Anda di halaman 1dari 2

TOGA

Toga, pakaian ala Romawi kuna ini adalah sehelai kain sepanjang kira-kira enam meter (20 kaki) yang dililitkan
ke sekeliling tubuh, dan umumnya dikenakan setelah mengenakan tunik. Toga terbuat dari wol, dan tunik kerap
terbuat dari linen. Setelah abad ke-2 SM, toga menjadi busana khusus pria, dan hanya warga negara Romawi yang
diizinkan mengenakannya. Karena menjadi busana khusus pria, maka kaum wanita mengenakan stola.

SEJARAH

Toga dalam bahasa latin adalah tego yang berarti penutup. Meskipun biasanya dikaitkan dengan bangsa Romawi,
toga sebenarnya berasal dari semacam jubah yang dikenakan oleh pribumi Italia, yakni bangsa Etruskan yang
hidup di Italia sejak 1200 SM. Toga merupakan busana orang-orang Romawi; sehelai mantel wol tebal yang
dikenakan setelah mengenakan cawat atau celemek. Toga diyakini sudah ada sejak era Numa Pompilius, Raja
Roma yang kedua. Toga ditanggalkan bila pemakainya berada di dalam ruangan, atau bila melakukan pekerjaan
berat di ladang, namun toga dianggap sebagai satu-satunya busana yang pantas bila berada di luar ruangan. Hal
ini terbukti dalam riwayat Cincinnatus: dia sedang membajak ladangnya tatkala para utusan Senat datang untuk
mengabarinya bahwa dia telah dijadikan diktator, dan begitu melihat mereka dia menyuruh isterinya
mengambilkan toganya dari rumah untuk dikenakannya sehingga utusan-utusan itu dapat disambut dengan
layak. Sekalipun kebenarannya boleh diragukan, riwayat itu tetap memperlihatkan sentimen Romawi terhadap
toga.

Seiring berlalunya waktu, gaya berbusana pun berganti. Bangsa Romawi mengadopsi baju (tunica,
atau khiton dalam bahasa Yunani) yang dikenakan orang-orang Yunani dan Etruskan, membuat toga menjadi
makin berisi, sehingga lilitannya perlu agak dilonggarkan bila dikenakan. Akibatnya toga menjadi tidak berguna
dalam aktivitas-aktivitas yang memerlukan kegesitan, misalnya dalam perang. Oleh karena itu toga digantikan
oleh sagum (mantel wol) yang lebih ringan dalam semua kegiatan militer. Di masa-masa damai sekalipun toga
akhirnya tergeser oleh laena, lacerna, paenula, dan macam-macam mantel berkancing atau tertutup lainnya.
Meskipun demikian, toga tetap menjadi pakaian sidang kekaisaran sejak sekitar tahun 44 SM.

Proses yang telah menggeser toga dari kehidupan sehari-hari itu, juga telah mengangkat derajat toga menjadi
pakaian seremonial, sebagaimana yang sering terjadi dalam dunia busana. Toga dapat pula dikenakan untuk
menunjukkan jenjang-jenjang kekuasaan. Seawal abad ke-2 SM, dan mungkin sekali bahkan sebelumnya, toga
{beserta calceus) dipandang sebagai lambang Kewarganegaraan Romawi. Toga terlarang bagi orang asing, dan
bahkan bagi orang-orang Romawi yang diasingkan. Toga dikenakan oleh para magistratus dalam setiap
kesempatan sebagai lambang jabatan mereka. Seorang magistratus yang tampil mengenakan mantel Yunani
(pallium) dan kasut akan terlihat sangat tidak sopan di mata semua orang, jika tidak dianggap melakukan
tindakan kriminal. Augustus, misalnya, saking murkanya menyaksikan sebuah pertemuan warga tanpa toga,
sambil mengutip kata-kata angkuh Virgilus, “Romanos, rerum dominos, gentemque togatam” (“Orang-orang
Romawi, para penguasa dunia, ras pemakai toga”), dia bertitah kepada para aedile agar kelak tak seorang pun
boleh tampil di Forum atau Sirkus tanpa mengenakan toga.

Karena tidak dikenakan oleh para serdadu, maka toga dipandang sebagai simbol perdamaian. Warga sipil
kadang-kadang disebut togatus, “pemakai toga”, bertolak belakang dengan para serdadu pemakai-sagum. De
Officiis karya Cicero berisi frase cedant arma togae: secara harafiah berarti, “biarlah lengan takluk pada toga”,
maksudnya “biarlah perdamaian menggantikan perang”, atau “biarlah kekuatan militer takluk pada
kekuasaan sipil.”

MACAM-MACAM TOGA

Ada bermacam-macam toga, penggunaannya pun berbeda-beda.

 Toga virilis (toga alba atau toga pura): Toga putih sederhana, untuk acara-acara resmi, dikenakan oleh
kaum pria Romawi yang sudah mencapai usia legal, umumnya antara 14 sampai 18 tahun, tetapi dapat
pula pada umur berapa saja semasih berusia belasan tahun. Pemakaian perdana toga virilis adalah bagian
dari perayaan memasuki usia dewasa.
 Toga candida: “Toga cemerlang”; toga yang diputihkan dengan kapur sehingga terlihat putih
menyilaukan, dikenakan oleh para kandidat jabatan publik. Kebiasaan inilah yang disinggung
oleh Persius ketika berbicara tentang cretata ambitio, “ambisi berkapur”. Tampaknya kebiasaan ini
dilarang melalui sebuah plebiscita (jajak pendapat) pada 432 SM, namun larangan tersebut tidak pernah
dipaksakan. Nama toga ini menjadi sumber etimologis dari kata kandidat.
 Toga praetexta: Toga putih biasa dengan garis lebar berwarna ungu sepanjang tepinya. Dikenakan oleh
o Anak-anak lelaki yang terlahir merdeka dan belum akil-balig.
o Seluruh Magistratus Curulis.
o Para mantan Magistratus Curulis dan diktator, pada upacara pemakaman dan tampaknya juga
pada festival-festival dan perayaan-perayaan lainnya.
o Sebagian imam (mis. Flamen Dialis, Collegium Pontificum, Tresviri Epulones, para augur,
dan Fratres Arvales).
o Pada era kekaisaran, hak mengenakan toga praetexta kadangkala diberikan sebagai anugerah
kehormatan tanpa memandang jabatan resmi si penerima hak.
o Menurut tradisi, para Raja Roma.

Orang-orang yang berhak mengenakan toga praetexta kadang-kadang dijuluki laticlavius, “punya garis ungu
lebar”. Nama toga ini juga menjadi sumber etimologis dari istilah sastra Romawi, praetexta.

 Toga pulla: Secara harafiah berarti “toga gelap”. Terutama dikenakan oleh sidang perkabungan, namun
dapat pula dikenakan di saat-saat seseorang terancam bahaya atau masyarakat mengalami kecemasan.
Toga ini kadang-kadang digunakan sebagai ungkapan protes—tatkala Cicero diasingkan, senat
memutuskan untuk mengenakan togae pullae sebagai suatu demonstrasi menentang keputusan
pengasingan tersebut. Para magistratus yang berhak mengenakan toga praetexta, hanya
mengenakan toga pura sederhana, bukannya pulla.
 Toga picta: Toga ini, tidak seperti semua toga lainnya, tidak saja diwarnai namun juga dibordir dan diberi
hiasan. Toga ini berwarna ungu gelap, dihiasi sulaman dari benang emas. Pada era repubrik, toga ini
dikenakan oleh para jenderal dalam parade kemenangan mereka, dan oleh Praetor Urbanus tatkala
berkendara dengan kereta para dewa ke dalam sirkus di Ludi Apollinares. Pada era kekaisaran, toga
picta dikenakan oleh para magistratus dalam pertujukan gladiator untuk umum, dan oleh para konsul,
serta kaisar pada kesempatan-kesempatan istimewa.
 Toga trabea: Menurut Servius, ada tiga macam trabea: yang pertama trabea ungu, diperuntukkan bagi
dewa-dewa; yang kedua trabea ungu dan sedikit putih, bagi raja-raja; dan yang ketiga trabea dengan
garis merah manyala dan tepian ungu, bagi para augur dan Salii. Dionysius dari
Halicarnassus mengatakan bahwa orang-orang dari kelas Equites juga mengenakannya, namun tidak ada
bukti lain yang menguatkan pernyataannya.

PENGGUNAAN DEWASA INI

Di beberapa negara, tradisi pesta toga (bahasa Inggris: toga party) telah populer dalam beberapa dekade
terakhir, umumnya di kolose-kolose dan universitas-universitas.

Kebiasaan ini practice trades on the exaggerated legend of Roman debauchery, dan para undangan yang
mengenakan “toga”, yang biasanya dibuat dari seprai. “Toga-toga” semacam ini hanya sedikit kemiripannya
dengan toga Romawi kuna karena lebih sederhana dan pendek.

Di Indonesia, jubah yang dikenakan para imam Katolik (bahasa Inggris: Cassock, bahasa
Perancis: Soutane, bahasa Italia: Abito talare) jubah para pendeta Protestan (bahasa Inggris: Geneva gown),
jubah akademik atau jubah wisuda (bahasa Inggris: Academic dress), serta jubah yang dikenakan dalam
persidangan (bahasa Inggris: Court dress), disebut juga Toga, meskipun berbeda-beda pola dan bahannya.

TOGA PENDETA

Dasar pemakaian toga bagi pendeta di gereja-gerea Indonesia memang belum jelas alasan teologisnya, tetapi
lebih kepada alasan tradisi yang di bawa oleh pekabar Injil dari Eropa. Para pendeta di gereja protestan
khususnya Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB),
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dll, memakai toga sebagai perlengkapan pakaian ibadah di gereja. Masing-
masing gereja mempunyai tradisi ataupun peraturan tentang pemakaian toga oleh pendeta. Ada gereja yang
mewajibkan pemakaian toga oleh pendeta setiap kali naik mimbar ibadah, ada yang menggunakannya hanya
ketika melayankan sakramen ataupun upacara-upacara gerejawi. Secara umum warna toga yang dikenakan para
pendeta ada dua, yaitu hitam dan putih.

Anda mungkin juga menyukai