Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan suatu keadaan penurunan fungsi


ginjal yang ditandai dengan Glomerular Filtration Rate (GFR) < 60 mL/min/1,73 m2,
atau terdapat penanda kerusakan ginjal, atau keduanya, selama ≥ 3 bulan, bergantung
pada penyebab yang mendasari. Saat GFR < 15 mL/min/1,73 m2, seseorang telah
mengalami keadaan yang dikenal sebagai End Stage Renal Disease (ESRD), dimana
ginjal sudah tidak dapat mempertahankan fungsinya (Webster et al., 2016).
Prevalensi CKD di Amerika meningkat dari 12% hingga 14% antara tahun
1988 hingga 1994 dan 1999 hingga 2004, dan menurun menjadi 13,6% pada tahun
2007 hingga 2012. Sedangkan pada populasi usia ≥ 65 tahun terus meningkat seiring
waktu, dan memuncak hingga 10,7% dalam 2013 (United States Renal Data System,
2015). Prevalensi CKD di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 0,2% dan di Lampung
sebesar 0,3% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).
Chronic Kidney Disease (CKD) diasosiasikan dengan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan, dan pasien dihadapkan dengan banyak masalah kesehatan
terkait dengan CKD. Salah satu komplikasi yang paling umum terjadi pada CKD
adalah anemia yang didefinisikan oleh WHO sebagai konsentrasi Hb < 13,0 g/dL
pada pria dewasa dan < 12,0 g/dL pada wanita. Salah satu penyebab utama terjadinya
anemia pada CKD yaitu penurunan sintesis eritropoietin (EPO), penyebab lain yaitu
inflamasi akut dan kronik, waktu hidup eritrosit yang memendek, defisiensi besi,
kehilangan darah saat proses dialisis, dan pengaruh uremia (Lankhorst dan Wish,
2010).
CKD dapat menyebabkan kelemahan otot dan mengganggu ADL. Jadi,
fisioterapis dapat melakukan intervensi untuk mengurangi atau mengembalikan
aktifitas fungsional normal pada penderita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Ginjal

Ginjal merupakan organ penting pada manusia yang terletak retroperitoneal


pada dinding abdomen, setinggi vertebra T12-L3 masing-masing di sisi kanan
dan kiri columna vertebralis. Secara umum ginjal kanan terletak lebih rendah
dibandingkan dengan ginjal kiri karena adanya lobus hepar dextra (Moore dan
Agur, 2013). Pada tepi medial ginjal yang cekung, terdapat hilum yang
merupakan celah vertikal tempat arteri renalis masuk, serta tempat vena renalis
dan pelvis renalis keluar. Vena renalis terletak ventral dari arteri renalis, dimana
letak arteri renalis berada ventral dari pelvis renalis. Hilum membuka jalan
menuju ruang pada ginjal yaitu sinus renalis yang di dalamnya terdapat kaliks
renalis, pelvis renalis, pembuluh darah, saraf, dan jaringan lemak (Moore dan
Agur, 2013).
Ginjal memiliki dua regio besar: pada bagian superfisial, area yang berwarna
merah muda dikenal sebagai korteks, sedangkan area dalam yang berwarna
merah tua kecokelatan dikenal sebagai medula. Pada medula terdapat pyramis
renalis yang berbentuk kerucut dengan bagian dasar yang lebar menghadap
korteks, dan bagian apeks dikenal sebagai papilla renalis menghadap hilum.
Korteks renalis meluas dari kapsula renalis ke bagian dasar pyramis renalis serta
ruang-ruang diantaranya. Korteks renalis terbagi menjadi cortical zone di bagian
luar dan juxtamedullary zone di bagian dalam. Bagian dari korteks renalis yang
meluas diantara pyramis renalis dikenal sebagai columna renalis (Tortora dan
Derrickson, 2011).
Korteks renalis dan pyramis renalis dikenal sebagai parenkim atau bagian
fungsional dari ginjal. Dalam parenkim terdapat unit fungsional ginjal yang
dikenal sebagai nefron. Filtrat yang dibentuk oleh nefron mengalir menuju
duktus papilaris, dari duktus papilaris menuju kaliks minor dan mayor. Setelah
melewati kaliks mayor, urin akan menuju pelvis renalis dan kemudian keluar
melewati ureter menuju vesica urinaria (Tortora dan Derrickson, 2011).
Salah satu fungsi ginjal yang utama yaitu sebagai alat ekskresi sisa
metabolisme, zat kimia yang tidak berguna untuk tubuh serta metabolit hormon.
Selain itu ginjal juga berperan dalam menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
dalam tubuh (Guyton dan Hall, 2015).
Ginjal memiliki peran penting dalam regulasi tekanan arteri yaitu dengan cara
mengekskresi sejumlah sodium dan air. Organ ini juga berkontribusi dalam
pengaturan tekanan arteri jangka pendek dengan mensekresi hormon dan
substansi vasoaktif (renin) yang berperan dalam pembentukan produk vasoaktif
(angiotensin II). Tidak hanya itu, dalam pengaturan keseimbangan asam basa,
bersama dengan paru-paru dan larutan peyangga tubuh, melalui ekskresi asam
dan regulasi penyimpanan larutan penyangga (Guyton dan Hall, 2015).
Dalam mencapai fungsinya tersebut, ginjal memproduksi urin, melalui tiga
proses dasar. Tahap pertama, dikenal sebagai filtrasi glomerular; air, dan
sebagian besar larutan pada plasma darah melewati dinding kapiler glomerular,
dimana filtrat glomerular selanjutnya masuk ke tubulus renalis. Tahap kedua
yaitu reabsorpsi tubular, pada tahap ini terjadi proses reabsorpsi filtrat glomerular
yang melewati tubulus renalis dan duktus kolektivus, sel-sel tubulus
mereabsorpsi sekitar 99% air dan cairan yang masih berguna untuk tubuh. Cairan
yang direabsorpsi kembali lagi ke sirkulasi melalui kapiler peritubular dan vasa
recta. Proses terakhir dikenal sebagai sekresi tubular, dimana saat cairan
mengalir melalui tubulus renalis dan duktus kolektivus, sel-sel tubulus dan
duktus mensekresikan material lain seperti sisa-sisa metabolisme, obat, dan ion
berlebih ke dalam cairan (Tortora dan Derrickson, 2011).
Fibroblast peritubular pada korteks ginjal merupakan tempat utama
diproduksinya eritropoietin (Jelkman, 2011). Eritropoietin merupakan hormon
yang menstimulasi produksi sel darah merah oleh sel stem hematopoiesis pada
sumsum tulang. Stimulus untuk eritropoietin salah satunya yaitu hipoksia
(Guyton dan Hall, 2015). Ginjal memproduksi bentuk aktif dari vitamin D,
1,25-dihydroxyvitamin D3 (calcitriol). Calcitriol berperan dalam penyimpanan
kalsium pada tulang dan reabsorpsi kalsium pada traktus gastrointestinal. Peran
penting lain dari ginjal yaitu dalam sintesis glukosa dari asam amino dan
prekursor lain selama puasa, yang dikenal sebagai proses glukoneogenesis
(Guyton dan Hall, 2015).

B. Patologi
1. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) adalah keadaan penurunan fungsi ginjal
yang ditunjukkan dengan penurunan GFR kurang dari 60 mL/min/1,73m2 dan
penanda kerusakan ginjal, atau salah satunya, berdasarkan penyebab yang
mendasarinya (Webster et al., 2016).
Suatu keadaan dapat dikatakan sebagai CKD apabila memenuhi kriteria
berikut :
1. Kerusakan ginjal selama ≥ 3 bulan, yang didefinisikan dengan
kelainan struktural atau fungsional pada ginjal, dengan atau
tanpa penurunan GFR, yang bermanifestasi melalui:
a. Kelainan patologis; atau
b. Abnormalitas pada komposisi darah atau urin, atau abnormalitas pada tes
pencitraan.
2. GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal (Suwitra, 2014).

2. Etiologi
Adapun penyebab terjadinya CKD yaitu :
 Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
 Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
 Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
 Gangguan jaringan penyambungan (lupus eritematosus
sistemik,poliarteritis nodusa,sklerosis sistemik progresif)
 Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal)
 Penyakit metabolik (DM, gout, Hiperparatiroidisme)
 Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal
 Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas : kalkuli
neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah :
hipertropi prostat, striktur uretra,anomali kongenital pada leher kandung
kemih dan uretra.

3. Tanda dan Gejala


Menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut :
a. Kardiovaskuler : hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner,
perikarditis pitting edema (kaki,tangan,sacrum), edema periorbital
friction rub pericardial, pembesaran vena leher.
b. Integumen : warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering bersisik,
pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
c. Pulmoner : krekels, sputum kental dan liat, nafas dangkal, pernafasan
kussmaul
d. Gastrointestinal : nafas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan
mulut, anoreksia, mual, muntah, konstipasi dan diare, perdarahan
saluran cerna.
e. Neurologi : kelemahan dan keleyihan, konfusi/perubahan tingkat
kesadaran, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas
pada telapak kaki, perubahan perilaku.
f. Muskuloskeletal : kram otot, kekuatan otot hilang,kelemahan pada tungkai
Fraktur tulang, Foot drop
g. Reproduktif : Amenore, Atrofi testekuler.

4. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi


Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan
GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi
sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi
lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai
poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah
banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya
gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas
kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada
tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15
ml/menit atau lebih rendah itu. (Barbara C Long, 1996, 368)

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang


normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia
dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik
setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).

Klasifikasi gagal ginjal kronik dibagi menjadi 5 stadium :

 Stadium 1, bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan


dikeluarkan lewat ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal
hipertrofi dan hiperfiltrasi. Pasien akan mengalami poliuria. Perubahan ini
diyakini dapat menyebabkan glomerulusklerosis fokal, terdiri dari
penebalan difus matriks mesangeal dengan bahan eosinofilik disertai
penebalan membran basalin kapiler.
 Stadium 2, insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah
rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum
meningkat.
 Stadium 3, glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa kerusakan.
Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap, dan
terjadi hipertensi.
 Stadium 4, ditandai dengan proteinuria dan penurunan GFR. Retinopati
dan hipertensi hampir selalu ditemui.
 Stadium 5, adalah stadium akhir, ditandai dengan peningkatan BUN dan
kreatinin plasma disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat
C. Pendekatan Intervensi Fisioterapi
1. Breathing Exercise
Dilakukan untuk memperbaiki fungsi otot-otot respirasi, meningkatkan
ventilasi dan oksigenas
2. Positioning
Mengubah posisi pasien agar tidak terjadi dekubitus dan komplikasi lain
3. Aktif movement exercise
Latihan aktif merupakan gerakan murni yang dilakukan oleh otot-otot
anggota tubuh pasien itu sendiri.
4. Edukasi
Mengedukasi kepada pasien dan keluarganya tentang latihan yang
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan gerak dan fungsi meskipun
tanpa pengawasan fisioterapi. Sehingga latihan-latihan ini dapat dilakukan
di rumah
BAB III
PROSES FISIOTERAPI
A. Identitas Umum Pasien
Nama : Ny.Ln
Umur : 33 th
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Tukang jahit
Alamat : Jln. Angkasa

B. Anamnesis Khusus
Keluhan yang dirasakan : Lemas
Kapan keluhan mulai dirasakan : sejak 3 bulan yang lalu
Penyebab keluhan : tidak diketahui
Pernah diopname : pernah
Konsumsi obat-obatan : iya
Riwayat penyakit penyerta : Tumor rahim
Riwayat penyakit keluarga : -
Aktivitas yang tidak dapat dilakukan : tidak mampu melakukan aktivitas sehari-
hari karena lemas.
Riwayat penyakit sekarang : dialami sejak 3 bulan yang lalu. Namun dirasakan
memberat satu hari sebelum masuk di rumah sakit. pasien tampak pucat. Riwayat
dilakukan hemodialisis namun tidak tuntas.
Diagnosis dokter : Chronic Kidney Diseases

PEMERIKSAAN FISIK
A. Pengukuran vital sign
 Tekanan darah : 165/94 mmHg
 Laju napas : 22x / menit
 Denyut Nadi : 85 x/menit
 Suhu : 37.20
B. Inspeksi/Observasi
Inspeksi statis :
- tingkat kesadaran pasien delirium
-wajah pasien tampak pucat dan lemas
- pola napas normal
- postur tubuh skoliosis
Inspeksi dinamis :
-pasien kesulitan berdiri dan berjalan secara mandiri
-pengembangan dada sempurna dan simetris
C. Palpasi : Exremitas hangat

D. Auskultasi : vesicular (normal)

E. Perkusi : sonor (normal)

F. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi


 Tes MMT
Nilai 2 ( mampu bergerak penuh tanpa melawan gravitasi)
 Tes Circumferential
Adanya atropi pada tungkai
 Tes Barthel index
Nilai 8 (ketergantungan berat

G. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi (sesuai konsep ICF)


Problematika Fisioterapi :

Impairment (Body structure and function)


 Fatigue
Acivity Limitation
 Tidak mampu berdiri dan berjalan karena seluruh tubuh lemas
 Tidak mampu makan dan buang air secara mandiri
Participation Restriction
Terhambat dalam melakukan aktivitas harian / ADL / transfer dan
ambulasi/ IADL , tidak mampu bekerja seperti biasa dan bersosialisasi dan
berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat.

Diagnosa Fisioterapi : Gangguan Fungsional et causa Chronic Kidney


Diseases (CKD)

H. Rencana Intervensi Fisioterapi


1. Breathing Exercise
2. Posisioning
3. Edukasi
4. Aktif movement exercise

I. Program Intervensi Fisioterapi


1. Breathing exercise
Tujuan : memperbaiki ventilasi,memperbaiki pola nafas abnormal dan tidak
efektif,memperbaiki ventilasi, mengajarkan pasien bagaimana menghadapi
serangan sesak nafas.
 Posisi pasien: Sitting

 Tekhnik : Ajarkan pasien menarik nafas dalam hitungan 1,2 kemudian

hembuskan perlahan-lahan dalm hitungan3,4,5,6 lewat mulut.

2. Posisioning
Tujuan: untuk mengurangi terjadinya sesak nafas dan mencegah terjadinya
dekubitus
3. Edukasi
Tujuan : Mengajarkan pasien teknik latihan
4. Aktif movement exercise
Tujuan: Mempertahankan kekuatan otot, latihan koordinasi dan
mempertahankan mobilitas sendi.
 Posisi pasien : Lying dan dalam keadaan senyaman mungkin
 Tekhnik pelaksanaan
- Fleksi dan Ekstensi Knee 5x repetisi
- Eksorotasi dan Endorotasi knee 5x repetisi
- Fleksi Hip 5x repetisi
- Bengkok dan luruskan jari-jari dan ankle 5x repetisi
- Bergantian kaki inversi dan eversi 5x repetisi

J. Evaluasi Fisioterapi
-badan pasien lebih rileks dibanding sebelum melakukan terapi
-Pasien sudah mulai bisa berdiri dan berjalan dengan mandiri

Anda mungkin juga menyukai