas sehingga pelayanan kesehatan menjadi

lebih utuh.

2. Pengajuan usulan kegiatan

Usulan kegiatan diajukan secara terpadu dengan kegiatan Puskesmas lain

ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk mendapat persetujuan

pembiayaan.

3. Menyusun rencana pelaksanaan kegiatan

Berdasarkan usulan kegiatan Puskesmas yang telah disetujui oleh Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota, maka perlu disusun rencana pelaksanaan

kegiatan (Plan Of Action). Bila Perkesmas terintegrasi dalam upaya

kesehatan Puskesmas lainnya, maka POA Perkesmas juga terintegrasi. Bila

upaya Perkesmas merupakan upaya pengembangan maka POA Perkesmas

dapat dibuat tersendiri.

Kegiatan yang tercantum antara lain mencakup menetapkan kegiatan,

sasaran, target, volume kegiatan, rincian pelaksanaan, lokasi pelaksanan,

tenaga pelaksana, jadwal serta sumber daya pendukung lainnya. Kegiatan

yang direncanakan dituangkan dalam Matrix/Gann Chart.

Rencana pelaksanaan kegiatan sebaiknya dilengkapi dengan peta wilayah

Puskesmas (Mapping) yang menggambarkan masalah kesehatan/

keperawatan kesehatan masyarakat. Rencana pelaksanaan kegiatan disusun

dengan melibatkan penanggungjawab program terkait serta masyarakat .


57

2.2.7.2 Pelaksanaan dan Pengendalian

Pelaksanaan dan pengendalian merupakan rangkaian penyelenggaraan,

pemantauan serta penilaian terhadap upaya Perkesmas. Langkah pelaksanaan

dan pengendalian tersebut, meliputi antara lain :

1. Pengorganisasian di Puskesmas

Kepala puskesmas merupakan penanggung jawab kegiatan Perkesmas di

Puskesmas. Agar pelaksanaan Perkesmas dapat diselenggarakan secara

optimal, maka diharapkan di setiap Puskesmas ditetapkan adanya : (a)

Perawat pelaksana perkesmas di puskesmas; (b) Perawat penanggungjawab

desa/daerah binaan; (c) Perawat koordinator perkesmas di puskesmas dan

Pengorganisasian tenaga Perkesmas disesuaikan dengan jumlah perawat

yang ada.

2. Perawat Pelaksana Perkesmas di Puskesmas:

Perawat pelaksana perkesmas adalah: semua tenaga fungsional perawat di

Puskesmas. Perawat pelaksana perkesmas memberikan pelayanan/ asuhan

keperawatan baik kepada individu, keluarga, maupun kelompok. Penilaian

kinerja perawat pelaksana minimal menggunakan instrumen penilaian

jabatan fungsional bagi perawat puskesmas.

3. Perawat Penanggungjawab Desa/Daerah Binaan (Darbin)

Perawat Penanggungjawab Desa/daerah binaan merupakan perawat

pelaksana yang sekaligus membantu Perawat Koordinator Perkesmas

merencanakan, melaksanakan, memantau dan menilai asuhan keperawatan


58

terhadap individu, keluarga, kelompok, masyarakat di satu atau lebih di satu

desa/daerah binaan yang menjadi tanggungjawabnya.

4. Perawat Koordinator Perkesmas di Puskesmas:

Perawat Koordinator Perkesmas di Puskesmas bertanggung jawab kepada

Kepala Puskesmas terhadap keberhasilan upaya perkesmas di puskesmas,

mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan serta penilaian.

Koordinator perkesmas ditetapkan oleh Kepala Puskesms berdasarkan

kualifikasi tertentu (pendidikan DIII Keperawatan + pelatihan keperawatan

kesehatan komunitas serta mempunyai pengalaman dalam pelaksanaan

perkesmas).

Dalam pengorganisasian, harus ditetapkan secara jelas uraian tugas dan

tanggungjawab setiap perawat baik untuk melaksanakan tugas pokok

maupun tugas keterpaduan (lintas program dan lintas sektor) lainnya.

a. Pelaksanaan kegiatan

Pelaksanaan kegiatan Perkesmas, dilakukan berdasarkan Rencana

pelaksanaan kegiatan (POA) Perkesmas yang telah disusun. Dalam

melaksanakan kegiatan perlu melakukan :

1) Mengkaji ulang Rencana Pelaksanaan Kegiatan (POA) yang telah

disusun.

2) Menyusun jadual kegiatan bulanan setiap perawat dan petugas

kesehatan lain yang terlibat dalam kegiatan Perkesmas.

3) Melaksanakan asuhan keperawatan menggunakan stándar/pedoman/

prosedur tetap (protap).


59

4) Menyepakati indikator kinerja klinik perawat

b. Pemantauan hasil pelaksanaan kegiatan

Pemantauan dilaksanakan secara berkala oleh Kepala Puskesmas dan

Koordinator Perkesmas. Kegiatannya antara lain :

1) Membahas/mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dalam

pelaksanaan Perkesmas

Pembahasan masalah dapat dilakukan dalam bentuk :

(a) Refleksi Diskusi Kasus

Merupakan pertemuan (forum diskusi) berkala bagi perawat

Puskesmas untuk membahas masalah teknis Perkesmas dalam

pemberian asuhan keperawatan baik pada klien individu,

keluarga, kelompok maupun masyarakat. Dengan dilakukannya

Refleksi Diskusi Kasus secara berkala (contoh satu kali setiap

minggu), pemahaman serta keterampilan perawat dalam

Perkesmas diharapkan meningkat.

(b) Lokakarya Mini Bulanan

Merupakan pertemuan bulanan di Puskesmas yang dihadiri

seluruh staf Puskesmas dan unit penunjangnya, untuk membahas

kinerja internal Puskesmas, antara lain cakupan, mutu,

pembiayaan, serta masalah dan hambatan dalam pelaksanaan

upaya Puskesmas termasuk upaya Perkesmas. Masalah dalam

pelaksanaan Perkesmas terkait dengan lintas program lain


60

dibahas dalam pertemuan ini, untuk mendapatkan

penyelesaiannya.

(c) Lokakarya Mini Tribulanan

Merupakan pertemuan setiap 3 bulan sekali dipimpin oleh Camat

dan dihadiri oleh staf Puskesmas dan unit penunjangnya, instansi

lintas sektor tingkat Kecamatan, serta perwakilan konsil

kesehatan/Badan Penyantun Puskesmas. Masalah dalam

pelaksanaan upaya Puskesmas termasuk upaya Perkesmas terkait

dengan sektor lain dibahas dalam pertemuan ini, untuk

mendapatkan penyelesaiannya.

2) Melakukan penilaian

Penilaian dilakukan pada setiap akhir tahun dengan

membandingkan hasil pelaksanaan kegiatan dengan rencana yang

telah disusun. Penilaian dilakukan terhadap input, proses serta

output berupa cakupan, kepatuhan pada standar.

2.2.7.3 Pengawasan dan pertanggungjawaban

Pengawasan dan pertanggungjawaban kegiatan Perkesmas terintegrasi

dengan kegiatan Puskesmas lainnya. Pengawasan dilakukan baik internal

maupun eksternal. Dalam pertanggungjawaban Kepala Puskesmas

mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan Puskesmas termasuk Perkesmas

dan pembiayaannya dalam suatu laporan tahunan.


61

2.2.7.4 Indikator Keberhasilan

Untuk mengukur keberhasilan upaya Keperawatan Kesehatan

Masyarakat di Puskesmas, digunakan indikator yang meliputi indikator

masukan (input), indikator proses, indikator luaran (output) dan indikator

dampak.

1. Indikator Masukan (Input)

Indikator masukan, meliputi:

a. Jumlah perawat Puskesmas sudah mendapat pelatihan teknis Perkesmas

serta penatalaksanaan program prioritas.

b. Jumlah Kit untuk pelaksanaan Perkesmas (PHN Kit) minimal 1 kit

untuk setiap desa.

c. Tersedia sarana transporasi (R-2) untuk kunjungan ke keluarga/

kelompok/masyarakat,

d. Tersedia dana operasional untuk pembinaan/asuhan keperawatan

e. Tersedia Standar/Pedoman/SOP pelaksanaan kegiatan Perkesmas

f. Tersedia dukungan administrasi (Buku Register, Family Folder,

Formulir Askep, Formulir Laporan, dll)

g. Tersedianya ruangan khusus untuk asuhan keperawatan di Puskesmas

2. Indikator Proses

Indikator proses, meliputi :

a. Ada Rencana Usulan Kegiatan Perkesmas terintegrasi dengan

Rencana Kegiatan Puskesmas.

b. Ada Rencana Pelaksanaan Kegiatan Perkesmas (POA).


62

c. Ada Rencana Asuhan Keperawatan setiap klien (individu, keluarga,

kelompok, masyarakat).

d. Adanya dukungan dan ada kegiatan bimbingan yang dilakukan

Kepala Puskesmas.

e. Ada kegiatan bimbingan teknis Perkesmas oleh Perawat Penyelia

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Puskesmas.

f. Ada kegiatan koordinasi dengan lintas program terkait petugas

kesehatan lain.

g. Ada laporan tertulis hasil pemantauan dan penilaian dan rencana

tindak lanjut.

h. Ada rencana peningkatan pendidikan/pelatihan perawat secara

berkelanjutan.

3. Indikator luaran (output)

Indikator luaran, meliputi :

a. % suspek/kasus perioritas puskesmas (contoh. TB paru) yang ditemukan

secara dini.

b. % pasien kasus yang mendapat pelayanan tindak lanjut keperawatan di

rumah.

c. % keluarga miskin dengan masalah kesehatan yang dibina.

d. % kelompok khusus dibina (panti, rutan lapas/rumah tahanan dan

lembaga pemasyarakatan, dll).

e. % pasien rawat inap Puskesmas di lakukan asuhan keperawatan.

f. % desa/daerah yang dibina.


63

Besarnya % setiap Puskesmas ditetapkan oleh masing-masing

Kabupaten/Kota. Indikator luaran ini merupakan indikator antara, untuk

mendukung tercapainya Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kabupaten/Kota.

4. Indikator dampak

Indikator dampak yaitu ”keluarga mandiri dalam memenuhi kebutuhan

kesehatannya”, yang dinilai dengan tingkat kemandirian keluarga.

Kemandirian keluarga berorientasi pada lima fungsi keluarga dalam

mengatasi masalah kesehatannya yaitu :

a. mampu mengenal masalah kesehatannya.

b. mampu mengambil keputusan tepat untuk mengatasi kesehatannya.

c. mampu melakukan tindakan keperawatan untuk anggota keluarga yang

memerlukan bantuan keperawatan.

d. mampu memodifikasi lingkungan sehingga menunjang upaya

peningkatan kesehatan.

e. mampu memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan yang ada.

2.2.7.5 Kemandirian Keluarga

”Kemandirian keluarga” dalam program Perawatan Kesehatan

Masyarakat di bagi dalam 4 tingkatan yaitu : Keluarga Mandiri tingkat I (paling

rendah) sampai Keluarga Mandiri tingkat IV (paling tinggi).

1. Keluarga Mandiri Tingkat Pertama (KM-I)

Kriteria :

a. Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat.


64

b. Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan

rencana keperawatan.

2. Keluarga Mandiri Tingkat Dua (KM – II)

Kriteria :

a. Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat.

b. Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan

rencana keperawatan.

c. Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara benar.

d. Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.

3. Keluarga Mandiri Tingkat Tiga (KM – III)

Kriteria :

a. Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat.

b. Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan

rencana keperawatan.

c. Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara benar.

d. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara aktif.

e. Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.

f. Melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif.

c. Keluarga Mandiri Tingkat Empat (KM – IV)

a. Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat.

b. Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan

rencana keperawatan.

c. Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara benar.


65

d. Memanfaatkan fasilitas pelayanan sesuai anjuran.

e. Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.

f. Melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif.

g. Melaksanakan tindakan promotif secara aktif.

Tingkat kemandirian keluarga dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3 Kemandirian Keluarga dalam Program Perkesmas

Tingkat Kemandirian
No Kriteria Keluarga
I II III IV
1. Menerima petugas (Perkesmas) V V V V
2. Menerima pelayanan kesehatan sesuai
V V V V
rencana keperawatan
3. Tahu dan dapat mengungkapkan
V V V
masalah kesehatannya secara benar
4. Memanfaatkan fasilitas pelayanan
V V V
kesehatan sesuai anjuran
5. Melakukan tindakan keperawatan
V V V
sederhana sesuai anjuran
6. Melakukan tindakan pencegahan
V V
secara aktif
7 Melakukan tindakan peningkatan
V
kesehatan ( promotif) secara aktif

2.3 Kerangka Teori

Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan diatas tentang Hubungan

Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian Keluarga dalam Program

Perkesmas, maka peneliti menguraikan kerangka teori sebagai berikut:


66

Program Penanggulangan TB Paru


v Strategi DOTS:
1. Komitmen politik
2. Penemuan penderita dengan
pemeriksaan dahak secara
mikroskopis Pengetahuan Penderita TB Paru dan
3. Jaminan tersedianya OAT secara Keluarga:
teratur, menyeluruh dan tepat waktu 1. Tingkat Pendidikan
4. Sistem pelaporan dan pencatatan yang 2. Informasi yang didapat
baku 3. Umur
4. Pengalaman
5. Pengobatan dengan OAT dengan 5. Pekerjaan
pengawasan oleh PMO

Program Penanggulangan TB Paru Kemandirian Keluarga terhadap


v Penyuluhan Kesehatan: penderita Tb Paru
1. Tujuan penyuluhan 1. KM I
2. Peserta penyuluhan 2. KM II
3. KM III
3. Penyuluh (Fasilitator)
4. KM IV
4. Materi penyuluhan
5. Metode penyuluhan
Indikator Keberhasilan:
1. Menerima petugas (Perkesmas)
Keperawatan Kesehatan 2. Menerima pelayanan kesehatan sesuai rencana
Masyarakat (Perkesmas) keperawatan
3. Tahu dan dapat mengungkapkan masalah
kesehatannya secara benar
4. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan
sesuai anjuran
5. Melakukan tindakan keperawatan sederhana
: yang diteliti sesuai anjuran
6. Melakukan tindakan pencegahan secara aktif
: tidak diteliti
7. Melakukan tindakan peningkatan kesehatan
(promotif) secara aktif

Bagan 2.4 Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian


Keluarga dalam Program Perkesmas di Puskesmas Gempol kecamatan Gempol
kabupaten Cirebon. Modifikasi Kemenkes (2016, 2013, 2009, 2006), Sumantri
(2006) dan Notoatmodjo (2012)
67

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan penyuluhan

kesehatan TB Paru terhadap kemandirian keluarga dalam program keperawatan

kesehatan masyarakat (perkesmas) di Puskesmas Gempol kecamatan Gempol

kabupaten Cirebon.

Variabel Independen Variabel Dependen

Penyuluhan Kesehatan Kemandirian Keluarga

Bagan 3.1 Kerangka konsep hubungan penyuluhan kesehatan TB Paru terhadap


kemandirian keluarga dalam program perkesmas di Puskesmas Gempol
kecamatan Gempol kabupaten Cirebon.

Pada variabel independen penyuluhan kesehatan dalam penelitian ini adalah

penyuluh (fasilitator), materi penyuluhan dan metode penyuluhan. Sedangkan

variabel dependen kemandirian keluarga terdiri dari kemandirian keluarga I, II, III

dan IV.
68

3.2 Hipotesa Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis pada

penelitian ini adalah

3.2.1 Ha = Ada hubungan penyuluhan kesehatan TB Paru terhadap kemandirian

keluarga dalam program perkesmas di Puskesmas Gempol kecamatan

Gempol kabupaten Cirebon;

3.2.2 Ho = Tidak ada penyuluhan kesehatan TB Paru terhadap kemandirian

keluarga dalam program perkesmas di Puskesmas Gempol kecamatan

Gempol kabupaten Cirebon.


69

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah penelitian yang telah diuraikan dalam latar

belakang penelitian, maka jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan

desain cross sectional survey Study yaitu suatu rancangan penelitian yang

mempelajari hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen

dengan melakukan pengukuran sesaat, bertujuan untuk mengetahui hubungan

penyuluhan kesehatan TB Paru terhadap kemandirian keluarga dalam program

perkesmas di Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon dengan

cara pengumpulan data pada suatu saat atau periode dengan langkah-langkah:

1. Merumuskan pertanyaan penelitian beserta hipotesis yang sesuai

2. Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung.

3. Menetapkan subyek penelitian.

4. Melaksanakan pengukuran.

5. Melakukan analisis
70

4.2 Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional hubungan penyuluhan kesehatan TB Paru


terhadap kemandirian keluarga dalam program perkesmas di Puskesmas
Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel Pendidikan kesehatan Check List Wawancara Baik: ≥ 77 % Ordinal
Independen yang diberikan Kuesioner 24-30
Penyuluhan petugas kesehatan pertanyaan
Kesehatan tentang penyakit dan
TB Paru pencegahan TB Paru Cukup:56-76%
dengan 17-23
memperhatikan aspek pertanyaan
penyuluhan seperti
tujuan, perserta, Kurang:≤55%
penyuluh, materi dan 0-16
metoda penyuluhan pertanyaan

Variabel Keluarga yang saat Format Observasi Baik: Ordinal


Dependen dilakukan kunjungan Kemandirian Kemandirian
Kemandirian program keperawatan Keluarga Keluarga IV
Keluarga kesehatan masyarakat Depkes
dalam (perkesmas) dapat 2006 Cukup:
keperawatan menerima petugas, Kemandirian
kesehatan menerima pelayanan Keluarga II-
masyarakat keperawatan yang III
diberikan sesuai
dengan rencana Kurang:
keperawatan, dapat Kemandirian
mengungkapkan Keluarga I
masalah kesehatannya
dengan memanfaatkan
fasilitas pelayanan
sesuai anjuran,
melaksanakan
perawatan sederhana
sesuai yang
dianjurkan serta
mampu melaksanakan
tindakan pencegahan
dan promotif secara
aktif.
71

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita dan tersangka TB Paru

di Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon yang berjumlah 32

orang.

4.3.2 Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan total populasi

(total sampling) dengan jumlah 32 orang responden yang merupakan tersangka atau

penderita TB Paru dan keluarganya.

4.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa format observasi

dengan memberikan tanda check list (√) pada kolom yang tersedia.

4.4.1 Penyuluhan Kesehatan TB Paru

Terdiri dari penyuluh (fasilitator), materi penyuluhan dan metode

penyuluhan. Materi penyuluhan tentang penyakit TB Paru dengan sasaran penderita

dan atau keluarga dengan metode penyampaian adalah ceramah. Setelah respoden

dilakukan tindakan penyuluhan memberikan penilaian terhadap penyuluh, materi

dan metode penyuluhan yang diukur dengan memberikan skor terhadap kuesioner

yang telah diberikan bobot (Skala Guttmann) Skala ukur materi adalah skala ordinal

yang diklasifikasikan menjadi 2 kategori yaitu "ya", dan "tidak".


72

Jumlah pertanyaan penyuluh, materi dan metode penelitian yang diajukan

masing-masing sebanyak 30 pertanyaan positif, total skor dengan masing-masing

pertanyaan memiliki 2 (dua) pilihan yaitu :

1. Jika jawaban ya maka diberi skor 1

2. Jika jawaban tidak maka diberi skor 0

Berdasarkan jumlah nilai diklasifikasikan dalam dua kategori yaitu :

1. Kategori baik, apabila dapat menjawab ≥ 77 % atau 24-30 pertanyaan

yang diajukan

2. Kategori cukup, apabila dapat menjawab 56-76% atau 17-23

pertanyaan yang diajukan

3. Kategori kurang, apabila dapat menjawab ≤ 55% atau 0-16 pertanyaan

yang diajukan

4.4.2 Kemandirian Keluarga dalam keperawatan kesehatan masyarakat

(perkesmas)

“Kemandirian keluarga” dalam program Perawatan Kesehatan

Masyarakat di bagi dalam 4 tingkatan yaitu : Keluarga Mandiri tingkat I (paling

rendah) sampai Keluarga Mandiri tingkat IV (paling tinggi).

1. Keluarga Mandiri Tingkat Pertama (KM-I)

Kriteria :

a. Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat.

b. Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana

keperawatan.
73

2. Keluarga Mandiri Tingkat Dua (KM – II)

Kriteria :

a. Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat.

b. Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana

keperawatan.

c. Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara benar.

d. Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.

3. Keluarga Mandiri Tingkat Tiga (KM – III)

Kriteria :

a. Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat.

b. Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana

keperawatan.

c. Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara benar.

d. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara aktif.

e. Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.

f. Melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif.

4. Keluarga Mandiri Tingkat Empat (KM – IV)

a. Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat.

b. Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana

keperawatan.

c. Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara benar.

d. Memanfaatkan fasilitas pelayanan sesuai anjuran.

e. Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.


74

f. Melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif.

g. Melaksanakan tindakan promotif secara aktif.

4.5 Uji Instrumen dan Reabilitas

Uji instrumen dilaksanaka melalui validasi kuesioner. Validitas adalah

suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu

instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi,

dan juga sebaliknya (Arikunto, 2006). Instrumen dikatakan valid jika instrumen

itu mampu mengukur yang seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi

tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa instrumen dianggap valid jika

instrumen itu dapat dijadikan alat untuk mengukur yang akan diukur.

Untuk menilai apakah kuesioner tersebut dapat mengukur yang hendak

diukur, maka dapat diuji dengan dua cara yaitu dengan melakukan uji instrumen

atau dengan memvalidasi kuesioner kepada seorang ahli di bidangnya. Pada

penelitian ini kuesioner telah di konsultasikan kepada dosen pembimbing yang

juga merupakan staf pengajar Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

(STIKes) Mahardika.

4.6 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti terlebih mengajukan outline

permasalahan penelitian kemudian memperoleh permohonan izin pelaksanaan

penelitian pada Program Studi Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan


75

Mahardika, kemudian izin yang diperoleh dikirimkan kepada Kepala UPT

Puskesmas Gempol Kecamatan Gempol Kabupaten Cirebon.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari responden

melalui kuesioner. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi jumlah penderita

TB Paru dan data lain yang mendukung yang diperoleh dari UPT Puskesmas

Gempol.

Setelah mendapat izin penelitian, peneliti mendatangi pengelola Program TB

Paru Puskesmas Gempol kabupaten Cirebon untuk memperoleh data tersangka/

penderita TB Paru, kemudian ke pengelola program Perkesmas untuk memperoleh

data Kemandirian Keluarga dari tersangka/penderita TB Paru. Kemudian melalui

pengelola Promosi Kesehatan Puskesmas secara lintas program dengan pengelola

program TB Paru dan Perkesmas melaksanakan penyuluhan kepada keluarga

tersangka/penderita TB Paru dengan mendatangi setiap rumah yang menjadi

responden penelitian. Penyuluhan yang dilaksanakan petugas dilaksanakan selama

45 menit, kemudian responden diberikan kuesioner dengan melalui bimbingan

peneliti untuk menjawab semua pernyataan yang ada. Setelah menjawab semua

pernyataan yang ada, peneliti dengan melalui hasil pernyataan dan observasi

melakukan penilaian terhadap kemandirian keluarga responden.


76

4.7 Pengolahan dan Analisa Data

4.7.1 Pengolahan Data

4.7.1.1 Koding

Adapun langkah dalam tahap pengkodean variabel adalah:

1. Pembuatan daftar pertanyaan, yaitu untuk memberi kode pada semua

pertanyaan yang ada dalam kuesioner.

2. Pemindahan hasil pengisian kuesioner ke dalam daftar kode yang ada di

dalam kuesioner.

3. Pembuatan daftar koding, yaitu untuk memindahkan hasil pengisian daftar

koding kuesioner ke dalam daftar koding tersendiri yang siap untuk

dimasukkan di dalam program pengolah data statistik di komputer.

4.7.1.2 Entry Data

Proses pemindahan data ke dalam komputer agar diperoleh data

masukan yang siap diolah system dengan menggunakan perangkat lunak

pengolahan data statistik yaitu IBM SPSS Statistics version 24 tahun 2016

yang dijalankan dengan sistem komputer Windows 7 Ultimate x86.

4.7.1.3 Tabulating

Mengelompokkan data sesuai dengan tujuan penelitian kemudian

dimasukkan dalam tabel yang sudah disiapkan.

4.7.2 Analisa Data

Analisa data dilakukan setelah semua data terkumpul melalui beberapa

tahap dimulai dengan editing untuk memeriksa kelengkapan identitas dan data
77

responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi, kemudian data

yang sesuai diberi kode (koding) untuk memudakan peneliti dalam melakukan

tabulasi dan analisa data. Selanjutnya memasukkan (entry) data ke dalam

komputer dan melakukan pengolahan data dengan menggunakan teknik

komputerisasi (Arikunto, 2006).

Setelah dilakukan pemeriksaan dan tabulasi data, maka dilakukan

analisa data yaitu sebagai berikut :

4.7.2.1 Analisa univariat

Analisa univariat adalah analisis yang dilakukan untuk satu variabel

atau per variabel atau disebut juga dari analisis berdistribusi tunggal. Analisa

univariat dilakukan untuk mendapat gambaran data tentang demografi dan

tingkat motivasi responden sebelum dan sesudah diberikan intervensi yang

selanjutnya dipaparkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase.

Analisa univariat untuk memperoleh nilai tendensi sentral (mean,

median) dan variasi (varian, range, dan standar deviasi), terhadap data

numerik (Notoatmodjo, 2012). Hasil analisa disajikan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi (f) dan proporsi (%)

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:


𝑛
ρ = 𝑁 x 100 %

Keterangan:

ρ = persentase

n = Jumlah perkategori
78

N = Jumlah Responden

Di dalam penelitian ini menghitung frekuensi dalam bentuk persentase dari

variabel penyuluh (fasilitator), materi penyuluhan dan metode penyuluhan.

4.7.2.2 Analisa Bivariat

Analisa bivariat yaitu dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berpengaruh atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2007). Analisa ini dipergunakan

untuk melihat kemaknaan pengaruh dari tiap-tiap variabel independent dan

dependen, menggunakan uji statistik Chi Square dengan tingkat kemaknaan

aplha 0,05 (5%) untuk uji perbedaan proporsi kedua variabel. Di dalam

penelitian ini adalah melihat hubungan penyuluhan kesehatan TB Paru

terhadap kemandirian keluarga dalam program keperawatan kesehatan

masyarakat (perkesmas) di puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten

Cirebon.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

(𝑂−𝐸)2
X2 = 𝐸

Keterangan:

X2 = Nilai Chi-Square

O = Frekuensi yang diobservasi

E = Frekuensi Ekspektasi (yang diharapkan)

Jika nilai p value alpha ≤ 0,05 berarti hasil perhitungan statistik bermakna

(signifikan) bila nilai p value ≥ 0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak

bermakna (tidak signifikan).


79

4.8 Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Ketua

akademis Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mahardika dan melakukan

permohonan izin penelitian kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, dan

selanjutnya menyerahkan surat penelitian kepada Kepala UPT Puskesmas

Gempol. Sebelum penelitian dilakukan, peneliti terlebih dahulu menjelaskan

maksud dan tujuan penelitian. Berapa populasi yang dipilih serta data yang

terkait dengan TB Paru dan untuk memastikan kerahasiaan responden akan

terjaga.

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan

nama responden pada lembar pengumpulan data, melainkan cukup dengan

memberikan nomor kode responden pada masing-masing lembar pengumpulan

data. Kerahasiaan informasi dari responden dijamin oleh peneliti karena ata-

data yang diperoleh dari responden juga hanya digunakan untuk kepentingan

penelitian.. Dalam penelitian ini juga disertakan surat persetujuan penelitian

(informed concent) yang diberikan kepada responden. Sebelum

menandatangani informed consent tersebut, responden diberi waktu sehingga

benar-benar paham sepenuhnya atas apa yang akan dijalaninya dalam penelitian

4.9 Waktu dan Tempat Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Puskesmas Gempol Kecamatan Plumbon

Kabupaten Cirebon. Waktu penelitian adalah sejak pembuatan skripsi ini menurut
80

kalender akademis Program Studi Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Mahardika yaitu mulai bulan Mei sampai dengan Juli 2017. Pengumpulan data

dilakukan selama bulan Januari sampai bulan Juli 2017.


81

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka data hasil penelitian ini menguraikan

gambaran demografi responden dan Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru

Terhadap Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan

Masyarakat (Perkesmas) di Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten

Cirebon.

5.1 Karakteristik Responden

Deskripsi Karakteristik responden mencakup nama inisial, umur, jenis

kelamin, agama, pekerjaan, pendidikan, pernah mengikuti penyuluhan dan status

penyakit TB Paru. Responden dalam penelitian ini berjumlah 32 orang, yaitu

responden sebagai tersangka TB Paru dan TB Paru +, data diperoleh dari responden

dan keluarganya.
82

Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur


Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian
Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat
(Perkesmas) di Puskesmas Gempol kec. Gempol kab. Cirebon (n=32)
Kelompok Umur Responden Frekuensi (n) Presentase (%)

10-20 tahun 1 3,1


21-30 tahun 0 0
31-40 tahun 2 6,3
41-50 tahun 8 25
51-60 tahun 13 40,6
61-70 tahun 7 21,9
71-80 tahun 1 3,1

Jumlah 32 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan karakteristik usia mayoritas

responden berada pada rentang usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 13 orang (40,6%)

kemudian responden dengan rentang usia 41-50 tahun sebanyak 8 orang (25%),

responden dengan rentang 61-70 tahun sebanyak 7 orang (21,9%), responden

dengan rentang 31-40 tahun sebanyak 2 orang (6,3%) dan rentang 71-80 tahun, 10-

20 tahun masing-masing sebanyak 1 orang (3,1%).

Tabel 5.2 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian
Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat
(Perkesmas) di Puskesmas Gempol kec. Gempol kab. Cirebo (n=32)
Jenis Kelamin Responden Frekuensi (n) Presentase (%)

Laki-laki 27 84,4
Perempuan 5 15,6

Jumlah 32 100
83

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan karakteristik jenis kelamin

mayoritas responden adalah laki-laki yaitu sebanyak 27 orang (84,4%) kemudian

perempuan sebanyak 5 orang (15,6%).

Tabel 5.3 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Agama Hubungan


Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian Keluarga
dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di
Puskesmas Gempol kec. Gempol kab. Cirebon (n=32)
Agama Responden Frekuensi (n) Presentase (%)

Islam 32 100

Jumlah 32 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan karakteristik agama total

responden beragama islam yaitu sebanyak 32 orang (100%).

Tabel 5.4 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Hubungan


Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian Keluarga
dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di
Puskesmas Gempol kec. Gempol kab. Cirebon (n=32)
Pekerjaan Responden Frekuensi (n) Presentase (%)

Buruh 3 9,4
IRT 5 15,6
Pedagang 3 9,4
Pelajar 1 3,1
Wiraswasta 20 62,5

Jumlah 32 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan karakteristik pekerjaan


adalah mayoritas responden sebagai wiraswasta yaitu sebanyak 20 orang (62,5%),
kemudian responden sebagai IRT yaitu sebanyak 5 orang (15,6%), responden
84

sebagai pedagang dan buruh masing-masing yaitu sebanyak 3 orang (9,4%) serta
responden sebagai pelajar yaitu sebanyak 1 orang (3,1%).

Tabel 5.5 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir


Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian
Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat
(Perkesmas) di Puskesmas Gempol kec. Gempol kab. Cirebon (n=32)
Pendidikan Responden Frekuensi (n) Presentase (%)

SD 20 62,5
SMP 6 18,8
SMA 6 18,8

Jumlah 32 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan karakteristik pendidikan

terakhir responden mayoritas adalah SD yaitu sebanyak 20 orang (62,5%),

kemudian responden berpendidikan SMP dan SMA masing-masing sebanyak 6

orang (18,8%).

Tabel 5.6 Distribusi Karakteristik Responden Pernah mengikuti penyuluhan pada


Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian
Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat
(Perkesmas) di Puskesmas Gempol kec. Gempol kab. Cirebon (n=32)
Pendidikan Responden Frekuensi (n) Presentase (%)

Ya 30 93,7
Tidak 2 6,3

Jumlah 32 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan karakteristik responden

mayoritas pernah mengikuti penyuluhan yaitu sebanyak 30 orang (93,7%),

kemudian responden yang belum mengikuti penyuluhan sebanyak 2 orang (6,3%).


85

Tabel 5.7 Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan status TB Paru pada


Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian
Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat
(Perkesmas) di Puskesmas Gempol kec. Gempol kab. Cirebon (n=32)
Status TB Paru Responden Frekuensi (n) Presentase (%)

TB Paru + 16 50
Suspect/tersangka 16 50

Jumlah 32 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan karakteristik status TB

responden yaitu responden TB Paru + dan suspect/tersangka seimbang masing-

masing berjumlah 16 orang responden (50%).

5.2 Hasil Penelitian

5.2.1 Analisa Univariat

Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian

dengan menggunakan daftar distribusi frekuensi dan persentase dari tiap

variabel serta dilengkapi dengan tabel (Notoadmojo, 2012). Analisa ini

diperlukan untuk mendeskripsikan dengan menggunakan tabel frekuensi

Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian Keluarga

dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di

Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon.

Pada penelitian ini kuesioner merupakan pertanyaan positif dari segi

penyuluh (fasilitator), materi penyuluhan dan metode penyuluhan sebanyak 30

butir pertanyaan yang dapat dilihat pada uraian berikut:


86

Tabel 5.8 Distribusi Responden berdasarkan butir pertanyaan positif


kuesioner Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap
Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan
Masyarakat (Perkesmas) di Puskesmas Gempol kec. Gempol kab.
Cirebon (n=32)
No YA TIDAK
Pertanyaan Positif
(%) (%)
1. Tidak terlalu panjang tetapi tepat sasaran 32 0
100 0
2. Menggunakan kalimat yang sederhana (mudah 18 14
dipahami) 56,25 43,75
3. Menggunakan contoh yang sesuai dengan 30 2
materi yang dijelaskan. 93,75 6,25
4. Memberikan point-point yang penting pada 27 5
awal dan/atau pada akhir penyuluhan 84,375 15,625
5. Point-point penting dalam penjelasan diberikan 6 26
tekanan dengan cara-cara mengulang-ulang. 18,75 81,25
6. Memberi tekanan yang disertai gambar dan 10 22
lain-lain 31,25 68,75
7. Menjelaskan materi penyuluhan secara 28 4
berurutan 87,5 12,5
8. Isi materi penyuluhan jelas dan dapat tepat 23 9
sasaran 71,875 28,125
9. Memberi kesempatan bertanya kepada peserta 30 2
93,75 6,25
10. Penyuluh sopan, sabar, sopan dan terbuka 25 7
78,125 21,875
11. Materi yang disampaikan tentang pencegahan 2 30
penyakit TB Paru 6,25 93,75
12. Materi mudah dipahami oleh anda 2 30
6,25 93,75
13. Tidak menyimpang dan penyakit TB Paru 28 4
87,5 12,5
14. Singkat dan padat 29 3
90,625 9,375
15. Menjelaskan tujuan pencegahan penyakit TB 29 3
Paru 90,625 9,375
16. Menjelaskan tentang angka kejadian TB Paru 29 3
yang masih tinggi 90,625 9,375
17. Menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan 29 3
oleh TB Paru 90,625 9,375
18. 24 8
87

Menyelipkan humor dalam penyampaian


materi 75 25
19. Menjelaskan tentang angka kematian yang 16 16
disebabkan oleh TB Paru 50 50
20. Menyimpulkan apa yang telah disampaikan 25 7
78,125 21,875
21. Metode penyuluhan yang digunakan adalah 27 5
ceramah 84,375 15,625
22. Metode ceramah lebih mudah dimengerti 26 6
81,25 18,75
23. Adanya tanya jawab lebih mempermudah 14 18
pemahaman 43,75 56,25
24. Tidak terlalu lama penyampaiannya 16 16
50 50
25. Metode ceramah dapat membuat peserta cepat 24 8
paham 75 25
26. Menyampaikan materi dengan jelas dan tidak 18 14
berbelit-belit 56,25 43,75
27. Waktu penyampaian peserta diberikan 27 5
kesempatan untuk langsung bertanya 84,375 15,625
28. Metode ceramah tidak membuat peserta bosan 25 7
78,125 21,875
29. Metode ceramah sangat tergantung dari cara 20 12
orang yang menyampaikan. 62,5 37,5
30. Dapat diatasi waktu penyampaiannya 26 6
81,25 18,75

Dari tabel 5.8 diatas 100% responden menyatakan materi tidak terlalu

panjang tetapi tepat sasaran, mayoritas responden mengemukakan:

1. Menggunakan contoh yang sesuai dengan materi yang dijelaskan

2. Tidak menyimpang dan penyakit TB Paru

3. Singkat dan padat

4. Menjelaskan tujuan pencegahan penyakit TB Paru

5. Menjelaskan tentang angka kejadian TB Paru yang masih tinggi

6. Menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan oleh TB Paru


88

7. Menyelipkan humor dalam penyampaian materi

8. Menjelaskan tentang angka kematian yang disebabkan oleh TB Paru

Namun masih ada 30 responden (93,75) menyatakan materi masih

belum mudah untuk dipahami.

5.2.2 Analisa Bivariat

Analisa ini diperlukan untuk menguji hubungan antara masing-masing

variabel bebas yaitu Penyuluhan Kesehatan TB Paru dengan variabel terikat

yaitu Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan

Masyarakat (Perkesmas). Dalam analisis ini uji statistik yang digunakan adalah

Chi-square karena variabel yang diteliti berskala nominal dan menggunakan

lebih dari dua kelompok sampel tidak berpasangan, namun jika data tersebut

tidak terpenuhi maka menggunakan uji alternatif yaitu Fisher Exact Test. Dan

untuk mengetahui besar faktor risiko digunakan analisis Odd Ratio. Taraf

signifikan yang digunakan adalah 95 % atau taraf kesalahan 0,05%. Nilai OR

dihitung dengan menggunakan tabel 2x2 (dummy table) (Arikunto, 2006).

5.2.2.1 Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap

Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan

Masyarakat (Perkesmas)

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, diketahui Hubungan

Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap Kemandirian Keluarga dalam

Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di Puskesmas

Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon yang dapat dilihat pada tabel

berikut:
89

Tabel 5.9 Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap


Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan
Masyarakat (Perkesmas) di Puskesmas Gempol kecamatan
Gempol kabupaten Cirebon (n=32)
Kemandirian Keluarga
Penyuluhan Total p
Kesehatan II III IV
value
TB Paru
Σ % Σ % Σ % Σ %

Baik 0 0 7 21,9 2 6,3 9 28,1 0,002


Cukup 0 0 18 56,3 0 0 18 56,3
Kurang 2 6,3 3 9,4 0 0 5 15,6
Total 2 6,3 28 87,5 2 6,3 32 100

Pada tabel 5.9 diatas dapat diketahui bahwa dari 18 responden (56,3%)

yang kemandirian keluarga III berkategori cukup di dalam penyuluhan

kesehatan TB Paru. Sedangkan 7 responden (21,9%) yang kemandirian

keluarga III berkategori baik di dalam penyuluhan kesehatan TB Paru, 2

responden (6,3%) yang kemandirian keluarga IV berkategori baik di dalam

penyuluhan kesehatan TB Paru dan 2 responden (6,3%) yang kemandirian

keluarga II berkategori kurang di dalam penyuluhan kesehatan TB Paru.

Berdasarkan hasil analisis Chi-Square diperoleh p_value sebesar 0,002

(p<0,05) berarti Ho ditolak atau Ha diterima dapat dikatakan terdapat

hubungan antara Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap

Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat

(Perkesmas) di Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon.


90

5.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian cara menyampaikan penyuluhan oleh penyuluh

atau penyampai pesan juga berhubungan langsung dengan daya pemahaman peserta

penyuluhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan

(p<0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manurung (2015)

penyuluh secara tidak langsung dapat mempengaruhi pengetahuan peserta

penyuluhan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemandiran keluarga. Dalam

sistem komunikasi penyampai pesan (penyuluh) merupakan ujung tombak dalam

mencapai tujuan komunikasi. Komunikasi yang baik dapat tercipta dari adanya

pesan yang disampaikan secara baik dan jelas oleh komunikator sehingga peserta

menjadi mengerti dan paham tentang hal yangd isampaikan. Penyuluh yang baik

diduga mampu secara langsung mengubah sikap peserta penyuluhan.

Materi penyuluhan yang baik atau sesuai dengan tujuan penyuluhan yang

akan disampaikan harus dirancang atau disusun sedemikian rupa agar tujuan

penyuluhan yaitu perubahan kemandirian keluarga dapat tercapai. Materi yang

kurang baik atau tidak sesuai dengan tujuan penyuluhan yang diharapkan akan

membuat hasil yang dicapai menjadi kurang maksimal.

Effendy (2003) menjelaskan bahwa materi atau pesan komunikasi yang

efektif harus disesuaikan dengan tujuan akhir dari suatu proses komunikasi. Adapun

tujuan dari proses komunikasi adalah informatif, edukatif, persuasif, dan koersif

(pemaksaan). Dalam upaya pencegahan penyakit TB Paru, tujuan proses

komunikasi yang diinginkan adalah :


91

1. Informatif, yaitu menginformasikan suatu fakta tentang TB Paru dengan

cara memberikan pesan dengan fakta yang benar.

2. Edukatif, yaitu mendidik masyarakat dengan cara memanfaatkan acara

musyawarah masyarakat desa.

3. Persuasif, yaitu mempengaruhi dan membujuk masyarakat dengan cara

memberikan kemudahan informasi yang berkaitan dengan pencegahan

TB Paru fasilitas pelayanan kesehatan.

4. Koersif, pemaksaan kepada masyarakat yang terkena TB Paru untuk

mendatangi pelayanan kesehatan terdekat.

Untuk itu perlu adanya upaya menyusun pesan komunikasi, yang dalam hal

ini adalah materi penyuluhan tentang pencegahan TB Paru. Hasil penelitian

menunjukkan ada hubungan antara materi penyuluhan dengan kemandirian

keluarga (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa faktor materi penyuluhan

merupakan variabel yang mempengaruhi kemandirian keluarga di dalam

menghadapi permasalah kesehatan dalam keluarga yaitu TB Paru. Materi yang

disampaikan dalam suatu penyuluhan atau pelatihan secara langsung

mempengaruhi kemandirian keluarga tersebut. Hasil penelitian ini juga sejalan

dengan hasil penelitian Manurung (2015) menyatakan bahwa perilaku peserta

penyuluhan berbanding lurus dengan materi yang disampaikan, metode yang

digunakan dan cara penyampaian oleh penyuluh.


92

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB

Paru Terhadap Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan

Masyarakat (Perkesmas) di Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten

Cirebon, maka dapat disimpulkan bahwa:

6.1.1 Berdasarkan karakteristik usia mayoritas responden berada pada rentang

usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 13 orang (40,6%) kemudian responden

dengan rentang usia 41-50 tahun sebanyak 8 orang (25%), responden

dengan rentang 61-70 tahun sebanyak 7 orang (21,9%), responden dengan

rentang 31-40 tahun sebanyak 2 orang (6,3%) dan rentang 71-80 tahun, 10-

20 tahun masing-masing sebanyak 1 orang (3,1%);

6.1.2 Berdasarkan karakteristik jenis kelamin mayoritas responden adalah laki-

laki yaitu sebanyak 27 orang (84,4%) kemudian perempuan sebanyak 5

orang (15,6%);

6.1.3 Berdasarkan karakteristik agama total responden beragama islam yaitu

sebanyak 32 orang (100%);

6.1.4 Berdasarkan karakteristik pekerjaan adalah mayoritas responden sebagai

wiraswasta yaitu sebanyak 20 orang (62,5%), kemudian responden sebagai

IRT yaitu sebanyak 5 orang (15,6%), responden sebagai pedagang dan


93

buruh masing-masing yaitu sebanyak 3 orang (9,4%) serta responden

sebagai pelajar yaitu sebanyak 1 orang (3,1%);

6.1.5 Berdasarkan karakteristik pendidikan terakhir responden mayoritas adalah

SD yaitu sebanyak 20 orang (62,5%), kemudian responden berpendidikan

SMP dan SMA masing-masing sebanyak 6 orang (18,8%);

6.1.6 Berdasarkan karakteristik responden mayoritas pernah mengikuti

penyuluhan yaitu sebanyak 30 orang (93,7%), kemudian responden yang

belum mengikuti penyuluhan sebanyak 2 orang (6,3%);

6.1.7 Berdasarkan karakteristik status TB responden yaitu responden TB Paru +

dan suspect/tersangka seimbang masing-masing berjumlah 16 orang

responden (50%);

6.1.8 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 18 responden (56,3%)

yang kemandirian keluarga III berkategori cukup di dalam penyuluhan

kesehatan TB Paru. Sedangkan 7 responden (21,9%) yang kemandirian

keluarga III berkategori baik di dalam penyuluhan kesehatan TB Paru, 2

responden (6,3%) yang kemandirian keluarga IV berkategori baik di dalam

penyuluhan kesehatan TB Paru dan 2 responden (6,3%) yang kemandirian

keluarga II berkategori kurang di dalam penyuluhan kesehatan TB Paru;

6.1.9 Berdasarkan hasil analisis Chi-Square diperoleh p_value sebesar 0,002

(p<0,05) berarti Ho ditolak atau Ha diterima dapat dikatakan terdapat

hubungan antara Hubungan Penyuluhan Kesehatan TB Paru Terhadap

Kemandirian Keluarga dalam Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat

(Perkesmas) di Puskesmas Gempol kecamatan Gempol kabupaten Cirebon


94

6.2 Saran

6.2.1 Bagi Peneliti lain

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, sehingga faktor-faktor lain di

dalam penyuluhan untuk melengkapi penelitian yang sudah ada dan

mengetahui ada atau tidak korelasi (hubungan) sesuai dengan teori dan

penelitian sebelumnya.

6.2.2 Bagi Masyarakat

Masyarakat hendaknya lebih menambah informasi mengenai segala hal

yang berhubungan dengan penyakit menular TB Paru (penyebab,

bahaya, dan cara pencegahan) agar pengetahuannya bertambah dan

dapat mengetahui informasi-informasi terbaru mengenai penyakit ini,

sehingga dapat merubah perilaku menjadi lebih baik.

6.2.3 Bagi Puskesmas Gempol

Untuk mencegah terjadinya penyakit TB Paru diharapkan hasil

penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengelola

program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit khususnya sebagai

pertimbangan dalam penentuan strategi pencegahan dan pemberantasan

TB Paru.

Anda mungkin juga menyukai