Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH HUKUM AGRARIA

JENIS-JENIS HAK ATAS TANAH


DALAM HUKUM AGRARIA

DOSEN PENGAJAR :

Dr. I GEDE SURATA, SH., M.Kn

NAMA KELOMPOK 2 :

 I MADE NGURAH WEDANA (017.3.0037)

 NYOMAN NOVIANTINI (017.3.0006)

 ROSITA DEWI (017.3.0013)

 DEWA PUTU ARTHA (017.3.0014)

 NI KOMANG SAWITRI (017.3.0019)

 I MADE AGUS BUDIASTRAWAN (017.3.0022)

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANJI SAKTI SINGARAJA
TAHUN AJARAN 2018

2|Hukum Agraria
KATA PENGANTAR

Puji syukur pemakalah panjatkan kehadirat TuhanYang Maha Esa, karena atas rahmat,

petunjuk, dan karuniaNya pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun dalam

makalah ini pemakalah mencoba memberikan penjelasan mengenai hak-hak atas tanah yang

pemakalah kumpulkan dari berbagai sumber. Makalah ini dibuat dalam rangka

menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Agraria yang diberikan kepada pemakalah dengan

judul “Jenis-Jenis Hak Atas Tanah dalam Hukum Agraria”.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam penyusunan makalah ini, pemakalah mendapat

bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pemakalah mengucapkan terima kasih atas segala

bantuan yang telah diberikan. Berikut beberapa pihak yang membantu pemakalah, yaitu :

1. Bapak Dr. I Gede Surata, SH., M. Kn, selaku dosen mata kuliah Hukum Agraria yang

memberikan saran dan judul dalam penyusunan makalah ini.

2. Semua pihak yang membantu secara langsung maupun tidak langsung baik berupa

material maupun non material demi terselesaikannya makalah ini.

Pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk

itu pemakalah harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan, saran dan kritik yang

membangun sehingga makalah ini menjadi lebih baik. Akhir kata pemakalah ucapkan terima

kasih.

Singaraja, 10 November 2018

Pemakalah

i|Hukum Agraria
DAFTAR ISI

ii | H u k u m A g r a r i a
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia ialah negara hukum, ketentuan ini dijamin dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), pada Pasal 1 ayat (3).

Sebagai negara hukum Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi segenap rakyat

Indonesia, termasuk mengatur kemanfaatan semua aspek kehidupan agar mampu

memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara hukum Indonesia

didasarkan pada konsep negara kesejahteraan (walfare state), yang bertujuan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat. Hal ini merupakan amanah konstitusi pada Pasal 33 ayat (3) yang

menyatakan bahwa, ”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tujuan negara kesejahteraan (welfare

state) untuk menjamin hak-hak warga negara pada era modern sekarang ini, memiliki

ketergantungan pada ketersediaan sumber daya alam.

Kondisi ketersediaan sumber daya alam menjadi faktor yang menentukan dalam

memenuhi hak-hak dasar warga negara. Salah satu sumber daya alam yang sangat penting

dalam menjamin kesejahteraan dalam negara hukum Indonesia di era globalisasi sekarang ini

adalah tanah. Ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam yang sifatnya terbatas dapat

menimbulkan permasalahan mengingat pertumbuhan masyarakat yang kian hari semakin

meningkat. Untuk dapat mencegah permasalah tersebut serta memberikan kepastian hukum

kepada masyarakat agar bisa memanfaatkan tanah dengan sebaik-baiknya, maka dalam

Hukum Agraria diatur mengenai hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki seseorang maupun

badan hukum atas sebidang tanah. Untuk dapat lebih memahami mengenai hak-hak atas

tanah dalam Hukum Agraria maka pemakalah membahas dan mengangkat judul “Jenis-Jenis

Hak Atas Tanah dalam Hukum Agraria” dalam makalah ini.

1|Hukum Agraria
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana pengaturan hak-hak atas tanah berdasarkan UUPA?

1.2.2. Bagaimana penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia?

1.2.3. Apa penyebab dari hapusnya hak-hak atas tanah?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Dapat mengetahui dan menganalisa mengenai pengaturan hak-hak atas tanah

berdasarkan UUPA.

1.3.2 Dapat mengetahui dan menganalisa penyelenggaraan pendaftaran tanah di

Indonesia.

1.3.3 Dapat mengetahui dan menganalisa penyebab hapusnya hak-hak atas tanah

yang dimiliki perseorangan maupun badan hukum di Indonesia.

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Manfaat Teori

Penulisan makalah ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam

mengembangkan hukum perdata khusunya hukum agraria dan membantu

masyarakat untuk dapat mengetahui dan memahami mengenai jenis-jenis hak

atas tanah .

1.4.2 Manfaat Praktek

Penulisan makalah ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam

menyosialisasikan kepada masyarakat mengenai jenis-jenis hak atas tanah

dalam Hukum Agraria serta membantu menyelesaikan permasalahan mengenai

hak atas tanah dalam praktiknya dimasyarakat.

2|Hukum Agraria
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hukum Agraria

Menurut Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, Hukum Agraria (Agrarisch Recht), adalah

keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik Hukum Perdata, maupun Hukum Tata

Negara (Staatsrecht) maupun pula Hukum Tata Usaha Negara (Administratifrecht) yang

mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan bumi, air dan

ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang

bersumber pada hubungan-hubungan tersebut1.

Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkát

bidang hukum. Hukum Agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang

masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang

termasuk pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas:

1. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti

permukaan bumi.

2. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.

3. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan

galian yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Pokok Pertambangan.

4. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang

terkandung di dalam air.

5. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa,

mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa

yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA2.

1
Urip Santoso,Hukum Agraria&Hak-hak Atas Tanah,Kencana,Jakarta,2010,hlm.6
2
Ibid

3|Hukum Agraria
Hukum Agraria menurut Bachsan Mustafa bahwa Hukum Agraria merupakan

himpunan peraturan yang mengatur tentang bagaimana para pejabat pemerintah menjalankan

tugas mereka dibidang keagrariaan3.

Dari beberapa pengertian hukum agraria menurut para ahli diatas, maka dapat

disimpulkan Hukum Agraria adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum yang

mengatur hak-hak yang dimiliki orang atau badan hukum tentang penguasaan atas sumber-

sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria yaitu bumi, air dan ruang

angkasa.

2.2 Pengertian Hak Atas Tanah

Menurut Samun Ismaya, yang dimaksud hak atas tanah ialah: “Hak yang memberikan

wewenang untuk mempergunakan permukaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian

pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk

keperluan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas

menurut UU dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi4.

Pengertian hak atas tanah menurut UUPA, dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dikatakan

bahwa “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Negara sebagai organisasi kekuasaan

seluruh rakyat. Hak menguasai dari negara termaksud dalam UUPA Pasal 2 ayat (2) memberi

wewenang kepada negara untuk :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan

bumi, air dan ruang angkasa;

3
Ibid
4
Samun Ismaya,Pengantar Hukum Agraria,Graha Ilmu,Yogyakarta,2011,hlm.61

4|Hukum Agraria
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan

adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan

kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain

serta badan-badan hukum (UUPA, pasal 4 ayat 1), pasal ini memberi wewenang untuk

mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang

ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan

hukum lain yang lebih tinggi5.

Dari beberapa pengertian hak atas tanah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hak

atas tanah adalah hak yang berdasarkan hak menguasai dari negara yang diberikan kepada

dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta

badan hukum terkait dengan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan

demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk

kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas

menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang berada diatasnya.

2.3 Kaitan Hukum Agraria dengan Hak Atas Tanah

Menurut Yudhi Setiawan dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pertanahan Teori dan

Praktik”, dijelaskan bahwa pengertian Hukum Agraria berdasarkan Undang-Undang Pokok

Agraria terbagi menjadi 2 (dua) yaitu pengertian Hukum Agraria dalam arti luas dan

pengertian Hukum Agraria dalam arti sempit. Pengertian Hukum Agraria dalam arti luas

ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1) yaitu: Bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya (sumber-sumber alam). Aturan hukumnya terdiri atas :

5
Pengertian Hak Atas Tanah, (http://mangihot.blogspot.com/2017/02/pengertian-dan-pembagian-hak-
atas-tanah.html?m=1), diakses pada 18 November 2018

5|Hukum Agraria
1. Hukum Pertanahan; adalah bidang hukum yang mengatur Hak-Hak Pengaturan

Atas Tanah. Landasan hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

2. Hukum Pengairan; adalah bidang hukum yang mengatur Hak-Hak Atas Air.

Landasan hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974.

3. Hukum Pertambangan; adalah bidang hukum yang mengatur Hak Penguasaan atas

bahan galian. Landasan hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 15 tahun 1967.

4. Hukum Kehutanan; adalah bidang hukum yang mengatur Hak-Hak Penguasaan

Atas Hutan dan Hasil Hutan. Landasan hukumnya adalah Undang-Undang Nomor

5 tahun 1967.

5. Hukum Perikanan; adalah bidang hukum yang mengatur Hak-Hak Penguasaan

Atas Ikan dan Perairan Darat.

Pengertian Hukum Agraria dalam arti sempit adalah Hukum Pertanahan; dengan

demikian terlihat bahwa Hukum Pertanahan adalah bagian atau salah satu komponen dari

Hukum Agraria seperti yang diuraikan di atas.

Hukum Pertanahan adalah bidang hukum yang mengatur Hak-Hak Penguasaan Atas

Tanah. Hak Penguasaan adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang hak untuk

berbuat dengan tanah yang dikuasainya. Sumber hukum yang mengatur Hukum Pertanahan

terbagi menjadi 2 (dua) yaitu yang tertulis dan yang tidak tertulis. Aturan Hukum Pertanahan

tertulis adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945; dalam Pasal 33 ayat (3) : “Bumi, Air, dan

Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria; yang tujuannya adalah: (a) untuk mengakhiri dualisme/pluralisme

6|Hukum Agraria
hukum tanah pada zaman Hindia Belanda/Kolonial; (b) unifikasi hukum tanah

Indonesia.

3. Peraturan-Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Sedangkan aturan Hukum Pertanahan yang tidak tertulis yaitu hukum adat6.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

Pasal 16 mengatur mengenai jenis-jenis hak atas tanah yang terdiri dari :

a. hak milik;

b. hak guna usaha;

c. hak guna bangunan;

d. hak pakai;

e. hak sewa;

f. hak membuka tanah;

g. hak memungut hasil hutan

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan

ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagai yang disebutkan dalam Pasal 537.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa keterkaitan antara Hukum Agraria dengan hak

atas tanah yaitu hak atas tanah diatur dalam Hukum Pertanahan dimana Hukum Pertanahan

merupakan bagian atau salah satu komponen dari Hukum Agraria.

6
Yudhi Setiawan, Hukum Pertanahan Teori dan Praktik, Bayumedia Publishing,Malang,2010,hlm.2
7
R. Atang Ranoemihardja,Perkembangan Hukum Agraria di
Indonesia,Tarsito,Bandung,1982,hlm.6

7|Hukum Agraria
BAB III

JENIS-JENIS HAK ATAS TANAH DALAM HUKUM AGRARIA

3.1 Jenis-Jenis Hak Atas Tanah

Yang dimaksud dengan hak atas tanah ialah : “Hak yang memberikan wewenang

untuk mempergunakan permukaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh

bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk keperluan

yang langsung berhubungan dengan pengunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UU dan

peraturan hukum lain yang lebih tinggi8”.

Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu

"Atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama

dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum". Hak atas tanah bersumber dari hak

menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga negara

Indonesia maupun warga negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan

hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.

Menurut Urip Santoso, macam-macam hak atas tanah dikelompokkan menjadi 3

bidang berdasarkan Pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA, yaitu :

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama

UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Macam-

macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,

Hak Pakai, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut

Hasil Hutan.

8
Samun Ismaya,loc.cit

8|Hukum Agraria
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang , yaitu hak atas tanah

yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Hak atas

tanah ini macamnya belum ada.

3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu hak atas tanah ini sifatnya sementara,

dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat

pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam-

macam hak atas tanah ini adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil

(Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

Pada hak atas tanah yang bersifat tetap di atas, sebenarnya Hak Membuka Tanah dan Hak

Memungut Hasil Hutan bukanlah hak atas tanah dikarenakan keduanya tidak memberikan

wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari

tanah yang dihakinya. Namun, sekadar menyesuaikan dengan sistematika hukum adat, maka

kedua hak tersebut dicantumkan juga ke dalam hak atas tanah yang bersifat tetap. Sebenarnya

kedua hak tersebut merupakan "pengejawantahan" dari hak ulayat masyarakat hukum adat.

Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA tidak bersifat

limitatif, artinya di samping hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA, kelak

dimungkinkan lahirnya hak atas tanah baru yang diatur secara khusus dengan undang-

undang9.

A. Hak Milik

Ketentuan mengenai Hak Milik disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA.

Secara khusus diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA. Menurut Pasal 50

ayat (1) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Milik diatur dengan undang-undang.

undang-undang yang diperintahkan di sini sampai sekarang belum terbentuk. Untuk itu

diberlakukanlah Pasal 56 UUPA, yaitu selama undang-undang tentang Hak Milik belum

Urip Santoso,op.cit , hlm. 89


9

9|Hukum Agraria
terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan

peraturan-peraturan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA.

Menurut Prof. Dr. H. Suko Wiyono, Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan

terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan tanah

mempunyai fungsi sosial; karena merupakan hak yang paling kuat, dengan sendirinya

memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali hak lain di atas

tanah hak milik tersebut. Dengan kata lain, di atas hak milik dapat diberikan Hak Guna

Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP), sedangkan Hak Guna Usaha (HGU) tidak bisa

diberikan dengan pertimbangan hanya tanah yang dikuasai negara yang bisa diberikan

dengan Hak Guna Usaha10. Berikut merupakan subyek hak milik menurut pasal 21 UUPA

antara lain:

1. Warga Negara Indonesia.

2. Badan Hukum Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No.38 tahun 1963

(L.N. 1963 No.61), seperti :

a. Bank Negara.

b. Perkumpulan-perkumpulan koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan

Undang-Undang No.79 tahun 1958 L.N. 1958 No.139.

c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah

mendengar Menteri Agama.

d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah

mendengar Menteri Kesejahteraan sosial.

B. Hak Guna Usaha

Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak

untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu

sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau
10
Yudhi Setiawan, op.cit,hlm. 41

10 | H u k u m A g r a r i a
peternakan. PP No. 40 tahun 1996 menambahkan guna perusahaan perkebunan 11.

Subyeknya Hak Guna Usaha menurut pasal 30 UUPA ialah Warga Negara Indonesia dan

Badan-badan Hukum Indonesia yang berkedudukan di Indonesia. Sedangkan objek dari

Hak Guna Usaha ialah hánya tanah Negara dan Tanah Hak (milik) tidak bisa diberikan

Hak Guna Usaha.

Permohonan HGU dapat dipenuhi sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan

sebagai berikut:

1. WNI;

2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia;

3. Luas minimal 5 (lima) hektar dan maksimal 25 (dua puluh lima) hektar untuk

perorangan;

4. Luas maksimal untuk badan hukum ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia;

Pemegang HGU mempunyai kewajiban untuk:

a. membayar uang pemasukan kepada negara;

b. melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, dan/atau peternakan sesuai

peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan

pemberian haknya;

c. mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan

kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;

d. membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada

dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;

11
Urip Santoso,op.cit.hlm.99

11 | H u k u m A g r a r i a
e. memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan

menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

f. menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak

Guna Usaha;

g. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada

Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;

h. menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada Kepala

Kantor Pertanahan12.

Hak Guna Usaha terjadi dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat

yang ditunjuk. Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan pemberian Hak

Guna Usaha diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden (Pasal 6).

Pemberian hak guna usaha wajib didaftar dalam buku tanah pada kantor pertanahan.

Hak guna usaha terjadi sejak didaftarkan oleh kantor pertanahan dalam buku tanah, di

mana pendaftaran ini sebagai tanda bukti hak (sertifikat hak atas tanah) kepada

pemegang hak guna usaha (Pasal 7)13.

Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat

diperpanjang untuk jangka waktu paling 25 tahun. Sesudah jangka waktu Hak Guna

Usaha dan perpanjangannya berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan

pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama (Pasal 8).

C. Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan merupakan salah satu hak-hak atas tanah yang bersifat primer,

selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai atas tanah. Perkembangan Hak Guna

Bangunan merupakan hak primer yang mempunyai peranan penting kedua, setelah Hak

12
Yudhi Setiawan,op.cit,hlm.33
13
Samun Ismaya,op.cit.hlm.64

12 | H u k u m A g r a r i a
Guna Usaha. Hal ini disebabkan Hak Guna Bangunan merupakan pendukung sarana

pembangunan perumahan yang sementara ini semakin berkembang dengan pesat.

Begitu pentingnya Hak Guna Bangunan, maka Pemerintah mengaturnya lebih lanjut

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Pengaturan Hak Guna Bangunan ini,

seiring dengan pesatnya pembangunan perumahan, baik yang dibangun oleh pemerintah

maupun pihak swasta. Oleh karena itu, dalam perkembangan pembangunan perumahan

atau gedung yang semakin marak akhir-akhir ini, objek tanah yang dijadikan sasaran ada

tiga, yaitu tanah negara, tanah Hak Pengelolaan dan tanah Hak Milik (Pasal 21). Subjek

dari Hak Guna Bangunan ini ialah Warga Negara Indonesia secara perorangan dan

badan-badan hukum Indonesia yang berkedudukan di Indonesia jangka waktunya paling

lama 30 tahun.

Salah satu yang paling mendasar dalam pemberian Hak Guna Bangunan adalah

menyangkut adanya kepastian hukum mengenai jangka waktu pemberiannya.

Sehubungan dengan pemberian perpanjangan jangka waktu apabila Hak Guna Bangunan

telah berakhir maka Hak Guna Bangunan atas tanah negara atas permintaan pemegang

haknya dapat diperpanjang atau diperbarui, dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana

yang diatur Pasal 26 sebagai berikut:

1. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan

pemberian hak tersebut;

2. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;

3. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;

4. tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang

bersangkutan;

Sehubungan dengan perpanjangan Hak Guna Bangunan tersebut, maka hal ini

berkaitan pula dengan kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan atas pemberian hak

13 | H u k u m A g r a r i a
atas tanah bangunan tersebut. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 30 PP Nomor 40

Tahun 1996 sebagai berikut:

a membayar uang pemasukan yang jumlah dan tata cara pembayarannya ditetapkan

dalam keputusan pemberian haknya;

b menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana

ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;

c memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga

kelestarian lingkungan hidup:

d menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada

negara, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesudah Hak Guna

Bangunan itu hapus

e menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala

Pertanahan.

Selain kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang Hak atas Guna Bangunan

tersebut, maka salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang Hak Guna

Bangunan apabila tanah negara yang dijadikan objek tidak diperpanjang atau diperbarui

lagi, adalah menyerahkan tanah negara kepada pemegang hak pengelolaan dan Hak

Milik tersebut dalam keadaan kosong, dengan membongkar bangunan yang terdapat di

atas tanah tersebut (Pasal 37 ayat (1). Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 37 ayat (1)

ini memberikan kesempatan kepada yang menguasai atau memiliki Hak Guna Bangunan

untuk melakukan pembongkaran terhadap bangunan yang terdapat di atas Hak Guna

Bangunan tersebut, Ini sebagai wujud dari hak kesadaran yang yang menguasai Hak

Guna Bangunan tersebut14.

D. Hak Pakai
14
Supriadi, Hukum Agraria,Sinar Grafika,Jakarta,2007,hlm.61

14 | H u k u m A g r a r i a
Menurut Pasal 41 ayat (1) UUPA yang dimaksud dengan hak pakai adalah hak untuk

mengguankan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara

atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan

dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau

dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau

perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan

ketentuan-ketentuan UUPA. Perkataan "menggunakan" dalam Hak Pakai menunjuk pada

pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan,

sedangkan perkataan "memungut hasil" dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian

bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya

pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan15. Yang dapat mempunyai Hak Pakai

adalah:

a. Warga Negara Indonesia;

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia;

c. Departemen Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;

d. Badan-badan keagamaan dan sosial;

e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;

g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.

Hak Pakai atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri

atau pejabat yang ditunjuk. Hak Pakai atas Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan

pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak

Pengelolaan.

15
Urip Santoso,op.cit,hlm.114

15 | H u k u m A g r a r i a
Hak Pakai sebagaimana wajib didaftar dalam buku tanah pada kantor Pertanahan. Hak

Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan terjadi sejak didaftarkan oleh

Kantor Pertanahan dalam buku tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Pakai diberikan sertifikat

hak atas tanah.

Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian tanah oleh pemegang Hak

Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pemberian Hak Pakai

atas tanah Hak Milik wajib didaftarkan dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Hak

Pakai atas tanah Hak milik mengikat pihak ketiga sejak saat pendaftarannya.

Pemegang Hak Pakai yang tidak lagi memenuhi syarat dalam waktu satu tahun wajib

melepaskan atau mengalihkan hak itu pada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila

dalam jangka waktu tersebut haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus

karena hukum dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut

tetap diperhatikan16.

E. Hak Sewa Bangunan

Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan, menurut Pasal 44 ayat (1) UUPA, seseorang

atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak

mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar

kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Hak Sewa Untuk Bangunan adalah hak

yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan

di atas tanah Hak Milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan

dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik dan pemegang Hak Sewa

Untuk Bangunan.

16
Samun Ismaya,op.cit,hlm.69

16 | H u k u m A g r a r i a
Objek Hak Sewa untuk bangunan yaitu hak atas tanah yang dapat disewakan kepada

pihak lain adalah Hak Milik dan objek yang disewakan oleh pemilik tanah kepada pihak

lain (pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan) adalah tanah bukan bangunan.

Menurut Pasal 45 UUPA, yang dapat mempunyai Hak Sewa Untuk Bangunan, adalah :

a. Warga Negara Indonesia.

b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.

c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia (badan hukum Indonesia).

d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

F. Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara

Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)

huruf h UUPA. Macam-macam haknya disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, yang

meliputi Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil),

Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam

UUPA dan diberi sifat sementara, dalam waktu yang singkat diusahakan akan dihapus

dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA.

Kenyataannya sampai saat ini tidak dapat dihapuskan dan yang dapat dilakukan

adalah mengurangi sifat-sifat pemerasan. Macam-macam Hak Atas Tanah yang

bersifat sementara terdiri dari :

1. Hak Gadai (Gadai Tanah)

UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan Hak

(Gadai Tanah). Untuk memperoleh pemahaman tentang pengertian Gadai

Tanah, berikut ini dikemukakan pendapat Boedi Harsono, Gadai tanah adalah

hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang

telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum

17 | H u k u m A g r a r i a
dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil

tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau

yang lazim disebut penebusan tergantung pada kemauan dan kemampuan

pemilik tanah yang menggadaikan. Banyak gadai yang berlangsung bertahun-

tahun bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu

melakukan penebusan17.

2. Hak Usaha Bagi Hasil

Pasal 53 UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan Hak

Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil). Boedi Harsono menyatakan bahwa

yang dimaksud dengan Hak Usaha Bagi Hasil adalah hak seseorang atau

badan hukum (yang disebut penggarap) untuk menyelenggarakan usaha

pertanian di atas tanah kepunyaan pihak lain (yang disebut pemilik) dengan

perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak menurut

imbangan yang telah disetujui sebelumnya18.

3. Hak Menumpang

UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan Hak

Menumpang. Boedi Harsono memberikan pengertian Hak Menumpang, yaitu

hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan

menempati rumah di atas tanah pekarangan milik orang lain. Di atas tanah itu

mungkin sudah ada rumah lain kepunyaan pemilik tanah, tetapi mungkin juga

tanah itu merupakan tanah pekarangan yang semula masih kosong19.

4. Hak Sewa Tanah Pertanian

17
Boedi Harsono,Undang-Undang Pokok Agraria Sedjarah Penjusunan Isi dan Pelaksanaanya,
Djambatan, Djakarta, 1970, hlm. 394
18
Ibid, hlm. 310
19
Ibid, hlm. 321

18 | H u k u m A g r a r i a
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan Hak Sewa

Tanah Pertanian. Yang dimaksud dengan Hak Sewa Tanah Pertanian adalah

suatu perbuatan hukum dalam bentuk penyerahan penguasaan tanah pertanian

oleh pemilik tanah pertanian kepada pihak lain (penyewa) dalam jangka waktu

tertentu dan sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar

kesepakatan kedua belah pihak20.

3.2 Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di Indonesia

Salah satu tujuan pokok diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah untuk mewujudkan kepastian

hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada dua upaya untuk

mewujudkan kepastian hukum tersebut, yaitu:

1. Menyediakan perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas.

2. Menyelenggarakan pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi pemegang hak atas

tanah untuk membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya dan bagi pemerintah untuk

melaksanakan kebijakan pertanahan21.

Mengenai pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA. Pendaftaran tanah menurut

ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA meliputi :

1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut.

3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang

kuat.

Ketentuan-ketentuan mengenai pendaftaran tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (PP 10/1961). Akan tetapi, PP

20
Urip Santoso,op.cit,hlm 145
21
Ibid,hlm.2

19 | H u k u m A g r a r i a
10/1961 saat ini sudah dicabut dan digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Dalam Pasal 1 angka 1 PP 24/1997 menyatakan bahwa: “Pendaftaran tanah adalah

rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan

dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta

pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-

bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya

bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta

hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Pendaftaran tanah di Indonesia berdasarkan Pasal 2 PP 24/1997 menganut lima asas,

yaitu:

1. Sederhana, berarti ketentuan-ketentuan pokok dan prosedur pendaftaran tanah harus

mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama oleh pemegang hak

atas tanah.

2. Aman, berarti pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat

sehingga hasilnya mampu memberikan jaminan kepastian hukum.

3. Terjangkau, yaitu pelayanan yang diberikan dalam rangka pendaftaran tanah harus

bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan, terutama dengan memperhatikan

kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.

4. Mutakhir, artinya tersedia kelengkapan yang memadai dalam melaksanakan

pendaftaran tanah dan pemeliharaan datanya. Data yang tersedia juga harus mutakhir,

sehingga harus dilakukan pendaftaran dan pencatatan perubahan-perubahan yang

terjadi di kemudian hari.

5. Terbuka, artinya setiap saat masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data

yang benar.

20 | H u k u m A g r a r i a
Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), dimana tugas

pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan dibantu oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melakukan kegiatan-

kegiatan tertentu. Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP 24/1997, yang menjadi obyek

pendaftaran tanah meliputi:

1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usana, hak guna

bangunan dan hak pakai.

2. Tanah hak pengelolaan

3. Tanah wakaf

4. Hak milik atas satuan rumah susun.

5. Hak tanggungan

6. Tanah negara

Pasal 11 PP 24/1997 menentukan bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi dua hal,

yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran

tanah.

1. Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali

Menurut Pasal 1 angka 9 PP 24/1997, pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah

kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang

belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang

Pendaftaran Tanah (PP 10/1961) yang berlaku sebelumnya.

Untuk pertama kalinya pendaftaran tanah dilaksanakan melalui pendaftaran tanah

secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara

sistematik merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan

secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar

dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara

21 | H u k u m A g r a r i a
sistematik dilaksanakan atas prakarsa pemerintah yang didasarkan pada suatu rencana

kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh menteri. Sedangkan,

pendaftaran tanah secara sporadik adalah suatu kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau

bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1 angka 11 PP

24/1997). Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :

1. Pengumpulan dan pengelolaan data fisik, dilakukan dengan kegiatan pengukuran

dan pemetaan yang meliputi:

a. pembuatan peta dasar pendaftaran;

b. penetapan batas bidang-bidang tanah;

c. pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta

pendaftaran;

d. pembuatan daftar tanah;

e. pembuatan surat ukur.

2. Pembuktian hak baru dan hak lama serta pembukuannya

3. Penerbitan sertipikat

4. Penyajian data fisik dan data yuridis

5. Penyimpanan daftar umum dan dokumen

2. Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah

Pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 1 angka 12 adalah

kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam

peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat

dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Pemegang hak diwajibkan

untuk mendaftarkan perubahan data fisik atau data yuridis kepada Kantor

Pertanahan. Perubahandata fisik yang dimaksud adalah apabila diadakan pemisahan,

22 | H u k u m A g r a r i a
pemecahan atau penggabungan bidang-bidang tanah yang sudah didaftar, sedangkan

perubahan data yuridis misalnya apabila diadakan pembebanan atau pemindahan hak

atas bidang tanah yang sudah didaftar.

Kegiatan pemeliharaan data pendaftar tanah terbagi menjadi:

1. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, terdiri dari:

a. pemindahan hak;

b. pemindahan hak dengan lelang;

c. peralihan hak karena pewarisan;

d. peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau

koperasi;

e. pembebanan hak;

f. penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;

g. lain-lain

2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, terdiri dari:

a. perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;

b. pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah;

c. pembagian hak bersama;

d. hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun;

e. peralihan dan hapusnya hak tanggungan;

f. perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan

pengadilan;

g. perubahan nama.

Menurut Urip Santoso, perubahan data yuridis dapat terjadi karena beberapa hal

yaitu:

23 | H u k u m A g r a r i a
a. peralihan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam

perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya;

b. peralihan hak karena pewarisan;

c. peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau

koperasi;

d. pembebanan hak tanggungan;

e. peralihan hak tanggungan;

f. hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan, hak milik atas satuan rumah

susun dan hak tanggungan;

g. pembagian hak bersama;

h. perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan atau

penetapan ketua pengadilan;

i. perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama;

j. perpanjangan jangka waktu hak atas tanah22.

Lebih lanjut menurut Urip Santoso perubahan data fisik dapat terjadi karena :

a. pemecahan bidang tanah;

b. pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah;

c. penggabungan dua atau lebih bidang tanah23.

PP 24/1997 hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum, sedangkan ketentuan-

ketentuan yang lebih rinci diatur dalam peraturan pelaksana tersendiri, sehingga

aturan-aturan mengenai pendaftaran tanah dapat lebih mudah untuk mengikuti

perkembangan teknologi. Saat ini peraturan pelaksana dari PP 24/1997 yang berlaku

adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

Ibid,,hlm.36
22

23
Ibid

24 | H u k u m A g r a r i a
3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Perkaban 3/1997).

3.3 Penyebab Hapusnya Hak Atas Tanah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA), hak-hak atas tanah yang dimiliki perseorangan maupun badan hukum dapat

terhapuskan yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

1. Hak Milik

Pasal 27 UUPA menetapkan faktor penyebab hapusnya Hak Milik atas tanah dan

tanahnya jatuh kepada Negara, yaitu:

a. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18;

b. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;

c. karena diterlantarkan;

d. karena subjek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas

tanah;

e. karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak

lain tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah. Hak Milik

atas tanah juga dapat hapus karena tanahnya musnah, misalnya karena adanya

bencana alam.

2. Hak Guna Usaha

Berdasarkan Pasal 34 UUPA Hak Guna Usaha hapus karena:

a. jangka waktunya berakhir

b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak

dipenuhi;

c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

d. dicabut untuk kepentingan umum;

25 | H u k u m A g r a r i a
e. diterlantarkan;

f. tanahnya musnah;

g. ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).

3. Hak Guna Bangunan

Berdasarkan Pasal 40 UUPA, Hak Guna Bangunan hapus karena

a. jangka waktunya berakhir;

b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak

dipenuhi;

c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir

d. dicabut untuk kepentingan umum;

e. diterlantarkan;

f. tanahnya musnah;

g. ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).

4. Hak Pakai

Berdasarkan Pasal 55 PP No. 40 Tahun 1996, faktor-łaktor penyebab hapusnya

Hak Pakai, yaitu:

a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan

pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya;

b. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang HakPengelolaan atau

pemilik tanah sebelum jangka waktunya berakhir, karena:

1. tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang Hak Pakai dan

atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam Hak Pakai;

2. tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang

tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang

Hak Pakai dengan pemilik tanah atau perjanjian penggunaan Hak

26 | H u k u m A g r a r i a
Pengelolaan; atau 3 putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap.

c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka

waktunya berakhir;

d. hak pakainya dicabut;

e. diterlantarkan;

f. tanahnya musnah;

g. pemegang Hak Pakai tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai

5. Hak Sewa

Faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Sewa Untuk Bangunan, adalah :

a. Jangka waktunya berakhir.

b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir dikarenakan pemegang Hak

Sewa Untuk Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak

Sewa Untuk Bangunan.

c. Dilepaskan oleh pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan sebelum jangka

waktunya berakhir

d. Hak Milik atas tanahnya dicabut untuk kepentingan umum

e. Tanahnya musnah.

6. Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara

Hak atas tanah yang bersifat sementara terdiri dari :

a. Hak Gadai

Faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Gadai (Gadai Tanah), adalah

sebagai berikut:

1) Telah dilakukan penebusan oleh pemilik tanah (pegadai).

2) Hak gadai sudah berlangsung 7 tahun atau lebih.

27 | H u k u m A g r a r i a
3) Adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pemegang

gadai menjadi pemilik atas tanah yang digadaikan karena pemilik

tanah tidak dapat menebus dalam jangka waktu yang disepakati

oleh kedua belah pihak dalam Gadai Tanah.

4) Tanahnya dicabut untuk kepentingan umum.

5) Tanahnya musnah

b. Hak Usaha Bagi Hasil

Faktor-faktor yang menjadi penyebab hapusnya perjanjlan bagi hasil,

adalah :

1) Jangka waktunya berakhir.

2) Atas persetujuan kedua belah pihak, perjanjian bagi hasil diakhiri.

3) Pemilik tanah meninggal dunia.

4) Adanya pelanggaran oleh penggarap terhadap larangan dalam

perjanjian bagi hasil.

5) Tanahnya musnah

c. Hak Menumpang

Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab hapusnya Hak Menumpang,

adalah sebagai berikut:

1) Pemilik tanah sewaktu-waktu dapat mengakhiri hubungan hukum

antara pemegang Hak Menumpang dengan tanah yang

bersangkutan

2) Hak Milik atas tanah yang bersangkutan dicabut untuk kepentingan

umum

3) Pemegang Hak Menumpang melepaskan secara sukarela Hak

Menumpang

28 | H u k u m A g r a r i a
4) Tanahnya musnah.

d. Hak Sewa Tanah Pertanian

Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab hapusnya Hak Sewa Tanah

Pertanian, yaitu:

1) Jangka waktunya berakhir.

2) Hak sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari

pemilik tanah kecuali hal itu diperkenankan oleh pemilik tanah.

3) Hak sewanya dilepaskan secara sukarela oleh penyewa.

4) Hak atas tanah tersebut dicabut untuk kepentingan umum.

5) Tanahnya musnah.

29 | H u k u m A g r a r i a
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.1.1. Pengaturab hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 16 mengatur mengenai

jenis-jenis hak atas tanah yang terdiri dari :

a. hak milik,

b. hak guna usaha,

c. hak guna bangunan,

d. hak pakai,

e. hak sewa,

f. hak membuka tanah,

g. hak memungut hasil hutan,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya

sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.

4.1.2. Penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia diselenggarakan oleh Badan

Pertanahan Nasional (BPN), dimana tugas pelaksanaannya dilakukan oleh

Kepala Kantor Pertanahan dengan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melakukan kegiatan-kegiatan

tertentu. Pasal 11 PP Pendaftaran Tanah menentukan bahwa pelaksanaan

pendaftaran tanah meliputi dua hal, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah.

4.1.3. Penyebab hapusnya hak atas tanah ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil

30 | H u k u m A g r a r i a
Hutan dan hak-hak lainnya) pada setiap hak memiliki faktor penyebab yang

berbeda-beda, sebagian besar disebabkan oleh faktor musnahnya tanah, jangka

waktu yang berakhir, serta dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir

dikarenakan suatu syarat tidak dipenuhi.

4.2 Saran-Saran

4.2.1. Bagi Pemerintah

Hendaknya pemerintah dapat menyelenggarakan pengaturan hak atas

tanah sesuai dengan UUPA.

4.2.2. Bagi Masyarakat

Hendaknya penggunaan tanah dapat disesuaikan dengan keadaan dan

sifat dari haknya, sehingga dapat memberikan manfaat yang baik bagi

kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

4.2.3. Bagi Mahasiswa

Hendaknya mahasiswa lebih mendalami teori mengenai hak atas tanah

sehingga nantinya diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan

penelitian mengenai hak atas tanah yang dapat bermanfaat bagi

masyarakat dan negara.

31 | H u k u m A g r a r i a
DAFTAR PUSTAKA

Santoso, Urip.2010.Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah.Jakarta:Kencana

Ismaya, Samun.2011.Pengantar Hukum Agraria.Yogyakarta : Graha Ilmu

Setiawan, Yudhi.2010. Hukum Pertanahan Teori dan Praktik. Malang : Bayumedia

Publishing

Ranoemihardja, R. Atang.1982. Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia. Bandung :

Tarsito

Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta : Sinar Grafika

Harsono, Boedi. 1970. Undang-Undang Pokok Agraria Sedjarah Penjusunan Isi dan

Pelaksanaanya. Djakarta : Djambatan

Anda mungkin juga menyukai