KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan………………………………………………………………………..
Saran…………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………………………………………… ………
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun Makalah ini dengan baik dan
tepat waktu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita nabi
besar Muhammad SAW dan tak lupa saya ucapkan terimakasih atas semua pihak yang ikut
membantu penyusunan makalah tentang HUKUM KELUARGA WARIS & ADAT.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat saya harapkan guna
kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata
kuliah ini dan kepada pihak-pihak yang telah membantu ikut serta dalam penyelesaian
makalah ini. Semoga hadirnya makalah yang sederhana ini memberi manfaat untuk pembaca
dan terutam untuk penulis.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Kabupaten Banyuwangi, Enam tahun lalu hanyalah sebuah kabupaten kecil di sudut Jawa
Timur. Citra yang melekat dulu adalah daerah untuk mencari dukun, selain tempat
penyeberangan ke Bali. Kini citra buruk itu pudar dan nama Banyuwangi semakin terkenal
dengan destinasi wisata dan budaya yang memukau contohnya adalah Kawah Ijen dan Pantai
Pulau Merah yang menjadi primadona wisata alamnya, tidak hanya potensi alamnya akan
tetapi juga potensi budayanya seperti halnya adalah suku Osing yang mempunyai beragam
adat istiadat dan budaya. Menurut A. Yoeti dalam bukunya “Pengantar Ilmu Pariwisata”
tahun 1985 menyatakan bahwa daya tarik wisata atau “tourist attraction”, istilah yang lebih
sering digunakan, yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang untuk
mengunjungi suatu daerah tertentu.
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan yang ingin dicapai
dari pen
elitian ini adalah “Untuk mengetahui dan mendeskripsikan eksistensi “Desa
Kemiren” sebagai desa adat Suku Osing.
BAB II
PEMBAHASAN
1.Pengertian Perkawinan
Terruwe (dalam Yuwana & Maramis, 2003) menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu
persatuan. Persatuan itu diciptakan oleh cinta dan dukungan yang diberikan oleh seorang pria
pada isterinya, dan wanita pada suaminya.
Menurut Goldberg (Yuwana & Maramis, 2003), perkawinan merupakan suatu lembaga yang
sangat populer dalam masyarakat, tetapi sekaligus juga bukan suatu lembaga yang tahan uji.
Perkawinan sebagai kesatuan tetap menjanjikan suatu keakraban yang bertahan lama dan
bahkan abadi serta pelesatarian kebudayaan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan inter-
personal.
Menurut Kartono (1992), pengertian perkwainan merupakan suatu institusi sosial yang diakui
disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna perkawinan berbeda-beda, tetapi
praktek-prakteknya perkawinan dihampir semua kebudayaan cenderung sama perkawinan
menunujukkan pada suatu peristiwa saat sepasang calon suami-istri dipertemukan secara
formal dihadapan ketua agama, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan
secara resmi dengan upacara dan ritual-ritual tertentu.
Menurut Saxton (1986) , perkawinan mengatakan bahwa memiliki dua makna, yaitu :
b. Makna individual
Perkawinan sebagai bentuk legitimisasi (pengesahan) terhadap peran sebagai individual,
tetapi yang terutama, perkawinan di pandang sebagai sumber kepuasan personal.
Berdasarkan berbagai definisi tentang perkawinan di atas, dapat disimpulkan bahwa
perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri
yang memiliki kekuatan hukum dan diakui secara sosial dengan tujuan membentuk keluarga
sebagai kesatuan yang menjanjikan pelestarian kebudayaan dan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan inter-personal.
Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang
penting, diantaranya adalah pembentukan sebuah keluarga yang didalamnya seseorang pun
dapat menemukan kedamaian pikiran. Orang yang tidak kawin bagaikan seekor burung tanpa
sarang. Perkawinan merupakan perlindungan bagi seseorang yang merasa seolah-olah hilang
dibelantara kehidupan, orang dapat menemukan pasang hidup yang akan berbagi dalam
kesenangan dan penderitaan.
Perkawinan merupakan aktivitas sepasang laki-laki dan perempuan yang terkait pada suatu
tujuan bersama yang hendak dicapai. Dalam pasal 1 Undang-Undang perkawinan tahun 1974
tersebut diatas dengan jelas disebutkan, bahwa tujuan perkawinan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut
Walgito (2000), masalah pernikahan adalah hal yang tidak mudah, karena kebahagiaan
adalah bersifat reltif dan subyektif. Subyektif karena kebahagiaan bagi seseorang belum tentu
berlaku bagi orang lain, relatif karena sesuatu hal yang pada suatu waktu dapat menimbulkan
kebahagiaan dan belum tentu diwaktu yang juga dapat menimbulkan kebahagiaan.
Masdar Helmy (dalam Bachtiar, 2004) mengemukakan bahwa tujuan perkawinan selain
memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga membentuk keluarga dan
memelihara serta meneruskan keturunan di dunia, mencegah perzinahan, agar tercipta
ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan
masyarakat.
Menurut Soemijati (dalam bachtiar, 2004) tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi
tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan keluarga bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, memperoleh keturunan
yang sah dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh hukum.
Menurut Bachtiar (2004), membagi lima tujuan perkawinan yang paling pokok adalah:
Memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga
yang damai dan teratur
Mengatur potensi kelamin
Menjaga diri dari perbuatan-perbuan yang dilarang agama
Menimbulkan rasa cinta antara suami-isteri
Membersihkan keturunan yang hanya bisa diperoleh dengan jalan pernikahan.
2. Definisi Perkawinan Menurut Hukum Adat dan Menurut Hukum Islam?
Secara umum definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Tuhan YME (UU No. 1/74).
Definisi Perkawinan Menurut Hukum Adat
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi juga orang tua
kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dalam
hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penteng bagi mereka yang
masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang
sepenuhnya mendapat perhatina dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah
pihak.
Berikut ini akan dikemukakan definisi perkawinan menurut hukum adat yang dikemukakan
oleh para ahli:
1. Hazairin
Menurut Hazairin perkawinan merupakan rentetan perbuatan-perbuatan magis, yang
bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan.
2. A. Van Gennep
Perkawinan sebagai suatu rites de passage (upacara peralihan) peralihan status kedua
mempelai. Peralihan terdiri dari tiga tahap:
• Rites de separation
• Rites de merge
• Rites de aggregation
3. Djojodegoeno
Perkawinan merupakan suatu paguyupan atau somah (jawa: keluarga), dan bukan merupakan
suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian. Hubungan suami-istri sebegitu eratnya
sebagai suatu ketunggalan.
Definisi Perkawinan Menurut Hukum Islam
Menurut hukum islam perkawinan adalah perjanjian suci (sakral) berdasarkan agama antara
suami dengan istri berdasarkan hukum agama untuk mencapai satu niat, satu tujuan, satu
usaha, satu hak, satu kewajiban, satu perasaan: sehidup semati. Perkawinan adalah
percampuran dari semua yang telah menyatu tadi. Nikah adalah akad yang menghalalkan
setiap suami istri untuk bersenag-senang satu dengan yang lainnya. (Jaza’iri, A.B.J,
2003;688).
3. PROSESI PERKAWINAN SUKU OSING
Salah satu masyarakat yang hidup di Jawa Timur yang cukup menarik tradisi perkawinannya
adalah masyarakat Osing Banyuwangi. Disebut menarik karena masyarakat Osing
Banyuwangi dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan campuran. Ini tampak
pada busana pengantinnya yang terpengaruh gaya Jawa, Madura, Bali, bahkan pengaruh dari
suku lain di luar Jawa. Di lingkungan masyarakat Osing Banyuwangi berlaku adat
perkawinan dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a.tahap perkenalan
Tahap perkenalan merupakan tahap penjajakan antara dua kekasih. Pada tahap ini bisa saja
terjadi, hubungan antara kedua kekasih terpaksa harus putus karena sesuatu sebab. Akan
tetapi ada pula yang berlangsung hingga ke jenjang perkawinan. Apabila tahap ini dapat
berlangsung dengan mulus, tanpa ada rintangan, maka di lanjutkan tahap selanjutnya, yaitu
tahap meminang.
b.tahap meminang
Peresmian perkawinan atau upacara perkawinan merupakan klimaks sekaligus inti adat
perkawinan. Oleh karena itu, pihak penyelenggara upacara akan mempersiapkan upaaara
secara matang dan khusus. Pelaksanaan upacara perkawinan di lingkungan masyarakat Osing
Banyuwangi terlihat sebagai paduan antara upacara yang bersifat agamis dengan upacara
tradisional. Bagi pemeluk agama Islam, akan silakukan Upacara Ijab Khobul sebagai salah
satu syarat sahnya perkawinan menurut agama Islam. Sebagai tanda sahnya perkawinan
tersebut, mereka akan memperoleh surat nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Agama
setempat.
d.pakaian adat osing banyuwangi
Berbicara tentang pakaian adat pengantin Osing Banyuwangi, cukup menarik. Apabila
kenyataan tertumpu pada kenyataan yang sekarang. Tidak jauh berbeda dengan masyarakat
lain, kendatipun sebagian besar masyarakat Osing berdomisili di daerah pedesaan, tetapi
karena letak desa - desa yang banyak dihuni masyarakat Osing di daerah banyuwangi ini
tidak terlalu jauh dari kota Banyuwangi, maka pengaruh modernisasi, utamanya yang
berhubungan dengan adat perkawinan dan pakaian pengantinnya telah masuk pula ke
pedesaan. Gejala yang terlihat adalah adanya kecenderungan pengantin gaya Solo atau
Yogyakarta. Keinginan ini tidak terlalu sulit diwujudkan karena banyak juru paes pengantin
yang siap dengan pakaian tersebut.
Bila diperhatikan dengan seksama, bagian - bagian dari pakaian pengantin tradisional
masyarakat Osing Banyuwangi menunjukkan adanya campuran antara pakaian pengantin
Jawa, pakaian tradisional Madura, Bali dan luarJawa. Pengantin pria memakai kuluk seperti
kuluk yang dipakai pengantin Jawa. Pengantin laki - laki atau perempuan dilengkapi
dilengkapi dengan asesoris berupa gelang atau binggel seperti yang digunakan oleh para
wanita dari masyarakat Madura. Asesoris untuk hiasan kepala pengantin wanita bentuknya
mirip dengan pakaian penari Bali. Baik pengantin pria ataupun wanita mengenakan kain
sarung pelekat yang dibuat dari bahan sutera baik berasal dari Bugis Makasar maupun dari
Samarinda. Jelas bahwa pakaian asli pengantin tradisional Masyarakat Osing Banyuwangi
sebagai hasil dari peminjaman kebudayaan.
Sisi lain yang tidak kurang menariknya adalah terjadinya kesepakatan sebagai upaya
melakukan perubahan dari busana pengantin tradisional tersebut. Karena sesuatu sebab,
beberapa orang yang merasa punya tanggung jawab terhadap masalah kebudayaan,
khususnya kebudayaan Banyuwangi, telah berhasil menciptakan pakaian pengantin
tradisional masyarakat Osing Banyuwnagi. Cara yang dilakukan adalah memodifikasi
pakaian pengantin yang pernah ada di lingkungan dengan menghilangkan bagian - bagian
yang dirasakan sudah ketinggalan jaman, misalnya meninggalkan kebiasaan memakai kaca
mata hitam baik untuk pengantin pria maupun pengantin wanita.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan sebagai hasil kajian dan analisa dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral , ini disebutkan pada pengertian perkawinan menurut
Undang-Undang maupun Hukum Islam. Terlebih di Indonesia masih banyak suku-suku yang
masih menjaga adat istiadat daerah mereka khususnya pada suku jawa Osing , yang dimana
masih sangat kental perkawinan adatnya.
Tak jarang masyarakat yang menikah dengan adat yang berbeda memadukan kedua adat yang
berbeda itu pula , namun pada kalangan masyarakat banyuwangi menikah dengan suku yang
sama.
Meskipun tak jarang masyarakat banyuwangi terutama masyarakat osing terpengaruh adat
istiadat dari masyarakat lainya , seperti busana pengantin, bahkan tak jarang terpengaruh oleh
adat masyarakat di luar pulau jawa , namun masih sangat berlaku adat , yaitu prosesi
pernikahan yang diwarisi turun temurun di kalangan masyarakat osing. Ini menandakan
bahwasanya perkembangan era globalisasi tak bisa dilepaskan dari peradaban manusia namun
tetap menjaga setidaknya beberapa adat istiadat.
Saran
Berkaitan dengan simpulan di atas, maka saran yang dapat disampaikan adalah:
1.Pada saat ini masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa sedang gencar-
gencarnya melaksanakan pembangunan di era globalisasi ini, disisi lain masyarakat Indonesia
harus tetap dan mempertahankan serta melaksanakan adat istiadat sebagai budaya bangsa.
Dan kepada orang-orang tua khususnya pada masyarakat Osing yang berada dikawasan
Banyuwangi, untuk lebih terbuka membangun komunikasi dengan anaknya mengenai adat
istiadat yang ada di daerah Banyuwangi.
2. Sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki beragam budaya , sebaiknya tetap menjaga
dan melestarikan adat istiadat yang telah ada. Baik adanya jika mengikuti perkembangan
pada era globalisasi ini namun alangkah baiknya tetap melestarikan agar kita sebagai bangsa
yang kaya akan budaya bisa memeperkenalkan lebih luas apa yang dimiliki Indonesia sebagai
tren baru diluar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Syaiful, Ampri Bayu S. dkk. 2015. JAGAT OSING Seni, Tradisi dan
kearifan Lokal Osing.
Maramis, W.F. & Yuwana, T.A. (1990). Dinamika Perkawinan Masa Kini.
Malang : Diana