DI ERA MILENIAL1
Moh. Mahfud MD2
Munculnya kerisauan
Ada kerisauan yang muncul di tengah-tengah kita terkait dengan eksistensi
Pancasila sebagai dasar ideologi negara: apakah Pancasila masih bisa kita
pertahankan sebagai dasar ideologi negara? Apakah Indonesia dengan jatidiri
dan geopolitiknya masih bisa dipertahankan tanpa Pancasila? Penyebab
munculnya kerisauan dan pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekurang-kurangnya
ada tiga macam. Pertama, ada gejala kelunturan dan penggerusan pemahaman
dan penghayatan Pancasila di kalangan generasi penerus paska reformasi tahun
1998 yang dibarengi dengan melemahnya sosialisasi dan pendidikan Pancasila di
lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga kemasyarakatan lainnya. Kedua,
perkembangan sejarah sosial terus mempertanyakan relevansi dan perubahan
arah ideologi seperti yang dikemukakan oleh Bell, Fukuyama, dan Huntington. 3
Ketiga, tampilnya dominasi generasi milenial (Generasi Y) yang mempunyai
sifat-sifat sendiri karena masifikasi teknologi informasi atau digitalisasi dalam
kehidupan global masyarakat dunia. Era milenial sering dikaitkan bahkan
disamakan dengan Era Disrupsi, Era Industri 4.0, dan Era Digitalisasi yang
mengubah cara hidup secara fundamental karena semua dilakukan dengan serba
instan melalui sentuhan-sentuhan jari terhadap smartphone atau teknologi
informasi yang sangat canggih.
Distorsi konseptual
Menurut pemakalah ada tiga level nilai untuk melihat eksistensi Pancasila
sebagai dasar ideologi negara untuk kemudian menganalisis bagian atau level
mana yang menghadapi persoalan. Ketiga level nilai tersebut adalah nilai
fundamental, nilai instrumental, dan ilai praktikal. Nilai fundamental adalah
1
nilai-nilai dasar seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan yang tidak bisa dan tidak boleh diubah. Nilai-nilai instrumental adalah
nilai-nilai yang dimplementasikan ke dalam sistem pemerintahan dan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan nilai-nilai fundamental tersebut. Ada
pun nilai-nilai pratikal yang lebih tepatnya bisa disebut sebagai implementasi
praktis adalah pelaksanaan Pancasila secara nyata dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara dalam kehidupan sehari-hari (day to day politics). Dalam banyak
analisis dan kesimpulan umum sebenarnya yang menjadi masalah adalah
munculnya distorsi konseptual dan kontroversi atau nilai-nilai instrumental yang
tertuang ke dalam peraturan perundang-undangan dan yang lebih parah adalah
nilai-nilai praktikalnya. Dalam perdebatan ada penilaian bahwa beberapa materi
perubahan UUD, misalnya, bertentangan dengan Pancasila dan banyak peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di dalam
UUD itu sendiri. Terlepas dari soal benar atau tidak, misalnya, ada persoalan
apakah pemilihan langsung dan penurunan derajat MPR itu bertentangan dengan
asas permusyawaratan di dalam Pancasila atau tidak; begitu juga prinsip
efisiensi dalam tata ekonomi kita bertentangan dengan asas kekeluargaan dan
ekonomi kerakyatan ataukah tidak. Itu masih perdebatan, terlepas dari soal
masing-masing kita menganut pendapat yang mana. Jadi persoalan mendasar
sebenarnya bukan terletak pada nilai-nilai dasar atau fundamental Pancasila
tetapi terletak pada bagaimana kita menuangkan nilai-nilai dasar tersebut ke
dalam instrumen-instrumen kepemerintahan dan peraturan
perundang-undanngan. Lebih parah dari itu ternyata kompleksitas dan problem
ideologi kita lebih banyak muncul dari level praktikal, yakni, banyaknya kasus
dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari yang bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila seperti nilai-nilai keadilan, nilai permusyawaratan, nilai-nilai
kemanusiaan, dan sebagainya. Sampai saat ini, misalnya, kita masih dihadapkan
secara serius dalam pratik pemerintahan pada masalah penegakan hukum,
ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan korupsi yang sepertinya kita tidak berdaya
untuk menghadapinya. Pelanggaran-pelanggaran dari sudut praktikal ini tidak
boleh terus menerus dipertontonkan kepada generasi milenial karena jika itu
selalu terjadi tentu akan mennggerus sikap nasionalisme dan patriotisme untuk
kemudian, demi kenyamanan hidup, banyak yang lebih meleburkan diri ke dalam
nilai-nilai luar melalui dunia digital.
4Selanjutnya lihat dalam Moh. Mahfud MD, Ideologi Pancasila sebagai Arah
Pembangunan Bangsa, makalah pada Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan
bagi Pimpinan Universitas, Dosen serta Tenaga Kependidikan yang diselengrakan
dalam kerjasama antara Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Lembaga
2
keraguan atas ideologi muncul dalam bentuk tawaran ideologi alternatif dengan
alasan Pancasila tidak berhasil membangun kesejahteraan rakyat dan keadilan
sosial seperti yang dijanjikannya. Gugatan terhadap ideologi yang seperti itu
sebenarnya sudah lama muncul dalam studi sejarah sosial. Daniel Bell pada
tahun 1960 menulis buku “the End of Ideology” yang menyatakan bahwa ideologi
negara tidak lagi relevan karena tidak ada satu pun ideologi yang bisa memenuhi
janjinya. Tetapi pasca terbitnya buku Bell itu ideologi individualisme liberal atau
kapitalisme dan sosialisme komunis masih terus berkembang dan menjadi ciri
dua blok ideologi yakni Barat (Kapitalisme) yang dipimpin oleh Amerika Serikat
dan Timur (Komunisme) yang dipimpin oleh Uni Soviet. Kedua blok terlibat
dalam perang dingin selama pulihan tahun. Setelah bubarnya perang dingin
karena runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989 Francois Fukuyama meluncurkan
buku “the End of History” (1992) yang menyatakan ke depannya tidak akan ada
lagi perang ideologi karena dunia akan dihegemoni oleh liberasme dan pasar
bebas. Tetapi Samuel P. Huntington melihatnya secara lain. Melalui bukunya “the
Clash of Civilazation” (1994) Huntington mengatakan bahwa ke depan masih
akan terjadi perang tetapi perangnya sudah bergeser menjadi perang peradaban
antara Barat dan Timur. Di Timur, kata Huntington, yang didominasi oleh Islam
akan tumbuh radikalisme dan terrorisme. Jika dilihat faktanya apa yang ditulis
oleh ketiga ahli sejarah sosial itu ada benarnya, meski tidak seluruhnya. Yang
benar dari Daniel Bell adalah fakta bahwa tidak ada ideologi yang bisa memenuhi
janjinya dalam praktik; yang benar dari Fukuyama adalah fakta bahwa
kapitalisme dengan pasar bebasnya tidak bisa dibendung oleh dunia mana pun;
yang benar dari Huntington adalah me=unculnya gejala radikalisme dan
terrorisme di dunia Timur.
Terlepas dari analisis sejarah sosial dari ketiga pakar tersebut Pancasila sebagai
dasar ideologi negara di Indonesia mempunyai posisi sendiri yang sangat kuat.
Pancasila merupakan pemersatu bangsa yang memberi arah kepada perjalanan
bangsa. Sampai saat ini fungsi tersebut begitu kuatnya sehingga ada semacam
keyakinan bahwa Pancasila merupakan azimat kesaktian. Pancasila adalah sakti
maksudnya tidak tergantikan dan selalu menjadi tempat kembali ketika ada
konflik serta selalu menang jika dilawan atau dihadapkan dengan ideologi lain.
Pancasila pernah dilawan baik dengan kekerasan seperti pemberontakan atau
melalui perdebatan yang legal-konstitusional di lembaga negara. Perlawanan
terhadap Pancasila dengan cara kekerasan dilakukan melalui pemberontakan
bersenjata seperti yang dilakukan oleh PKI, DI/TII yang akhirnya bisa dikalahkan
oleh kekuatan aparat negara bersama rakyat. Perlawanan terhadap Pancasila
melalui proses legal-konstitusional adalah perlawanan melalui pengambilan
keputusan untuk menentukan dasar ideologi negara dan konstitusi oleh lembaga
negara yang dibentuk dan mempunyai kewenangan yang sah untuk melakukan
Ketahanan Nasional (Lemhanas) di Gedung Lemhanas, Rabu, tanggal 14
November 2018.
3
itu. Pergulatan melalui proses legal-konstitusional ini bisa dejejak melalui tiga
tonggak sejarah.
Pertama, perdebatan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK)5 yang semula melahirkan ide ekstrem antara negara sekuler dan negara
Islam ditambah dengan ide lain seperti negara integralistik ala Soepomo
akhirnya disepakati melalui kompromi prismatika yakni negara Pancasila dengan
diterimanya lima sila yang dituangkan di dalam Pembukaan UUD 1945. Semula
Pembukaan UUD 1945 ini bernama Mukaddimah yang disusun oleh Panitia
Sembilan tanggal 22 Juni 1945 yang disebut sebagai Piagam Jakarta. Di dalam
Piagam Jakarta sila pertamanya adalah “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tetapi pada tanggal 18
Agustus 1945 disepakati6 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK)7 diubah
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”8
Kedua, perdebatan di Konstituante hasil Pemilu tahun 1955. Seperti diketahui
penerimaan atas Pancasila dan UUD 1945 pada tahun 1945 masih menyisakan
perdebatan politik di tengah-tengah masyarakat sehingga, sesuai dengan Pidato
Ketua PPKI Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945 dan sesuai dengan Aturan
Tambahan UUD 1945, perlu diputuskan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang
dipilih melalui Pemilu. Melalui Pemilu tahun 1955 terbentuklah Konstituante,
sebuah majelis yang diberi tugas untuk menetapkan kembali konstitusi yang
permanen setelah berlaku UUDS 1950 sejak 17 Agustus 1950. Setelah bersidang
selama 3,5 tahun yang juga didominasi oleh perdebatan tentang dasar negara
dan Konstituante dianggap gagal dan membahayakan keutuhan bangsa akhirnya
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang,
sejauh terkait dengan dasar ideologi negara, memberlakukan kembali UUD 1945
dan menguatkan Pncasila yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Ketiga, Pertimbangan Pancasila sebagai dasar negara terjadi lagi melalui proses
legal-konstitusional di lembaga negara yang resmi yakni di Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca reformasi 1998. Untuk menampung ide
reformasi 1998 secara lebih kuat disepakatilah adanya perubahan (amandemen)
terhadap UUD 1945 dengan semboyan “tidak ada reformasi tanpa perubahan
UUD 1945”. Pemerintahan BJ Habibie mengumumkan akan diselenggarakannya
5Di dalam beberapa literatur pasca kemerdekaan sering ada kata Indonesia
sehingga disebut BPUPKI, tetapi sebenarnya nama resminya tidak memakai kata
Indonesia karena pada waktu itu negara belum resmi berdiri. Nama badan ini
dalam bahasa Jepang adalah Dokuritzu Zyunbi Coosakai.
6Kesepakatan yang dicapai oleh para pendiri negara pada tanggal 22 Juni 1945
yang kemudian diperbarui pada tanggal 18 Agustu 1945 itu sering disebut
sebagai modus vivendi atau kesepakatan luhur.
7Nama resminya adalah Dokuritzu Zyunbi Iinkai, tanpa kata Indonesia karena
waktu itu nama resmi Indonesia belum dipakai berhubung negara Indonesia
belum resmi berdiri.
8Semua kata Islam yang ada di dalam UUD yakni di dalam Pasal 6 dan Pasal 29
dicoret, disesuaikan dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarata.
4
pemilu dan mempersilahkan masyarakat membentuk partai-partai untuk
mengikuti pemilu. Banyak partai politik yang ikut pemilu dan ada beberapa di
antaranya yang selain mengagendakan perubahan UUD 1945 juga menginginkan
perubahan Pancasila sebagai dasar negara, misalnya, memberlakukan Piagam
Jakarta. Tetapi dalam perdebatan-perdebatan di persidangan MPR antara tahun
1999-2002 Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila tetap dipertahankan
secara kokoh karena kekuatan parpol-parpol yang ingin menggantikannya sama
sekali tidak signifikan.
5
kemerdekaan sebagai jembatan emas pada tanggal 17 Agustus 1945. Berkah
kemerdekaan itu memang sudah banyak yang bisa kita nikmati, misalnya, kita
hidup di negara yang secara konstitusi dan hukum berdaulat, kita bisa memilih
pemimpin sendiri, kita bisa menempuh pendidikan sehingga bisa menjadi kita
seperti sekarang ini. Jika kita melihat sedikit data perkembangan dalam empat
tahun terakhir ini, misalnya, memang ada pergerakan maju tetapi sangat lambat.
Dalam aspek hukum kita mencatat berkembangnya indeks negara hukum dari
5,31 (2016) menjadi 5,84 (2017). Dari aspek demokrasi kita mencatat bahwa
indeks kebebasan berpendapat mencapai angka 78,75, lembaga demokrasi
mencapai indeks 72,49, dan kaderisasi parpol mencapai indeks 68,91.
Distorsi konsep-konsep
Selain fakta kurang menggebirakan tentang realitas kebernegaraan kita di dalam
kehidupan politik kita juga muncul wacana tentang distorsi konsep-kosep
bernegara. Yakni, adanya anggapan bahwa implementasi ide dan konsepsi
bernegara ke dalam peraturan perundang-undangan telah menyimpang dari ide
dasar Pancasila dan UUD 1945. Saya mengatakan hal itu sebagai “anggapan”
karena masalahnya masih bisa diperdebatakan, apakah kesalahan konsep dalam
menuangkan Pancasila ke dalam peraturan perundang-undangan ataukah
kesalahan implementasinya saja. Di antara masalah-masalah yang dipersoalkan
adalah penerapan ekonomi konstitusi dan penerapan demokrasi.
6
dimasukkan di dalam perubahan UUD 1945 karena dianggapnya bertentangan
dengan ekonomi Pancasila. Sementara yang mengusulkan perubahan pasal-pasal
UUD 1945 dalam kaitan dengan ekonomi juga menyatakan untuk memakmurkan
rakyat sesuai dengan Pancasila. Sampai sekarang pun perdebatan tentang
konsepsi ekonomi kita belum juga usai.
Ada pun yang terkait dengan pelaksanaan demokrasi terjadi juga gugatan karena
anggapan adanya distorsi dalam konsep. Adanya pemilihan langsung untuk
Pilpres maupun untuk Pilkada, misalnya, sering dipertentangkan dengan konsep
demokrasi kita yang menyebut “… permusyawaratan/perwakilan”. Para pengritik
menyebut bahwa pemilihan langsung bertentangan dengan Pancasila karena
Pancasila meniscayakan pemilihan oleh lembaga perwakilan, bukan secara
langsung. Pandangan tersebut tentu keliru karena adanya frasaa
“permusyawaratan/perwakilan” di dalam sila keempat Pancasila bukan
dimaksudkan untuk mengharuskan adanya pemilihan tidak langsung melainkan
berisi keharusan adanya lembaga-lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat
seperti DPR, DPD, DPRD serta gabungan anggota-anggota lembaga perwakilan
tingkat pusat yakni MPR. Masalah lain yang terkait dengan demokrasi adalah
pengambilan keputusan berdasar pemungutan suara (voting) yang juga sering
dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Para pengritik voting
menganggap bahwa pengambilan keputusan yang sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945 adalah musyawarah mufakat. Menurut saya pendapat tersebut kurang
tepat karena dua hal. Pertama, tidak memberi jalan keluar jika musyawarah
mufakat (mufakat bulat) tidak dapat dicapai padahal tidak mungkin semua hal
bisa disepakati secara bulat sehingga memang harus diselesaikan secara voting.
Kedua, sebenarnya bentuk pemerintahan dan bentuk negara berdasar Pancasila
ini dulunya dilakukan secara voting di BPUPK. Pada sidang yang berlangsung
tanggal 10 sampai dengan 16 Juli 1945 para pendidi negara memperdebatkan
apakah bentuk negara akan diabngun dalam bentuk republik atau kerajaan.
Karena perdebatan tidak mencapai titik temu maka dilakukan setem (voting)
yang menghasilkan 55 suara memilih bentuk republik, 6 suara memilih bentuk
kerajaan, dan 1 suara abstain. 9 Begitu juga soal bentuk negara kesatuan
diselesaikan secara voting karena Bung Karno dan beberapa anggota lain
menghendaki negara kesatuan sedangakan Bung Hatta dan beberapa anggota
lain mengehendaki negara federal. Voting tentang bentuk negara ini mengasilkan
6 anggota memilih bentuk negara federal sedangkan selebihnya, dari seluruh
yang hadir, memilih bentuk negara kesatuan. Jadi sebenarnya voting sudah
dipraktikkan oleh para pendiri negara pada saat mulai mendirikan negara.
Musyawarah mufakat tentu sangat dianjurkan karena secara ilmiah Indonesia
menganut konsep deliberative democracy tetapi jika hal itu tidak bisa dicapai
maka penyelesaian melalui voting bisa ditempuh. Di dalam demokrasi kita hasil
9Jumlah anggota BPUPK adalah 62 orang, termasuk dua orang Pimpinan (Ketua
dan Wakil Ketua, Radjiman Wedyodiningrat dan RP Suroso)
7
voting harus dilaksanakan dalam suasana kebersamaan, yang menang maupun
yang kalah tidak boleh saling meninggalkan atau terus berlawanan.
Lebih dari dua tahun belakangan ini perdebatan politik dalam rangkan
pelaksanaan konstitusi kita diwarnai oleh wacana perlunya perubahan terbatas
UUD 1945 guna menghidupkan kembali wewenang MPR untuk membuat
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Alasannya pelsanaan Pancasila dan
UUD 1945 sekarang ini mengandung kekacauan, tidak jelas, tumpang tindih,
saling tabrak, tidak tercipta terkordinasi baik antara lembaga negara dan antar
unit-unit pemerintahan maupun antar Pusat dan Daerah-daerah. Itu semua
disebabkan oleh tidak adanya lagi GBHN seperti pada masa lalu sehingga perlu
dihidupkan lagi Pasal 3 UUD 1945 yang menentukan bahwa “Majelis
Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar daripada haluan
negara”..
Sebenarnya kuranglah tepat kalau ketentuan Pasal 3 UUD 1945 yang lama itu
dinyatakan sebagai dasar adanya GBHN sebagai nama dan bentuk hukum resmi
dari haluan negara. Arah atau peta jalan haluan negara memang harus ada tetapi
namanya tidak harus bernama GBHN dan bentuknya juga tidak harus Tap MPR.
Kata “menetapkan” di dalam Pasal 3 tersebut nama dan bentuk produknya bisa
bermacam-mmacam. Dalam praktik ketatanegaraan kita saat berlakunya UUD
1945 sebelum diamandemen pun turunan Pasal 3 yang diberi nama resmi GBHN
itu baru dikenal sejak tahun 1973. Yakni ketika pemerintahan Orde Baru
mengeluarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara.
Sebelum itu, pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, peta jalan haluan
negara kita bukan bernama GBHN tetapi bernama Manifesto Politik (Manipol)
yang dituangkan di dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang
Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap
Pertama 1961-1969 (GBPPNSB). Jadi meskipun dasarnya sama-sama Pasal 3
UUD 1945 namun pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru memberi nama dan
masa keberlakukan yang berbeda atas haluan negara negara.
Pada zaman Presiden Soekarno haluan negara kita adalah Manipol yang
dituangkan ke dalam Tap MPRS tentang GBPPNSB dengan masa berlaku
sembilan tahun, sedangkan pada zaman Presiden Soeharto haluan negara kita
disebut Repelita dan atau Pelita yang dituangkan ke dalam Tap MPR tentang
GBHN. Pada era Orde Baru peta jalan haluan negara dituangkan dalam rangkaian
10Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Mana Haluan Negara Kita?” dimuat di Harian
Koran Sindo, edisi Sabtu, 27 Agustus 2016, hlm. 1
8
pembangunan berkesinambungan yang jangka panjangnya dipengggal-penggal
ke dalam jangka panjang 25 tahunan yang dipenggal lagi ke dalam jangka
menengah lima tahunan (Pelita) dan jangka pendek tahunan (APBN).
Jadi GBHN bukanlah nama dan bentuk resmi yang ldiharuskan oleh Pasal 3 UUD
1945 yang asli melainkan produk kebijakan hukum rezim Orde baru yang,
meskipun dasarnya sama, berbeda nama dan masa masa berlakunya dengan
kebijakan Orde Lama. Pada era reformasi ini pun kita mempunyai haluan negara
sebagai turunan dari UUD 1945 yang sudah diamandemen yakni UU No. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU
No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN). Jangkauan pembangunan kita menurut UU SPPN dan UU RPJPN adalah
20 tahunan untuk jangka panjang dan limatahun untuk jangka menengah, dan
tahunan untuk jangka pendek. Haluan negara kita di bawah UUD pada era
reformasi ini memang tidak diberi baju hukum Tap MPR karena berdasar sistem
ketatanegaraan sekarang MPR tidak lagi mengeluarkan Tap yang bersifat
mengatur (regeling).
Kurang tepat juga kalau dalam sistem yang sekarang dikatakan menyebabkan
terputusnya pembangunan yang berkesinambungan sehingga kalau “ganti
Presiden, ganti haluan”. Anggapan adanya keterputusan itu keliru karena di
dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No. 17 Tahun 2007 ditegaskan bahwa agar
pembangunan bisa berkesinambungan maka Presiden yang akan mengakhiri
masa tugasnya (harus) membuatkan program kerja untuk Presiden yang akan
menggantikannya.
Sebenarnya persoalannya, bukan kita tidak punya haluan atau salah arah. Kalau
kita rekonstruksi UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2007 maka
susbtansinya sama belaka dengan Tap-tap MPR tentang GBHN. Bahkan dengan
adanya Perpres No. 2 Tahun 2015 yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi
tanggal 8 Januri 2015 sebenarnya konstruksi haluan negara dan rencana
pembangunan kita sama dengan Repelita zaman Orde Baru yang setiap lima
tahun dikeluarkan oleh Presiden melalui Kepres. Persoalan kita sebenarnya
adalah tidak adanya konsistenasi karena selalu terjadi torpedo politik terhadap
haluan yang ada. Jadi persoalannya tidak terletak di Undang Undang Dasar
melainkan pada implementasi dalam politik sehari-hari. Meskipun begitu, jika
memang diperlukan dan dianggap sebagai jalan terbaik untuk mengatasi
kesemrawutan arah perjalanan maka perubahan kembali UUD 1945, baik
sebagian (terbatas) maupun seluruhnya, baik membuat yang baru sama sekali
maupun kembali memberlakukan yang asli, bisa saja dilakukan sebab konstitusi
itu adalah resultante bangsa yang bisa diubah dengan resultante baru.
9
Meskipun begitu haruslah diingat, seumpama pun kita bersepakat akan
melakukan perubahan kembali UUD 1945 maka tidak lantas kita bisa optimis
atau berpikir bahwa hasil perubahan itu nantinya bisa diterima oleh semua
orang. Berdasar sejarah perjalanan bangsa kita dapat mencatat bahwa tidak
pernah ada satu UUD pun yang tidak digugat untuk diubah lagi begitu
diberlakukan. Marilah kita lihat catatan ini.11
Seperti diketahui pada tahun 1946 Belanda masuk kembali ke Indonesia dengan
alasan bahwa sebelum Sekutu kalah dalam awal Perang Dunia II pada tahun
1941 Indonesia (waktu itu bernama Hindia Belanda) adalah negeri jajahan
(kolonial) Belanda. Atas masuknya kembali Belanda itu pihak Indonesia
melakukan perlawanan melalui dua jalur yaitu perang fisik (termasuk gerilya)
dan diplomasi melalui perundingan-perundingan. Perundingan yang terakhir
dengan Belanda adalah Konperensi Meja Bundar yang kemudian melahirkan
pengakuan kedaulatan atas Indonesia oleh Belanda, pembentukan Uni
Indonesia-Belanda, dan perubahan NKRI menjadi Negara Republik Indonesia
Serikat. Berdasar itu berlakulah KRIS 1949 sebagai konstitusinya.
10
UUDS 1950
Belum berjalan enam bulan KRIS 1949 berlaku sudah digugat lagi
keberlakuannya. M. Natsir dari Partai Masyumi mengeluarkan “Mosi Integral”
yang menyerukan agar Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan
mengganti KRIS 1949. Mosi itu mendapat dukungan luas sehingga disepakatilah
agar Indonesia segera kembali ke bentuk negara kesatuan dan sebuah UUD
pengganti KRIS harus disiapkan. Rancangan UUD itu disiapkan oleh Soepomo
yang di dalamnya menetapkan bentuk negara kesatuan dengan pemerintahan
bersistem Parlementer.
Namun rancangan UUD tersebut tidak disepakati secara bulat untuk dijadikan
UUD permanen sehingga keberlakuannya ditetapkan untuk sementara dan
karenanya sejak awal keberlakuannya secara resmi disebut UUDS 1950. Untuk
membentuk UUD yang permanen diselenggarakanlah pemilihan umum pada
tahun 1955 guna membentuk Konstituante dengan tugas membentuk satu UUD
sebagai pengganti UUDS. Tetapi Konstituante yang bersidang sejak Maret tahun
1956 tidak berhasil menyelesaikan tugasnya sehingga akhirnya dibubarkan oleh
Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang sekaligus
memberlakukan kembali UUD 1945.
11
Pemerintahan Orde Baru yang dimotori oleh TNI Angkatan Darat tidak
mempersoalkan konstitusi tetapi mempersoalkan pelaksanannya pada era Orde
Lama yang dianggap penuh pelanggaran terhadap Pancasila dan UUD 1945. Oleh
sebab itu Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto
menegaskan sikapnya dengan semboyan “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen”.
Pada awal-awal berdirinya Orde Baru sebenarnya sudah ada bibit-bibit keinginan
untuk mengganti UUD 1945 seperti yang terlihat dari kerja-kerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang dipimpin oleh AH Nasution.
Pada saat itu MPRS membentuk dua Panitia Ad Hoc untuk memperbaiki sistem
ketatanegaraan yakni Panitia Ad Hoc tentang Sistem Pemerintahan Negara yang
menhasilkan rekomendasi sistem Parlementer dan Panitia Ad Hoc tentang
pengujian yudisial (judicial review) UU terhadap UUD. Namun pihak Pemerintah
menolak keputusan kedua Panitia Ad Hoc tersebut dan lebih memilih untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara “murni dan konsekuen”.
Demokrasi yang dibangun oleh Orde Baru disebut Demokrasi Pancasila. Tetapi
dalam praktiknya pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 oleh Orde Baru telah
menyuburkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pada tahun 1997 terjadi
krisis moneter yang kemudian memancing gerakan reformasi di Indonesia
sehingga melalui Reformasi 1998 pemerintahan Orde Baru jatuh.
12
Komisi Konstitusi yang dipimpin Oleh Sri Soemantri itu tidak ditindaklanjuti oleh
MPR.
13
juga menata sistem pendidikan kita. Pendidikan kritis (critical pedagogy) bisa
menjadi alternatif yang bagus. Di dalam pendidikan kritis visi pendidikan harus
diorientasikan pada mencetak anak-anak didik agar kritis terhadap semua
persoalan, bukan hanya menerima transfer ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) tetapi mampu mentransformasi IPTEK tersebut ke dalam kehidupan
sehari-hari tanpa bisa lepas dari nilai-nilai dasar Pancasila. Di dalam pendidikan
kritis para pendidik tidak boleh pasif tetapi harus kritis bahkan skeptis terhadap
dalil-dalil yang diangap sudah baku sebab watak disruptif di era melenial
meniscayakan terjadinya perubahan-perubahan mendasar dan mendasak secara
digital sehingga anak didik dipersiapkan dengan kebiasaan untuk juga membuat
perubahan-perubahan yang mendasar ke arah yang lebih keratif dan inovatif
agar menjadi lebih produktif secara positif dalam kehidupannya.
BAHAN BACAAN
Daniel Bell, The End of Ideology: On The Exhaustion of Political Ideas in Fifties,
Free Press, New York, 1960.
Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, Hamish Hamilton,
London, 1992.
Hans Kelsen, General Theory of Law, Russel & Russel, New York, 1973.
14
Manfred Steger, Globalism, the New Market Ideology, Rowman and Littlefield
Publishers, USA, 2002.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998.
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order,
Harvard University, 1994.
15