Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN IKTERUS NEONATORIUM

1. Pengertian

Hiperbillirubin ialah suatu keadaan dimana kadar billirubinemia mencapai


suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kernikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 1997).

Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya kadar


bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan
alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2000).

Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar


nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001). Nilai normal bilirubin indirek 0,3 – 1,1
mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.

Ikterus adalah gejala kuning pada sclera kulit dan mata akibat bilirubin yang
berlebihan didalam darah dan jaringan. Normalnya bilirubin serum kurang dari 9
υmol/L (0,5 mg%). Ikterus nyata secara klinis jika kadar bilirubin meningkat diatas 35
υmol/L (2 mg%). (Wim de Jong et al. 2005)

2. Epidemiologi

Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi
cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat
berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik yang dapat menimbulkan gangguan
yang menetap atau menyebabkan kematian.

3. Klasifikasi

Ikterus neonatorum dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis ( Ngastiyah,1997).


1.Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan
atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu
morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar
patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus
yang memiliki karakteristik sebagai berikut menurut (Hanifah, 1987), dan
(Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats, 2005):
a. Timbul pada hari kedua - ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus
cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai hubungan dengan
keadaan patologis tertentu.
g. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan
karakteristik sebagai berikut Menurut (Surasmi, 2003) bila:
1). Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2). Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
3). Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan dan
12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4). Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim
G6PD dan sepsis).
5). Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia,
hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia,
hiperosmolalitas darah.

2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin
dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan
dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar
bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang
bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

3. Kern Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus, hipokampus,
nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV. Kern ikterus ialah
ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup bulan
dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik
berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara
klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik.

4. Etiologi

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor : (Ika FKUI)
Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1) Produksi yang berlebihan
2) Gangguan dalam proses ‘uptake’ dan konjungasi hepar
3) Gangguan transportasi
4) Gangguan dalam ekskresi

Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan sebagai
berikut;
1. Polychetemia
2. Isoimmun Hemolytic Disease
3. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
4. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid, kloramfenikol)
5. Hemolisis ekstravaskuler
6. Cephalhematoma
7. Ecchymosis
8. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu (atresia
biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia, hipotiroid jaundice ASI
9. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan
albumin; lahir prematur, asidosis.

Adapun penyebab dari ikterus dan fisiologis adalah :


1. Penyebab Ikterus fisiologis
  Kurang protein Y dan Z
  Enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.
  Pemberian ASI yang mengandung pregnanediol atau asam lemak bebas yang
akan menghambat kerja G-6-PD
2. Penyebab ikterus patologis
a. Peningkatan produksi :
   Hemolisis, misalnya pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan
ABO.
   Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
   Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik
yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
   Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
   Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta) , diol (steroid).
   Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin
Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
   Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
b. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine, sulfonamide, salisilat, sodium benzoat, gentamisisn,dll.
c. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi ,
Toksoplasmosis, Sifilis, rubella, meningitis,dll.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
e. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif,
hirschsprung.

Klasifikasi ikterus

Prahepatik
Kelainan hemolitik, seperti sferositosis, malaria tropika berat, anemia pernisiosa, atau
transfuse darah yang tidak kompatibel.
Hepatic
Hepatitis A, B, C, D atau E, leptospirosis, mononucleosis.
Sirosis hepatis
Kolestasis karena obat (klorpromazin)
Zat yang meracuni hati seperti fosfor, kloroform, anestetik lain, karbontetrakloid
Tumor hati multiple (kadang)
Pascahepatik
Obstruksi saluran empedu didalam hepar
 Sirosis hepatis
 Abses hati
 Hepatokolangitis
 Tumor maligna primer atau sekunder
Obstruksi didalam lumen saluran empedu
 Batu, askaris
Kelainan didinding saluran empedu
 Atresia bawaan
 Striktur traumatic
 Tumor saluran empedu
Kempaan saluran empedu dari luar
 Tumor kaput pancreas
 Tumor ampula vater
 Pancreatitis
 Metastasis kekelenjar limf dilagamentum hepatoduodenale
Sumber : Ilmu Bedah Wim De Jong hal. 198

Derajat ikterus pada neonatorum menurut Kramer :

Daerah Luas Ikterus/bagian tubuh yang kuning Kadar Bilirubin Rata-rata serum bilirubin
indirek (umol/L)

1 Kepala dan Leher 5 mg% 100

2 Daerah 1 + badan bagian atas 9 mg% 150

3 Daerah 1, 2 + badan bagian bawah dan tungkai 11 mg% 200

4 Daerah 1, 2, 3 + lengan dan kaki dibawah lutut 12 mg% 250

5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg% >250

Sumber : Kapita Selekta FKUI jilid 2 ed 3


Sebagian besar penyebab ikterus yang dapat diobati dengan pembedahan adalah
pascahepatik (obstruksi).

5. Patofisiologi Ikterus

Untuk lebih memahami tentang patofisiologi ikterus maka terlebih dahulu akan
diuraikan tentang metabolisme bilirubin
1. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang
larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati.
Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan
kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan
menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
2. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z
berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan
peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar
atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran
empedu.
Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya
efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya
dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila
kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui
sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah ,
Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).
Pathway Ikterus

6. Manifestasi Klinis

Pengamatan dan penilaian RSCM Jakarta (Monitja dkk, 1981) menunjukkan


bahwa dianggap hiperbilirubinemia jika : (IKA FKUI)
1) Ikterus terjadi 24 jam pertama.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonates kurang bulan dan
12,5 mg% pada neonates cukup bulan.
4) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi
enzim G-6-PD dan sepsis)
5) Ikterus yang disertai keadaan sebagai berikut : Berat lahir < 2000 gram, masa
gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi,
trauma lahir pada kepala, hipoglikemia, hiperkarbia, hiperosmolalitas darah.

Pemeriksaan fisik :

1) Warna ikterik seperti kulit jeruk lemon (ikterik sedang) disertai anemia,
mengarah ke ikterik prahepatik.
2) Ikterik warna tua mengarah ke ikterik hepatic atau pascahepatik.

Penegakan diagnosis Ikterus Neonatrum berdasarkan waktu kejadianmya.

Waktu Diagnosis Banding Anjuran Pemeriksaan


Hari ke 1  Penyakit hemolitik (bilirubin  Kadar bilirubin serum berkala,
indirek) HB, Ht, retikulosit, sediaan
 Sferositosis apus darah.
 Anemia hemolitik non sferositosis  Golongan darah ibu/bayi, uji
(misal: defisiensi G6PD) Coomb
 Ikterus obstruktif (bilirubin direk)  Uji tapis defisiensi enzim
 Hepatitis neonatal o.k TORCH  Uji serologi terhadap TORCH
Hari ke-2  Kuning pada bayi prematur  Hitung jenis darah lengkap
s.d ke-5  Kuning fisiologis  Urin mikroskopik & biakan
 Sepsis urin
 Darah ekstravaskular  Pemeriksaan terhadap infeksi
 Polisitemia bakteri
 Sferositosis kongenital  Golongan darah ibu/bayi, uji
Coomb.
Hari ke-5 s.d ke-10  Sepsis  Uji fungsi tiroid
 Kuning karena ASI  Uji tapis enzim G6PD
 Defisiensi G6PD  Gula dalam urin
 Hipotiroidisme  Pemeriksaan terhadap sepsis
 Galaktosemia
 Obat-obatan
Hari ke-10 atau lebih  Atresia biliaris  Urin mikroskopik & biakan
 Hepatitis neonatal urin
 Kista koledokus  Uji serologic terhadap TORCH
 Sepsis (terutama infeksi saluran  Alfa feto protein, alfa-1
kemih) antitriptisan
 Stenosis pilorik  Biopsi hati
 Kolesistografi
 Uji Roe-Bengal
Sumber : Leviene MI, Tudehope D, Thearle J. Essentialis of neonatal medicine.

Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :


1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah
letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan
opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral
dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia
dentalis). Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik)
pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin
darah mencapai sekitar 40 µmol/l.

Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah;
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak
pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai
hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung
tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk)
kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat
dilihat pada ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.

7. Komplikasi

Komplikasi dari hiperbilirubin dapat terjadi Kern Ikterus yaitu suatu kerusakan otak
akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum,
Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada
dasar Ventrikulus IV. Gambaran klinik dari kern ikterus adalah :
- Pada permulaan tidak jelas , yang tampak mata berputar-putar
- Letargi, lemas tidak mau menghisap.
- Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya epistotonus
- Bila bayi hidup, pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
- Dapat terjadi tuli, gangguan bicara dan retardasi mental.
Adapun komplikasi hiperbilirubin adalah :

1. Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)


2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, hiperaktif, bicara lambat, tidak
ada koordinasi otot dan tangisan yang melengking.
8. Diagnosis

Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam


menegakkan diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai
riwayat inkompabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi
sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan
dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko itu antara lain
adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama
hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi
intrauterine, infeksi intranatal, dan lain-lain.

Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari kemudian. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak
berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan
obstruksi empedu warna kuning kulit tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit
dikarenakan ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri. Tanpa mempersoalkan usia
kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti
memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin
langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan
darah, tes Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek,
retikulositosis dan sediaan apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis akibat
nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis, fibrosis kistis
dan sepsis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin indirek normal, maka
mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologis atau patologis.
a. Ikterus fisiologis.
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah 1
– 3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl /24 jam;
dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya mencapai
puncak antara hari ke 2 – 4, dengan kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya
menurun sampai kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai
kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 – 7 kehidupan.
b. Hiperbilirubin patologis.
Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang tinggi ,
berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 – 20 mg/dl pada
bayi aterm. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah akan memperlihatkan
kernikterus pada kadar yanglebihrendah(10–15mg/dl).

9. Diagnosis Banding

Ikterus yang timbul 24 jam pertama kehidupan mungkin akibat eritroblastosis


foetalis, sepsis, rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus yang timbul setelah
hari ke 3 dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septicemia
sebagai penyebabnya. Ikterus yang permulaannya timbul setelah minggu pertama
kehidupan memberi petunjuk adanya septicemia, atresia kongental saluran empedu,
hepatitis serum homolog, rubella, hepatitis herpetika, anemia hemolitik yang
disebabkan oleh obat-obatan dan sebagainya.
Ikterus yang persisten selama bulan pertama kehidupan memberi petunjuk adanya apa
yang dinamakan “inspissated bile syndrome”. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan
nutrisi parenteral total. Kadang bilirubin fisiologis dapat berlangsung berkepanjangan
sampai beberapa minggu seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme
atau stenosis pylorus.

10. Pemeriksaan Penunjang.

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan sesuai dengan waktu timbulnya


ikterus, yaitu :
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan
dapat disusun sbb:
   Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
   Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang
Bakteri)
   Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
   Kadar Bilirubin Serum berkala.
   Darah tepi lengkap (blood smear perifer) untuk menunjukkan sel darah
merah abnormal atau imatur, eritoblastosisi pada penyakit Rh atau sferosis
pada inkompatibilitas ABO.
   Golongan darah ibu dan bayi untuk mengidentifikasi inkompeten ABO.
   Test Coombs pada tali pusat bayi baru lahir
Hasil positif test Coomb indirek membuktikan antibody Rh + anti A dan anti
B dalam darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya
sensitisasi (Rh+, anti A, anti B dari neonatus)
   Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila
perlu.
2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
   Biasanya Ikterus fisiologis.
   Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan
lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi
5mg% per 24 jam.
   Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
   Polisetimia.
   Hemolisis perdarahan tertutup (pendarahan subaponeurosis, pendarahan
Hepar, sub kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu
dilakukan:
   Pemeriksaan darah tepi.
   Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
   Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
   Pemeriksaan lain bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
   Sepsis.
   Dehidrasi dan Asidosis.
   Defisiensi Enzim G6PD.
   Pengaruh obat-obat.
   Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
   Karena ikterus obstruktif.
   Hipotiroidisme
   Breast milk Jaundice.
   Infeksi.
   Hepatitis Neonatal.
   Galaktosemia
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
   Pemeriksaan Bilirubin berkala.
   Pemeriksaan darah tepi.
   Skrining Enzim G6PD.
   Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.

Pemeriksaan penunjang dapat berupa :


1. Laboratorium (Pemeriksan Darah)
a. Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari
14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan
yang tidak fisiologis.
b. Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c. Protein serum total.
2. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan
atresia billiari.
4. Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
5. Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap
galaktosemia
6. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT rasio
dan pemeriksaan C reaktif protein (CRP).
11. Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manajemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari
Hiperbilirubinemia.Pengobatan mempunyai tujuan :
- Menghilangkan Anemia
- Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
- Meningkatkan Badan Serum Albumin
- Menurunkan Serum Bilirubin

Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti,


Infus Albumin dan Therapi Obat, Menyusui Bayi dengan ASI, Terapi Sinar Matahari
1. Fototherapi ( terapi sinar )
Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg%.
Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada
24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu
senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang
mudah larut dalam air sehingga dapt dikeluarkan melalui urin dan faeces. Di
samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin
indirek dalam cairan empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltic usus meningkat
dan bilirubin keluar bersama faeces. Dengan demikian kadar bilirubin akan
menurun.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian terapi sinar adalah :
a. Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam.
b. Lampu yang dipakai tidak melebihi 500 jam. Sebelum digunakan cek apakah
lampu semuanya menyala. Tempelkan pada alat terapi sinar ,penggunaan
yang ke berapa pada bayi itu untuk mengetahui kapan mencapai 500 jam
penggunaan.
c. Pasang label , kapan mulai dan kapan selesainya fototerapi.
d. Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah; telentang
lalu telungkup agar penyinaran berlangsung merata
Komplikasi fototerapi :
a. Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan
peningkatan Insensible Water Loss (IWL) (penguapan cairan). Pada BBLR
kehilangan cairan dapat meningkat 2-3kali lebih besar.
b. Frekuensi defikasi meningkat sebagai meningkatnya bilirubin indirek dalam
cairan empedu dan meningkatnya peristaltik usus.
c. Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar ( berupa
kulit kemerahan)tetapi akan hilang setelah terapi selesai.
d. Gangguan retina bila mata tidak ditutup.
e. Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian lampu
dimatikan,terapi diteruskan. Jika suhu terus naik lampu semua dimatikan
sementara, bayi dikompres dingin dan diberikan ekstra minum.
f. Komplikasi pada gonad yang diduga menimbulkan kemandulan.
2. Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
- Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
- Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
- Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
- Tes Coombs Positif
- Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
- Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
- Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
- Bayi dengan Hidrops saat lahir.
- Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
- Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap
sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
- Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
- Menghilangkan Serum Bilirubin
- Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan
dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera
(kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar
Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
3. Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik
diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum
melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi
pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat mengurangi
Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus
Enterohepatika.
4. Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk
itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat
terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya. Akan
tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada
beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk
jaundice). Di dalam ASI memang ada komponen yang dapat mempengaruhi
kadar bilirubinnya. Sayang, apakah komponen tersebut belum diketahui hingga
saat ini. Yang pasti, kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama dan kedua
setelah bayi lahir dan akan berakhir pada minggu ke-3. Biasanya untuk sementara
ibu tak boleh menyusui bayinya. Setelah kadar bilirubin bayi normal, baru boleh
disusui lagi.
5. Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya
dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur
selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam
keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan
antara jam 7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi
kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif,
sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan
merusak kulit. Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari
karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan
udara harus bersih.
ASUHAN KEPERWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
a. Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama, apakah
sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu tertentu baik dari dokter
maupun yang di beli sendiri, apakah ada riwayat kontak denagn penderiata sakit
kuning, adakah rwayat operasi empedu, adakah riwayat mendapatkan suntikan atau
transfuse darah. Ditemukan adanya riwayat gangguan hemolissi darah
(ketidaksesuaian golongan Rh atau darah ABO), polisitemia, infeksi, hematoma,
gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan dan ASI, ibu menderita
DM.
b. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia,
Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
c. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
d. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan
mempelajari Hiperbilirubinemia .
e. Pola Kebutuhan sehari-hari.
Data dasar klien:
- Aktivitas / istirahat : Latergi, malas
- Sirkulasi : Mungkin pucat, menandakan anemia.
- Eliminasi : Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin lambat, Feses
lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin,Urine gelap pekat, hitam
kecoklatan (sindrom bayi bronze)
- Makanan/cairan : Riwayat perlambatan/makan oral buruk, ebih mungkin disusui
dari pada menyusu botol, Palpasi abdomen dapat menunjukkan perbesaran l
imfa,hepar.
- Neurosensori : Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis dengan inkompatibilitas
Rh berat. Opistetanus dengan kekakuan lengkung punggung, menangis lirih,
aktivitas kejang (tahap krisis).
- Pernafasan : Riwayat afiksia
- Keamanan : Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus , Tampak ikterik pada
awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh, kulit hitam kecoklatan
sebagai efek fototerapi.
- Penyuluhan/Pembelajaran : Faktor keluarga, misal: keturunan etnik, riwayat
hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya, penyakit hepar,
distrasias darah (defisit glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD). Faktor ibu,
mencerna obat-obat (misal: salisilat), inkompatibilitas Rh/ABO. Faktor
penunjang intrapartum, misal: persalinan pratern.
f. Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus terlihat
pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema palmaris, jari tubuh
(clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk pemeriksaan organ hati
(tentang ukuran, tepian permukaan); ditemukan adanya pembesaran limpa
(splenomegali), pelebaran kandung empedu, dan masa abdominal, selaput lender,
kulit nerwarna merah tua, urine pekat warna teh, letargi, hipotonus, reflek
menghisap kurang/lemah, peka rangsang, tremor, kejang, dan tangisan melengking
g. Pemeriksaan Diagnostik
   Golongan darah bayi dan ibu, mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
   Bilirubin total: kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dL kadar
indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dL dalam 24 jam, atau tidak
boleh lebih 20 mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL pada bayi
pratern.
   Darah lengkap: Hb mungkin rendah (< 1 mg/dL) karena hemolisis.
   Meter ikterik transkutan: mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan
bilirubin serum.

2. Pengelompokan Data
a. Data Subjektif
   Riwayat afiksia
   Riwayat trauma lahir
b. Data Objektif
   Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian
distal tubuh.
   Kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi
   Hepatosplenomegali.
   Tahap krisis: epistetanus, aktivitas kejang
   Urine gelap pekat
   Bilirubin total:
- Kadar direk > 1,0 – 1,5 mg/dL
- Kadar indirek > 5 mg/dL dalam 24 jam, atau < 20 mg/dL pada bayi cukup
bulan atau 15 mg/dL pada bayi pratern.
   Protein serum total: < 3,0 g/dL
   Golongan darah bayi dan ibu inkompatibilitas ABI, Rh.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul :
1. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, serta
peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder fototherapi.
2. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi.
3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan perpisahan dan
penghalangan untuk gabung.
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
7. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi) berhubungan
dengan tranfusi tukar.
8. PK : Kern Ikterus

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta peningkatan IWL
dan defikasi sekunder fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
deficit volume cairan dengan kriteria :
- Jumlah intake dan output seimbang
- Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
- Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
a. Kaji reflek hisap bayi
(Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi)
b. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
(R: menjamin keadekuatan intake )
c. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces
(R : mengetahui kecukupan intake )
d. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda dehidrasi )
e. Timbang BB setiap hari
(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).
2. Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.
Intervensi dan rasionalisasi :
a. Observasi suhu tubuh (aksilla) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin)
b. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres dingin
serta ekstra minum
(R : mengurangi pajanan sinar sementara)
c. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi
(R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari hipertermi).
3. Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
gangguan integritas kulit dengan kriteria :
  tidak terjadi decubitus
  Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
a. Kaji warna kulit tiap 8 jam
(R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
b. Ubah posisi setiap 2 jam
(R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama ).
c. Masase daerah yang menonjol
(R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di daerah tersebut).
d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab
(R : mencegah lecet)
e. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun menjadi 7,5
mg% fototerafi dihentikan
(R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan perpisahan dan
penghalangan untuk gabung.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan orang tua
dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan
ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi :
a. Bawa bayi ke ibu untuk disusui
( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )
b. Buka tutup mata saat disusui
(R: untuk stimulasi sosial dengan ibu )
c. Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya
(R: mempererat kontak dan stimulasi sosial ).
d. Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan
( R: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ).
e. Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya
(R: mengurangi beban psikis orangtua)
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua
menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam
perawatan.
Intervensi :
a. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )
b. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya
( R : Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
c. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah
(R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat bayi)
6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
injury akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis, kerusakan jaringan kornea )
Intervensi :
a. Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya
( R : mencegah iritasi yang berlebihan).
b. Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan daerah genetal
serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya usahakan agar
penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir
(R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif )
c. Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam
(R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )
d. Buka penutup mata setiap akan disusukan.
( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu ).
e. Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan
( R : memberi rasa aman pada bayi ).
7. Risiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan tranfusi tukar
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan tranfusi
tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
a. Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan
(R : menjamin keadekuatan akses vaskuler )
b. Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan
( R : mencegah trauma pada vena umbilical ).
c. Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan
(R: mencegah aspirasi )
d. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur
( R : mencegah hipotermi
e. Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang akan ditranfusikan adalah
darah segar
( R : mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang berlebihan 0
f. Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan cairan dan elektrolit, kejang
selama dan sesudah tranfusi
(R : Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi dan dapat melakukan tindakan
lebih dini )
g. Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif
(R : dapat melakukan tindakan segera bila terjadi kegawatan )
8. PK Kern Ikterus
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tanda-tanda
awal kern ikterus bisa dipantau
Intervensi :
a. Observasi tanda-tanda awal Kern Ikterus ( mata berputar, letargi , epistotonus, dll )
b. Kolaborasi dengan dokter bila ada tanda-tanda kern ikterus.

D. APLIKASI DISCHARGE PLANING


Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan hiperbilirubin
(seperti rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua
dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama
perawatan di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan dirumah.
Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik dalam
perawatan bayi hiperbilirubinemia (Waley &Wong, 1994):
1. Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-gangguan
kesadaran seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui menurun.
2. Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk
mempertahankan kelancaran air susu.
3. Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan kadar
bilirubin bayi.
4. Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal
mencegah peningkatan bilirubin.
5. Mengajarkan tentang perawatan kulit :
  Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat.
  Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah sekitar
kulit yang rusak.
  Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan kelembaban
kulit.
  Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.
  Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat mengakibatkan
lecet karena gesekan
  Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti penekanan
yang lama, garukan .
  Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena bab dan
bak.
  Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor kulit,
capilari reffil.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :


1. Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 – 38 C)
2. Perawatan tali pusat / umbilicus
3. Mengganti popok dan pakaian bayi
4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan
sesuatu yang baru
5. Temperatur / suhu
6. Pernapasan
7. Cara menyusui
8. Eliminasi
9. Imunisasi
10. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :
 letargi ( bayi sulit dibangunkan )
 demam ( suhu > 37  C )
 muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)
 diare ( lebih dari 3 x)
 tidak ada nafsu makan.
11. Keamanan
 Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting) yang mudah
dijangkau oleh bayi / balita.
 Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya
 Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.

Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal /
Bayi. EGC. Jakarta

Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama.
Jakarta.

Amin, Hardi. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC
NOC Jilid 2. Mediaction. Jogjakarta

Anda mungkin juga menyukai