Anda di halaman 1dari 15

KOMPLEKSITAS IDEOLOGI PANCASILA

DI ERA MILENIAL1
Moh. Mahfud MD2

Munculnya kerisauan
Ada kerisauan yang muncul di tengah-tengah kita terkait dengan eksistensi
Pancasila sebagai dasar ideologi negara: apakah Pancasila masih bisa kita
pertahankan sebagai dasar ideologi negara? Apakah Indonesia dengan jatidiri
dan geopolitiknya masih bisa dipertahankan tanpa Pancasila? Penyebab
munculnya kerisauan dan pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekurang-kurangnya
ada tiga macam. Pertama, ada gejala kelunturan dan penggerusan pemahaman
dan penghayatan Pancasila di kalangan generasi penerus paska reformasi tahun
1998 yang dibarengi dengan melemahnya sosialisasi dan pendidikan Pancasila di
lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga kemasyarakatan lainnya. Kedua,
perkembangan sejarah sosial terus mempertanyakan relevansi dan perubahan
arah ideologi seperti yang dikemukakan oleh Bell, Fukuyama, dan Huntington. 3
Ketiga, tampilnya dominasi generasi milenial (Generasi Y) yang mempunyai
sifat-sifat sendiri karena masifikasi teknologi informasi atau digitalisasi dalam
kehidupan global masyarakat dunia. Era milenial sering dikaitkan bahkan
disamakan dengan Era Disrupsi, Era Industri 4.0, dan Era Digitalisasi yang
mengubah cara hidup secara fundamental karena semua dilakukan dengan serba
instan melalui sentuhan-sentuhan jari terhadap smartphone atau teknologi
informasi yang sangat canggih.

Marilah kita coba bedah kerisauan kita tersebut dengan berusaha


menyumbangkan pemikiran untuk ikut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
mengkhawatirkan tersebut.

Distorsi konseptual
Menurut pemakalah ada tiga level nilai untuk melihat eksistensi Pancasila
sebagai dasar ideologi negara untuk kemudian menganalisis bagian atau level
mana yang menghadapi persoalan. Ketiga level nilai tersebut adalah nilai
fundamental, nilai instrumental, dan ilai praktikal. Nilai fundamental adalah

1Dismpaikan pada Seminar Nasional Kompleksitas Ideologi Pancasila di Era


Milenial yang diselenggarakan oleh Universitas Semarang pada hari Sabtu, 16
Maret 2019.
2Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum UII (Yogyakarta); Ketua
Mahkamah Konstitusi periode 2008-2019; Anggota Dewan Pengarah Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
3Daniel Bell pada tahun 1960 menulis buku “the End of Ideology”; Francis
Fukuyama pada tahun 1992 menulis buku “the End of History”; Samuel P.
Huntinton pada tahun 1997 menulis buku “the Clash of Civilization” yang
berbicara tentang relevansi dan pergeseran-pergeran perang ideology.

1
nilai-nilai dasar seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan yang tidak bisa dan tidak boleh diubah. Nilai-nilai instrumental adalah
nilai-nilai yang dimplementasikan ke dalam sistem pemerintahan dan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan nilai-nilai fundamental tersebut. Ada
pun nilai-nilai pratikal yang lebih tepatnya bisa disebut sebagai implementasi
praktis adalah pelaksanaan Pancasila secara nyata dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara dalam kehidupan sehari-hari (day to day politics). Dalam banyak
analisis dan kesimpulan umum sebenarnya yang menjadi masalah adalah
munculnya distorsi konseptual dan kontroversi atau nilai-nilai instrumental yang
tertuang ke dalam peraturan perundang-undangan dan yang lebih parah adalah
nilai-nilai praktikalnya. Dalam perdebatan ada penilaian bahwa beberapa materi
perubahan UUD, misalnya, bertentangan dengan Pancasila dan banyak peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di dalam
UUD itu sendiri. Terlepas dari soal benar atau tidak, misalnya, ada persoalan
apakah pemilihan langsung dan penurunan derajat MPR itu bertentangan dengan
asas permusyawaratan di dalam Pancasila atau tidak; begitu juga prinsip
efisiensi dalam tata ekonomi kita bertentangan dengan asas kekeluargaan dan
ekonomi kerakyatan ataukah tidak. Itu masih perdebatan, terlepas dari soal
masing-masing kita menganut pendapat yang mana. Jadi persoalan mendasar
sebenarnya bukan terletak pada nilai-nilai dasar atau fundamental Pancasila
tetapi terletak pada bagaimana kita menuangkan nilai-nilai dasar tersebut ke
dalam instrumen-instrumen kepemerintahan dan peraturan
perundang-undanngan. Lebih parah dari itu ternyata kompleksitas dan problem
ideologi kita lebih banyak muncul dari level praktikal, yakni, banyaknya kasus
dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari yang bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila seperti nilai-nilai keadilan, nilai permusyawaratan, nilai-nilai
kemanusiaan, dan sebagainya. Sampai saat ini, misalnya, kita masih dihadapkan
secara serius dalam pratik pemerintahan pada masalah penegakan hukum,
ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan korupsi yang sepertinya kita tidak berdaya
untuk menghadapinya. Pelanggaran-pelanggaran dari sudut praktikal ini tidak
boleh terus menerus dipertontonkan kepada generasi milenial karena jika itu
selalu terjadi tentu akan mennggerus sikap nasionalisme dan patriotisme untuk
kemudian, demi kenyamanan hidup, banyak yang lebih meleburkan diri ke dalam
nilai-nilai luar melalui dunia digital.

Mengokohkan Pancsila sebagai ideologi


Kita meyakini bahwa Pancasila adalah ideologi yang tidak tergantikan di
Indonesia meskipun kita ada di tengah-tengah adanya keraguan atas ideologi
sebagai alat pemersatu dan pengendali bangsa dan negara. 4 Di Indonesia

4Selanjutnya lihat dalam Moh. Mahfud MD, Ideologi Pancasila sebagai Arah
Pembangunan Bangsa, makalah pada Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan
bagi Pimpinan Universitas, Dosen serta Tenaga Kependidikan yang diselengrakan
dalam kerjasama antara Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Lembaga

2
keraguan atas ideologi muncul dalam bentuk tawaran ideologi alternatif dengan
alasan Pancasila tidak berhasil membangun kesejahteraan rakyat dan keadilan
sosial seperti yang dijanjikannya. Gugatan terhadap ideologi yang seperti itu
sebenarnya sudah lama muncul dalam studi sejarah sosial. Daniel Bell pada
tahun 1960 menulis buku “the End of Ideology” yang menyatakan bahwa ideologi
negara tidak lagi relevan karena tidak ada satu pun ideologi yang bisa memenuhi
janjinya. Tetapi pasca terbitnya buku Bell itu ideologi individualisme liberal atau
kapitalisme dan sosialisme komunis masih terus berkembang dan menjadi ciri
dua blok ideologi yakni Barat (Kapitalisme) yang dipimpin oleh Amerika Serikat
dan Timur (Komunisme) yang dipimpin oleh Uni Soviet. Kedua blok terlibat
dalam perang dingin selama pulihan tahun. Setelah bubarnya perang dingin
karena runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989 Francois Fukuyama meluncurkan
buku “the End of History” (1992) yang menyatakan ke depannya tidak akan ada
lagi perang ideologi karena dunia akan dihegemoni oleh liberasme dan pasar
bebas. Tetapi Samuel P. Huntington melihatnya secara lain. Melalui bukunya “the
Clash of Civilazation” (1994) Huntington mengatakan bahwa ke depan masih
akan terjadi perang tetapi perangnya sudah bergeser menjadi perang peradaban
antara Barat dan Timur. Di Timur, kata Huntington, yang didominasi oleh Islam
akan tumbuh radikalisme dan terrorisme. Jika dilihat faktanya apa yang ditulis
oleh ketiga ahli sejarah sosial itu ada benarnya, meski tidak seluruhnya. Yang
benar dari Daniel Bell adalah fakta bahwa tidak ada ideologi yang bisa memenuhi
janjinya dalam praktik; yang benar dari Fukuyama adalah fakta bahwa
kapitalisme dengan pasar bebasnya tidak bisa dibendung oleh dunia mana pun;
yang benar dari Huntington adalah me=unculnya gejala radikalisme dan
terrorisme di dunia Timur.

Terlepas dari analisis sejarah sosial dari ketiga pakar tersebut Pancasila sebagai
dasar ideologi negara di Indonesia mempunyai posisi sendiri yang sangat kuat.
Pancasila merupakan pemersatu bangsa yang memberi arah kepada perjalanan
bangsa. Sampai saat ini fungsi tersebut begitu kuatnya sehingga ada semacam
keyakinan bahwa Pancasila merupakan azimat kesaktian. Pancasila adalah sakti
maksudnya tidak tergantikan dan selalu menjadi tempat kembali ketika ada
konflik serta selalu menang jika dilawan atau dihadapkan dengan ideologi lain.
Pancasila pernah dilawan baik dengan kekerasan seperti pemberontakan atau
melalui perdebatan yang legal-konstitusional di lembaga negara. Perlawanan
terhadap Pancasila dengan cara kekerasan dilakukan melalui pemberontakan
bersenjata seperti yang dilakukan oleh PKI, DI/TII yang akhirnya bisa dikalahkan
oleh kekuatan aparat negara bersama rakyat. Perlawanan terhadap Pancasila
melalui proses legal-konstitusional adalah perlawanan melalui pengambilan
keputusan untuk menentukan dasar ideologi negara dan konstitusi oleh lembaga
negara yang dibentuk dan mempunyai kewenangan yang sah untuk melakukan
Ketahanan Nasional (Lemhanas) di Gedung Lemhanas, Rabu, tanggal 14
November 2018.

3
itu. Pergulatan melalui proses legal-konstitusional ini bisa dejejak melalui tiga
tonggak sejarah.
Pertama, perdebatan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK)5 yang semula melahirkan ide ekstrem antara negara sekuler dan negara
Islam ditambah dengan ide lain seperti negara integralistik ala Soepomo
akhirnya disepakati melalui kompromi prismatika yakni negara Pancasila dengan
diterimanya lima sila yang dituangkan di dalam Pembukaan UUD 1945. Semula
Pembukaan UUD 1945 ini bernama Mukaddimah yang disusun oleh Panitia
Sembilan tanggal 22 Juni 1945 yang disebut sebagai Piagam Jakarta. Di dalam
Piagam Jakarta sila pertamanya adalah “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tetapi pada tanggal 18
Agustus 1945 disepakati6 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK)7 diubah
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”8
Kedua, perdebatan di Konstituante hasil Pemilu tahun 1955. Seperti diketahui
penerimaan atas Pancasila dan UUD 1945 pada tahun 1945 masih menyisakan
perdebatan politik di tengah-tengah masyarakat sehingga, sesuai dengan Pidato
Ketua PPKI Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945 dan sesuai dengan Aturan
Tambahan UUD 1945, perlu diputuskan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang
dipilih melalui Pemilu. Melalui Pemilu tahun 1955 terbentuklah Konstituante,
sebuah majelis yang diberi tugas untuk menetapkan kembali konstitusi yang
permanen setelah berlaku UUDS 1950 sejak 17 Agustus 1950. Setelah bersidang
selama 3,5 tahun yang juga didominasi oleh perdebatan tentang dasar negara
dan Konstituante dianggap gagal dan membahayakan keutuhan bangsa akhirnya
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang,
sejauh terkait dengan dasar ideologi negara, memberlakukan kembali UUD 1945
dan menguatkan Pncasila yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Ketiga, Pertimbangan Pancasila sebagai dasar negara terjadi lagi melalui proses
legal-konstitusional di lembaga negara yang resmi yakni di Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca reformasi 1998. Untuk menampung ide
reformasi 1998 secara lebih kuat disepakatilah adanya perubahan (amandemen)
terhadap UUD 1945 dengan semboyan “tidak ada reformasi tanpa perubahan
UUD 1945”. Pemerintahan BJ Habibie mengumumkan akan diselenggarakannya

5Di dalam beberapa literatur pasca kemerdekaan sering ada kata Indonesia
sehingga disebut BPUPKI, tetapi sebenarnya nama resminya tidak memakai kata
Indonesia karena pada waktu itu negara belum resmi berdiri. Nama badan ini
dalam bahasa Jepang adalah Dokuritzu Zyunbi Coosakai.
6Kesepakatan yang dicapai oleh para pendiri negara pada tanggal 22 Juni 1945
yang kemudian diperbarui pada tanggal 18 Agustu 1945 itu sering disebut
sebagai modus vivendi atau kesepakatan luhur.
7Nama resminya adalah Dokuritzu Zyunbi Iinkai, tanpa kata Indonesia karena
waktu itu nama resmi Indonesia belum dipakai berhubung negara Indonesia
belum resmi berdiri.
8Semua kata Islam yang ada di dalam UUD yakni di dalam Pasal 6 dan Pasal 29
dicoret, disesuaikan dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarata.

4
pemilu dan mempersilahkan masyarakat membentuk partai-partai untuk
mengikuti pemilu. Banyak partai politik yang ikut pemilu dan ada beberapa di
antaranya yang selain mengagendakan perubahan UUD 1945 juga menginginkan
perubahan Pancasila sebagai dasar negara, misalnya, memberlakukan Piagam
Jakarta. Tetapi dalam perdebatan-perdebatan di persidangan MPR antara tahun
1999-2002 Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila tetap dipertahankan
secara kokoh karena kekuatan parpol-parpol yang ingin menggantikannya sama
sekali tidak signifikan.

Beberapa ide dasar dalam Pancasila


Dari jejak sejarah perjalanan bangsa kita tampak jelas bahwa Pancasila itu tidak
tergantikan dan selalu menjadi tempat kembali karena sangat kokoh
penerimaannya oleh rakyat sehingga dikatakan bahwa Pancasila adalah sakti.
Dalam kaitan ini perlu dikatakan bahwa Pancasila merupakan produk prismatika
yang melahirkan kaidah-kaidah penuntun dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Konsepsi prismatika adalah konsepsi yang mempertemukan
unsur-unsur baik dari dua konsepsi atau lebih yang dianggap bertentangan.
Pancasila dapat dikatakan menjadi prismatika karena, misalnya,
mempertemukan unsur-unsur yang baik dari individualisme dan komunalisme,
negara sekuler dan negara agama, civil law system dan common law system.
Pancasila juga melahirkan geopolitik yang mempersatukan 17.504 pulai dengan
jumlah penduduk lebih dari 260.000.000 yang multi kultural dengan 1360 suku,
726 bahasa, dan berbagai agama dan keyakinan. Secara geografis Indionesia
membujur dari Sabang sampai Merauke dengan kekayaan alam yang sangat
melimpah. Bentangan geografi, besarnyna demografi dan berbagai
keberagamannya, serta kekayaan alam yang melimpah itu dirajut dalam ikatan
kebangsaan berdasarkan Pancasila dalam semangat dan semboyan bhinneka
tunggal ika. Dari konsepsi prismatik dan geopolitik yang seperti itu maka
Pancasila melahirkan empat kaidah penuntun dalam berbangsa dan bernegara,
yakni: Pertama, menjaga integritas teritori dan ideologi; Kedua, membangun
demokrasi dan nomokrasi; Ketiga, membangun keadilan sosial; Keempat,
membangun toleransi beragama yang berkeadaban.

Realitas kebernegaraan kita


Tidak dapat dipungkiri, kehidupam kebernegaraan kita masih jauh dari apa
diinginkan oleh para pendiri negara yang sudah dituangkan di dalam Pembukaan
UUD 1945 dan Pasal-pasalnya yang kemudian melahirkan konsepsi prismatika
dan kaidah penuntun itu. Ketika kita merebut kemerdekaan dari kolonialisme
dan penguasaan asing kita membayangkan akan membangun sebuah negara
yang berdaulat, adil dan makmur sehingga setiap warganya bisa menikmati
harkat kemanusiaannya dalam suasana negara yang berkeadilan. “Penjajahan
harus dihapuskan dari muka dunia karena tidak sesuai dengan perikemanusian
dan perikeadilan”, dan itu sudah kita lakukan dengan memproklamasikan

5
kemerdekaan sebagai jembatan emas pada tanggal 17 Agustus 1945. Berkah
kemerdekaan itu memang sudah banyak yang bisa kita nikmati, misalnya, kita
hidup di negara yang secara konstitusi dan hukum berdaulat, kita bisa memilih
pemimpin sendiri, kita bisa menempuh pendidikan sehingga bisa menjadi kita
seperti sekarang ini. Jika kita melihat sedikit data perkembangan dalam empat
tahun terakhir ini, misalnya, memang ada pergerakan maju tetapi sangat lambat.
Dalam aspek hukum kita mencatat berkembangnya indeks negara hukum dari
5,31 (2016) menjadi 5,84 (2017). Dari aspek demokrasi kita mencatat bahwa
indeks kebebasan berpendapat mencapai angka 78,75, lembaga demokrasi
mencapai indeks 72,49, dan kaderisasi parpol mencapai indeks 68,91.

Namun data-data tersebut tidak menghilangkan fakta bahwa realitas


kebernegaraan kita sekarang ini masih jauh dari itu apa yang dicitakan oleh para
pendiri negara. Indokator kesejahteraan rakyat belum merata, indeks gini ratio
kita masih mendekati 0,400, tax ratio hanya menjangkau kisaran 11% – 12% dari
GNP, sementara angka kemiskinan masih cukup besar karena, meski dalam
empat tahun terakhir ini ada penurunan, tetapi jumlahnya masih di kisaran 9% -
10 %. Insdeks persepsi korupsi kita berkembang sangat lambat karena pada saat
reformasi 1998 indeks persepsi korupsi kita adalah 20 tetapi sekarang (setelah
20 tahun reformasi), pada tahun 2018 baru mencapai 37 dari rentangan 0 – 100.
Itulah realitas yang tidak terbantahkan. Jadi secara umum situasinya tidak
menggembirakan dan kerapkali menimbulkan kerawanan sosial dan politik.
Munculnya ide yang mempersoalkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara
adalah bentuk ekstrem dari ketidakpuasan terhadap perkembangan keadaan
yang kita alami karena merenggangnya ide-ide Pancasila dengan reliatas
kebernegaraan kita.

Distorsi konsep-konsep
Selain fakta kurang menggebirakan tentang realitas kebernegaraan kita di dalam
kehidupan politik kita juga muncul wacana tentang distorsi konsep-kosep
bernegara. Yakni, adanya anggapan bahwa implementasi ide dan konsepsi
bernegara ke dalam peraturan perundang-undangan telah menyimpang dari ide
dasar Pancasila dan UUD 1945. Saya mengatakan hal itu sebagai “anggapan”
karena masalahnya masih bisa diperdebatakan, apakah kesalahan konsep dalam
menuangkan Pancasila ke dalam peraturan perundang-undangan ataukah
kesalahan implementasinya saja. Di antara masalah-masalah yang dipersoalkan
adalah penerapan ekonomi konstitusi dan penerapan demokrasi.

Sejauh menyangkut konsep ekonomi yang sering disebut dengan konsep


ekonomi Pancasila atau ekonomi kerakyatan memang telah menimbulkan
perdebatan yang tidak pernah selesai selama puluhan tahun. Pernah terjadi
insiden ketika tiga orang anggota MPR periode 1999 menyatakan mengundurkan
diri dari Tim Ahli Panitia Ad Hoc karena menolak konsep ekonomi yang akan

6
dimasukkan di dalam perubahan UUD 1945 karena dianggapnya bertentangan
dengan ekonomi Pancasila. Sementara yang mengusulkan perubahan pasal-pasal
UUD 1945 dalam kaitan dengan ekonomi juga menyatakan untuk memakmurkan
rakyat sesuai dengan Pancasila. Sampai sekarang pun perdebatan tentang
konsepsi ekonomi kita belum juga usai.

Ada pun yang terkait dengan pelaksanaan demokrasi terjadi juga gugatan karena
anggapan adanya distorsi dalam konsep. Adanya pemilihan langsung untuk
Pilpres maupun untuk Pilkada, misalnya, sering dipertentangkan dengan konsep
demokrasi kita yang menyebut “… permusyawaratan/perwakilan”. Para pengritik
menyebut bahwa pemilihan langsung bertentangan dengan Pancasila karena
Pancasila meniscayakan pemilihan oleh lembaga perwakilan, bukan secara
langsung. Pandangan tersebut tentu keliru karena adanya frasaa
“permusyawaratan/perwakilan” di dalam sila keempat Pancasila bukan
dimaksudkan untuk mengharuskan adanya pemilihan tidak langsung melainkan
berisi keharusan adanya lembaga-lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat
seperti DPR, DPD, DPRD serta gabungan anggota-anggota lembaga perwakilan
tingkat pusat yakni MPR. Masalah lain yang terkait dengan demokrasi adalah
pengambilan keputusan berdasar pemungutan suara (voting) yang juga sering
dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Para pengritik voting
menganggap bahwa pengambilan keputusan yang sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945 adalah musyawarah mufakat. Menurut saya pendapat tersebut kurang
tepat karena dua hal. Pertama, tidak memberi jalan keluar jika musyawarah
mufakat (mufakat bulat) tidak dapat dicapai padahal tidak mungkin semua hal
bisa disepakati secara bulat sehingga memang harus diselesaikan secara voting.
Kedua, sebenarnya bentuk pemerintahan dan bentuk negara berdasar Pancasila
ini dulunya dilakukan secara voting di BPUPK. Pada sidang yang berlangsung
tanggal 10 sampai dengan 16 Juli 1945 para pendidi negara memperdebatkan
apakah bentuk negara akan diabngun dalam bentuk republik atau kerajaan.
Karena perdebatan tidak mencapai titik temu maka dilakukan setem (voting)
yang menghasilkan 55 suara memilih bentuk republik, 6 suara memilih bentuk
kerajaan, dan 1 suara abstain. 9 Begitu juga soal bentuk negara kesatuan
diselesaikan secara voting karena Bung Karno dan beberapa anggota lain
menghendaki negara kesatuan sedangakan Bung Hatta dan beberapa anggota
lain mengehendaki negara federal. Voting tentang bentuk negara ini mengasilkan
6 anggota memilih bentuk negara federal sedangkan selebihnya, dari seluruh
yang hadir, memilih bentuk negara kesatuan. Jadi sebenarnya voting sudah
dipraktikkan oleh para pendiri negara pada saat mulai mendirikan negara.
Musyawarah mufakat tentu sangat dianjurkan karena secara ilmiah Indonesia
menganut konsep deliberative democracy tetapi jika hal itu tidak bisa dicapai
maka penyelesaian melalui voting bisa ditempuh. Di dalam demokrasi kita hasil
9Jumlah anggota BPUPK adalah 62 orang, termasuk dua orang Pimpinan (Ketua
dan Wakil Ketua, Radjiman Wedyodiningrat dan RP Suroso)

7
voting harus dilaksanakan dalam suasana kebersamaan, yang menang maupun
yang kalah tidak boleh saling meninggalkan atau terus berlawanan.

Persoalan haluan negara10

Lebih dari dua tahun belakangan ini perdebatan politik dalam rangkan
pelaksanaan konstitusi kita diwarnai oleh wacana perlunya perubahan terbatas
UUD 1945 guna menghidupkan kembali wewenang MPR untuk membuat
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Alasannya pelsanaan Pancasila dan
UUD 1945 sekarang ini mengandung kekacauan, tidak jelas, tumpang tindih,
saling tabrak, tidak tercipta terkordinasi baik antara lembaga negara dan antar
unit-unit pemerintahan maupun antar Pusat dan Daerah-daerah. Itu semua
disebabkan oleh tidak adanya lagi GBHN seperti pada masa lalu sehingga perlu
dihidupkan lagi Pasal 3 UUD 1945 yang menentukan bahwa “Majelis
Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar daripada haluan
negara”..

Sebenarnya kuranglah tepat kalau ketentuan Pasal 3 UUD 1945 yang lama itu
dinyatakan sebagai dasar adanya GBHN sebagai nama dan bentuk hukum resmi
dari haluan negara. Arah atau peta jalan haluan negara memang harus ada tetapi
namanya tidak harus bernama GBHN dan bentuknya juga tidak harus Tap MPR.
Kata “menetapkan” di dalam Pasal 3 tersebut nama dan bentuk produknya bisa
bermacam-mmacam. Dalam praktik ketatanegaraan kita saat berlakunya UUD
1945 sebelum diamandemen pun turunan Pasal 3 yang diberi nama resmi GBHN
itu baru dikenal sejak tahun 1973. Yakni ketika pemerintahan Orde Baru
mengeluarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara.

Sebelum itu, pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, peta jalan haluan
negara kita bukan bernama GBHN tetapi bernama Manifesto Politik (Manipol)
yang dituangkan di dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang
Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap
Pertama 1961-1969 (GBPPNSB). Jadi meskipun dasarnya sama-sama Pasal 3
UUD 1945 namun pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru memberi nama dan
masa keberlakukan yang berbeda atas haluan negara negara.

Pada zaman Presiden Soekarno haluan negara kita adalah Manipol yang
dituangkan ke dalam Tap MPRS tentang GBPPNSB dengan masa berlaku
sembilan tahun, sedangkan pada zaman Presiden Soeharto haluan negara kita
disebut Repelita dan atau Pelita yang dituangkan ke dalam Tap MPR tentang
GBHN. Pada era Orde Baru peta jalan haluan negara dituangkan dalam rangkaian

10Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Mana Haluan Negara Kita?” dimuat di Harian
Koran Sindo, edisi Sabtu, 27 Agustus 2016, hlm. 1

8
pembangunan berkesinambungan yang jangka panjangnya dipengggal-penggal
ke dalam jangka panjang 25 tahunan yang dipenggal lagi ke dalam jangka
menengah lima tahunan (Pelita) dan jangka pendek tahunan (APBN).

Jadi GBHN bukanlah nama dan bentuk resmi yang ldiharuskan oleh Pasal 3 UUD
1945 yang asli melainkan produk kebijakan hukum rezim Orde baru yang,
meskipun dasarnya sama, berbeda nama dan masa masa berlakunya dengan
kebijakan Orde Lama. Pada era reformasi ini pun kita mempunyai haluan negara
sebagai turunan dari UUD 1945 yang sudah diamandemen yakni UU No. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU
No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN). Jangkauan pembangunan kita menurut UU SPPN dan UU RPJPN adalah
20 tahunan untuk jangka panjang dan limatahun untuk jangka menengah, dan
tahunan untuk jangka pendek. Haluan negara kita di bawah UUD pada era
reformasi ini memang tidak diberi baju hukum Tap MPR karena berdasar sistem
ketatanegaraan sekarang MPR tidak lagi mengeluarkan Tap yang bersifat
mengatur (regeling).

Kurang tepat juga kalau dalam sistem yang sekarang dikatakan menyebabkan
terputusnya pembangunan yang berkesinambungan sehingga kalau “ganti
Presiden, ganti haluan”. Anggapan adanya keterputusan itu keliru karena di
dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No. 17 Tahun 2007 ditegaskan bahwa agar
pembangunan bisa berkesinambungan maka Presiden yang akan mengakhiri
masa tugasnya (harus) membuatkan program kerja untuk Presiden yang akan
menggantikannya.

Sebenarnya persoalannya, bukan kita tidak punya haluan atau salah arah. Kalau
kita rekonstruksi UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2007 maka
susbtansinya sama belaka dengan Tap-tap MPR tentang GBHN. Bahkan dengan
adanya Perpres No. 2 Tahun 2015 yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi
tanggal 8 Januri 2015 sebenarnya konstruksi haluan negara dan rencana
pembangunan kita sama dengan Repelita zaman Orde Baru yang setiap lima
tahun dikeluarkan oleh Presiden melalui Kepres. Persoalan kita sebenarnya
adalah tidak adanya konsistenasi karena selalu terjadi torpedo politik terhadap
haluan yang ada. Jadi persoalannya tidak terletak di Undang Undang Dasar
melainkan pada implementasi dalam politik sehari-hari. Meskipun begitu, jika
memang diperlukan dan dianggap sebagai jalan terbaik untuk mengatasi
kesemrawutan arah perjalanan maka perubahan kembali UUD 1945, baik
sebagian (terbatas) maupun seluruhnya, baik membuat yang baru sama sekali
maupun kembali memberlakukan yang asli, bisa saja dilakukan sebab konstitusi
itu adalah resultante bangsa yang bisa diubah dengan resultante baru.

Setiap konstitusi selalu dianggap bermasalah

9
Meskipun begitu haruslah diingat, seumpama pun kita bersepakat akan
melakukan perubahan kembali UUD 1945 maka tidak lantas kita bisa optimis
atau berpikir bahwa hasil perubahan itu nantinya bisa diterima oleh semua
orang. Berdasar sejarah perjalanan bangsa kita dapat mencatat bahwa tidak
pernah ada satu UUD pun yang tidak digugat untuk diubah lagi begitu
diberlakukan. Marilah kita lihat catatan ini.11

UUD 1945 periode pertama


Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK)
menetapkan berlakunya UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis Negara Republik
Indonesia. Tetapi baru berlaku beberapa minggu sudah diubah dalam praktik
karena oleh sebagian tokoh-tokoh muda UUD tersebut dianggap konstitusi fasis
yang mengikuti kemauan Jepang. Itulah sebabnya pada tanggal 16 Oktober 1945
dikeluarkan Maklumat Wapres No. X yang mengubah kedudukan Komite
Nasional Indonesia (KNI) Pusat menjadi lembaga legislatif, bukan lagi pembantu
Presiden dalam memegang kekuasaan legislatif dan eksekutif. Maklumat No. X
disusul dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang berisi
perubahan sistem pemerintahan dari sistem Presidensiil menjadi sistem
Parlementer. Pada saat itu UUD 1945 ditinggalkan begitu saja hanya dengan
sebuah Maklumat Pemerintah.

Konstitusi RIS 1949


Sistem Parlementer berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1945 berlaku selama empat tahun untuk kemudian diganti secara resmi dengan
Konstitusi Reoublik Indonesia Serikat Tahun 1949 (KRIS 1949). KRIS 1949 yang
merupakan hasil Komperensi Meja Bundar KMB) di Den Haag itu bukan hanya
memberlakukan secara resmi sistem Parlementer tetapi juga mengubah bentuk
negara dari negara kesatuan menjadi negara federal.

Seperti diketahui pada tahun 1946 Belanda masuk kembali ke Indonesia dengan
alasan bahwa sebelum Sekutu kalah dalam awal Perang Dunia II pada tahun
1941 Indonesia (waktu itu bernama Hindia Belanda) adalah negeri jajahan
(kolonial) Belanda. Atas masuknya kembali Belanda itu pihak Indonesia
melakukan perlawanan melalui dua jalur yaitu perang fisik (termasuk gerilya)
dan diplomasi melalui perundingan-perundingan. Perundingan yang terakhir
dengan Belanda adalah Konperensi Meja Bundar yang kemudian melahirkan
pengakuan kedaulatan atas Indonesia oleh Belanda, pembentukan Uni
Indonesia-Belanda, dan perubahan NKRI menjadi Negara Republik Indonesia
Serikat. Berdasar itu berlakulah KRIS 1949 sebagai konstitusinya.

11Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Menimbang Kembali Konstitusi Indonesia”,


malah pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Mufakat Budaya Indonesia di
Gedung Metro TV, Kedoya, Selasa tanggal 6 November 2018.

10
UUDS 1950
Belum berjalan enam bulan KRIS 1949 berlaku sudah digugat lagi
keberlakuannya. M. Natsir dari Partai Masyumi mengeluarkan “Mosi Integral”
yang menyerukan agar Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan
mengganti KRIS 1949. Mosi itu mendapat dukungan luas sehingga disepakatilah
agar Indonesia segera kembali ke bentuk negara kesatuan dan sebuah UUD
pengganti KRIS harus disiapkan. Rancangan UUD itu disiapkan oleh Soepomo
yang di dalamnya menetapkan bentuk negara kesatuan dengan pemerintahan
bersistem Parlementer.

Namun rancangan UUD tersebut tidak disepakati secara bulat untuk dijadikan
UUD permanen sehingga keberlakuannya ditetapkan untuk sementara dan
karenanya sejak awal keberlakuannya secara resmi disebut UUDS 1950. Untuk
membentuk UUD yang permanen diselenggarakanlah pemilihan umum pada
tahun 1955 guna membentuk Konstituante dengan tugas membentuk satu UUD
sebagai pengganti UUDS. Tetapi Konstituante yang bersidang sejak Maret tahun
1956 tidak berhasil menyelesaikan tugasnya sehingga akhirnya dibubarkan oleh
Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang sekaligus
memberlakukan kembali UUD 1945.

Keluarnya Dekrit itu sendiri pada awalnya menimbulkan kontroversi baik


tentang keabsahannya maupun tentang materi UUD yang diberlakukannya.
Tetapi itu bisa menjadi diskusi lain sebab faktanya sejak saat itu berlaku UUD
1945 sampai melalui dua rezim, Orde Lama dan Orde Baru.

UUD 1945 era Orde Lama: Demokrasi Terpimpin


Setelah kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 Bung
Karno mengimplementasikannya ke dalam kosnepsi Demokrasi Terpimpin
dengan konsep tiga pilar penyangga politik yang disebut Nasionalis, Agama,
Komunis (Nasakom). Pada masa itu kembali muncul kritik karena banyak yang
menganggap demokrasi terpimpin tidak cocok dengan UUD 1945. Secara
ketatanegaraan pada waktu itu memang banyak masalah, misalnya, Mahkamah
Agung praktis menjadi bawahan Presiden, Presiden membubarkan DPR hasil
pemilu, Presiden juga mengeluarkan produk hukum dalam bentuk Penetapan
Presiden (Penpres) yang dibuat oleh Pemerintah bukan bersama dengan DPR
melainkan bersama dengan Dewan Nasional. Pemeraintahan Presiden Soekarno
pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian disebut sebagai Orde Lama itu
akhirnya jatuh pasca peristiwa 30 September 1965 yang oleh Presiden Soekarno
disebut sebagai Gerakan Satu Oktober (Gestok). Pemerintahan berikutnya yang
dikendalikan oleh TNI Angkatan Darat disebut Orde Baru.

UUD 1945 era Orde Baru : Demokrasi Pancasila

11
Pemerintahan Orde Baru yang dimotori oleh TNI Angkatan Darat tidak
mempersoalkan konstitusi tetapi mempersoalkan pelaksanannya pada era Orde
Lama yang dianggap penuh pelanggaran terhadap Pancasila dan UUD 1945. Oleh
sebab itu Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto
menegaskan sikapnya dengan semboyan “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen”.

Pada awal-awal berdirinya Orde Baru sebenarnya sudah ada bibit-bibit keinginan
untuk mengganti UUD 1945 seperti yang terlihat dari kerja-kerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang dipimpin oleh AH Nasution.
Pada saat itu MPRS membentuk dua Panitia Ad Hoc untuk memperbaiki sistem
ketatanegaraan yakni Panitia Ad Hoc tentang Sistem Pemerintahan Negara yang
menhasilkan rekomendasi sistem Parlementer dan Panitia Ad Hoc tentang
pengujian yudisial (judicial review) UU terhadap UUD. Namun pihak Pemerintah
menolak keputusan kedua Panitia Ad Hoc tersebut dan lebih memilih untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara “murni dan konsekuen”.
Demokrasi yang dibangun oleh Orde Baru disebut Demokrasi Pancasila. Tetapi
dalam praktiknya pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 oleh Orde Baru telah
menyuburkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pada tahun 1997 terjadi
krisis moneter yang kemudian memancing gerakan reformasi di Indonesia
sehingga melalui Reformasi 1998 pemerintahan Orde Baru jatuh.

UUD 1945 era Reformasi: UUD Perubahan


Seperti disebutkan di atas, pada awal reformasi ada dalil yang sangat meluas
pengaruhnya yakni, “tidak ada pemerintahan bersih tanpa reformasi”, dan
adagium, “tidak ada reformasi tanpa reformasi kosntitusi”, tidak ada reformasi
tanpa perubahan UUD. Itulah sebabnya MPR hasil pemilu 1999 tidak dapat
mengelak dari tuntutan untuk melakukan perubahan atas UUD 1945 yang
didahului dengan lima kesepakatan dasar: Pertama, tidak mengubah Pembukaan
UUD 1945; Kedua, mempertahankan bentuk negara kesatuan; Ketiga,
memperkuat sistem Presidensiil; Keempat; isi Penjelasan yang bersifat mengatur
dimasukkan ke dalam Pasal-pasal; Kelima, perubahan dilakukan melalui
Addendum. Perubahan UUD 1945 (yang juga disebut sebagai amandemen itu)
dilakukan dalam empat kali Sidang Tahunan MPR yang berlangsung sejak tahun
1999 sampai dengan tahun 2002. Tetapi, seperti kita tahu, belum lama UUD hasil
perubahan ini berlaku sudah dipersoalkan. Bahkan aktovis prodemokrasi
Bambang Widjojanto menyobek-nyobek naskah UUD 1945 hasil perubahan
sebelum disahkan karena, seperti dikatakannya, tidak memenuhi syarat sebagai
konstitusi yang baik. Jadi sebelum disahkan pun sudah diprotes. Meskipun begitu
naskah Perubahan UUD 1945 ini disahkan melalui perdebatan politik sampai
menjelang subuh dengan kompromi membentuk Komisi Konstitusi.
Pembentukan Komisi Konstitusi itu jelas merupakan akomodasi atas adanya
keinginan untuk mengubah kembali UUD 1945 hasil perubahan. Hasil kerja

12
Komisi Konstitusi yang dipimpin Oleh Sri Soemantri itu tidak ditindaklanjuti oleh
MPR.

Perubahan harus cermat dan komprehensif


Alhasil, upaya mengubah kembali hasil perubahan UUD 1945 untuk memberi
landasan konstitusional agar ada arah perjalanan bangsa yang sesuai dengan
ideologi Pancasila boleh saja dilakukan. Alternatifnya, bisa melanjutkan
perubahan dalam arti melakukan amandemen lanjutan, bisa membuat yang baru
sama sekali, dan bisa memberlakukan kembali yang asli. Yang penting upaya
tersebut harus dilakukan secara sangat cermat, tidak emosional, komprehensif,
bervisi jauh ke depan sesuai dengan Pancasila. Haruslah disadari bahwa jika kita
bisa mengubah UUD yang berlaku sekarang maka tidak dengan sendirinya kita
bisa terlalu optimis bahwa jika sudah diubah maka semuanya akan selesai.
Masalah yang akan kita hadapi tetap ada dua hal: Pertama, akan muncul usul
agar nanti diubah lagi sebagai konsekuensi adanya keniscatyaan perbedaan di
alam demokrasi; Kedua, pelaksanaan arah yang telah disepakati itu kerapkali
ditorpedo oleh politik di lapangan.

Masalah praktikal-implementatif dan penataannya


Sesungguhnya dari pengalaman sejarah berbagai negara, termasuk Indonesia,
dalam menjalankan ideologi problem utamanya adalah masalah implementasi.
Implementasi ideologi kerapkali melenceng dari nilai-nilai dasar ideologi itu
sendiri. Munculnya ketidakadilan dan pelanggaran atas nilai-nilai ketuhanan dan
kemanusiaan, misalnya, lebih banyak terjadi pada tataran implementasi
praktisnya ketimbang pada kemurnian nilai-nilai dasarnya. Tidak jarang juga
nilai fundamental Pancasila ditorpedo oleh nilai-nilai instrumental seperti
banyaknya peraturan perundang-undangan yang bermasalah karena diproduk
melalui kesepakatan politik yang kolutif.
Oleh sebab itu untuk mengantisipasi kompleksitas yang lebih meluas agar
generasi milenial tidak teracuni oleh noda pelunturan nasionalisme dan
patriotisme maka perlu penataan ulang atas nilai-nilai praktikal dan
instrumental dari ideologi Pancasila. Generasi milenial yang merupakan generasi
penerus harus difasilitasi dengan praktik-praktik pemerintahan yang bersih dan
masyarakat yang harmonis agar kesetiannya kepada bangsa dan negara tidak
tergerus karena mencari tempat curahan hati lain yang lebih memudahkan.
Untuk menata nilai-nilai instrumental peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan Pancasila harus ditata ulang ke dalam regulasi yang
harmonis secara vertikal maupun horizontal sehingga berkeadilan. Untuk
menata implementasi praktisnya perlu dilakukan penataan birokrasi agar
pemerintah tampil dengan visi good governnance dan clean government yang
disertai dengan penegakan hukum yang ketat.
Selanjutnya untuk mengantisipasi perubahan-perubahan mendasar terkait
dengan era milenial dan dan disrupsi untuk keperluan jangka panjang kita perlu

13
juga menata sistem pendidikan kita. Pendidikan kritis (critical pedagogy) bisa
menjadi alternatif yang bagus. Di dalam pendidikan kritis visi pendidikan harus
diorientasikan pada mencetak anak-anak didik agar kritis terhadap semua
persoalan, bukan hanya menerima transfer ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) tetapi mampu mentransformasi IPTEK tersebut ke dalam kehidupan
sehari-hari tanpa bisa lepas dari nilai-nilai dasar Pancasila. Di dalam pendidikan
kritis para pendidik tidak boleh pasif tetapi harus kritis bahkan skeptis terhadap
dalil-dalil yang diangap sudah baku sebab watak disruptif di era melenial
meniscayakan terjadinya perubahan-perubahan mendasar dan mendasak secara
digital sehingga anak didik dipersiapkan dengan kebiasaan untuk juga membuat
perubahan-perubahan yang mendasar ke arah yang lebih keratif dan inovatif
agar menjadi lebih produktif secara positif dalam kehidupannya.

Sebenarnya tuntutan untuk menjadi kritis secara positif dalam berbagai


lapangan sudah menjadi kebutuhan dalam dunia pendidikan. Di dalam studi ilmu
hukum, misalnya, ada Critucal Legal Studies (studi hukum kritis) dimana hukum
tidak bisa hanya diperlakukan sebagai norma yang given melainkan harus
dikritisi bahkan dicurigai pembentukannya terutama dari
persaingan-persaingan politik yang melatarbelakanginya. Intinya, dunia
pendidikan harus diarahka agar para peserta didik menjadi manusia yang kreatif,
adaptif, inovatif, dan kritis tetapi dengan tetap bertanggungjawab atas
keselamatan bangsa dan kemajuan bersama. Itulah sebenarnya pesan yang
sangat mendasar tentang pendidikan yang dituangkan di dalam Pembukaan UUD
1945 dengan rumusan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pendidikan kita
bukanlah pengajaran untuk mencerdaskan otak melainkan tarbiyyah untuk
mencerdaskan kehidupan. Kecerdasan kehidupan adalah kecerdasan manusia
yang ditandai oleh kecerdasan otak yang seimbang dengan kecerdasan wataknya.
Dalam istilah agama orang yang cerdas kehidupannya adalah mereka yang ulul
albab (pandai dan bermoral tinggi) yang dalam bahasa Jawa sering juga disebut
sarjana yang sujana (ilmuwan yang budiman dan baik hati).

BAHAN BACAAN

Daniel Bell, The End of Ideology: On The Exhaustion of Political Ideas in Fifties,
Free Press, New York, 1960.

Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, Hamish Hamilton,
London, 1992.

Hans Kelsen, General Theory of Law, Russel & Russel, New York, 1973.

Kaelan, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma,


Yogyakarta, 2002.

14
Manfred Steger, Globalism, the New Market Ideology, Rowman and Littlefield
Publishers, USA, 2002.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998.

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali


Press, Jakarta, 2012.

Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila, CV Haji Masagung, Jakarta, 1989.

Roland C. Den Otter, Judicial Review in an Age of Moral Pluralism, Cambridge


University Press, New York, 2007.

Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order,
Harvard University, 1994.

Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila, Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya,


PT Gramedia, Jakarta, 1989.

15

Anda mungkin juga menyukai