Anda di halaman 1dari 27

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : laki-laki
Usia : 41 tahun
Pekerjaan : Pegawai swasta
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Tanggal Pemeriksaan : 10 Mei 2019
No RM : 418388

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 10 Mei 2019.

KELUHAN UTAMA
Kejang 2 bulan yang lalu
KELUHAN TAMBAHAN
Tidak ada

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang ke Poliklinik saraf RSPAD Gatot Subroto dengan keluhan kejang 2
bulan yang lalu, kejangnya timbul 3 kali dalam 2 bulan itu. Interval antara kejang yang satu
dan kedua sekitar 1 minggu. Kejang yang ketiga terjadi 1 bulan setelahnya. Kejang terjadi
tiba-tiba saat pasien sedang berada dirumah setelah pulang kerja, sesaat sebelum kejang,
muncul kaku pada kaki dan tangannya seperti sulit digerakan dan menyebar ke atas lalu
kelonjotan dimana kedua tangan terangkat ke atas, mulut terbuka namun tidak ada busa/
lendir dan kemudian pasien tidak sadarkan diri. Durasi kejangnya 5 menit. Setelah
kejangnya berhenti pasien merasa linglung, badan terasa lemas, kepala pusing kurang lebih
30 menit setelah kejang berhenti.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien menderita kejang pertama kali pada tahun 2013. Kejang yang pertama
kali dialami dengan kejang lainnya memiliki pola yang sama. Pasien mengaku sempat
tidak teratur meminum obat anti kejang karena pola makan yang berubah. Pasien
mengatakan sempat berhenti minum obat di februari tahun 2019 karena mengira kejang
sudah tidak kambuh lagi, Pasien mengatakan kejang muncul ketika pasien dalam keadaan
kelelahan dan stress. Pasien merasa setelah kejang beberapa tahun tingkat konsentrasi dan
proses berpikirnya menurun.
Pasien memiliki tidak memiliki riwayat stroke. Pasien tidak memiliki riwayat
infeksi dan tumor pada otak. Riwayat trauma kepala sebelum kejang disangkal.

1
Menurut keluarga pasien mengatakan pernah menderita kejang demam sejak kecil.
Kejang demam yang dialami lebih dari 5 kali. Kejang demam yang dialami cukup
lama sekitar 15 menit.

RIWAYAT PENGOBATAN

Mendapat pengobatan obat anti kejang (Karbamazepin, fenitoin dan sodium divalproat)
pada tahun 2013 hingga 2018. Pada tahun 2019 pasien mendapat obat anti kejang (Fenitoin,
topiramat dan sodium divalproat) tetapi meminumnya tidak teratur dimulai pada februari
2019. Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan terlarang (Narkoba).

RIWAYAT KELAHIRAN/PERTUMBUHAN/ PERKEMBANGAN

Pasien mengatakan bahwa lahir normal tanpa ada riwayat trauma pada saat lahir,
pertumbuhan normal dan perkembangan dirinya masih sesuai dengan umur.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Pada keluarga pasien tidak ada yang mempunyai riwayat stroke. Namun tidak ada yang
mengalami hal serupa seperti kejang (epilepsi).

RIWAYAT SOSIAL

Pasien tidak ada riwayat merokok dan minum alkohol.

PEMERIKSAAN FISIK

STATUS INTERNUS
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 BB : 55 kg
 TB : 169 cm
 Gizi : Normal (IMT = 19,29 kg/m2)
 Tanda Vital
Tekanan Darah Kanan : 120/80 mmHg
Tekanan Darah Kiri : 110/80 mmHg
Nadi Kanan : 88 x/menit
Nadi Kiri : 86 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5ºC
 Mata : konjungtiva anemis -/- , sklea ikterik /-
 Leher : tidak terdapat perbesaran KGB
 Jantung : BJ I-II, regular, Gallop (-), Murmur(-)
 Paru : Vesikuler kedua lapang paru, Rhonki (-)/
 (-),Wheezing(-)/(-)
 Hepar : Tidak teraba membesar
 Lien : Tidak teraba membesar
 Ekstemitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT
<2’

2
STATUS PSIKIATRI
 Tingkah Laku : Wajar
 Perasaan Hati : Eutim
 Orientasi : Baik
 Jalan Pikiran : Koheren
 Daya Ingat : Baik

STATUS NEUROLOGIS
 Kesadaran : Compos Mentis, E4M6V5, GCS 15
 Sikap Tubuh : Berbaring terlentang
 Cara Berjalan :Baik
 Gerakan Abnormal : Tidak ada

Kepala
 Bentuk : Normocephal
 Simetris : Simetris
 Pulsasi : Teraba pulsasi A. Temporalis dextra dan
sinistra
 Nyeri tekan : Tidak ada

Leher
 Sikap : Normal
 Gerakan : Bebas
 Vertebra : Normal
 Nyeri tekan : Tidak ada

Rangsal Meningeal
Kanan Kiri
 Kaku kuduk : (-) (-)
 Laseque : (-) (-)
 Kerniq : (-) (-)
 Brudzinsky I : (-) (-)
 Brudzinsky II : (-) (-)

Nervi Cranialis
N I. Olfaktorius
Daya Penghidu : Normosmia / Normosmia

N II. Optikus
Ketajaman Penglihatan : Baik / Baik
Pengenalan Warna : Baik / Baik
Lapang Pandang : Baik / Baik
Fundus : Tidak dilakukan

N III. Occulomotorius/ N IV. Trochlearis /N VI. Abduscen


Ptosis : (-) (-)

3
Strabismus : (-) (-)
Nistagmus : (-) (-)
Exopthalmus : (-) (-)
Enopthalmus : (-) (-)
Gerakan Bola Mata
Lateral : (+) (+)
Medial : (+) (+)
Atas Medial : (+) (+)
Bawah Medial : (+) (+)
Atas : (+) (+)
Bawah : (+) (+)
Pupil
Ukuran : Ǿ3 mm Ǿ3 mm
Bentuk : Bulat Bulat
Iso/anisokor : Isokor
Posisi : Sentral Sentral
Reflek Cahaya Langsung : (+) (+)
Reflek Cahaya Tidak Langsung : (+) (+)

N V. Trigeminus
Menggigit : (+)
Membuka Mulut : Simetris
Sensibilitas
Atas : (+) (+)
Tengah : (+) (+)
Bawah : (+) (+)
Reflek Masseter : Baik
Reflek Kornea : Baik
Reflek Bersin : Baik

N VII. Fasialis
Pasif
 Kerutan kulit dahi : Simetris kanan kiri
 Kedipan mata : Simetris kanan kiri
 Lipatan nasolabial : Simetris kanan kiri
 Sudut mulut : Simetris kanan kiri
Aktif
 Mengerutkan dahi : Simetris kanan kiri
 Mengerutkan alis : Simetris kanan kiri
 Menutup mata : Simetris kanan kiri
 Meringis : Simetris kanan kiri
 Menggembungkan pipi : Simetris kanan kiri
 Gerakan bersiul : Dapat dilakukan
 Daya pengecapan lidah 2/3 depan : Tidak dilakukan
 Hiperlakrimasi : (-)
 Lidah kering : (-)

4
N VIII. Vestibulocochlearis
Mendengar suara gesekan jari tangan : (+) / (+)
Mendengar detik jam arloji : (+) / (+)
Tes swabach : Tidak dilakukan
Tes rinne : Tidak dilakukan
Tes webber : Tidak dilakukan

N IX. Glosopharingeus
Arcus pharynx : Simetris
Posisi uvula : Ditengah
Daya pengecapan lidah 1/3 belakang : Tidak dilakukan
Reflek muntah : Tidak dilakukan

N X. Vagus
Denyut nadi : Kuat angkat, reguler
Arcus pharynx : Simetris
Bersuara : Baik
Menelan : Baik

N XI. Accesorius
Memalingkan kepala : Bebas
Sikap bahu : Simetris kanan kiri
Mengangkat bahu : Dapat dilakukan

N XII. Hipoglosus
Menjulurkan lidah : Baik
Kekuatan lidah : Cukup
Atrofi lidah : (-)
Artikulasi : Jelas
Tremor lidah : (-)

Sistem Motorik
Trofi : Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofii
Gerakan : Bebas Bebas
Bebas Bebas
Kekuatan : 5555 5555
5555 5555
Tonus : Normotonus Normotonus

Normotonus Normotonus

Sistem Refleks
Refleks Fisiologis
Refleks Tendon : Kanan Kiri
 Refleks Biseps : ++ ++

5
 Refleks Triseps : ++ ++
 Refleks Patella : ++ ++
 Refleks Archilles : ++ ++

Refleks Periosteum : Tidak dilakukan


Refleks Permukaan :
 Dinding perut : +
 Cremaster : Tidak dilakukan
 Spinchter Anii : Tidak dilakukan

Refleks patologis
kanan kiri
 Hoffman Trommer : (-) (-)
 Babinski : (-) (-)
 Chaddock : (-) (-)
 Openheim : (-) (-)
 Gordon : (-) (-)
 Schaefer : (-) (-)
 Rosolimo : (-) (-)
 Mendel Bechterew : (-) (-)
 Klonus paha : (-) (-)
 Klonus kaki : (-) (-)

Sistem Sensibilitas
Eksteroseptif
Nyeri : (+) / (+)
Suhu : Tidak dilakukan
Taktil : (+) / (+)

Proprioseptif
Getar : Tidak dilakukan
Sikap : (+) / (+)
Tekan dalam : (+) / (+)

Koordinasi dan Keseimbangan


Tes Romberg : Dilakukan dengan baik
Tes Tandem walking : Dilakukan dengan baik
Disdiadokinesis : Dilakukan dengan baik
Reboun phenomenon : Dilakukan dengan baik
Finger to nose test : Dilakukan dengan baik
Finger to finger test : Dilakukan dengan baik
Tes tumit lutut : Dilakukan dengan baik

Fungsi Otonom
Miksi
Inkontinensia : (-)
Retensi : (-)

6
Anuria : (-)
Defekasi
Inkontinensia : (-)
Retensi : (-)

Funsi Luhur
Fungsi bahasa : Baik
Fungsi emosi : Baik
Fungsi orientasi : Baik
Fungsi memori : Baik
Fungsi kognisi : Baik

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan anjuran : CT Scan Kepala

EEG 3 September 2018

Konklusi

 Perekam dilakukan keadaan sadar tanpa premedikasi


 Latar belakang berupa aktivitas gelombang dengan frekuensi 12-13 SPD
dengan amplitude rendah sedang
 Pada buka tutup mata tidak tampak perubahan
 Tampak aktivitas gelombang paku pada seluru lead selama 0,5-1 detik, tidak
tampak asimetris/ paroxysmal
 Pada hiperventilasi dan photik stimulasi tidak tampak perubahan
 Kesan :

EEG abnormal dengan epileptiform pada seluruh lead

Pemeriksaan MRI Kepala tanpa pemberian kontras potongan axial, T1 TSE, T2 TSE,
T2 TIRM, DWI koronal T2 TSE, tampak:

 Kedua hemisfer cerebri baik, tak tampak lesi patologis.


 Sulci cerebri dan fissure sylvii sedikit melebar.
 Basal ganglia, kapsula interna dan thalamus baik.
 Sistem ventrikel dan sisterna dalam batas normal. Tak tampak deviasi struktur
midline.
 Lobus temporalis kanan kiri relatif simetris, tak tampak mesial temporal
sclerosis.
 Hipofise dan chiasma optikum baik
 Region supraselar dan paraselar baik. Sinus kavernosus tak tampak lesi
patologis.
 Pada DWI: tak tampak lesi restriksi difusi.
 Bulbus Okuli, n.optikum baik, serta lemak retrobulbar kanan kiri normal.

7
 Muskulus okuli kanan dan kiri baik, tak tampak lesi patologis.
 Canalis Acousticus internus kanan kiri normal.
 Batang otak, cerebellum dan kedua CPA baik.
 Penebalan pada mukosa sinus ethmoidalis kanan dan kiri.
 Kista retensi di dinding anterior sinus maksilaris kanan, diameter 0,7 cm.
 Sinus paranasal lainnya dalam batas normal.
 Mastoid kiri dan kanan tak tampak kelainan.
Kesan:
 Sulci serebri dan fissura Sylvii sedikit melebar
 Tidak tampak tanda-tanda infark di parenkim otak.
 Tidak tampak perdarahan, SOL maupun tanda-tanda peningkatan tekanan di
intrakranial
 Lobus temporalis kanan dan kiri relative simetris, tak tampak mesial temporal
sclerosis.
 Penebalan mukosa sinus ethmoidalis kanan kiri (sinusitis).
 Kista retensi di dinding anterior sinus maksilaris kanan, diameter 0,7 cm

8
9
10
IV. RESUME

Pasien laki-laki usia 41 tahun mengalami kejang yang bersifat tonik klonik 2 bulan
yang lalu, kejangnya timbul 3 kali dalam kurun waktu 2 bulan dengan durasi kejang 5
menit. Kemudian pasien tidak sadarkan diri saat kejang berlangsung.
Pasien mengatakan kejang pertama kali dirasakan pada tahun 2013. Kejang yang
pertama kali dengan kejang yang lainnya memiliki pola yang sama. Pasien memiliki
riwayat kejang demam sejak kecil. Frekuensi kejang demamnya lebih dari 5 kali. Kejang
terjadi cukup lama sekitar 20 menit. Pemeriksaan tanda tanda vital dalam batas normal dan
pemeriksaan fisik yang lainya masih dalam batas normal. Periksaan status neurologi tidak
ada kelainan. Dan pemeriksaa EEG abnormal dengan epileptiform pada seluruh lead.

V. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa : Asam valproat dosis awal 500-1000 mg dibagi 2-3 kali sehari
Dosis rumatan 500-2500 mg dibagi 2-3 kali sehari

Nonmedikamentosa

 Motivasi pasien untuk minum obat secara teratur dan keluarga untuk mengawasi
kepatuhan pasien minum obat.
 Mengatakan pada pasien dan keluarga tentang efek samping minum obat.

11
VI. DIAGNOSIS

Diagnosis klinis : Kejang tonik klonik

Diagnosis Topis : Korteks serebri

Diagnosis Etiologi : Epilepsi umum idiopatik

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : ad bonam
Quo ad cosmetic : ad bonam

12
BAB II
ANALISA KASUS

Tn. S, 41 tahun
Diagnosis klinis : Kejang tonik klonik, kejang umum sekunder
Diagnosis Topis : Korteks serebri
Diagnosis Etiologi : Epilepsi sekunder
Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan
neurologis, dan pemeriksaan penunjang.
Pasien ini di diagnosis dengan epilepsi berdasarkan hasil penemuan pada anamnesis
pasien mengeluh kejang sejak 2 bulan yang lalu dengan frekuensi 3 kali dengan durasi
5 menit, disertai penurunanan kesadaran, kejang pertama dan kejang lainnya
memiliki pola yang sama. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan epilepsi
adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala, dimana terjadi lepas
muatan listrik dari sel-sel neuron yang berlebihan dan terjadi secara periodik, sehingga
dapat menyebabkan berbagai gejala neurologi otak, baik berupa gangguan kesadaran,
gangguan tingkah laku, kejang-kejang, gangguan perasaan dan lain-lain berikut minimal
terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak waktu
antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam. Kejang tersebut harus
memiliki pola yang sama. Dalam anamnesis ini juga pasien mengatakan awalnya
kaku pada kedua kaki dan tangan yaitu disebut “fase tonik” lalu menjalar ke atas
dan mulai kelonjotan (kejang) pada kedua tangan dan kaki masuk ke “fase klonik”,
mulut terbuka dan disertai penurunan kesadaran selama 5 menit. Setelah kejang
berhenti pasien merasa linglung serta lemas. Manifestasi ini dapat menjadi klasifikasi
bentuk kejang tonik klonik (grand mal) . Kejang ini merupakan bentuk kejang yang paling
banyak terjadi. Kejang diawali dengan kaku bersamaan dengan kejutan-kejutan ritmis dari
anggota badan dan hilangnya untuk sementara kesadaran dan tonus. Terdiri atas 3 fase:
fase tonik, fase klonik dan fase pasca kejang. Fase tonis ini datang pertama ditandai dengan
semua otot menjadi kaku berlangsung kira-kira 1 menit untuk kemudian disusul oleh fase
klonis. Tangan dan kaki biasanya akan mulai menghentak dengan cepat dan berirama,
gerakan menekuk dan relaksasai pada siku, pangkal paha dan lutut. Lamanya serangan
berkisar antara 1-2 menit yang disusul dengan keadaan penurunan kesadaran selama
beberapa menit dan kemudian sadar kembali dengan perasaan kacau serta depresi.
 Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada tiga kondisi,
yaitu:6 1. Terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari
24 jam. 6 2. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang

13
selanjutnya sama dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa
provokasi dalam 10 tahun mendatang, serta, 3. Sindrom epilepsi (berdasarkan
pemeriksaan EEG)
 Klasifikasi yang lain dari epilepsi :
Bangkitan kejang Umum terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan
terganggu pada awal kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan
kejang parsial simpleks atau kejang parsial kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan
kejang umum tonik-klonik sekunder.
Bangkitan kejang umum dibagi atas:

 Tonik klonik
Diawali dengan hilangnya kesadaran dan sering penderita akan menangis.
Jika berdiri, orang akan terjatuh, tubuh menegang (tonik) dan diikuti
sentakan otot (klonik). Bernafas dangkal dan sewaktu-waktu terputus
menyebabkan bibir dan kulit terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat
terakumulasi dalam mulut, terkadang bercampur darah jika lidah tergigit.
Dapat terjadi kehilangan kontrol kandung kemih. Kejang biasanya
berlangsung sekitar dua menit atau kurang. Hal ini sering diikuti dengan
periode kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit kepala dan nyeri juga biasa
terjadi setelahnya.
 Absens (Petit mal)
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi pada
orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak
perhatian. Sering ada riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali
mendadak ditandai dengan menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada respon,
menghentikan aktifitas yang dilakukan. Terkadang dengan kedipan mata
atau juga gerakan mata ke atas. Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti
secara tiba-tiba. Penderita akan segera kembali sadar dan melanjutkan
aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian, tanpa ingatan tentang kejang
yang terjadi. Penderita biasanya memiliki kecerdasan yang normal.
Kejang pada ana.k-anak biasanya teratasi seiring dengan pubertas
 Mioklonik
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens terjadi
pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan mengakibatkan
menjatuhkan dan menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran tidak
terganggu, penderita dapat merasa kebingungan dan mengantuk jika

14
beberapa episode terjadi dalam periode singkat. Terkadang dapat
memberat menjadi kejang tonik-klonik.
 Tonik
Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh,
menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.
Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat bertahan. Kejang
tonik dapat terjadi pula saat tertidur.
 Atonik
Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menyebabkan penderita
lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan
luka pada kepala. Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan cepat
pemulihan kecuali terjadi cedera.

Bangkitan Parsial / Fokal Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun


dibingungkan dengan kejadian lain. Terjadi pada satu area otak dan terkadang
menyebar ke area lain. Jika menyebar, akan menjadi kejang umum (sekunder),
paling sering terjadi kejang tonik klonik. 60 % penderita epilepsi merupakan
kejang parsial dan kejang ini terkadang resisten terhadap terapi antiepileptik.

 Parsial sederhana
Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warning” dan terjadi sebelum
kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada penurunan
kesadaran, dengan durasi kurang dari satu menit.
 Parsial kompleks
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai dan
penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan
tatapan kosong, kehilangan ekspresi atau samar-samar, penampilan
bingung. Kesadaran terganggu dan orang mungkin tidak merespon.
Kadang-kadang orang memiliki perilaku yang tidak biasa. Perilaku umum
termasuk mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar atau bergumam. Kejang
parsial dapat berlangsung dari 30 detik sampai tiga menit. Setelah kejang,
penderita sering bingung dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang.
 Pada pasien tidak ada riwayat stroke, trauma kepala sebelum kejang, infeksi dan
tumor di otak , tetapi pasien ini memilki riwayat kejang demam. Dimana dari
riwayat yang didapat salah satunya masuk kedalam faktor epilepsi dimana ditinjau
dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

15
1. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik Epilepsi primer tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak. Diduga terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak
yang abnormal. Dalam jenis ini, tidak 13 ada kelainan anatomik seperti
trauma maupun neoplasma yang menimbulkan kejang, maka sindrom
ini disebut epilepsi idiopatik atau primer. Kejang dapat ditimbulkan
karena abnormalitas susunan sistem saraf pusat (Harsono, 2001).
Epilepsi idiopatik merupakan 2/3 kasus yang tidak diketahui
penyebabnya. Lebih kurang 65% dari seluruh kasus epilepsi tidak
diketahui faktor penyebabnya (Harsono, 1991). Umumnya faktor
genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Insidensi epilepsi
idiopatik lebih tinggi pada anak-anak. Diduga bahwa serangan terjadi
karena cetusan listrik abnormal yang terjadi akibat kelainan atau
gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam neuron-neuron pada area
jaringan otak yang abnormal. Etiologi idiopatik digunakan pada kejang
dengan tipe umum, sedangkan etiologi kriptogenik digunakan bila tidak
ada penyebab yang diketahui pada onset kejang parsial.
2. Epilepsi sekunder Disebut epilepsi sekunder berarti gejala yang timbul
ialah akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat
disebabkan bawaan sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai
akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan
anak. Gangguan ini bersifat reversibel, misalnya karena tumor, trauma,
luka kepala, infeksi atau radang selaput otak, penyakit keturunan seperti
fenilketonuria (FKU) dan kecenderungan timbulnya epilepsi yang
diturunkan. Epilepsi sekunder merupakan 1/3 kasus yang diketahui
penyebabnya. Kelainan dapat terjadi bawaan atau pada masa
perkembangan anak. Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui
antara lain: trauma kepala, trauma persalinan, demam tingi, stroke,
intoksikasi, tumor otak, masalah kardiovaskuler tertentu, gangguan
keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis, meningitis) dan reaksi
alergi. Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan
melihat usia serangan pertama kali.

16
Epidemiologi
Insidensi median epilepsi di dunia 50,4 per 100.000/tahun (33,6-75,6). Pada
negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi, insidensi median 45,0 (30,3-
66,7) dan paada negara dengan pendapatan per kapita menengah dan rendah
adalah 81,7 (28,0-239,5). Di Asia, contohnya adalah insidensi epilepsi di Cina
adalah 35/100.000 orang per tahun, dan di India 49,3/100.000 orang per tahun.
Puncak insiden di negara Cina (Shanghai) pada usia 10-30 tahun dan >60
tahun, sedangkan di India puncaknya pada usia 10-19 tahhun.3 Insidens
epilepsi di negara maju mengikuti distribusi bimodal dengan puncak pertama
pada usia balita dan puncak kedua pada usia 65 tahun.7Angka insiden di
negara maju dilaporkan >130/100.000 orang/tahun pada usia > 65 tahun,
160/100.000 orang/tahun pada usia >80 tahun. Insiden status epileptikus
dilaporkan sebesar 60- 80/100.000 orang/tahun setelah usia 60 tahun, dengan
angka mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan dewasa muda. Sekitar 35%
kasus epilepsi yang baru ditemukan pada usia lanjut (>75 tahun) adalah status
epileptikus.Pada negara sedang berkembang insidens epilepsi lebih tinggi
sekitar (100- 190/100.000 orang/tahun). Distribusi bimodal tidak tampak pada
negara berkembang. Beberapa negara berkembang melaporkan puncak
insiden epilepsi tertinggi pada usia dewasa muda, tanpa peningkatan pada usia
tua.

17
Dalam jurnal penelitian Jefferson Comprehensive Epilepsy Center,
Department of Neurology di Amerika, dilakukan penelitian mengenai
syndrome epilepsi umum idiopatik berdasarkaan kelompok umur.
Pada usia 18 keatas didapatkan syndrome Juvenile myoclonic epilepsy
didapatkan 43 orang, EGTS (epilepsy with generalized tonic clonic seizure)
didapatkan 11 orang, Phantom absence berjumlah 8 orang, Juvenile absence
epilepsy berjumlah 2 orang dan unidentified berjumlah 2 orang. Pada kasus
ini pasien berusia 35 tahun yang tidak didapati ada riwayat kelainan organik
diotak, sehingga saya menyimpulkan pasien terkena sindrom epilepsi umum
idiopatik. Sindrom epilepsi umum idopatik adalah sindrom epilepsi dengan
kejang umum yang penyebabnya diduga karena genetik.
 Untuk pemeriksaan fisik dalam kasus ini tujuan untuk mencari kelainan neurologis
pada pasien ini seperti jejas pada kepala, hemiparesis dan kelainan nervus
cranialis, naum pada kasus ini tidak terdapat kelainan neurologis. Pada sebagain
besar kasus penderita biasanya tidak menunjukkan kelainan neurologic. Pada
sebagian penderita mungkin dapat retardasi mental, mikrosefal, kranio stenosis,
makrosefal, hemi/ tertraplegi. Pada pasien tidak didapati kelainan neurologis.

18
Patofisiologi

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan


transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan
neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam
sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak
mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi
dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan
neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi
impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai
potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan
mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan
listrik.Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah
bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
 Pemeriksaan penunjang
EEG (elektroensefalograf) merupakan salah satu alat diagnostik dan monitoring
penting di bidang Neurologi, yang berfungsi menilai neurofisiologi neuron otak.
Interpretasi klinik temuan EEG harus dikaitkan dengan kondisi pasien seperti
gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang lain. Proses
rekaman dan interpretasi hasil EEG ini membutuhkan supervisi dari 1 seorang ahli
elektroensefalograf.
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan

19
diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik
atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila : 1) Asimetris irama dan
voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak 2) Irama
gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya 3)
Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal.
Pemeriksaaan EEG :
1. Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan
stimulasi fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetusan
bangkitan (pada epilepsi refleks)
2. Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan) pada orang dewasa
dapat ditemukan sebesar 39-38% pada pemeriksaan ulang gambaran
epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%.
3. Bila EEG pertama normal sedangkan prasangka epilepsi sangat tinggi, maka
dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau
dilakukan dengan persyaratan khusus, misalnya kurangi tidur, atau dengan
menghentikan obat-obat epilepsi (OAE). Hal ini sesuai dengan temuan
hasil EEG bahwa pada pasien ditemukan EEG abnormal dengan
epileptiform pada seluruh lead.
 Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan. Pada MRI kepala pasien
tidak didapati kelainan berupa tumor atau lesi pada otak.
 Penatalaksanaan pada pasien ini berdasarkan:
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang
optimal. Ada beberapa cara untuk mecapai tujuan tersebut antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping
ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka
kesakitan dan kematian.

20
 Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi
yakni:
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu
pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai
tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoteapi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap
sampai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
4. Apabila dengan penggunaan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis
terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE kertiga baru diberikan setelah terbuktin bangkitan
tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua
 Pada pasien sudah diberikan obat antiepilepsi yaitu asam valproat karena asam
valproat adalah merupakan obat lini pertama yang efektif bangkitan umum tonik-
klonik. Asam valproat memiliki efek farmakologik dengan meningkatkan
transmisi GABAergik, mengurangi pelepasan dan efek asam amino
eksitatori, memblokade sodium chanel dan memodulasi transmisi
dopaminergik dan serotonergik Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi
dengan terapi farmaka mendasar. Efek samping utama yaitu mual, muntah,
abdominal cramps serta diare. Efek samping lainnya yaitu hepatotoksisitas
dan pankreatitis. Pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi
eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik
GABAergik. Beberapa obat antiepilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara
lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin),
felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal),
levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin
(Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam
valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol
penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang
kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi
hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik.
Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek
samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap

21
gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat
antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat
bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan
otak. Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai
aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-
methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor
NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang
bisa menstimulasi kematian dari sel. Levetiracetam, termasuk kelompok
antikonvulsan terbaru merupakan antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun
cara kerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat
dari pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di
vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi
lainnya (ikatan dengan receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA).
Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi
dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek
sebagai antiepilepsi. Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat
digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya
seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam
tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam
yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan
levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan
bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang
mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta
pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada
hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein
SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.

22
Tabel 1. Mekanisme kerja obat antiepilepsi
 Obat lini pertama untuk epilepsi antara lain :
 Karbamazepine, untuk kejang tonik-klonik dan kejang fokal. Tidak efektif
untuk kejang absens. Dapat memperburuk kejang myoklonik. Dosis total
600-1200 mg dibagi menjadi 3-4 dosis per hari.
 Lamotrigine, efektif untuk kejang fokal dan kejang tonik-klonik. Dosis
100-200 mg sebagai monoterapi atau dengan asam valproat. Dosis 200-
400 mg bila digunakan bersama dengan fenitoin, fenobarbital, atau
karbamazepine.
 Asam valproat, efektif untuk kejang fokal, kejang tonik-klonik, dan kejang
absens. Dosis 400-2000 mg dibagi 1-2 dosis per hari.
 Obat-obat yang tersedia di puskesmas.
a. Fenobarbital, dapat dimulai dengan dosis 60mg/hari per oral dinaikkan
30 mg setiap 2-4 minggu hingga tercapai target 90-120 mg/hari
b. Fenitoin (300-600 mg/hari per oral dibagi menjadi satu atau dua dosis)
c. Karbamazepine (800-1200 mg/ hari per oral dibagi menjadi tiga hingga
empat dosis). Obat ini merupakan obat pilihan untuk pasien epilepsi pada
kehamilan.
Terapi lain berupa terapi non-farmakologi dan terapi bedah (lobektomi
dan lesionektomi

23
Tabel 2. Pemilihan obat berdasarkan jenis bangkitan menurut buku panduan tatalaksana epilepsi

24
Table 3. Dosis obat antiepilepsi menurut buku pedoman tatalaksana epilepsy

Table 4. terapi sindrom epilepsi


 Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2
tahun bebas dari bangkitan kejang. Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika
hendak menghentikan OAE yakni:
1. Syarat umum yang meliputi :
- Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga
dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
- Gambaran EEG normal
- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6bulan

25
- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
- Epilepsi simtomatik
- Gambaran EEG abnormal - Semakin lamanya bangkitan belum dapat
dikendalikan.
- Penggunaan OAE lebih dari 1
- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas
bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
 Pasien tidak teratur minum obat antikejang dan tidak teratur kontrol sejak februari
2019. Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis
epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum
obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada
50-70% penderita epilepsi, serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan
sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi
primer, baik yangbersifat kejang umum maupun serangan lena atau
melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang
serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan
neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis yang umumnya jelek.
 Prognosis :
 Untuk prognosis ad vitam adalah dubia ad bonam karena pemeriksaan
tanda vital, keadaan umum dan kesadaran pasien dalam keadaan stabil dan
baik.
 Prognosis ad fungsionam dubia ad bonam karena pada pasien ini
ditemukan adanya penurunan secara fungsional dalam masa post iktal.
 Untuk ad sanam bonam karena jika benar pada pasien ini terdiagnosis
sebagai epilepsi sekalipun, gejalanya tetap dapat dikontrol dengan
pengobatan yang teratur.
 Prognosis ada cosmetic bonam karena tidak adanya kelainan neurologis
pada pasien ini.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Maurice Victor and Allan H. Ropper. Adams and Victor principle of Neurologi. p. 161-
175. 2005
2. William S, Chelsea. Adult onset epilepsies,Dw Chadwick. From cell to Community-A
practical guide to epilepsy. National Society for Epilepsy. 2009; H 127-132.
3. Mardjono, Mahar, Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta; 2009.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Bagian
Neurologi FKUI. Jakarta; 2012.
5. Sukardi, E Neuroanatomi Medica UI press. Jakarta. 2011.
6. Utama H. Antiepilepsi dan antikonvulsan dalam farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta
:balai Penerbit FKUI;2012.
7. Machlusil Husna dan Shahdevi Nandar Kurniawan. Jurnal mekanisme kerja obat
antiepilpesi. Malang: Laboratorium Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya. 2017.
8. Ali A. Asadi-Pooya et al. Age of onset in idiopathic (genetic) generalized epilepsies:
Clinical and EEG findings in various age groups. Jefferson Comprehensive Epilepsy
Center, Department of Neurology, Thomas Jefferson University, Philadelphia,
USA. p. 1-5.

27

Anda mungkin juga menyukai