Anda di halaman 1dari 2

HUKUM DENDA DI BANK SYARIAH

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

Tanya :
Ustadz, mohon pencerahan tentang fatwa sanksi denda yang terdapat dalam fatwa DSN
MUI (Dewan Syariah Nasional MUI) nomor 17/DSN-MUI/IX/2000, dengan ketentuan; (1)
nasabah yang tidak mampu yang disebabkan alasan force majeur tidak boleh dikenakan
sanksi; (2) denda dikenakan kepada nasabah mampu tapi tidak punya kemauan dan itikad
baik melunasi utang; (3) tujuan sanksi agar nasabah lebih disiplin menjalankan
kewajibannya; (4) besarnya sanksi ditentukan berdasarkan kesepakatan dan dibuat saat
akad ditandatangani; (5) dana dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial. (Tarnie,
Semarang).

Jawab :
Memang sebagian ulama kontemporer (termasuk DSN MUI) telah membolehkan denda
finansial di lembaga keuangan syariah (seperti bank syariah) sebagai ta’zir kepada
nasabah yang mampu tetapi menunda pembayaran utangnya. (Abdullah Mushlih & Shalah
Shawi, Maa Laa Yasa’u al Tajir Jahluhu, hlm. 337).
Dalilnya antara lain sabda Nabi SAW, ”Menunda pembayaran utang oleh orang kaya
adalah suatu kezaliman.” (Arab : mathlul ghaniy zhulmun). (HR Bukhari). Juga sabda Nabi
SAW, ”Menunda pembayaran utang oleh orang yang mampu telah menghalalkan
kehormatannya dan sanksi kepadanya.” (Arab : layyul waajid yuhillu ‘irdhahu wa
‘uquubatahu). (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa`i, Ibnu Majah, dan Al Hakim).
Menurut sebagian ulama tersebut hadits-hadits di atas dianggap sebagai dalil bahwa jika
nasabah yang mampu menunda pembayaran utangnya, maka ia dapat dikenakan sanksi
(‘uqubat), termasuk denda finansial. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hlm. 337).
Namun pendapat yang membolehkan denda finansial tersebut ternyata ditolak oleh
sebagian ulama kontemporer lainnya. Pendapat yang tidak membolehkan denda finansial
inilah yang kami anggap lebih kuat (rajih) walaupun dikenakan kepada nasabah yang
mampu. (Lihat : Ali Ahmad As Salus, Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyyah al Mu’ashirah wa
Al Iqtishadi Al Islami, hlm. 449; Ahmad Al Jazzar Muhammad Bisynaq, Al Syarth Al Jaza`iy
wa Al Bada`il Al Syar’iyyah Lahu, hlm. 169-170; Prof. Dr. Ali Muhammad Al Husain Al
Showa, Al Syarth Al Jaza`iy fi Al Duyuun : Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, hlm. 23-25).
Alasan-alasan mengapa denda finansial tidak boleh dikenakan walaupun kepada nasabah
yang mampu, antara lain;
Pertama, bank syariah tidak mempunyai kewenangan (sholahiyah/wilayah) untuk
menjatuhkan sanksi berupa denda finansial yang diklaim sebagai sanksi ta’zir. Sebab yang
berhak menjatuhkan sanksi ta’zir hanyalah peradilan syar’i (al qadha` al syar’i) saja, yang
menjadi wakil (na`ib) dari Imam (Khalifah). (Abdurrahman Al Maliki, Nizham Al ‘Uqubat, hlm.
7).
Kedua, hadits yang digunakan sebagai dalil tidak tepat, yaitu hadits yang menghalalkan
kehormatan dan sanksi (‘uqubat) kepada orang mampu yang menunda pembayaran
utangnya. Karena meski orang mampu yang menunda pembayaran utang layak dijatuhi
hukuman (‘uqubat), tapi tak pernah ada seorang qadhi (hakim) atau fuqaha pun dalam
sepanjang sejarah Islam yang menjatuhkan hukuman berupa denda. Padahal kasus
semacam ini banyak sekali terjadi di berbagi kota di negeri-negeri Islam. Jumhur fuqaha
berpendapat hukumannya adalah ta’zir, yaitu ditahan (al habs) meski sebenarnya boleh
saja bentuk ta’zir lainnya. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hlm. 338; Ali Ahmad As
Salus, ibid., hlm. 449).
Ketiga, denda karena terlambat membayar utang mirip dengan riba, terlebih lagi yang
sudah disepakati di awal akad. Maka denda seperti ini dihukumi sama dengan riba
sehingga haram diambil. Kaidah fiqih menyebutkan maa qaaraba al syai’a u’thiya
hukmuhu. (Apa saja yang mendekati/mirip dengan sesuatu, dihukumi sama dengan
sesuatu itu). (Muhammad Shidqi Burnu, Mausu’ah al Qawa’id al Fiqhiyah, IX/252). Wallahu
a’lam.[]

Anda mungkin juga menyukai