A. IDENTITAS JURNAL
Judul Jurnal : Nurses’ Experiences using Conventional Overhead Phototherapy
versus Fibreoptic Blankets for the Treatment of Neonatal
Hyperbilirubinemia
Penulis : Anne Marit Foreland, Lene Rosenberg, Berit Johannessen, Ph.D,
Sumber : Journal of Neonatal Nursing (2016) 22, 108e114
Tahun : 2016
B. ISI JURNAL
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman perawat dalam
penggunaan fototerapi konvensional dibandingkan dengan fototerapi fibreoptic dalam
perawatan neonatal yang mengalami hiperbilirubin.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan pada bulan Oktober
2013 di tiga NICU yang ada di Norwegia dengan metode individual semi structured
interviews. Dua dari tiga NCU yang dipilih masih menggunakan fototerapi
konvensional dan fibreoptic. Sedangkan satu rumah sakit yang lain telah berhenti
menggunakan fototerapi konvensional dan hanya menggunakan selimut fibreoptic
saja. Dua perawat dari setiap NICU diwawancarai. Alah satu kriteria inklusinya
adalah perawat tersebut memiliki pengalaman minimal dua tahun dengan fototerapi
dan pengalaman dengan kedua alat fototerapi baik yang konvensional maupun selimut
fototerapi fibreoptic.
Setiap wawancara berlangsung sekitar 45 menit. Wawancara mengikuti pedoman
wawancara semi-terstruktur dengan empat tema utama: pengalaman menggunakan
fototerapi konvensional, pengalaman menggunakan selimut fibreoptic, kelebihan dan
kekurangan yang dirasakan, dan perbedaan yang dirasakan antara dua metode
fototerapi tersebut.
3. Hasil Penelitian
a. Ketidakpastian tentang efikasi selimut fibreoptic
Para perawat dari NICU 1 dan 2 setuju bahwa kombinasi dari konvensional dan
fibreoptic adalah pilihan yang baik untuk memberikan multiple fototerapi, namun
untuk fototerapi tunggal, pengalaman bervariasi antara empat perawat. Misalnya,
Perawat C menyatakan dia akan menggunakan selimut untuk sebagian besar bayi
prematur dan maupun aterm jika dia tahu itu efektif. Perawat A dan B telah
melakukan tinjauan literatur dan telah menemukan bahwa selimut fibreoptic efektif
jika jumlah permukaan tubuh yang terpapar cahaya cukup. Mereka lebih menyukai
selimut fibreoptic untuk bayi premature daripada untuk bayi aterm. Untuk terapi bayi
aterm, perawat mempertimbangkan apakah selimut bisa menutupi tubuh bayi, tingkat
bilirubin dan kenyamanan bayi.
Perawat D menyatakan pendapatnya:
“Fototerapi Konvensional sangat efektif, bahkan mungkin lebih efektif.”
Kedua perawat di NICU 3 meyakini bahwa selimut fibreoptic sama efektifnya
dengan terapi konvensional, dan mereka tidak lagi menggunakan terapi konvensional.
Perawat F mengatakan:
“Tidak perlu waktu berhari- hari untuk menurunkan kadar bilirubin. Efikasi
selimut fibreoptic baik.”
Dia juga menunjukkan bahwa waktu perawatan mengalami penurunan setelah
unit mulai menggunakan BiliSoftª, yang lebih besar dari BiliBlanketª yang
sebelumnya digunakan. Bila diperlukan, mereka menggunakan dua selimut; yang
diletakkan diatas dan di bawah bayi.
b. Perbedaan kenyamanan bayi
Semua responden melaporkan bahwa bayi sering menangis, tidak nyaman atau
stres saat berada di bawah fototerapi konvensional. Perawat E menyatakan:
“Bayi-bayi telanjang, tidak terlindungi dan sendirian.”
Menurut beberapa perawat, bayi menerima waktu fototerapi yang lebih singkat
karena terpotong waktu istirahat yang digunakan untuk menghibur mereka. Semua
responden menemukan bahwa bayi lebih puas dalam selimut daripada di bawah terapi
konvensional karena bayi dapat dibungkus dengan selimut, yang membentuk sarang
yang nyaman di sekitar bayi, dan dapat memuat bayi dalam posisi janin.
Perawat F menyatakan:
“Bila menggunakan selimut fibreoptic, bayi puas dan tidur dengan baik di posisi
yang nyaman.”
Perawat A memberikan contoh ada bayi yang menangis terus-menerus selama
fototerapi konvensional. Satu-satunya tempat yang membuat ia nyaman dan berhenti
menangis adalah saat berada di pelukan ibunya atau saat menyusui. Fototerapi
konvensional terputus untuk waktu yang lama sampai selimut fibreoptic ditempatkan
di bawah tempat bayi berbaring di pelukan ibunya.
c. Perbedaan kepuasan orang tua
Beberapa perawat menggambarkan fototerapi sebagai situasi yang sulit bagi
orang tua; beberapa pernah melihat orang tua bayi menangis. Perawat D mengatakan:
“Orang tua benar-benar khawatir tentang situasi bayi mereka. Mereka sering
mengungkapkan kekhawatiran mereka lebih intens daripada dalam situasi yang lain.”
Dia merasa heran dengan situasi tersebut karena fototerapi bukanlah terapi yang
rumit, dan dia berpikir bahwa distress ini kemungkinan berhubungan dengan
ketidakseimbangan hormon ibu atau harapan yang belum terpenuhi. Beberapa perawat
menggambarkan perasaan orangtua mengenai jarak atau gambaran dramatis dari bayi
mereka yang telanjang dengan mata tertutup di bawah fototerapi konvensional, dan
menyatakan bahwa perasaan ini mungkin membahayakan proses attachment.
Semua responden percaya bahwa selimut fibreoptic memungkinkan bayi menjadi
lebih dekat dengan ibunya. Perawat E mengatakan: “Saya pikir orang tua senang
ketika anak dekat dengan mereka.” Dia mendengar orang tua mengatakan dengan
terkejut “? Apakah ini benar-benar mungkin”
Dua dari perawat (E dan F) pernah melihat bayi menghabiskan hampir sepanjang
hari dalam Kangoroo care (KC) dikombinasikan dengan fototerapi. Mereka
menggambarkan situasi berharga ini meningkatkan hubungan ikatan orang tua dan
bayi serta menunjukkan bahwa itu sesuai dengan Newborn Individualized
Developmental Care and Asssement Program (NIDCAP).
Perawat B, C dan E merasa bahwa kombinasi dari KC dan fototerapi tidak bias
dilakukan sesering itu. Perawat E menyarankan bahwa membiarkan bayi tetap di
tempat tidur atau inkubator mungkin lebih tidak menyusahkan untuk perawat.
Beberapa perawat tidak menyadari kemungkinan bahwa KC dapat
dikombinasikan dengan fototerapi. Perawat C mengatakan: “Mengenai interaksi dan
FCC, selimut fibreoptic lebih disukai. Tidak mudah untuk memberikan kontak kulit
ke kulit, tapi setidaknya orang tua bisa menggendong bayi di lengan mereka.”
d. Kemungkinan bahaya dari fototerapi
Semua perawat menyatakan bahwa cahaya biru fototerapi tidak nyaman.
Pelindung mata untuk bayi digunakan di kedua fototerapi konvensional dan
fibreoptic. Beberapa perawat melaporkan bahwa pelindung mata mudah jatuh atau
bergeser dari mata bayi, tetapi situasi lebih baik bila menggunakan selimut fibreoptic.
Perawat B menyatakan:
“Pelindung mata tidak lepas dari mata sesering dalam terapi konvensional, karena
bayi lebih tenang.”
Beberapa perawat menjelaskan bahwa mereka menggunakan tirai sebagai
pelindung, tapi tidak ada unit yang menyediakan pelindung mata untuk orang tua atau
perawat. Beberapa perawat menggambarkan cahaya fototerapi konvensional terasa
mencolok dan “menyakitkan atau tidak nyaman". Semua sepakat bahwa cahaya dari
selimut fibreoptic jauh lebih nyaman daripada cahaya konvensional.
selimut fibreoptic mungkin menjadi tantangan untuk perawatan kulit bayi karena
selimut yang cukup keras, dan beberapa perawat mencatat bahwa kulit bayi bisa
menjadi berkeringat. Perawat B dan C memilih perangkat konvensional untuk bayi
dengan kulit yang immature.
4. Diskusi
WHO telah mengeluarkan standar untuk pelatihan, implementasi, dan monitoring
kepatuhan mencuci tangan. Tahapan yang sering disebut “five moment”, yaitu
sebelum bertemu dengan pasien, sebelum melakukan tindakan, setelah terkena cairan
pasien, setelah bertemu dengan pasien, dan setelah kontak dengan lingkungan pasien
merupakan waktu yang wajib untuk melakukan cuci tangan.
Penelitian yang lain menunjukkan bahwa kepatuhan mencuci tangan dapat
mengurangi infeksi nosokomial di rumah sakit. Akan tetapi penelitian lain
menunjukkan bahwa kepatuhan mencuci tangan tidak menimbulkan dampak yang
berarti pada rumah sakit.
Penelitian lain di NICU menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kepatuhan
mencuci tangan setelah 7 bulan intervensi, akan tetapi tidak menurunkan tingkat
infeksi yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi yang hanya dilakukan
sekali mungkin tidak dapat menimbulkan efek yang berarti.
Penelitian Gill et al menemukan bahwa intervensi pelatihan mencuci tangan dapat
efektif meningkatkan kontrol infeksi dan menurunkan tingkat kematian di NICU,
akan tetapi kolonisasi bakteri dan sepsis tidak berubah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendidikan mencuci tangan dapat
meningkatkan kepatuhan dalam waktu yang singkat. Penelitian ini menunjukkan
bahwa kontrol yang tepat dapat meningkatkan efek pendidikan mencuci tangan dalam
waktu yang lama. Penelitian lain menunjukkan bahwa kepatuhan mencuci tangan
dapat dibentuk melalui budaya dari sebuah rumah sakit.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis jurnal di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Intervensi pendidikan kesehatan dapat meningkatkan kepatuhan tenaga kesehatan
untuk melakukan cuci tangan secara baik dan benar
2. Kepatuhan mencuci tangan oleh tenaga kesehatan dapat mengurangi infeksi secara
signifikan.
3. Mencuci tangan dengan baik dan benar dapat menurunkan angka mortalitas pasien
B. SARAN
Berdasarkan analisis jurnal di atas dapat dianjurkan saran berupa
1. Tenaga kesehatan dapat meningkatkan kepatuhan mencuci tangan untuk menurunkan
angka infeksi dan mortalitas pasien
2. Tim penanggulangan dan pencegahan infeksi diharapkan dapat meningkatkan
controlling kepada tenaga kesehatan
3. Peneliti bisa mengembangkan penelitian terkait mencuci tangan dengan karakteristik
sampel penelitian yang homogen, sehingga pengukuran dapat menambah nilai
keauratan hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3.
Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U Pendit. Jakarta :
EGC.
Damanik, S.M., Susilaningsih, F.S., dan Amrullah, A.A. 2012. Kepatuhan Hand Hygiene di
Rumah Sakit Immanuel Bandung
Mansjoer, Arif . 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ke-3. Jakarta : Media Aesulapius
FKUI
Potter, P.A. dan Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC
Rukiyah, Ai Yeyeh,dkk et al. 2010. Asuhan Kebidanan 1.Jakarta: CV. Trans Info Media
Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi Ke-2. Jakarta : FKUI
Suryoputri, A.D. 2011. Perbedaan angka kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan di RSUP
DR. KARIADI. Semarang: Karya tulis ilmiah Program S1 Kedokteran FK Undip
Tietjen, Linda, dkk. 2004. Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo.