Anda di halaman 1dari 4

BAHAN MATERI I

Sejarah Ringkas TJM (Traditional Japanese Medicine) Pengetahuan tentang akupunktur,


moksibusi dan herba sampai ke Jepang pada tahun 562 M yang dibawa oleh seorang ahli
pengobatan Cina yang bernama Zhicong (Chiso). Di tahun 701 M sistem pengobatan
tradisional tersebut dilegalkan dan diregulasi oleh Kekaisaran Jepang. Pada tahun 718 M
berdirilah sekolah pengobatan pertama dimana pembelajaran akupunktur memakan waktu
belajar selama 7 tahun, sedangkan pembelajaran pijat ‘anma’ memakan 3 tahun. Hingga
pertengahan abad 9 pengobatan Cina berasimilasi dengan baik di Jepang sampai akhirnya ahli
pengobatan tradisional Jepang mengembangkan tekniknya sendiri. Di tahun 984 M,
Kekaisaran Jepang memerintahkan Yasuyori Tamba untuk mengkompilasi dan
mempublikasikan sebuah buku pengobatan tradisional dalam sebuah buku yang disebut ‘I
Shim Po’. Lalu kemudian ilmu pengobatan mengalami pasang surut hingga abad ke 16 akibat
kondisi sosial politik di Jepang. Di akhir abad ke 17 ditemukanlah ‘Shinkan (insertion tube)’
oleh Waichi Sugiyama seorang akupunkturis buta (saat ini di Jepang sekitar 35-40%
akupunkturis berlisensi adalah penyandang tuna netra). Shinkan sebagai alat bantu
akupunktur menjadi begitu populer di Jepang, hingga Waichi Sugiyama disebut sebagai
bapaknya akupunktur Jepang. Selama periode Edo hingga restorasi Meiji (abad ke 18 hingga
19), pengobatan tradisional Jepang mengalami perubahan yang cukup dramatis, dimana ilmu
pengobatan barat (western medicine) mulai mempengaruhi mendominasi aktivitas pelayanan
kesehatan di seluruh Jepang. Tahun 1883 munculah dekrit bahwa pelayanan pengobatan
termasuk pengobatan tradisional hanya boleh dilakukan oleh praktisi kesehatan yang telah
menempuh ilmu pengobatan barat. Namun demikian di tahun 1895 dekrit tersebut sedikit
‘dilonggarkan’, pelayanan akupunktur dan moksibusi boleh dilakukan oleh akupunkturis
berlisensi tetapi pengobatan herba (kampo) tetap harus dilakukan oleh seorang dokter yang
berpendidikan barat. Setelah kalah di Perang Dunia ke 2 di tahun 1945, Jenderal Douglas
McArthur melarang semua pengobatan tradisional di Jepang, namum hal ini mendapat protes
keras dari para terapis tradisional Jepang terutama akupunkturis. Untuk menengahi masalah
ini, pemerintah Jepang akhirnya merancang pendidikan tinggi untuk pengobatan tradisional
(setingkat Universitas) yang tentu saja kurikulumnya sangat dipengaruhi oleh pola
pendidikan barat. Selama 1400 tahun perkembangan pengobatan tradisional di Jepang seperti
akupunktur, moksibusi, kampo, anma, shiatsu dan lainnya telah mengalami evolusi terutama
teknik-teknik yang dikembangkan secara individu maupun secara bersama-sama. Sumber
bacaan : Japanese Acupuncture. Stephen Birch & Junko Ida. Paradigm Publication. 1998.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/budiaribowo/sejarah-pengobatan-tradisional-
jepang_553013f06ea8341f1e8b45c1

BAHAN MATERI II
Pengobatan tradisional Cina, Ayurveda dari India dan jamu dari Indonesia sudah seringkali kita
dengar. Belum banyak orang mendengar tentang Kampo Medicine, yaitu pengobatan tradisional
Jepang, yang sejak abad ke 20 telah mengalami perubahan konsep agar dapat dipakai
berdampingan dengan sistem pengobatan modern yang maju pesat. Perkembangan yang dialami
bisa dijadikan bahan pemikiran dalam pelaksanaan program sertifikasi jamu bagi dokter di Indonesia.
Siang itu seorang gadis berusia 21 tahun datang ke rumah sakit Toyama, Jepang, untuk menemui
dokter yang berpraktek kampo, atau dalam bahasa Inggeris disebut Japanese oriental medicine.
Kepada dokter yang seorang professor itu, ia mengeluhkan tentang gatal pada daerah tangan yang
menyerangnya sejak beberapa waktu belakangan. Walaupun berlatar belakang pendidikan
kedokteran barat, namun dokter itu sudah melakukan praktek pengobatan dengan Kampo selama
25 tahun. Dengan penuh kesabaran dan lemah lembut, ia memeriksa pasien sambil mengajukan
beberapa pertanyaan. Pemeriksaan denyut nadi, tekanan darah, mata untuk menegakkan diagnose
dilaksanakan berdasarkan pendekatan kedokteran barat, sementara untuk terapi digunakan obat
Kampo. Melalui tanya jawab, dokter berkesimpulan bahwa gatal-gatal timbul karena sang gadis
sedang mengalami stress menjelang ujian masuk perguruan tinggi yang sudah tinggal beberapa hari
lagi. Pemeriksaan berakhir setelah dokter menuliskan resep obat Kampo yang harus ditebus di
apotik rumah sakit itu juga.

Ini adalah sekelumit gambaran tentang praktek integrasi pengobatan modern dan tradisional Kampo
yang dilaksanakan di sebuah rumah sakit modern di Jepang, yaitu Toyama Medical and
Pharmaceutical University. Integrasi itu sendiri didasarkan atas kebijakan pemerintah Jepang untuk
melestarikan penggunaan sistem pengobatan tradisional mereka, terutama sejak sistem itu diterima
di masyarakat. Sejak kebijakan itu berlaku, obat-obatan Kampo yang diresepkan dokter memperoleh
asuransi kesehatan. Saat ini sudah terdapat lebih kurang 120 obat Kampo yang tersedia di apotik
dalam bentuk kombinasi ekstrak beberapa jenis tanaman obat. Hampir semua jenis tanaman obat
yang digunakan telah mendapatkan asuransi, dan kondisi itu secara langsung memacu gairah
penelitian, yang hasilnya diharapkan dapat memberikan dukungan ilmiah bagi pemakaian obat
Kampo. Dampak positipnya adalah, secara perlahan tapi pasti terjadi peningkatan kepercayaan
kalangan dokter terhadap obat tradisional Jepang dan selanjutnya mereka memutuskan
menerapkan sistem kombinasi dalam praktek.

Pada saat ini, Toyama Medical and Pharmaceutical University sudah mempunyai Departemen
Pengobatan Kampo ( Department of Japanese – Oriental Medicine) yang rata-rata dikunjungi 90
pasien setiap harinya. Secara umum pasien itu terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu yang
menderita penyakit yang sudah tidak ada obat modern yang efektif dan kelompok yang mengalami
kesulitan menggunakan obat modern. Rasa tidak enak di daerah dada yang sulit dilacak
penyebabnya, penurunan berat badan yang tidak dapat dipastikan penyebabnya, sirosis hati, gagal
ginjal kronik, kerusakan paru-paru kronik adalah contoh gangguan kesehatan yang sulit dicarikan
pengobatan modern yang efektif. Hipersensitivitas dan efek samping obat, gangguan kesehatan yang
sangat kompleks sehingga pengobatan untuk satu organ akan mengganggu organ lain, hilangnya
kepercayaan terhadap obat modern, kelainan yang berhubungan dengan body dan spirit adalah
contoh gangguan kesehatan yang dialami oleh orang yang mengalami kesulitan menggunakan obat
modern.

Pada pelayanan kesehatan primer, saat ini Kampo medicine memegang peranan penting. Disamping
itu, obat Kampo juga dipakai untuk pengobatan penunjang pada kasus-kasus life-style relating
diseases, seperti hipertensi, flu, sakit kepala, artritis, neuralgia, asma bronkiale, hepatitis kronik,
diabetes mellitus, gangguan ginjal dan lain-lain.

Dari lebih kurang 260.000 orang dokter di Jepang, hanya 3500 diantaranya yang mempunyai
spesialisasi pengobatan Kampo. Mereka yang sudah mempunyai keahlian itu memang menggunakan
Kampo sebagai obat utama pada praktek sehari-hari. Sementara, dokter lain hanya memakainya
dalam situasi yang sangat mendesak, seperti hepatitis kronik. Survei tahun 2001 menyebutkan 70%
dokter di Jepang menggunakan formula Kampo pada praktek harian. Sampai saat ini hanya Toyama
Medical and Pharmaceutical University saja yang memasukkan mata ajaran Kampo medicine ke
dalam sistem pendidikan mereka. Hal ini dipandang perlu, mengingat praktek pengobatan Kampo
hanya dapat dilakukan secara optimal melalui pemahaman yang sangat dalam terhadap konsep
dasarnya. Materi yang diberikan pada pendidikan kedokteran S-1 itu meliputi sejarah pengobatan
Jepang dan Cina, peran pengobatan tradisional Kampo pada perawatan kesehatan di Jepang, konsep
Ki sebagai energi vital, konsep Yin-Yang, akupunktur dan moksibusi, resep Kampo, prosedur diagnose
Kampo dan pelatihan klinik langsung pada pasien di klinik. Semua materi itu dikemas dalam 27 jam
pelajaran. Untuk dokter yang tidak mendapatkan pelajaran Kampo, mereka mengambil kursus yang
khusus diadakan oleh ahli Kampo yang memperoleh pengetahuannya secara turun temurun. Praktek
pendidikan seperti itu memang berbeda dengan sistem pendidikan kedokteran di Cina dan Korea,
dimana pendidikan untuk dokter pengobatan tradisional dan pengobatan Barat diadakan di sekolah
yang berbeda. Jadi, di Cina dan Korea dijumpai dokter khusus obat tradisional dan dokter obat
modern. Sementara itu, Pemerintah Jepang hanya memberikan ijin praktek dokter bagi mereka yang
lulus pendidikan dokter saja, yaitu pendidikan dokter barat. Prosedur klinik dan pengobatan diatur
secara ketat dalam praktek pengobatan di Jepang, dan oleh karena itu pemakaian obat sintetik dan
resep Kampo secara bersamaan dalam kombinasi harus mengikuti petunjuk yang ditetapkan Badan
Asuransi Nasional.

Periode transisi

Apa yang mendasari sikap Pemerintah Jepang untuk mengikutsertakan Pengobatan


tradisional dalam sistem kesehatan primer? Semua berawal dari Sidang Umum ke 23 Kongres
Kedokteran Jepang ( Japan Medical Congress) di Kyoto tahun 1991 yang memberikan catatan
penting bagi perkembangan pengobatan modern dan timur di Jepang. Sidang yang bertema utama “
The Transition Periode of Medicine” itu mencoba membahas keberhasilan penanganan kesehatan,
problema baru yang muncul dan sikap yang harus diambil selanjutnya. Pembahasan mengenai hal
itu dirasakan perlu setelah keberhasilan dunia kedokteran modern mengatasi penyebaran berbagai
jenis penyakit menular yang mengancam jiwa manusia serta penemuan berbagai jenis vaksin.
Ternyata, keberhasilan itu bukan akhir dari segalanya, karena manusia dihadapkan pada masalah
kesehatan yang lebih sulit diatasi secara klinis, seperti tumor ganas, auto-immune diseases,
gangguan atau penyakit pada organ hati yang semakin rumit, penyakit pada saluran napas, dan
penyakit pada usia tua. Patologi penyakit itu sedemikian rumit sehingga tidak mudah untuk
menemukan satu penyebab saja, sehingga cara pengobatan yang sudah diketahui sebelumnya tidak
dapat lagi mengatasi masalah.

Keadaan inilah yang melahirkan peranan baru dari Kampo Medicine. Melalui Kampo, jiwa
dan raga manusia diobati secara bersamaan, dengan mempertimbangkan semua faktor subyektif
pasien. Ini karena seperti filosofi yang dianutnya, maka gangguan kesehatan sebenarnya merupakan
akibat dari terjadinya disharmoni dalam keseimbangan di dalam tubuh. Prinsip ini tidak berbeda dari
filosofi pengobatan tradisional Cina, dimana dikatakan bahwa penyakit timbul sebagai akibat
terganggungnya keseimbangan yin – yang.

Namun, ternyata pengobatan Kampo tidak mempunyai metode yang dapat dipakai untuk melakukan
deteksi awal kanker atau identifikasi gangguan struktur darah yang memang tidak dapat diuraikan
sendiri oleh seorang pasien. Ini berarti bahwa pengobatan itu tidak lengkap. Keadaan inilah yang
melahirkan ilmu pengobatan Kampo dengan pendekatan baru, yaitu dengan mengkombinasikannya
dengan sistem pengobatan Barat untuk saling mengisi kekurangan. Konsep itu langsung
mendapatkan respons dari Kementerian Pendidikan dan lahirlah kurikulum pendidikan kampo di
Toyama.

Sejak dilaksanakannya praktek pengobatan dengan sistem pendekatan baru, dokter yang melakukan
praktek itu mempunyai kekayaan berupa pengalaman penggunaan obat Kampo secara langsung
pada penderita. Pengalaman penanganan pasien dengan variasi masalah kesehatan itu sangat
berharga sebagai bahan kajian dokter. Seorang professor yang sudah berpraktek dengan Kampo
selama 25 tahun, bahkan mempunyai pengalaman pemakaian sebuah formula Kampo untuk dua
penyakit berbeda dengan gejala yang sama. Catatan medis pasien, termasuk data laboratorium
tercatat dengan sangat rapi. Prof. Katsutoshi Terasawa, seorang guru besar pada Faculty of
Medicine, Toyama Medical and Pharmaceutical University, telah menuliskan pengalaman pemakaian
obat Kampo dalam sebuah buku yang sekarang dipakai sebagai acuan dokter.

Pengalaman dan sikap pemerintah Jepang terhadap pengobatan asli mereka hendaknya menjadi
referensi bagi negara lain dalam mencapai cita-cita mewujudkan masyarakat sehat jasmaniah dan
rohaniah

Dr. Mangestuti Agil, Apt., MS

Staf pengajar pada Departemen Farmakognosi dan Fitokimia

Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Anda mungkin juga menyukai