Anda di halaman 1dari 14

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………..

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………

1.3 Tujuan ……………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian perkawinan menuut undang-undang


………………………………………………………………

2. Pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam


…………………………………………………………………………..

3. Prosesi Pernikahan Adat Masyarakat Osing


………………………………………………………………

BAB III PENUTUP

Kesimpulan………………………………………………………………………..

Saran…………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………………………………………… ………
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun Makalah ini dengan baik dan

tepat waktu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita nabi
besar Muhammad SAW dan tak lupa saya ucapkan terimakasih atas semua pihak yang ikut
membantu penyusunan makalah tentang HUKUM KELUARGA WARIS & ADAT.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat saya harapkan guna
kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata
kuliah ini dan kepada pihak-pihak yang telah membantu ikut serta dalam penyelesaian
makalah ini. Semoga hadirnya makalah yang sederhana ini memberi manfaat untuk pembaca
dan terutam untuk penulis.

Pontianak , 10 Januari 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari


berbagai suku bangsa dan sub-sub suku bangsa yang hidup dan tinggal di daerah-
daerah tertentu di Indonesia. Masing-masing suku bangsa memiliki adat istiadat,
bahasa, agama dan sebagainya yang berbeda satu sama lain. Masing-masing suku
bangsa dan sub-sub suku bangsa ini memiliki kekhasan yang merupakan kenyataan
yang unik, yang menggambarkan kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia.
Indonesia memiliki banyak aneka kebudayaan yang beragam baik berbentuk
materi maupun immaterial yang menunjukkan arti penting bagi masyarakat, serta
memiliki makna luas, baik dari segi penafsiran maupun perwujudan budaya lokal yang
berlainan. Adat adalah salah satu perwujudan lokal yang menunjukkan arti penting dari
suatu daerah dengan daerah lain, ekspresi adat tidak sama dan bervariasi dari setiap
komunitas. Hefiner dalam Erni Budiwanti mengemukakan bahwa adat memiliki
berbagai macam penggunaan regional.

Keanekaragaman adat tersebut merupakan


simbol-simbol perbedaan budaya sebagai ciri khas setiap masyarakat.
Mengenai persoalan hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena
adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa2 dan
identitas bagi tiap daerah. Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang
hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam
prakteknya (deskriptif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk
mengelola ketertiban di lingkungannya. Selain itu salah satu pengembangan wisata alternatif
dalam dunia kepariwisataan adalah desa wisata yang biasanya didasarkan atas potensi dan ciri
khas yang dimiliki masing-masing desa, antara lain: flora, fauna, rumah adat, pemandangan
alam, iklim, makanan tradisional, kerajinan tangan, seni tradisional, dan sebagainya.

Kabupaten Banyuwangi, Enam tahun lalu hanyalah sebuah kabupaten kecil di sudut Jawa
Timur. Citra yang melekat dulu adalah daerah untuk mencari dukun, selain tempat
penyeberangan ke Bali. Kini citra buruk itu pudar dan nama Banyuwangi semakin terkenal
dengan destinasi wisata dan budaya yang memukau contohnya adalah Kawah Ijen dan Pantai
Pulau Merah yang menjadi primadona wisata alamnya, tidak hanya potensi alamnya akan
tetapi juga potensi budayanya seperti halnya adalah suku Osing yang mempunyai beragam
adat istiadat dan budaya. Menurut A. Yoeti dalam bukunya “Pengantar Ilmu Pariwisata”
tahun 1985 menyatakan bahwa daya tarik wisata atau “tourist attraction”, istilah yang lebih
sering digunakan, yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang untuk
mengunjungi suatu daerah tertentu.

Penduduk Banyuwangi cukup beragam. Mayoritas adalah Suku Osing, namun


terdapat Suku Madura (kecamatan Muncar, Wongsorejo, Kalipuro, Glenmore dan Kalibaru)
dan suku Jawa yang cukup signifikan, serta terdapat minoritas suku Bali,
suku Mandar, dan suku Bugis. Suku Osing merupakan penduduk asli kabupaten
Banyuwangi dan bisa dianggap sebagai sebuah sub-suku dari suku Jawa.
Mereka menggunakan Bahasa Osing, yang dikenal sebagai salah satu ragam tertua bahasa
Jawa. Suku Osing Banyak mendiami di Kecamatan Glagah, Licin, Songgon, Kabat,
Rogojampi, Giri, Kalipuro, Kota serta sebagian kecil di kecamatan lain.
Sebagian besar orang Osing di Banyuwangi sekarang ini bermukim di 9
kecamatan dari 24 kecamatan di Banyuwangi. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah
Banyuwangi (Kota), Giri, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring dan
Genteng

. Desa-desa yang menjadi kantong-kantong kebudayaan Osing dan tetap


mempertahankan budaya, adat istiadat dan seni tradisional Osing juga semakin
berkurang dan mengecil. Komunitas adat Osing yang masih bertahan hingga saat ini,
yaitu Komunitas Adat Mangir, Komunitas Adat Cungking, Komunitas Adat Grogol,
Komunitas Adat Kemiren, Komunitas Adat Dukuh, Komunitas Adat Glagah,
Komunitas Adat Andong, Komunitas Adat Olehsari, Komunitas Adat Mandaluka,
Komunitas Adat Bakungan, Komunitas Adat Macan Putih, Komunitas Adat Tambong,
Komunitas Adat Aliyan, dan Komunitas Adat Alasmalang. Komunitas-ko
munitas
tersebut memiliki beberapa ciri umum, yaitu: 1) menggunakan bahasa Osing, 2)
memiliki Buyut (danyang desa), 3) bersifat homogen karena mereka pada umumnya
cenderung melakukan perkawinan dengan orang dari desa yang sama, 3) masih
menjalankan ritual bersih desa, 4) meyakini kepercayaan yang diwarisi dari leluhurnya,
dan 5) mayoritas penduduknya memiliki pekerjaan dalam bidang pertanian atau
pertukangan. Di antara ke-14 komunitas adat tersebut, Komunitas Adat Kemiren di
Kecamatan Glagah dianggap sebagai salah satu yang paling teguh menjalankan tradisi
Osing yang telah diturunkan oleh leluhurnya.

Kecamatan Glagah khususnya di Desa Kemiren, sangat kental akan adat


istiadat dan budaya Suku Osing. Ini yang menjadikan Desa Kemiren di Banyuwangi
sendiri terkenal dan kaya akan budaya dan tradisinya, sehingga. Pemerintah Daerah
menetapkannya , sebagai daerah cagar budaya dan mengembangkannya sebagai Desa
Wisata (Suku) Using (Osing) pada tahun 1995 oleh Bupati Purnomo Sidik. Dahulu,
Seiring dengan berkembangnya waktu, kawasan Desa Wisata Osing, Banyuwangi,
sempat beberapa tahun lamanya terlupakan dari perhatian pemerintah daerah setempat.
Bahkan, tidak ada pengembangan yang berarti untuk menjadikan desa itu sebagai
tujuan wisata di kota Gandrung tersebut.
Saat ini pada era kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas, tidak hanya
membenahi dan promosi besar-besar di sektor wisata alamnya, Pemerintah kabupaten
Banyuwangi juga berupaya seirus dalam mengembalikan pamor Kemiren sebagai desa
wisata unggulan untuk pariwisata berbasis kearifan lokal, selain beberapa desa lain
yang dianggap memiliki keunggulan. Banyak pengunjung dan wisatawan lokal
maupun asing berkunjung ke Desa Kemiren untuk mengetahui desa yang terkenal akan
budaya dan adat istiadatnya ini. Keistimewaan desa adat kemiren, masih menjaga
tradisi-tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang mereka. Barong ider
Bumi,Tumpeng Sewu, arak –arakan,dan seni barong. Hidup berdampingan dengan
jiwa gotong royong, tradisi musyawarah yang terus terjaga. Tahun 2013 pemerintah
Banyuwangi juga mencentuskan sekaligus mengadakan event-event tertentu setiap
tahun yang di adakan di Desa Kemiren ini, contohnya adalah Ngopi Sewu, Tumpeng
Sewu, Mepeh Kasur. Keberadaan masyarakat suku Osing serta budaya Osing juga masih
banyak terlihat, salah satunya yang sangat jelas terlihat adalah dari segi Bahasa yang masih
kental akan logat Bahasa osingnya. orang yang asing mendengar logat Bahasa Osing pun
mungkin terdengar sedikit unik dan menarik, contohnya dalam pengucapan
antara lain dalam sebutan kata “kopi” jika pada umumnya orang mengatakan kopi
cukup dikatakan dengan “kopi” atau “ngopi” namun pada suku osing berubah menjadi
“kopai” atau “ngopai”, dan ini di banyuwangi khususnya Desa Kemiren sendiri masih sering
digunakan untuk Bahasa keseharian mereka, tidak seperti masyarakat osing yang bertempat
tinggal di kecamatan Kota yang sudah mulai luntur akan bahasa khas Osingnya menjadi
Bahasa jawa. Selain itu rumah-rumah masyarakat di Desa Kemiren sendiripun sebagian besar
masih bernuansakan pedesaan rumah adat Osing dengan menonjolkan keunikan Suku
Osingnya berciri khas meliputi crocogan, tikel/baresan, tikelbalung, dan serangan.
Di balik itu, infrastruktur jalan penghubung dari pusat kota ke Desa Kemiren sendiri sudah
diperbaiki oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi agar memperlancar akses untuk menuju
desa Osing tersebut. Tidak hanya itu, untuk mempresentasikan semua hal terkait suku Osing
baik rumah adat, seni, dan budayanya masyarakat ataupun wisatawan lokal maupun asing
dapat mengunjungi Sanggar Ganjah Arum yang merupakan upaya pelestarian budaya Osing.
Ini yang menjadikan bukti bahwa keberadaan Suku Osing di Desa Kemiren masih kuat dan
sangat dilestarikan di desa tersebut. Kemajemukan suku yang ada di Kabupaten Banyuwangi
dan dijadikannya Kemiren sebagai Desa Adat Wisata ini menjadi alasan sebuah ancaman
yang sewaktu-waktu dapat melunturkan kebudayaan suku Osing yang ada di Kemiren. Selain
itu semakin berkembangnya zaman, semakin berkembangnya pula teknologi dan budaya di
era globalisasi saat ini juga menjadi ancaman yang tidak bisa dihindarkan oleh masyarakat
kabupaten Banyuwangi khususnya suku osing dalam mempertahankan eksistensi budaya dan
adat istiadat leluhur. Posisi desa adat dan komunitas suku Osing ini sangatlah penting, tak
hanya sebagai upaya menjadikannya magnet bagi kedatangan wisatawan, terutama bagi
pelestarian budaya setempat yang menjadi penyusun kebudayaan nasional.
Budayamerupakan bagian dari sebuah jati diri atau identitas. Menjadikannya sekedar
tontonan bagi wisatawan sehingga kemudian menghilangkan ruhnya merupakan hal
yangkontraproduktif bagi komunitas adat itu sendiri. Tetapi banyaknya wisatawan yang
berkunjung dan dijadikannya Desa Kemiren sebagai desa adat wisata ini tidak menurunkan
semangat sekaligus komitmen masyarakat Suku Osing khususnya di Desa Kemiren dalam
menjaga teguh budaya dan adat istiadat nenek moyang mereka. Ini yang menjadi alasan
ketertarikan peneliti untuk meneliti mengenai eksistensi Desa Kemiren sebagai desa adat
suku Osing.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah dapat dirumuskan


sebagai berikut :

“Bagaimana eksistensi Desa Kemiren sebagai desa adat Suku Osing”


1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan yang ingin dicapai
dari pen
elitian ini adalah “Untuk mengetahui dan mendeskripsikan eksistensi “Desa
Kemiren” sebagai desa adat Suku Osing.
BAB II
PEMBAHASAN

1.Pengertian Perkawinan

Menurut Undang-Undang Perkawinan, yang dikenal dengan Undang-Undang No.1 Tahun


1974, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Bachtiar (2004), definisi perkawinan adalah pintu bagi bertemunya dua hati dalam
naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, yang di
dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing
pihak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat
keturunan. Perkawinan itu merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta
yang sangat mendalam dari masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara
kelangsungan manusia di bumi.

Terruwe (dalam Yuwana & Maramis, 2003) menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu
persatuan. Persatuan itu diciptakan oleh cinta dan dukungan yang diberikan oleh seorang pria
pada isterinya, dan wanita pada suaminya.

Menurut Goldberg (Yuwana & Maramis, 2003), perkawinan merupakan suatu lembaga yang
sangat populer dalam masyarakat, tetapi sekaligus juga bukan suatu lembaga yang tahan uji.
Perkawinan sebagai kesatuan tetap menjanjikan suatu keakraban yang bertahan lama dan
bahkan abadi serta pelesatarian kebudayaan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan inter-
personal.

Menurut Kartono (1992), pengertian perkwainan merupakan suatu institusi sosial yang diakui
disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna perkawinan berbeda-beda, tetapi
praktek-prakteknya perkawinan dihampir semua kebudayaan cenderung sama perkawinan
menunujukkan pada suatu peristiwa saat sepasang calon suami-istri dipertemukan secara
formal dihadapan ketua agama, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan
secara resmi dengan upacara dan ritual-ritual tertentu.

Menurut Saxton (1986) , perkawinan mengatakan bahwa memiliki dua makna, yaitu :

a. Sebagai suatu institusi sosial


Suatu solusi kolektif terhadap kebutuhan sosial. Eksistensi dari perkawinan itu memberikan
fungsi pokok untuk kelangsungan hidup suatu kelompok dalam hal ini adalah masyarakat.

b. Makna individual
Perkawinan sebagai bentuk legitimisasi (pengesahan) terhadap peran sebagai individual,
tetapi yang terutama, perkawinan di pandang sebagai sumber kepuasan personal.
Berdasarkan berbagai definisi tentang perkawinan di atas, dapat disimpulkan bahwa
perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri
yang memiliki kekuatan hukum dan diakui secara sosial dengan tujuan membentuk keluarga
sebagai kesatuan yang menjanjikan pelestarian kebudayaan dan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan inter-personal.

Tujuan Dan Harapan Perkawinan

Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang
penting, diantaranya adalah pembentukan sebuah keluarga yang didalamnya seseorang pun
dapat menemukan kedamaian pikiran. Orang yang tidak kawin bagaikan seekor burung tanpa
sarang. Perkawinan merupakan perlindungan bagi seseorang yang merasa seolah-olah hilang
dibelantara kehidupan, orang dapat menemukan pasang hidup yang akan berbagi dalam
kesenangan dan penderitaan.

Perkawinan merupakan aktivitas sepasang laki-laki dan perempuan yang terkait pada suatu
tujuan bersama yang hendak dicapai. Dalam pasal 1 Undang-Undang perkawinan tahun 1974
tersebut diatas dengan jelas disebutkan, bahwa tujuan perkawinan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut
Walgito (2000), masalah pernikahan adalah hal yang tidak mudah, karena kebahagiaan
adalah bersifat reltif dan subyektif. Subyektif karena kebahagiaan bagi seseorang belum tentu
berlaku bagi orang lain, relatif karena sesuatu hal yang pada suatu waktu dapat menimbulkan
kebahagiaan dan belum tentu diwaktu yang juga dapat menimbulkan kebahagiaan.

Masdar Helmy (dalam Bachtiar, 2004) mengemukakan bahwa tujuan perkawinan selain
memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga membentuk keluarga dan
memelihara serta meneruskan keturunan di dunia, mencegah perzinahan, agar tercipta
ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan
masyarakat.

Menurut Soemijati (dalam bachtiar, 2004) tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi
tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan keluarga bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, memperoleh keturunan
yang sah dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh hukum.

Menurut Bachtiar (2004), membagi lima tujuan perkawinan yang paling pokok adalah:
 Memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga
yang damai dan teratur
 Mengatur potensi kelamin
 Menjaga diri dari perbuatan-perbuan yang dilarang agama
 Menimbulkan rasa cinta antara suami-isteri
 Membersihkan keturunan yang hanya bisa diperoleh dengan jalan pernikahan.
2. Definisi Perkawinan Menurut Hukum Adat dan Menurut Hukum Islam?
Secara umum definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Tuhan YME (UU No. 1/74).
Definisi Perkawinan Menurut Hukum Adat
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi juga orang tua
kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dalam
hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penteng bagi mereka yang
masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang
sepenuhnya mendapat perhatina dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah
pihak.
Berikut ini akan dikemukakan definisi perkawinan menurut hukum adat yang dikemukakan
oleh para ahli:
1. Hazairin
Menurut Hazairin perkawinan merupakan rentetan perbuatan-perbuatan magis, yang
bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan.
2. A. Van Gennep
Perkawinan sebagai suatu rites de passage (upacara peralihan) peralihan status kedua
mempelai. Peralihan terdiri dari tiga tahap:
• Rites de separation
• Rites de merge
• Rites de aggregation
3. Djojodegoeno
Perkawinan merupakan suatu paguyupan atau somah (jawa: keluarga), dan bukan merupakan
suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian. Hubungan suami-istri sebegitu eratnya
sebagai suatu ketunggalan.
Definisi Perkawinan Menurut Hukum Islam
Menurut hukum islam perkawinan adalah perjanjian suci (sakral) berdasarkan agama antara
suami dengan istri berdasarkan hukum agama untuk mencapai satu niat, satu tujuan, satu
usaha, satu hak, satu kewajiban, satu perasaan: sehidup semati. Perkawinan adalah
percampuran dari semua yang telah menyatu tadi. Nikah adalah akad yang menghalalkan
setiap suami istri untuk bersenag-senang satu dengan yang lainnya. (Jaza’iri, A.B.J,
2003;688).
3. PROSESI PERKAWINAN SUKU OSING

Salah satu masyarakat yang hidup di Jawa Timur yang cukup menarik tradisi perkawinannya
adalah masyarakat Osing Banyuwangi. Disebut menarik karena masyarakat Osing
Banyuwangi dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan campuran. Ini tampak
pada busana pengantinnya yang terpengaruh gaya Jawa, Madura, Bali, bahkan pengaruh dari
suku lain di luar Jawa. Di lingkungan masyarakat Osing Banyuwangi berlaku adat
perkawinan dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

a.tahap perkenalan

Tahap perkenalan merupakan tahap penjajakan antara dua kekasih. Pada tahap ini bisa saja
terjadi, hubungan antara kedua kekasih terpaksa harus putus karena sesuatu sebab. Akan
tetapi ada pula yang berlangsung hingga ke jenjang perkawinan. Apabila tahap ini dapat
berlangsung dengan mulus, tanpa ada rintangan, maka di lanjutkan tahap selanjutnya, yaitu
tahap meminang.

b.tahap meminang

Menurut adat yang berlaku di lingkungan masyarakat Banyuwangi, meminang dilakukan


pihak laki-laki. Biasanya bila suatu keluarga yang memiliki anak laki-laki telah menyetujui
gadis pilihannya, maka dilakukan pinangan dengan menyuruh orang lain untuk meminang
calon menantunya. Orang suruhan ini bisa dari keluarga dekatnya sendiri ataupun dari orang
lain yang dipercaya. Sebelum dilakukan pinangan biasanya pihak laki-laki akan
memberitahukan kepada pihak perempuan terlebih dahulu. Saat lamaran pihak laki-laki
datang dengan membawa seperangkat pakaian wanita sebagai tanda ikatan antara kedua
pasang kekasih. Lamaran atau pinangan ini sebenarnya hanya bersifat formalitas saja. Pada
saat pertemuan ini, akah dibicarakan bersama-sama hari jadi atau pelaksanaan upacara
perkawinan serta masalah-masalah lain yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara
perkawinan. Dari hasil pembicaraan antara kedua belah pihak, apabila ternyata pihak
perempuan, dari segi ekonomi tidak mampu untuk mengadakan upacara, maka pihak laki-laki
akan "ngleboni" atau memberi bantuan untuk pelaksanaan perkawinan anaknya. Sebaliknya
apabila pihak laki-laki ternyata tidak mampu, maka pihak laki-laki "nglundung semprong"
saja.

c.tahap peresmian perkawinan

Peresmian perkawinan atau upacara perkawinan merupakan klimaks sekaligus inti adat
perkawinan. Oleh karena itu, pihak penyelenggara upacara akan mempersiapkan upaaara
secara matang dan khusus. Pelaksanaan upacara perkawinan di lingkungan masyarakat Osing
Banyuwangi terlihat sebagai paduan antara upacara yang bersifat agamis dengan upacara
tradisional. Bagi pemeluk agama Islam, akan silakukan Upacara Ijab Khobul sebagai salah
satu syarat sahnya perkawinan menurut agama Islam. Sebagai tanda sahnya perkawinan
tersebut, mereka akan memperoleh surat nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Agama
setempat.
d.pakaian adat osing banyuwangi

Berbicara tentang pakaian adat pengantin Osing Banyuwangi, cukup menarik. Apabila
kenyataan tertumpu pada kenyataan yang sekarang. Tidak jauh berbeda dengan masyarakat
lain, kendatipun sebagian besar masyarakat Osing berdomisili di daerah pedesaan, tetapi
karena letak desa - desa yang banyak dihuni masyarakat Osing di daerah banyuwangi ini
tidak terlalu jauh dari kota Banyuwangi, maka pengaruh modernisasi, utamanya yang
berhubungan dengan adat perkawinan dan pakaian pengantinnya telah masuk pula ke
pedesaan. Gejala yang terlihat adalah adanya kecenderungan pengantin gaya Solo atau
Yogyakarta. Keinginan ini tidak terlalu sulit diwujudkan karena banyak juru paes pengantin
yang siap dengan pakaian tersebut.

Bila diperhatikan dengan seksama, bagian - bagian dari pakaian pengantin tradisional
masyarakat Osing Banyuwangi menunjukkan adanya campuran antara pakaian pengantin
Jawa, pakaian tradisional Madura, Bali dan luarJawa. Pengantin pria memakai kuluk seperti
kuluk yang dipakai pengantin Jawa. Pengantin laki - laki atau perempuan dilengkapi
dilengkapi dengan asesoris berupa gelang atau binggel seperti yang digunakan oleh para
wanita dari masyarakat Madura. Asesoris untuk hiasan kepala pengantin wanita bentuknya
mirip dengan pakaian penari Bali. Baik pengantin pria ataupun wanita mengenakan kain
sarung pelekat yang dibuat dari bahan sutera baik berasal dari Bugis Makasar maupun dari
Samarinda. Jelas bahwa pakaian asli pengantin tradisional Masyarakat Osing Banyuwangi
sebagai hasil dari peminjaman kebudayaan.

Sisi lain yang tidak kurang menariknya adalah terjadinya kesepakatan sebagai upaya
melakukan perubahan dari busana pengantin tradisional tersebut. Karena sesuatu sebab,
beberapa orang yang merasa punya tanggung jawab terhadap masalah kebudayaan,
khususnya kebudayaan Banyuwangi, telah berhasil menciptakan pakaian pengantin
tradisional masyarakat Osing Banyuwnagi. Cara yang dilakukan adalah memodifikasi
pakaian pengantin yang pernah ada di lingkungan dengan menghilangkan bagian - bagian
yang dirasakan sudah ketinggalan jaman, misalnya meninggalkan kebiasaan memakai kaca
mata hitam baik untuk pengantin pria maupun pengantin wanita.

Gagasan memodifikasi pakaian pengantin tradisional masyarakat Osing Banyuwangi


merupakan penemuan baru dan sebagai penambah pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan
maksud mengangkat martabat masyarakat Osing Banyuwangi sekaligus sebagai upaya lebih
memasyrakatkan salah satu hasil budaya masyrakat Banyuwangi, yaitu berupa batik tulis
dengan motifnya yang khas disebut motif gajah holing. Pakaian pengantin tradisional
masyarakat Osing Bnayuwangi ini cukup baik bila dilihat dari segi motivasinya, terutama
bagi masyarakat Bayuwangi pada umumnya. Tetapi dari sisi lain, sebenarnya merugikan,
karena secara tidak sengaja telah menghilangkan sesuatu yang cukup unik sebagai ciri khas
dari masyarakat Osing itu sendiri yaitu suatu masyarakat yang memiliki budaya campuran,
akan kabur karena salah satu bukti yang dapat dilihat dengan jelas di antaranya adlah
mengamati pakaian pengantin tersebut.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam pembahasan sebagai hasil kajian dan analisa dapat disimpulkan
sebagai berikut:

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral , ini disebutkan pada pengertian perkawinan menurut
Undang-Undang maupun Hukum Islam. Terlebih di Indonesia masih banyak suku-suku yang
masih menjaga adat istiadat daerah mereka khususnya pada suku jawa Osing , yang dimana
masih sangat kental perkawinan adatnya.
Tak jarang masyarakat yang menikah dengan adat yang berbeda memadukan kedua adat yang
berbeda itu pula , namun pada kalangan masyarakat banyuwangi menikah dengan suku yang
sama.

Meskipun tak jarang masyarakat banyuwangi terutama masyarakat osing terpengaruh adat
istiadat dari masyarakat lainya , seperti busana pengantin, bahkan tak jarang terpengaruh oleh
adat masyarakat di luar pulau jawa , namun masih sangat berlaku adat , yaitu prosesi
pernikahan yang diwarisi turun temurun di kalangan masyarakat osing. Ini menandakan
bahwasanya perkembangan era globalisasi tak bisa dilepaskan dari peradaban manusia namun
tetap menjaga setidaknya beberapa adat istiadat.

Saran
Berkaitan dengan simpulan di atas, maka saran yang dapat disampaikan adalah:

1.Pada saat ini masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa sedang gencar-
gencarnya melaksanakan pembangunan di era globalisasi ini, disisi lain masyarakat Indonesia
harus tetap dan mempertahankan serta melaksanakan adat istiadat sebagai budaya bangsa.
Dan kepada orang-orang tua khususnya pada masyarakat Osing yang berada dikawasan
Banyuwangi, untuk lebih terbuka membangun komunikasi dengan anaknya mengenai adat
istiadat yang ada di daerah Banyuwangi.

2. Sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki beragam budaya , sebaiknya tetap menjaga
dan melestarikan adat istiadat yang telah ada. Baik adanya jika mengikuti perkembangan
pada era globalisasi ini namun alangkah baiknya tetap melestarikan agar kita sebagai bangsa
yang kaya akan budaya bisa memeperkenalkan lebih luas apa yang dimiliki Indonesia sebagai
tren baru diluar negeri.
DAFTAR PUSTAKA

Erni Budiwanti, Islam Sasak, (Yogyakarta: LKiS. 2000), hlm. 47

Sutiyono, 2007 dalam Indiarti, 2013 hlm 13.

Oka A. Yoeti, 1985. Pengantar Ilmu Pariwisata(Bandung: Penerbit Angkasa,


1996) hlm 33

Moh. Syaiful, Ampri Bayu S. dkk. 2015. JAGAT OSING Seni, Tradisi dan
kearifan Lokal Osing.

Bachtiar, A. (2004). Menikahlah, Maka Engkau Akan Bahagia!. Yogyakarta :


Saujana

Maramis, W.F. & Yuwana, T.A. (1990). Dinamika Perkawinan Masa Kini.
Malang : Diana

Kartono, K. (1992). Psikologi Wanita : Gadis Remaja dan Wanita Dewasa.


Bandung : Mandar Madu.

Walgito, B. (2000). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Edisi kedua.


Yogyakarta. Penerbit ANDI

Ayu Sutarto, 2006, “Sekilah Tentang Masyarakat Using”

Anda mungkin juga menyukai