Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM Makassar, 09 November 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFERAT

HIV

PENYUSUN :
Aprilia Mappasanda
111 2017 2033

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2018

1
DAFTAR ISI
Halaman

Sampul………………………………………………………………….... 1

Daftar Isi ………………………………………………………................. 2

BAB 1 PENDAHULUAN………………..……………………………… 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………...... 5

2.1. HIV Human Immunodeficiency Virus …………………. 5

2.1.1. Definisi….………………………………………. 5

2.1.2. Epidemiologi……………………………………. 5

2.1.3. Faktor Risiko…………………………………….. 5

2.1.4. Patogenesis……….……………………………… 6

2.1.5. Gejala Klinis……………………………………… 9

2.1.6. Terapi…………………………………………….. 14

BAB 4 PENUTUP………………………………………………………. 25

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 26

2
BAB I
PENDAHULUAN

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang


menyerang / menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan
tubuh manusia. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah
sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi oleh HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh maka orang
tersebut sangat mudah terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi oportunistik)
yang sering berakibat fatal. Pengidap HIV memerlukan pengobatan dengan
Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV didalam tubuh agar
tidak masuk kedalam stadium AIDS, sedangkan pengidap AIDS memerlukan
pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai
komplikasinya. Di Indonesia HIV AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali
pada tahun 1987. Hingga saat ini HIV AIDS sudah menyebar di 386
kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia.1
Infeksi oportunistik atau infeksi yang disebabkan oleh immunosupresi
pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas.
Infeksi oportunistik terus menyebabkan morbiditas dan mortalitas meskipun telah
tersedia ART. Infeksi oportunistik mempunyai dampak besar terhadap perjalanan
penyakit AIDS. Dampak mikro dari infeksi oportunistik berupa penyakit sistemik
sesuai jenis infeksi yang terjadi, misalnya infeksi Mycrobacterium tuberculosis
penyebab infeksi tuberkulosis paru, Candida spesies penyebab infeksi kandidiasis
albikan, Virus Herpes Hominis penyebab herpes simpleks dan lain-lain.
Sedangkan, dampak makro dari infeksi oportunistik adalah kematian dan
meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS tiap tahun. Hal ini dikarenakan infeksi
oportunistik yang tidak ditangani dengan tepat dapat menjadi port de exit virus
untuk keluar dari tubuh penderita dan menginfeksi individu lain yang secara
langsung kontak dengan penderita.2

3
Proses penurunan sistem imun tubuh pasien HIV/AIDS dapat
memudahkan infeksi sekunder masuk ke dalam tubuh. Mikroorganisme yang
seharusnya menjadi perlindungan tubuh dapat menginfeksi tubuh sendiri.
Sehingga pasien jatuh dalam kondisi sakit bukan karena infeksi primer virus HIV
namun akibat infeksi sekunder lain seperti infeksi bakteri, virus, protozoa, atau
virus lain.2

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. HIV (Human Immunodeficiency Virus)


1.1 Definisi atau pengertian HIV
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus
yang menyerang / menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan
turunnya kekebalan tubuh manusia. AIDS atau Acquired Immune
Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul
karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV.
Akibat menurunnya kekebalan tubuh maka orang tersebut sangat mudah
terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi oportunistik). HIV adalah
anggota dari genus lentivirus, bagian dari keluarga retroviridae yang
ditandai dengan periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipid dari
host-sel awal yang mengelilingi sebuah pusat protein/RNA. HIV-1 dan
HIV-2 adalah dua sepsis HIV yang menginfeksi manusia. HIV-1 adalah
yang lebih virulent dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari
kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia sedangkan HIV-2 kebanyakan
masih terkurung di Afrika Barat.1

1.2 Epidemiologi HIV

Dari semua wilayah di dunia, sub-Sahara Afrika adalah yang


paling sering terjangkit HIV, yang mengandung sekitar 70% dari orang
yang hidup dengan HIV. Sebagian besar negara di Asia tidak melihat
ledakan epidemi pada masyarakat umum sampai sekarang tapi penggunaan
narkoba dan pekerja seks mula meningkat dan menghancurkan harapan
demikian.1

1.3 Risiko Penularan dan Transmisi

Penularan HIV membutuhkan kontak dengan cairan tubuh


khususya darah, air mani, cairan vagina, air susu ibu, air liur, atau eksudat
dari luka atau kulit dan mukosa yang mengandungi virion bebas atau sel

5
yang terinfeksi. Transmisi umumnya oleh perpindahan cairan tubuh secara
langsung melalui hubungan seksual, berbagi jarum yang terkontaminasi
darah, persalinan, menyusui dan prosedur medis seperti transfusi dan
paparan instrumen yang terkontaminasi.1

1.4 Patogenesis HIV

Gambar 1. Patofisiologi penularan virus HIV

Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit


T helper yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah
pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung
dalam menginduksi fungsi imunologik. Menurun atau menghilangnya
sistem imunitas seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel yang
berperan membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel
Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus
masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian dengan
enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA
(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic
Acid) sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung
bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel
dan berlangsung seumur hidup.1,2,3

6
Perjalanan infeksi HIV dapat digolongkan menjadi 3 fase yaitu3 :
1. Fase infeksi akut
Interaksi antara gp120 dan reseptor CD4+ pada limfosit T
menyebabkan terjadinya infeksi virus dengan reseptor kemokin
(CXCR4 bertindak sebagai ko-reseptor spesifik pada jalur tropik sel T
dan CCR5 pada jalur tropik makrofag yang juga terdapat di membran
sel target virus). Hal ini menyebabkan terjadi perubahan konfirmasi
dalam protein amplop virus yang mempengaruhi gp41 sehingga peptida
fusi menembus sel dan menyebabkan membran fusion. Proses
selanjutnya yaitu internalisasi (masuknya inti nukleokapsid kedalam
sitoplasma sel target). Proses ini dinamakan sel teinfeksi HIV.1
Pada fase ini, HIV bereplikasi sangat cepat hingga membentuk
virion baru dan menimbulkan viremia (±4-11 hari). Kondisi ini bisa di
deteksi setelah 8-12 minggu. Viremia menimbulkan sindroma infeksi
akut (Sindrom mononukleosis akut) berlangsung sekitar 3-6 minggu
setelah infeksi primer dengan gejala umum berupa demam, faringitis,
limfadenopati, atralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala, mual,
muntah, diare, anoreksia, dan penurunan berat badan.3
HIV mempunyai topisme dalam beberapa sel target, khususnya sel
yang mengekspresikann reseptor CD4+ yaitu sistem saraf (limfosit B,
limfosit T, monosit, dan makrofag), serta kulit (sel langerhans,
fibroblast, dan denritik). Penurunan jumlah limfosit T-CD4+ dapat
melalui beberapa mekanisme yaitu: 3

a. Kematian sel karena hilangnya integritas membran plasma akibat


penonjolan dan perobekan oleh virion.
b. Syncytia formation, yaitu terjadinya fusi antar membran sel yang
terinfeksi HIV dengan limfosit T-CD4+ yang tidak terinfeksi.
c. Disfungsi respon imun humoral dan seluler.
d. Autoimun, dengan cara pembentukan autoantibodi untuk
mengeliminasi sel yang terinfeksi.

7
e. Apoptosis, akbat pengikatan gp120 dengan reseptor CD4+ limfosit T
yang menghasilkan sinyal apoptosis.
Selama periode awal setelah infeksi primer, ada penyebarluasan
virus dan penurunan tajam dalam jumlah CD4+ T sel dalam darah
perifer secara signifikan namun sekitar 1 minggu – 3 bulan setelah
infeksi terjadi penurunan viremia dalam plasma sehingga terjadi
rebound CD4+.1
2. Fase infeksi laten
Adanya pembentukan respon imun spesifik HIV dan
terperangkapnya virus di dalam sel dendritik folikuler (di pusat
germinativum limfe) menyebabkan virion dapat dikendalikan (memasuki
fase laten) dan Sindrom mononukleosis akut akan hilang. Pada fase ini
virion berakumulasi di kelenjar limfe namun tetap bereplikasi. Hal ini
menyebabkan jarang ditemukan virion di dalam plasma sehingga terjadi
rebound CD4+ dan dapat mencapai keadaan normal. Fase ini dapat
berlangsung selama 8-10 tahun. Biasanya pada akhir masa fase laten mulai
timbul gejala klinis seperti demam, berkeringat di malam hari, penurunan
berat badan, diare, lesi pada mukosa dan kulit berulang. Gejala-gejala ini
merupakan awal dari infeksi oportunistik atau neoplasma.3

3. Fase infeksi kronik


Fase tahap lanjut, virus yang sudah bereplikasi di kelenjar limfe
akan kembali ke darah sehingga mengakibatkan jumlah virion di sirkulasi
meningkat pesat. Respon imun sudah tidak mampu membendung invasi
dari HIV dan virus yang ditemukan pada pasien dengan tahap akhir
penyakit ini biasanya jauh lebih virulen dan cytopathic dari strain virus
yang ditemukan pada awal infeksi. Sering ditemukan pergesetan tropik
makrofag strain (M-tropik) dan HIV-1 untuk varian limfosit –tropik (T-
tropik) menemani perkembangan AIDS.3

8
Gambar 2. Perjalanan penyakit pada infeksi HIV yang tidak diobati.

1.5 Gejala Stadium Klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV) /


Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS)

Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan


klasifikasi klinis WHO atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk
keperluan surveilans epidemiologi dibuat apabila menunjukkan tes HIV
positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor dan satu
gejala minor.4

Gejala Mayor Gejala Minor


Berat badan menurun >10% dalam 1 Batuk menetap >1 bulan
bulan Dermatitis generalisata
Diare kronik berlangsung >1 bulan Herpes Zooster multi-segmental dan berulang
Demam berkepanjangan >1 bulan Kandidiasis orofaringeal
Penurunan kesadaran Herpes simpleks kronis progresif
Demensia/HIV ensefalopati Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin
Retinitis Cytomegalovirus

9
Menurut WHO, stadium klinis HIV/AIDS dibedakan menjadi:
Stadium Gejala Klinis
- Tidak ada penurunan berat badan
I asimptomatik - Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati
Generalisata Persisten
- Penurunan berat badan <10%
- ISPA berulang (sinusitis, otitis media, tonsilitis,
dan faringitis).
- Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir
II sakit ringan - Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis)
- Ulkus mulut berulang
- Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
- Dermatitis Seboroik
- Infeksi jamur pada kuku
Kondisi berdasarkan klinis :
- Penurunan berat badan >10%
- Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya
>1 bulan
- Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia
III sakit sedang - TB Paru dalam 1 tahun terakhir
- Limfadenitis TB
- Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia,
Piomiosis
Berdasarkan penunjang :
- Anemia(<8gr/dl), atau trombositopeni Kronik
(<50000 per liter)
- Sindroma Wasting (HIV)
- Pneumoni Pneumocystis
- Pneumonia Bakterial yang berat berulang dalam
6 bulan
- Kandidiasis esofagus
- Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan
- Limfoma
- Sarkoma Kaposi
IV sakit berat (AIDS) - Kanker Serviks yang invasif
- Retinitis CMV
- TB Ekstra paru
- Toksoplasmosis
- Ensefalopati HIV
- Meningitis Kriptokokus
- Infeksi mikobakteria non-TB meluas
- Lekoensefalopati multifokal progresif
- Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas

Tabel 1. Stadium Klinis HIV/AIDS Menurut WHO 4

10
Gejala HIV akan berbeda dari orang ke orang dan juga akan tergantung
pada tahap penyakit. Seseorang tidak akan mengalami perubahan dalam
kesehatan mereka secara segera setelah terinfeksi. Indikasi pertama infeksi
adalah seperti gejala flu, ruam atau kelenjar yang membengkak dan sering
dianggap sebagai gejala minor. Ada empat tahapan yang berbeda pada HIV
dengan gejala yang berbeda. 4
a) HIV-Akut
Beberapa minggu setelah terpapar virus HIV, beberapa orang mengalami
penyakit yang disebut sindrom HIV akut. Indikator fase pertama infeksi
meliputi demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar
getah bening, kelelahan, hilangnya nafsu makan, diare, ruam kulit, rasa
mual dan nyeri otot. Ini adalah gejala awal dan akan terjadi dalam
beberapa minggu pertama setelah terinfeksi virus. Selama tahap awal,
sistem kekebalan tubuh mulai memproduksi antibodi HIV dan limfosit
sitotoksik sebagai respons terhadap HIV.4
b) HIV-Asimtomatik
Tahap kedua dari penyakit ini dikenal sebagai asimtomatik. Ini karena,
selama pasien mengambil obatan yang dipreskripsi, mereka bebas dari
gejala. Tingkat HIV juga turun ke tingkat yang lebih rendah. Pasien harus
sedar bahwa meskipun gejala-gejala tidak lagi hadir, virus ini masih
berkembang biak dan menghancurkan sel-sel kekebalan tubuh pasien dan
obat-obatan harus diambil secara konsisten untuk memaksimalkan kualitas
hidup pasien. Tahap ini berlangsung rata-rata dari 8 hingga 10 tahun.4
c) HIV–Simtomatik
Pada saat infeksi ini, sistem kekebalan tubuh telah rusak dengan parah
oleh HIV. Ada beberapa teori yang menerangkan mengapa hal ini terjadi
seperti kerusakan kelenjar getah bening dan jaringan yang sudah bertahun
lamanya. HIV bermutasi dan menjadi lebih kuat serta lebih bervariasi dan
langsung menyebabkan kerusakan sel tubuh yang lebih banyak sehingga
tidak mampu bersaing dan menggantikan sel T pembantu yang hilang.
Gejala klinis tahap ketiga meliputi keringat malam, pembengkakan

11
kelenjar getah bening secara menetap, demam persisten, infeksi kulit,
sesak nafas dan batuk kering. Tahap ini berlangsung hampir untuk 1
hingga 3 tahun.4

d) AIDS

Tahap terakhir adalah perkembangan dari HIV menjadi AIDS di mana


infeksi oportunistik seperti radang paru-paru, penyakit syaraf atau jenis
kanker tertentu berkembang dan bermanifestasi. Diagnosis AIDS
ditentukan apabila pasien dengan HIV mengembangkan satu atau lebih
dari sejumlah tertentu infeksi oportunistik ataukanker. Saat ini tidak ada
obat untuk AIDS. Namun ada sejumlah perawatan yang tersedia untuk
membantu memperpanjang rentang hidup dan kualitas hidup pasien
dengan HIV dan AIDS. 4

CD4 mengklasifikasikan infeksi HIV menjadi kategori sebagai berikut:4


1. Kategori A adalah infeksi HIV asimtomatik, tanpa adanya riwayat gejala
maupun keadaan AIDS. (CD4 >500/ μL)
2. Kategori B adalah terdapatnya gejala-gejala yang terkait HIV; termasuk:
diare, angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal,
pelvicinflammatory disease (PID) termasuk klamidia, GO, ataugardnerella,
neoplasma servikal, leukoplakia oral (EBV), purpura trombosito-penik,
neuropati perifer, dan herpes zoster.(CD4 200-400/ μL)
3. Kategori C adalah infeksi HIV dengan AIDS (CD4 <200/ μL)

12
1.6 Pemeriksaan HIV4

1. Skrining HIV

The Centers for Disease Control and Prevention


(CDC)merekomendasikan skriningpada pasien semua pasien
diinstansi kesehatan,semua orangdengan faktor risiko tinggi
HIV,harus diskrining minimalsetahun sekali.

2. Hitung Sel T CD4

Pemeriksaan ini adalah indikator yang cukup dapat diandalkan untuk


mengetahui risiko terkena infeksi oportunistik. Jumlah normal CD4
berkisar antara 500-2000 sel/μL. Setelah serokonversi, CD4 biasanya
berada dalam jumlah rendah (rata-rata 700 sel/μL).

3. Viral Load (VL)

Viral load pada darah perifer biasanya dipakai sebagai penanda


alternatif untuk mengetahui laju replikasi virus. Akan tetapi,
pemeriksaan VL kuantitatif tidak bisa digunakan sebagai alat
diagnosis, karena kemungkinan adanya positif palsu. Sehingga
biasanya, VL berkaitan dengan laju progresi menjadi AIDS, walaupun
kemampuan prediktabilitasnya masih lebih inferior dari CD4. Dengan
terapi ART (anti- retroviral) yang adekuat, VL dapat ditekan hingga
mencapai tingkat tidak terdeteksi (<20-75 kopi/ μL). Pada tingkatan
ini, biasanya jumlah CD4 meningkat, dan risiko infeksi oportunistik
berkurang.

4. Pemeriksaan HIV Sekunder

Kultur virus dapat digunakan pada pemeriksaan resistensi obat secara


fenotipik, walaupun sensitivitasnya berkurang seiring dengan
menurunnya Viral Load (VL).

5. Temuan Histologis

Pemeriksaan secara patologi anatom :

13
Pemeriksaan secara patologi anatomi dapat memberikan gambaran
infeksi HIV atau AIDS, misalnya penampakan nodus limfa yang
mengalami kerusakan, hiperplasia, sel T multinuklear raksasa (khas pada
HIV ensefalopati), mikrogliosis, serta hilangnya gambaran folikuler
dendritik yang normal.4

1.7 Terapi ARV

Alur Terapi HIV sebagai berikut :5

14
Obat ARV terdiri dari tiga golongan utama: nucleoside analogue reverse
transcriptase inhibitors (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI).

Tabel 2. Golongan Antiretroviral5

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang


dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur
hidupnya.5
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4
di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol
(1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggusebelum terapi ARV.
Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obatdan
2. Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara
kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV
mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.5
Pengobatan Pencegahan Kotrimoxazole (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan
pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan
pencegahan, yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.
1. Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.

15
2. Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita
sebelumnya.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang
yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi
infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia
(sekarang disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP). Pemberian
kotrimoksasol untuk mencegah (secara primer maupun sekunder) terjadinya
PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai Pengobatan Pencegahan
Kotrimoksasol (PPK) .5
PPK dianjurkan bagi:
1. ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk
perempuanhamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol
dapat menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang
mengancam jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200)
atau gejala klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka
perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus
melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
2. ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia
pemeriksaan dan hasil CD4).5
Saat Memulai Terapi ARV
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah
CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal
tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat
terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai
terapi ARV pada ODHA dewasa.5
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi
ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.

16
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil
dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.5

Tabel 3. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa5


Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI

Tabel 4. Panduan ARV lini pertama5

17
Tabel 5. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
pernah mendapat terapi ARV5

Berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan Paduan terapi


ARV
 Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
(NNRTI) Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama
14 hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF +
3TC. Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa dinaikkan menjadi
200 mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi
dengan dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama
terapi NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga
mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul
dini. Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih
dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah
tersebut.5

18
Penggunaan NVP dan EFV
1. NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara
2. Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain,
dan harga
3. NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-Johnson
dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.
4. Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus
dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi
5. Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika
NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3
bulan lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama
6. Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4 >250
sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada laki-laki
dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-
nya.
7. Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan satu
kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2 kali
sehari.
8. EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik,
hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia dibandingkan
NVP
9. Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat (SSP)
dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat teratogenik bila
diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester dua dan tiga) dan
ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri tanpa harus
menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan meskipun biasanya
hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan beberapa
bulan dan sering menyebabkan penghentian obat oleh pasien .
10. EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat,
pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan trimester
pertama.

19
11. EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV yang
mendapat terapi berbasis Rifampisin.
Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama terapi TB
dengan Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP setelah selesai terapi TB
maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing.5
Pilihan pemberian Triple NRTI
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan
obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
o Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin
o Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV
o Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI
Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah AZT+3TC
+TDF Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu
pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi
virologisnya kurang kuat.5
Penggunaan AZT dan TDF
1. AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal
2. Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4
yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh penggunaan
AZT
3. Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu antara
lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut
4. TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas
dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar 0.5%
sampai 2%
5. TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit data
tentang keamanannya pada kehamilan
6. TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian satu
kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA5

20
Perihal Penggunaan d4T
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan telah
digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun waktu
yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data
laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat terjangkau
dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir
(TDF) maupun Abacavir (ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa
penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen yang bermakna, antara lain
lipodistrofi dan neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis
yang menyebabkan kematian.5
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama
penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar kemungkinan
timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006 merekomendasikan
untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 tahun dan dalam pedoman
pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010 merekomendasikan untuk secara
bertahap mengganti penggunaan d4T dengan Tenofovir (TDF).5
Penggunaan Protease Inhibitor (PI)
Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAKdianjurkan untuk terapi
Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini
Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan
NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak
menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini Kedua. mengingat sumber daya
yang masih terbatas.5

21
Paduan ARV Alasan tidak dianjurkan
Mono atau dual terapi untuk pengobatan
Cepat menimbulkan resisten
infeksi HIV kronis
d4T + AZT Antagonis (menurunkan khasiat kedua obat)
Toksisitas tumpang tindih (pankreatitis,
d4T + ddI hepatitis dan lipoatrofi)
Pernah dilaporkan kematian pada ibu hamil
Bisa saling menggantikan tapi tidak boleh
3TC + FTC
digunakan secara bersamaan
Paduan tersebut meningkatkan mutasi K65R
TDF + 3TC + ABC atau
dan terkait dengan seringnya kegagalan virologi
TDF + 3TC + ddI
secara dini
TDF + ddI + NNRTI manapun Seringnya kegagalan virologi secara dini

Tabel 7. Paduan ARV yang tidak dianjurkan

Gambar 3. Algoritma pemberian ARV berdasarkan penilaian klinis dan hitung CD4 + berdasarkan
panduan WHO 2013.5

22
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi
dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan, dengan
keunggulan dan kerugian masing-masing. Kombinasi obat antiretroviral lini
pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin
(ZVD)/lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP).2
Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan
profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus
HIV (post expossure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi.2
Definisi kegagalan terapeutik pada terapi ARV dewasa.5
1. Kegagalan virologi: Gagal untuk mencapai:
a. VL (viral load) <400c/mL dalam 24 minggu atau
b. VL <50 c/mL dalam 48 minggu atau
c. Konsisten (pada 2 pengukuran berurutan) VL >50c/mL setelah
VL<50c/mL
Catatan: kebanyakan pasien akan mengalami penurunan pada VL ≥ 1log10c/mL
pada 1-4 minggu.
2. Kegagalan imunologis:
Hitung CD4+ gagal meningkat menjadi 25-50 cell/mm3 dalam satu tahun.
Catatan: kebanyakan pasien mengalami peningkatan hitung CD4+ 150 cell/mm3
dalam 1 tahun pertama dengan HAART.
3. Kegagalan klinis:
Pada pasien yang belum pernah diobati. Terjadi atau kekambuhan gejala
terkait HIV lebih dari 3 bulan setelah terapi HAART dimulai.
Catatan: diagnosis sindrom rekonstitusional imunologis harus disingkirkan.
Kondisi yang membutuhkan terapi HIV AIDS saja
Pasien koinfeksi yang membutuhkan terapi HIV AIDS saja adalah pasien
dengan kategori sebagai berikut:5
 Hitung CD4 <350 sel/mm3 disertai gejala kklinis atau muatan virus lebih
dari 1x105kopi/ml
 Dijumpai antibodi VHC namun tidak ada replikasi RNA VHC atau
tatalaksana VHC dikontraindikasikan.

23
Terapi umum dalam tatalaksana HIV AIDS adalah atas 2 NRTI dan 1
NNRTI/ p1 (didahului pemberian ritonavir)/ INSTI/CCRS antaonis. Beberapa
faktor yang harus diperhatikan untuk memulai terapi ARV antara lain:5
Kombinasi NRTI yang disarankan adalah tenovovir dan eritromisin.
Kombinasi lainnya fumarat dan amricitabin. Menunjukkan efektifitas yang lebih
rendah dibandingkan kelompok kondisi pertama. Akan tetapi tenofovir tidak
dapat diberikan pada pasienn dengan gangguan fungsu ginjal. Selain itu,
tenofovir juga menurunkan densitas tulang. Kombinasi evafirent dengan
tenofovir dan amricitabin merupakan kombinasi terbanyak yang diteliti.
Regimen ini tersedia dalam bentuk tablet dan diminum 1 kali sehari.5
Pilihan regimen antiretroviral lini pertama untuk dewasa dan adoleses.

Dosis obat antiretroviral untuk dewasa dan adolesens5

Resiko dari kombinasi obat untuk HIV/HCV5


Kombinasi obat Risiko Anjuran
Tidak boleh diberikan
Ribavirin + ddl Pankreatitis/asidosis laktat
secara bersamaan
Ribavirin + AZT Anemia Perlu pengawasan ketat
Interferon + EFV Depresi berat Perlu pengawasan ketat

24
BAB IV
PENUTUP

Pada HIV, Replikasi virus yang terus menerus dapat menyebabkan


kerusakan sistem kekebalan tubuh dan semakin rentan terhadap infeksi
oportunistik. Infeksi oportunistik atau infeksi yang disebabkan oleh
immunosupresi pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan penyebab morbiditas
dan mortalitas. Infeksi oportunistik terus menyebabkan morbiditas dan mortalitas
meskipun telah tersedia ART. Infeksi oportunistik mempunyai dampak besar
terhadap perjalanan penyakit AIDS. Dampak mikro dari infeksi oportunistik
berupa penyakit sistemik sesuai jenis infeksi yang terjadi, misalnya infeksi
Mycrobacterium tuberculosis penyebab infeksi tuberkulosis paru, Candida spesies
penyebab infeksi kandidiasis albikan, Virus Herpes Hominis penyebab herpes
simpleks dan lain-lain. Sedangkan, dampak makro dari infeksi oportunistik adalah
kematian dan meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS tiap tahun. Adanya
penurunan kadar limfosit T CD4 dapat menyebabkan munculnya berbagai jenis
infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS. Hal ini karena pertahanan individu
terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan resiko
terjadinya berbagai jenis infeksi oportunistik.
Jika kadar limfosit T CD4 < 500 sel/mm3, berarti individu tersebut
memiliki kerentanan terhadap infeksi oportunistik. Tanpa diimbangi upaya
intervensi maka dari waktu ke waktu jumlah limfosit T CD4 akan semakin
rendah, sehingga membuka peluang infeksi sekunder dan munculnya manifestasi
klinis AIDS sehingga sepsis. Infeksi sekunder tersebut biasa disebut infeksi
oportunistik. Infeksi ini disebabkan oleh organisme yang biasanya tidak
menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang normal,
tetapi dapat menyerang orang dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z., Djoerban S. 2014. Buku Ilmu Penyakit dalam. HIV/AIDS di


Indonesia. Edisi IV. Jakarta : InternaPublishing
2. Nasronudin. 2014. Buku Ilmu Penyakit dalam. Virologi HIV. Edisi IV.
Jakarta : InternaPublishing
3. Merati P. T.,Buku Ilmu Penyakit dalam. Imunopatogenesis Infeksi HIV.
Edisi IV. Jakarta : InternaPublishing
4. Nelwan E. J, Wisaksana R,. Buku Ilmu Penyakit dalam. Gejala dan
Diagnosis HIV. Edisi IV. Jakarta : InternaPublishing
5. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
AntiRetroviral pada Orang Dewasa. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI
2011.

26

Anda mungkin juga menyukai