Anda di halaman 1dari 19

1

LAPORAN PENDAHULUAN ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY


SYNDROME (AIDS)

A. Konsep Teoritis
1. Definisi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala
dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh
manusia akibat infeksi virus HIV. Pengertian AIDS menurut beberapa ahli antara
lain:
AIDS adalah infeksi oportunistik yang menyerang seseorang dimana
mengalami penurunan sistem imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau
kurang) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV (Doenges, 2014)
AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil
akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia, 2015)
2. Anatomi fisiologi

Imunologi System
1. Sistem imun
sistem pertahanan internal tubuh yang berperan dalam mengenali dan
menghancurkan bahan yang bukan “normal self” (bahan asing atau abnormal
cells)

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
2

2. Imunitas atu respon imun :


Kemampuan tubuh manusia untuk melawan organisme atau toksin yang
berbahaya. Ada 2 macam respon imun, yaitu :
a. RI Spesifik : deskriminasi self dan non self, memori, spesifisitas.
b. RI non Spesifik : efektif untuk semua mikroorganisme
Sel-sel yang berperan dalam respon Imun
1) Sel B
Sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk merespons
antigen tertentu. Sel B merupakan nama bursa fabrisius, yaitu jaringan
limfoid yang ditemukan pada ayam. Jaringan sejenis yang ada pada
mamalia yaitu sumsum tulang, jaringan limfe usus, dan limpa.
Sel B matur bermigrasi ke organ-organ limfe perifer seperti limpa,
nodus limfe, bercak Peyer pada saluran pencernaan, dan amandel. Sel B
matur membawa molekul immunoglobulin permukaan yang terikat
dengan membran selnya. Saat diaktifasi oleh antigen tertentu dan
dengan bantuan limfosit T, sel B akan derdiferensiasi melalui dua cara,
yaitu :
a) Sel plasma adalah: Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi
antibodi untuk menghancurkan antigen tertentu.
b) Sel memori B adalah Sel memori menetap dalam jaringan limfoid
dan siap merespons antigen perangsang yang muncul dalam pajanan
selanjutnya dengan respons imun sekunder yang lebih cepat dan
lebih besar.
2) Sel T
Sel T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan berploriferasi
jika ada antigen, tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi.
Sel T mengenali dan berinteraksi dengan antigen melalui reseptor
sel T, yaitu protein permukaan sel yang terikat membran dan analog
dengan antibodi.
Sel T memproduksi zat aktif secara imulogis yang disebut
limfokin. Sub type limfosit T berfungsi untuk membantu limfosit B

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
3

merespons antigen, membunuh sel-sel asing tertentu, dan mengatur


respons imun. Respons sel T adalah :
Sel T, seperti sel B berasal dari sel batang prekusor dalam
sumsum tulang. Pada periode akhir perkembangan janin atau segera
setelah lahir, sel prekusor bermigrasi menuju kelenjar timus, tempatnya
berproliferasi, berdiferensiasi dan mendapatkan kemampuan untuk
mengenali diri.
Setelah mengalami diferensiasi dan maturasi, sel T
bermigrasi menuju organ limfoid seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini
dikhususkan untuk melawan sel yang mengandung organisme
intraselular. Sel T efektor :
a) Sel T sitotoksik (sel T pembunuh)
Mengenali dan menghancurkan sel yang memperlihatkan antigen
asing pada permukaannya
b) Sel T pembantu
Tidak berperan langsung dalam pembunuhan sel. Setelah aktivasi
oleh makrofag antigen, sel T pembantu diperlukan untuk sistesis
antibodi normal, untuk pngenalan benda asing sel T pembantu
melepas interleukin-2 yang menginduksi proliferasi sel T sitotoksik,
menolong sel T lain untuk merespons antigen dan sel T pembantu
dpt memproduksi zat (limfokin) yang penting dalam reaksi alergi
(hipersensitivitas).
c) Sel T supresor
Setelah diaktifasi sel T pembantu akan menekan respon sel B dan T.
3) Makrofag
Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi
atau mencerna sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang
mengandung determinan antigenic. Makrofag akan meletakkan fragmen
antigen pada permukaan selnya sehingga terpapar untuk limfosit T
tertentu.

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
4

3. Etiologi
HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III)
atau virus limfadenapati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari
famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam
deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV -1 dan HIV-2
adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh
dunia.
Genom HIV mengode sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek
siklus hidup virus. Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan yaitu
bahwa protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya diganti
oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infektivitas (daya tular) dan
mungkin merupakan duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan
meningkatkan transkripsi virus. HIV-2, yang pertama kali diketahui dalam serum
dari para perempuan Afrika barat (warga senegal) pada tahun 1985, menyebabkan
penyakit klinis tetapi tampaknya kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1
(Sylvia, 2015)
4. Patofisiologi
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS
diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang
yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan
mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus
lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat, virus HIVmenyerang sel target
dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel,
dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus
dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus
berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel
virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya
dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang
disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker atau
penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel
limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
5

limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur


sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit
T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan
organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong,
sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi
dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong
melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memiliki
limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama
setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan
ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus
yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi
tubuh tidak mampu meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel
virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap
penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus
berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah
membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita
AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya
menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita
menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit
yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang
berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang
dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan
berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran
limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem
kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah virus HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan
sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode jendela”
(window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih
kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap
positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
6

klinik AIDS yang lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan


penyakit infeksi HIVsampai menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26
bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV positif. (Heri :
2014)
5. Pathway Keperawatan

Hipertermi

Diare

Kerusakan
Merangsang Integritas Kulit
Refluks vagus
Nyeri Akut
Mual Muntah
Ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
7

6. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri (sindrom
retroviral akut, demensia HIV), infeksi ofortunistik, atau kanker yang terkait AIDS.
Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap berdasarkan keadaan klinis dan
jumlah CD4.(Mansjoer, 2015)
a. Infeksi retroviral akut
Frekuensi gelaja infeksi retroviral akut sekitar 50-90%. Gambaran klinis
menunjukkan demam, pembesaran kelenjar, hepatoplemagali, nyeri
tenggorokan, mialgia, rash seperti morbili, ulkus pada mukokutan, diare,
leukopenia, dan limfosit atipik. Sebagian pasien mengalami gangguan neorologi
seperti mrningitis asepik, sindrom Gillain Barre, atau psikosis akut. Sindrom ini
biasanya sembuh sendiri tanpa pengobatan.
b. Masa asimtomatik
Pada masa ini pasien tidak menunjukkan jegala,tetapi dapat terjadi
limfadenopati umum. Penurunan jumlah CD4 terjadi bertahap, disebut juga masa
jendela (window period).
c. Masa gejala dini
Pada masa ini julah CD4 berkisar antar 100-300. Gejala yang timbul adalah
akibat infeksi pneumonia bakterial, kandidosis vagina, sariawan, herped zoster,
leukoplakia, ITP, dan tuberkolosis paru. Masa ini dulu disebut AIDS Related
Complex (ARC)
d. Masa gejala lanjut
Pada masa ini jumlah CD4 dibawah 200. Penurunan daya tahan ini
menyebabkan risiko tinggi rendahnya infeksi oportunistik berat atau keganasan.
7. Cara Penularan
Cara penularan AIDS ( Arif, 2000 )antara lain sebagai berikut :
a. Hubungan seksual, dengan risiko penularan 0,1-1% tiap hubungan seksual
b. Melalui darah, yaitu:
1) Transfusi darah yang mengandung HIV, risiko penularan 90-98%
2) Tertusuk jarum yang mengandung HIV, risiko penularan 0,03%
3) Terpapar mukosa yang mengandung HIV,risiko penularan 0,0051%
4) Transmisi dari ibu ke anak :

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
8

1) Selama kehamilan
2) Saat persalinan, risiko penularan 50%
3) Melalui air susu ibu (ASI) 14%
8. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic untuk penderita AIDS (Mansjoer, 2015) adalah:
a. Lakukan anamnesi gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkait dengan
AIDS.
b. Telusuri perilaku berisiko yang memmungkinkan penularan.
c. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker terkait.
Jangan lupa perubahan kelenjar, pemeriksaan mulut, kulit, dan funduskopi.
d. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosot total, antibodi HIV, dan
pemeriksaan Rontgen.
Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah
CD4, protein purufied derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi
sitomegalovirus, serologi PMS, hepatitis, dan pap smear.
Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4. Bila >500
maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-500 maka
diulang tiap 3-6 bulan, dan bila <200 diberikan profilaksi pneumonia pneumocystis
carinii. Pemberian profilaksi INH tidak tergantung pada jumlah CD4.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal
pemberian obat antiretroviral dan memantau hasil pengobatan.
Bila tidak tersedia peralatan untuk pemeriksaan CD4 (mikroskop fluoresensi
atau flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus CD4 = (1/3 x jumlah
limfosit total)-8.
9. Penatalaksanaan Medis
a. Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya
yaitu (Endah Istiqomah, 2015):
1) Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang
aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis
harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
9

2) Terapi AZT (Azidotimidin)


Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang
efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 .
Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3.
3) Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun
dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus
pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
a) Didanosine
b) Ribavirin
c) Diedoxycytidine
d) Recombinant CD 4 dapat larut
4) Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan
keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang
pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
b. Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI, 2014) adalah
1) Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
a) Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan
seluruh aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV.
b) Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang
diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass)
c) Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.
d) Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan
relaksasi.
2) Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
a) Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
10

b) Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat


pada: pasien dapat membedakan antara gejala anoreksia, perasaan
kenyang, perubahan indra pengecap dan kesulitan menelan.
c) Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
d) Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama jaringan
otot).
e) Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang adekuat
sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang diberikan.
3) Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:
a) Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor
stres, aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi
sebanyak 13% untuk setiap kenaikan Suhu 1°C.
b) Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti
jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada
kelainan ginjal dan hati.
c) Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak
disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak,
digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain
Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak omega 3) diberikan
bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.
d) Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan
Gizi yang di anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat,
Kalsium, Magnesium, Seng dan Selenium. Bila perlu dapat ditambahkan
vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus dihindari karena dapat
menekan kekebalan tubuh.
e) Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
f) Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan
gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan
bertahap dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa
cairan kental (thick fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin
fluid).

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
11

g) Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti


(natrium, kalium dan klorida).
h) Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini
sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat
kondisi dan toleransi pasien. Apabila terjadi penurunan berat badan yang
cepat, maka dianjurkan pemberian makanan melalui pipa atau sonde
sebagai makanan utama atau makanan selingan.
i) Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.
j) Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik,
termik, maupun kimia.
4) Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu
kepada pasien dengan:
a) Infeksi HIV positif tanpa gejala.
b) Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare, kesulitan
menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).
c) Infeksi HIV dengan gangguan saraf.
d) Infeksi HIV dengan TBC.
e) Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.
Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu
secara oral, enteral (sonde) dan parental (infus). Asupan makanan secara oral
sebaiknya dievaluasi secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan
pemberian makanan enteral atau parental sebagai tambahan atau sebagai
makanan utama. Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.
a) Diet AIDS I
Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut,
dengangejala panas tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas
berat, diare akut, kesadaran menurun, atau segera setelah pasien dapat
diberi makan.Makanan berupa cairan dan bubur susu, diberikan selama
beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi kecil setiap 3
jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan dalam bentuk sonde
atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dan makanan sonde.

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
12

Makanan sonde dapat dibuat sendiri atau menggunakan makanan enteral


komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi,
tiamin dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat
ditambahkan glukosa polimer (misalnya polyjoule).
b) Diet AIDS II
Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah
tahap akut teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang
setiap 3 jam. Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk
memenuhi kebutuhan energy dan zat gizinya, diberikan makanan enteral
atau sonde sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
c) Diet AIDS III
Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II
atau kepada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan
lunak atau biasa, diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi
energy, protein, vitamin dan mineral. Apabila kemampuan makan
melalui mulut terbatas dan masih terjadi penurunan berat badan, maka
dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai makanan tambahan atau
makanan utama.
10. Komplikasi
Adapun komplikasi kien dengan HIV/AIDS (Mansjoer, 2015 ) antara lain:
a. Pneumonia pneumocystis (PCP)
b. Tuberculosis (TBC)
c. Esofagitis
d. Diare
e. Toksoplasmositis
f. Leukoensefalopati multifocal prigesif
g. Sarcoma Kaposi
h. Kanker getah bening
i. Kanker leher rahim (pada wanita yang terkena HIV)

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
13

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan untuk penderita AIDS (Doenges, 2014) adalah
1) Aktivitas / istirahat.
Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, malaise
2) Sirkulasi.
Takikardia , perubahan TD postural, pucat dan sianosis.
3) Integritas ego.
Alopesia, lesi cacat, menurunnya berat badan, putus asa, depresi, marah,
menangis.
4) Elimiinasi.
Feses encer, diare pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal, abses rektal.
5) Makanan / cairan.
Disfagia, bising usus, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, kesehatan gigi
/ gusi yang buruk, dan edema.
6) Neurosensori.
Pusing, kesemutan pada ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan respon
melambat.
7) Nyeri / kenyamanan.
Sakit kepala, nyeri pada pleuritis, pembengkakan pada sendi, penurunan rentang
gerak, dan gerak otot melindungi pada bagian yang sakit.
8) Pernafasan.
Batuk, Produktif / non produktif, takipnea, distres pernafasan.
2. Dignosa Keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
2. Diare berhubungan dengan proses penyakit
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
outpuut yang berlebihan
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis
5. Kerusakan Integritas Kulit

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
14

3. Rencana Keperawatan
N Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
o
1. Hipertermia NOC: NIC : 1. Memantau perkembangan
Berhubungan dengan : Thermoregulasi status hipertermi pasien
a. Penyakit/ trauma
1. Monitor suhu sesering mungkin
2. Monitor warna dan suhu kulit 2. Warna dan suhu kulit dapat
b. Peningkatan Setelah dilakukan tindakan
3. Monitor tekanan darah, nadi dan digunakan sebagai indikator
metabolisme keperawatan
RR status hipertermi pasien
c. Aktivitas yang berlebih selama………..pasien
d. Dehidrasi menunjukkan : 4. Monitor penurunan tingkat 3. Memantau perkembangan dan
Suhu tubuh dalam batas kesadaran keadaan umum pasien
DO/DS: normal dengan kreiteria hasil: 5. Monitor intake dan output
4. Penurunan tingkat kesadaran
1. Kenaikan suhu tubuh 6. Berikan anti piretik
1. Suhu 36 – 37C merupakan sebagai idikator
diatas rentang normal 7. Berikan cairan intravena ketidak mampuan tubuh dalam
2. Nadi dan RR dalam rentang
2. Serangan atau konvulsi 8. Kompres pasien pada lipat paha merespon panas
normal
(kejang) dan aksila
3. Tidak ada perubahan warna 5. Menilai status hedrasi pasien
3. Kulit kemerahan
kulit dan tidak ada pusing,
4. Pertambahan RR 6. Antipiretik dapat menurunkan
merasa nyaman
5. Takikardi panas
6. Kulit teraba panas/ hangat
7. Pemberian terapi intravena
membantu memenuhi intake
pasien
8. Kompres pada lipatan
membantu mempercepat proses
evaporasi kerena banyaknya
pembuluh darah periver
2. Diare berhubungan dengan NOC: NIC : 1. Membantu membedakan
1. Psikologis: stress dan a. Bowl Elimination Diare Management penyakit individu dan
cemas tinggi b. Fluid Balance 1. Kaji dan observasi pola BAB mengkaji beratnya tiap
2. Situasional: efek dari c. Hidration (frekuensi, warna, konsistensi, defekasi
medikasi, kontaminasi, d. Electrolit and Acid Base

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
15

penyalah gunaan Balance jumlah feses) 2. Menghindari diare berlanjut


laksatif, penyalah Setelah dilakukan tindakan 2. Anjurkan pasien untuk 3. Menghindari iritasi,
gunaan alkohol, radiasi, keperawatan selama …. diare menghindari susu, kopi, meningkatkan istirahat usus
toksin, makanan per pasien teratasi dengan kriteria makanan pedas, dan makanan 4. Untuk menjaga asupan
NGT hasil: yang mengiritasi saluran cerna makanan yang dibutuhkan
3. Fisiologis: proses 1. Tidak ada diare 3. Berikan diet cair untuk tubuh
infeksi, inflamasi, iritasi, 2. Feses tidak ada darah dan mengistirahatkan usus 5. Menurunkan motilitas atau
malabsorbsi, parasit mukus 4. Anjurkan pasien untuk makan peristaltik usus dan
3. Nyeri perut tidak ada dalam porsi kecil, tetapi sering menunjukkan sekresi degestif
DS: 4. Pola BAB normal dan tingkatkan kepadatannya untuk menghilangkan kram
a. Nyeri perut 5. Elektrolit normal secara bertahap dan diare
b. Urgensi 6. Asam basa normal 5. Kolaborasi pemberian obat
c. Kejang perut 7. Hidrasi baik (membran sesuai indikasi
DO: mukosa lembab, tidak
a. Lebih dari 3 x BAB panas, vital sign normal,
perhari hematokrit dan urin output
b. Bising usus hiperakti dalam batas normaL

3. Ketidakseimbangan NOC: 1. Timbang BB pasien pada 1. Untuk memantau perubahan


nutrisi kurang dari a. Nutritional status: interval yang tepat atau penurunan BB
kebutuhan tubuh Adequacy of nutrient 2. Identifikasi faktor pencetus 2. Untuk memberikan tindakan
Berhubungan dengan : b. Nutritional Status : food mual dan muntah keperawatan mengatasi mual
Ketidakmampuan untuk and Fluid Intake 3. Berikan antiemetik dan atau muntah
memasukkan atau mencerna c. Weight Control analgesik sebelum makan atau 3. Mengatasi atau
nutrisi oleh karena faktor Setelah dilakukan tindakan sesuai program menghilangkan rasa mual
biologis, psikologis atau keperawatan selama….nutrisi 4. Tanyakan makanan kesukaan muntah
ekonomi. kurang teratasi dengan pasien dan sajikan dalam 4. Makanan kesukaan yang
DS: indikator: keadaan hangat tersaji dalam keadaan hangat
1. Nyeri abdomen 1. Albumin serum 5. Ciptakan lingkungan yang akan meningkatkan keinginan
2. Muntah 2. Pre albumin serum menyenangkan untuk makan untuk makan
3. Kejang perut 3. Hematokrit (misalnya pindahkan barang- 5. Tempat yang bersih akan
4. Rasa penuh tiba-tiba 4. Hemoglobin barang dan cairan yang tidak mendukung pasien untuk
setelah makan 5. Total iron binding capacity enak dipandang) peningkatan nafsu makan

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
16

DO: 6. Jumlah limfosit


1. Diare
2. Rontok rambut yang
berlebih
3. Kurang nafsu makan
4. Bising usus berlebih
5. Konjungtiva pucat
6. Denyut nadi lemah

4. Nyeri akut berhubungan Setelah diberikan asuhan NIC Label : Pain Management NIC Label: Pain Management
dengan: keperawatan asuhan 1. Kaji secara komprehensip 1. Untuk mengetahui tingkat
Agen injuri (biologi, kimia, keperawatan selama …x 2 terhadap nyeri termasuk lokasi, nyeri pasien
fisik, psikologis), kerusakanjam, nyeri yang dirasakan karakteristik, durasi, frekuensi, 2. Untuk mengetahui tingkat
jaringan klien berkurang dengan criteria kualitas, intensitas nyeri dan ketidaknyamanan dirasakan
hasil : faktor presipitasi oleh pasien
DS: NOC label : Pain Control 2. Observasi reaksi ketidaknyaman 3. Untuk mengalihkan perhatian
Laporan secara verbal 1. Klien melaporkan nyeri secara nonverbal pasien dari rasa nyeri
DO: berkurang 3. Gunakan strategi komunikasi 4. Untuk mengetahui apakah
1. Posisi untuk menahan 2. Klien dapat mengenal terapeutik untuk nyeri yang dirasakan klien
nyeri lamanya (onset) nyeri mengungkapkan pengalaman berpengaruh terhadap yang
2. Tingkah laku berhati- 3. Klien dapat nyeri dan penerimaan klien lainnya
hati menggambarkan faktor terhadap respon nyeri 5. Untuk mengurangi factor yang
3. Gangguan tidur (mata penyebab 4. Tentukan pengaruh pengalaman dapat memperburuk nyeri
sayu, tampak capek, sulit 4. Klien dapat menggunakan nyeri terhadap kualitas hidup( yang dirasakan klien
atau gerakan kacau, teknik non farmakologis napsu makan, tidur, 6. untuk mengetahui apakah
menyeringai) 5. Klien menggunakan aktivitas,mood, hubungan terjadi pengurangan rasa nyeri
4. Terfokus pada diri analgesic sesuai instruksi sosial) atau nyeri yang dirasakan
sendiri Pain Level 5. Tentukan faktor yang dapat klien bertambah.
5. Fokus menyempit 1. Klien melaporkan nyeri memperburuk nyeriLakukan 7. Pemberian “health education”
(penurunan persepsi berkurang evaluasi dengan klien dan tim dapat mengurangi tingkat
waktu, kerusakan proses 2. Klien tidak tampak kesehatan lain tentang ukuran kecemasan dan membantu
berpikir, penurunan mengeluh dan menangis pengontrolan nyeri yang telah klien dalam membentuk
interaksi dengan orang 3. Ekspresi wajah klien tidak dilakukan mekanisme koping terhadap

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
17

dan lingkungan) menunjukkan nyeri 6. Berikan informasi tentang nyeri rasa nyer
6. Tingkah laku distraksi, 4. Klien tidak gelisah termasuk penyebab nyeri, 8. Untuk mengurangi tingkat
contoh : jalan-jalan, berapa lama nyeri akan hilang, ketidaknyamanan yang
menemui orang lain antisipasi terhadap dirasakan klien.
dan/atau aktivitas, ketidaknyamanan dari prosedur 9. Agar nyeri yang dirasakan
aktivitas berulang-ulang) 7. Control lingkungan yang dapat klien tidak bertambah.
7. Respon autonom (seperti mempengaruhi respon 10. Agar klien mampu
diaphoresis, perubahan ketidaknyamanan klien( suhu menggunakan teknik
tekanan darah, ruangan, cahaya dan suara) nonfarmakologi dalam
perubahan nafas, nadi 8. Hilangkan faktor presipitasi memanagement nyeri yang
dan dilatasi pupil) yang dapat meningkatkan dirasakan.
8. Perubahan autonomic pengalaman nyeri klien 11. Pemberian analgetik dapat
dalam tonus otot (ketakutan, kurang mengurangi rasa nyeri pasien
(mungkin dalam rentang pengetahuan)
dari lemah ke kaku) 9. Ajarkan cara penggunaan terapi
9. Tingkah laku ekspresif non farmakologi (distraksi,
(contoh : gelisah, guide imagery,relaksasi)
merintih, menangis, 10.Kolaborasi pemberian analgesic
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
10. Perubahan dalam nafsu
makan dan minum

5 Kerusakan integritas kulit NOC : NIC : Pressure Management


berhubungan dengan : Tissue Integrity : Skin and 1. Kaji atau catat ukuran, warna, 1. Memberikan informasi dasar
Eksternal : Mucous Membranes
1. Hipertermia atau Wound Healing : primer dan keadaan luka / kondisi sekitar tentang penanganan kulit
hipotermia sekunder luka. 2. Merupakan tindakan protektif
2. Substansi kimia Setelah dilakukan tindakan 2. Lakukan kompres basah dan yang dapat mengurangi nyeri.
3. Kelembaban keperawatan selama…..
4. Faktor mekanik kerusakan integritas kulit sejuk atau terapi rendaman. 3. Memungkinkan pasien lebih
(misalnya : alat yang pasien teratasi dengan kriteria 3. Lakukan perawatan luka dan bebas bergerak dan
dapat menimbulkan hasil: hygiene sesudah itu keringkan meningkatkan kenyamanan.

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
18

luka, tekanan, restraint) 1. Integritas kulit yang baik kulit dengan hati-hati dan taburi 4. Mempercepat proses
5. Immobilitas fisik bisa dipertahankan (sensasi,
6. Radiasi elastisitas, temperatur, bedak yang tidak iritatif. rehabilitasi pasien
7. Usia yang ekstrim hidrasi, pigmentasi) 4. Berikan prioritas untuk 5. Untuk mempercepat
8. Kelembaban kulit 2. Tidak ada luka/lesi pada meningkatkan kenyamanan dan penyembuhan.
9. Obat-obatan kulit
Internal : 3. Perfusi jaringan baik kehangatan pasien
1. Perubahan status 4. Menunjukkan pemahaman 5. Kolaborasi dengan dokter dalam
metabolik dalam proses perbaikan kulit pemberian obat-obatan
2. Tonjolan tulang dan mencegah terjadinya
3. Defisit imunologi sedera berulang
4. Berhubungan dengan 5. Mampu melindungi kulit dan
dengan perkembangan mempertahankan
5. Perubahan sensasi kelembaban kulit dan
6. Perubahan status nutrisi perawatan alami
(obesitas, kekurusan) 6. Menunjukkan terjadinya
7. Perubahan status cairan proses penyembuhan luka
8. Perubahan pigmentasi
9. Perubahan sirkulasi
10. Perubahan turgor
(elastisitas kulit)

DO:
1. Gangguan pada bagian
tubuh
2. Kerusakan lapisa kulit
(dermis)
3. Gangguan permukaan
kulit (epidermis)

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep
19

DAFTAR PUSTAKA

Bruner, Suddarth. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume


3. Jakarta : EGC.

Hidayat, Aziz Alimul. 2016. Pengantar Ilmu Keperawatan. Jakarta :


Salemba Medika.

Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare. 2015. Keperawatan Medikal Bedah


Brunner & Sudarth ed. 8. Jakarta: ECG.

Mansjoer, Arif . 2014 . Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta : Media


Sculapius

Price , Sylvia A dan Lorraine M.Wilson . 2015 . Patofissiologis Konsep


Klinis Proses – Proses Penyakit . Jakarta : EGC

Doengoes, Marilynn, dkk, 2014, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman


untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi
3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S. Jakarta: EC

STIKes Widya Nusantara Palu Profesi Ners 2019


I Wayan Eko Darsana, S.Kep

Anda mungkin juga menyukai