FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
REFERAT
HIV
PENYUSUN :
Aprilia Mappasanda
111 2017 2033
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2018
1
DAFTAR ISI
Halaman
Sampul………………………………………………………………….... 1
BAB 1 PENDAHULUAN………………..……………………………… 3
2.1.1. Definisi….………………………………………. 5
2.1.2. Epidemiologi……………………………………. 5
2.1.4. Patogenesis……….……………………………… 6
2.1.6. Terapi…………………………………………….. 14
BAB 4 PENUTUP………………………………………………………. 25
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 26
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Proses penurunan sistem imun tubuh pasien HIV/AIDS dapat
memudahkan infeksi sekunder masuk ke dalam tubuh. Mikroorganisme yang
seharusnya menjadi perlindungan tubuh dapat menginfeksi tubuh sendiri.
Sehingga pasien jatuh dalam kondisi sakit bukan karena infeksi primer virus HIV
namun akibat infeksi sekunder lain seperti infeksi bakteri, virus, protozoa, atau
virus lain.2
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
yang terinfeksi. Transmisi umumnya oleh perpindahan cairan tubuh secara
langsung melalui hubungan seksual, berbagi jarum yang terkontaminasi
darah, persalinan, menyusui dan prosedur medis seperti transfusi dan
paparan instrumen yang terkontaminasi.1
6
Perjalanan infeksi HIV dapat digolongkan menjadi 3 fase yaitu3 :
1. Fase infeksi akut
Interaksi antara gp120 dan reseptor CD4+ pada limfosit T
menyebabkan terjadinya infeksi virus dengan reseptor kemokin
(CXCR4 bertindak sebagai ko-reseptor spesifik pada jalur tropik sel T
dan CCR5 pada jalur tropik makrofag yang juga terdapat di membran
sel target virus). Hal ini menyebabkan terjadi perubahan konfirmasi
dalam protein amplop virus yang mempengaruhi gp41 sehingga peptida
fusi menembus sel dan menyebabkan membran fusion. Proses
selanjutnya yaitu internalisasi (masuknya inti nukleokapsid kedalam
sitoplasma sel target). Proses ini dinamakan sel teinfeksi HIV.1
Pada fase ini, HIV bereplikasi sangat cepat hingga membentuk
virion baru dan menimbulkan viremia (±4-11 hari). Kondisi ini bisa di
deteksi setelah 8-12 minggu. Viremia menimbulkan sindroma infeksi
akut (Sindrom mononukleosis akut) berlangsung sekitar 3-6 minggu
setelah infeksi primer dengan gejala umum berupa demam, faringitis,
limfadenopati, atralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala, mual,
muntah, diare, anoreksia, dan penurunan berat badan.3
HIV mempunyai topisme dalam beberapa sel target, khususnya sel
yang mengekspresikann reseptor CD4+ yaitu sistem saraf (limfosit B,
limfosit T, monosit, dan makrofag), serta kulit (sel langerhans,
fibroblast, dan denritik). Penurunan jumlah limfosit T-CD4+ dapat
melalui beberapa mekanisme yaitu: 3
7
e. Apoptosis, akbat pengikatan gp120 dengan reseptor CD4+ limfosit T
yang menghasilkan sinyal apoptosis.
Selama periode awal setelah infeksi primer, ada penyebarluasan
virus dan penurunan tajam dalam jumlah CD4+ T sel dalam darah
perifer secara signifikan namun sekitar 1 minggu – 3 bulan setelah
infeksi terjadi penurunan viremia dalam plasma sehingga terjadi
rebound CD4+.1
2. Fase infeksi laten
Adanya pembentukan respon imun spesifik HIV dan
terperangkapnya virus di dalam sel dendritik folikuler (di pusat
germinativum limfe) menyebabkan virion dapat dikendalikan (memasuki
fase laten) dan Sindrom mononukleosis akut akan hilang. Pada fase ini
virion berakumulasi di kelenjar limfe namun tetap bereplikasi. Hal ini
menyebabkan jarang ditemukan virion di dalam plasma sehingga terjadi
rebound CD4+ dan dapat mencapai keadaan normal. Fase ini dapat
berlangsung selama 8-10 tahun. Biasanya pada akhir masa fase laten mulai
timbul gejala klinis seperti demam, berkeringat di malam hari, penurunan
berat badan, diare, lesi pada mukosa dan kulit berulang. Gejala-gejala ini
merupakan awal dari infeksi oportunistik atau neoplasma.3
8
Gambar 2. Perjalanan penyakit pada infeksi HIV yang tidak diobati.
9
Menurut WHO, stadium klinis HIV/AIDS dibedakan menjadi:
Stadium Gejala Klinis
- Tidak ada penurunan berat badan
I asimptomatik - Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati
Generalisata Persisten
- Penurunan berat badan <10%
- ISPA berulang (sinusitis, otitis media, tonsilitis,
dan faringitis).
- Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir
II sakit ringan - Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis)
- Ulkus mulut berulang
- Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
- Dermatitis Seboroik
- Infeksi jamur pada kuku
Kondisi berdasarkan klinis :
- Penurunan berat badan >10%
- Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya
>1 bulan
- Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia
III sakit sedang - TB Paru dalam 1 tahun terakhir
- Limfadenitis TB
- Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia,
Piomiosis
Berdasarkan penunjang :
- Anemia(<8gr/dl), atau trombositopeni Kronik
(<50000 per liter)
- Sindroma Wasting (HIV)
- Pneumoni Pneumocystis
- Pneumonia Bakterial yang berat berulang dalam
6 bulan
- Kandidiasis esofagus
- Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan
- Limfoma
- Sarkoma Kaposi
IV sakit berat (AIDS) - Kanker Serviks yang invasif
- Retinitis CMV
- TB Ekstra paru
- Toksoplasmosis
- Ensefalopati HIV
- Meningitis Kriptokokus
- Infeksi mikobakteria non-TB meluas
- Lekoensefalopati multifokal progresif
- Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas
10
Gejala HIV akan berbeda dari orang ke orang dan juga akan tergantung
pada tahap penyakit. Seseorang tidak akan mengalami perubahan dalam
kesehatan mereka secara segera setelah terinfeksi. Indikasi pertama infeksi
adalah seperti gejala flu, ruam atau kelenjar yang membengkak dan sering
dianggap sebagai gejala minor. Ada empat tahapan yang berbeda pada HIV
dengan gejala yang berbeda. 4
a) HIV-Akut
Beberapa minggu setelah terpapar virus HIV, beberapa orang mengalami
penyakit yang disebut sindrom HIV akut. Indikator fase pertama infeksi
meliputi demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar
getah bening, kelelahan, hilangnya nafsu makan, diare, ruam kulit, rasa
mual dan nyeri otot. Ini adalah gejala awal dan akan terjadi dalam
beberapa minggu pertama setelah terinfeksi virus. Selama tahap awal,
sistem kekebalan tubuh mulai memproduksi antibodi HIV dan limfosit
sitotoksik sebagai respons terhadap HIV.4
b) HIV-Asimtomatik
Tahap kedua dari penyakit ini dikenal sebagai asimtomatik. Ini karena,
selama pasien mengambil obatan yang dipreskripsi, mereka bebas dari
gejala. Tingkat HIV juga turun ke tingkat yang lebih rendah. Pasien harus
sedar bahwa meskipun gejala-gejala tidak lagi hadir, virus ini masih
berkembang biak dan menghancurkan sel-sel kekebalan tubuh pasien dan
obat-obatan harus diambil secara konsisten untuk memaksimalkan kualitas
hidup pasien. Tahap ini berlangsung rata-rata dari 8 hingga 10 tahun.4
c) HIV–Simtomatik
Pada saat infeksi ini, sistem kekebalan tubuh telah rusak dengan parah
oleh HIV. Ada beberapa teori yang menerangkan mengapa hal ini terjadi
seperti kerusakan kelenjar getah bening dan jaringan yang sudah bertahun
lamanya. HIV bermutasi dan menjadi lebih kuat serta lebih bervariasi dan
langsung menyebabkan kerusakan sel tubuh yang lebih banyak sehingga
tidak mampu bersaing dan menggantikan sel T pembantu yang hilang.
Gejala klinis tahap ketiga meliputi keringat malam, pembengkakan
11
kelenjar getah bening secara menetap, demam persisten, infeksi kulit,
sesak nafas dan batuk kering. Tahap ini berlangsung hampir untuk 1
hingga 3 tahun.4
d) AIDS
12
1.6 Pemeriksaan HIV4
1. Skrining HIV
5. Temuan Histologis
13
Pemeriksaan secara patologi anatomi dapat memberikan gambaran
infeksi HIV atau AIDS, misalnya penampakan nodus limfa yang
mengalami kerusakan, hiperplasia, sel T multinuklear raksasa (khas pada
HIV ensefalopati), mikrogliosis, serta hilangnya gambaran folikuler
dendritik yang normal.4
14
Obat ARV terdiri dari tiga golongan utama: nucleoside analogue reverse
transcriptase inhibitors (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI).
15
2. Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita
sebelumnya.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang
yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi
infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia
(sekarang disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP). Pemberian
kotrimoksasol untuk mencegah (secara primer maupun sekunder) terjadinya
PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai Pengobatan Pencegahan
Kotrimoksasol (PPK) .5
PPK dianjurkan bagi:
1. ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk
perempuanhamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol
dapat menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang
mengancam jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200)
atau gejala klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka
perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus
melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
2. ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia
pemeriksaan dan hasil CD4).5
Saat Memulai Terapi ARV
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah
CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal
tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat
terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai
terapi ARV pada ODHA dewasa.5
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi
ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.
16
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil
dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.5
17
Tabel 5. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
pernah mendapat terapi ARV5
18
Penggunaan NVP dan EFV
1. NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara
2. Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain,
dan harga
3. NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-Johnson
dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.
4. Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus
dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi
5. Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika
NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3
bulan lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama
6. Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4 >250
sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada laki-laki
dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-
nya.
7. Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan satu
kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2 kali
sehari.
8. EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik,
hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia dibandingkan
NVP
9. Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat (SSP)
dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat teratogenik bila
diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester dua dan tiga) dan
ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri tanpa harus
menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan meskipun biasanya
hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan beberapa
bulan dan sering menyebabkan penghentian obat oleh pasien .
10. EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat,
pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan trimester
pertama.
19
11. EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV yang
mendapat terapi berbasis Rifampisin.
Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama terapi TB
dengan Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP setelah selesai terapi TB
maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing.5
Pilihan pemberian Triple NRTI
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan
obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
o Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin
o Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV
o Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI
Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah AZT+3TC
+TDF Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu
pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi
virologisnya kurang kuat.5
Penggunaan AZT dan TDF
1. AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal
2. Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4
yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh penggunaan
AZT
3. Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu antara
lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut
4. TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas
dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar 0.5%
sampai 2%
5. TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit data
tentang keamanannya pada kehamilan
6. TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian satu
kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA5
20
Perihal Penggunaan d4T
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan telah
digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun waktu
yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data
laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat terjangkau
dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir
(TDF) maupun Abacavir (ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa
penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen yang bermakna, antara lain
lipodistrofi dan neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis
yang menyebabkan kematian.5
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama
penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar kemungkinan
timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006 merekomendasikan
untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 tahun dan dalam pedoman
pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010 merekomendasikan untuk secara
bertahap mengganti penggunaan d4T dengan Tenofovir (TDF).5
Penggunaan Protease Inhibitor (PI)
Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAKdianjurkan untuk terapi
Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini
Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan
NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak
menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini Kedua. mengingat sumber daya
yang masih terbatas.5
21
Paduan ARV Alasan tidak dianjurkan
Mono atau dual terapi untuk pengobatan
Cepat menimbulkan resisten
infeksi HIV kronis
d4T + AZT Antagonis (menurunkan khasiat kedua obat)
Toksisitas tumpang tindih (pankreatitis,
d4T + ddI hepatitis dan lipoatrofi)
Pernah dilaporkan kematian pada ibu hamil
Bisa saling menggantikan tapi tidak boleh
3TC + FTC
digunakan secara bersamaan
Paduan tersebut meningkatkan mutasi K65R
TDF + 3TC + ABC atau
dan terkait dengan seringnya kegagalan virologi
TDF + 3TC + ddI
secara dini
TDF + ddI + NNRTI manapun Seringnya kegagalan virologi secara dini
Gambar 3. Algoritma pemberian ARV berdasarkan penilaian klinis dan hitung CD4 + berdasarkan
panduan WHO 2013.5
22
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi
dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan, dengan
keunggulan dan kerugian masing-masing. Kombinasi obat antiretroviral lini
pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin
(ZVD)/lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP).2
Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan
profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus
HIV (post expossure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi.2
Definisi kegagalan terapeutik pada terapi ARV dewasa.5
1. Kegagalan virologi: Gagal untuk mencapai:
a. VL (viral load) <400c/mL dalam 24 minggu atau
b. VL <50 c/mL dalam 48 minggu atau
c. Konsisten (pada 2 pengukuran berurutan) VL >50c/mL setelah
VL<50c/mL
Catatan: kebanyakan pasien akan mengalami penurunan pada VL ≥ 1log10c/mL
pada 1-4 minggu.
2. Kegagalan imunologis:
Hitung CD4+ gagal meningkat menjadi 25-50 cell/mm3 dalam satu tahun.
Catatan: kebanyakan pasien mengalami peningkatan hitung CD4+ 150 cell/mm3
dalam 1 tahun pertama dengan HAART.
3. Kegagalan klinis:
Pada pasien yang belum pernah diobati. Terjadi atau kekambuhan gejala
terkait HIV lebih dari 3 bulan setelah terapi HAART dimulai.
Catatan: diagnosis sindrom rekonstitusional imunologis harus disingkirkan.
Kondisi yang membutuhkan terapi HIV AIDS saja
Pasien koinfeksi yang membutuhkan terapi HIV AIDS saja adalah pasien
dengan kategori sebagai berikut:5
Hitung CD4 <350 sel/mm3 disertai gejala kklinis atau muatan virus lebih
dari 1x105kopi/ml
Dijumpai antibodi VHC namun tidak ada replikasi RNA VHC atau
tatalaksana VHC dikontraindikasikan.
23
Terapi umum dalam tatalaksana HIV AIDS adalah atas 2 NRTI dan 1
NNRTI/ p1 (didahului pemberian ritonavir)/ INSTI/CCRS antaonis. Beberapa
faktor yang harus diperhatikan untuk memulai terapi ARV antara lain:5
Kombinasi NRTI yang disarankan adalah tenovovir dan eritromisin.
Kombinasi lainnya fumarat dan amricitabin. Menunjukkan efektifitas yang lebih
rendah dibandingkan kelompok kondisi pertama. Akan tetapi tenofovir tidak
dapat diberikan pada pasienn dengan gangguan fungsu ginjal. Selain itu,
tenofovir juga menurunkan densitas tulang. Kombinasi evafirent dengan
tenofovir dan amricitabin merupakan kombinasi terbanyak yang diteliti.
Regimen ini tersedia dalam bentuk tablet dan diminum 1 kali sehari.5
Pilihan regimen antiretroviral lini pertama untuk dewasa dan adoleses.
24
BAB IV
PENUTUP
25
DAFTAR PUSTAKA
26